• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAHAN SUMBERDAYA LAHAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang

Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang merupakan hasil kegiatan tambang terdahulu terhampar luas di sepanjang pantai tersebut. Usaha reklamasi lahan ini telah dilakukan dengan penanaman ketapang laut dengan jarak tanam 10 x 10 meter, namun dalam perkembangannya rata-rata tanaman ini tumbuh kurang normal. Kondisi ekstrim pada lahan (Gambar 2) seperti tekstur tanah pasir, air tanah yang sulit dijangkau oleh akar, suhu udara dan tanah yang tinggi, kecepatan angin laut yang tinggi serta hama tanaman membutuhkan upaya yang lebih keras dalam proses pemulihan kondisi lahan ini.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. Kondisi lahan akibat kegiatan penambangan tambang pasir besi, (a) belum dimanfaatkan, (b) dimanfaatkan penduduk untuk beternak ikan, (c) dan (d) bagian lahan yang sudah diratakan dan ditanami ketapang. Kredit foto (a) dan (b) oleh Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam mengatasi ketersediaan air yang terbatas di lahan pasir adalah dengan penyiraman air secara manual. Penyiraman air dilakukan dengan menggunakan pompa air, dan menarik air tanah dari dalam sumur-sumur buatan, kemudian menyambungkan pipa-pipa air panjang dan berpindah-pindah sesuai lokasi sumur.

Karakteristik tanah di lahan bekas penambangan pasir besi disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis tanah awal menunjukkan nilai pH yang tinggi mendekati netral. Kadar C-organik, N-total dan KTK tergolong sangat rendah. Kation-kation basa seperti K+, Na+, Ca2+ dan Mg2+tergolong rendah. Hasil analisis tanah awal ini menunjukkan kondisi tanah di lahan bekas penambangan pasir memiliki karakteristik sifat kimia tanah yang buruk dan tidak mendukung untuk pertumbuhan tanaman yang baik.

Tabel 1. Analisis karakteristik tanah awal Parameter Satuan Nilai

pH 6,78 C-organik % 0,01 N-total % 0,001 C/N 10 KTK me/100gr 0,96 K me/100gr 0,05 Na me/100gr 0,66 Ca me/100gr 0,06 Mg me/100gr 0,03 Fe ppm 30,9 Mn ppm 11,3 Cu ppm 0,70 Zn ppm 0,50 EC (µS/cm) 7,73 Tekstur tanah Pasir % 95,45 Debu % 2,79 Liat % 1,76

Hasil analisis tekstur tanah awal (Tabel 1) menunjukkan tekstur tanah didominasi oleh partikel pasir sebesar 95.45 %. Kondisi ini menyebabkan tanah menjadi sangat porous dan kemampuan untuk menahan air sangat rendah. Selain

itu, kadar liat yang sangat rendah menyebabkan tanah sangat sulit untuk menjerap unsur-unsur hara yang diberikan sehingga ketersediaannya sangat rendah.

4.2. Produksi Biomassa

Pemanenan biomassa terbagi menjadi dua tahap, panen pertama dilakukan pada minggu ke-12 (4 Juni 2010) dan panen kedua dilakukan pada minggu ke-18 (14 Juli 2010). Setelah pemanenan tahap pertama, tanaman dirawat dan dipelihara kembali untuk panen tahap selanjutnya. Pada penelitian ini, pemanenan biomassa hanya dapat dilakukan pada tanaman utama koro benguk dan rumput gajah. Jenis tanaman flemingia dan kaliandra nampaknya kurang cocok dengan kondisi lahan yang ada. Hal ini terlihat dari pertumbuhan tanaman kaliandra dan flemingia yang terhambat, sehingga pada saat panen pertama maupun panen kedua (minggu ke-12 dan ke-18) tanaman tersebut masih belum bisa menghasilkan biomassa untuk dipanen. Oleh sebab itu produksi biomassa dan serapan hara tanaman kaliandra dan flemingia untuk selanjutnya tidak dibahas lebih dalam.

Hasil pemanenan biomassa tanaman tahap pertama (Tabel 2) menunjukkan produksi biomassa tertinggi dihasilkan oleh perlakuan keempat yaitu antara tanaman rumput gajah dan kaliandra. Perlakuan keempat (Gambar 3) memiliki jumlah rata-rata berat basah 22.59 ton/ha dan berat kering 7.22 ton/ha tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kedua dan ketiga, yang memiliki tanaman utama rumput gajah. Kandungan kadar air tanaman untuk keseluruhan perlakuan tanaman utama rumput gajah tidak berbeda nyata. Kadar air tanaman tertinggi dimiliki oleh rumput gajah di perlakuan kedua sebesar 71.16 %.

Pada perlakuan dengan tanaman utama koro benguk, maka perlakuan kelima yaitu tanaman koro benguk dan flemingia (Gambar 3) menghasilkan produksi biomassa tertinggi dibandingkan perlakuan pertama dan keenam. Perlakuan ini menghasilkan berat basah 7.64 ton/ha dengan berat kering 1.61 ton/ha. Kandungan kadar air untuk keseluruhan perlakuan tanaman utama koro benguk tidak berbeda nyata. Kadar air tanaman tertinggi dimiliki oleh koro benguk di perlakuan tanaman kelima sebesar 76.31 %.

Tabel 2. Hasil produksi biomassa pada pemanenan tanaman tahap pertama Perlakuan Jenis Tanaman

Berat Basah (ton/ha) Berat Kering (ton/ha) Kadar Air (%) 1 Koro Benguk 5.30 1.19 76.21 2 Rumput Gajah 15.83 4.58 71.16

3 Rumput Gajah dan Flemingia* 19.91 6.90 65.56 4 Rumput Gajah dan Kaliandra* 22.59 7.22 68.57 5 Koro Benguk dan Flemingia* 7.64 1.61 76.31 6 Koro Benguk dan Kaliandra* 5.56 1.39 73.56 Keterangan : *analisis hanya pada tanaman utama

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3. Kondisi tanaman di petak perlakuan keempat (a) sebelum dan (b) sesudah dipanen, kondisi tanaman di petak perlakuan kelima (c) sebelum dan (d) sesudah dipanen.

Hasil pemanenan tanaman tahap pertama ditimbun di dalam saluran-saluran di samping tanaman tersebut dengan kedalaman + 20 cm. Kondisi ini mendukung ketersediaan air yang lebih lama di sekitar perakaran tanaman. Pemanenan tanaman dilakukan dengan memperhatikan batas titik tumbuh

tanaman koro benguk maupun rumput gajah agar tanaman dapat tumbuh kembali untuk tahap pemanenan selanjutnya. Setelah panen pertama dilakukan, tanaman dapat tumbuh kembali bahkan pada rumput gajah pertumbuhan tanaman berlangsung lebih cepat dibandingkan saat penanaman awal (Gambar 4). Perawatan dilakukan dengan penyiraman serta pemupukan 1/3 dosis awal untuk membantu pertumbuhan kembali tanaman yang lebih cepat.

(a) (b) (c)

Gambar 4. Berbagai kondisi tanaman rumput gajah umur satu minggu setelah panen pertama.

Hasil pemanenan biomassa tanaman tahap kedua (Tabel 3) menunjukkan produksi biomassa tertinggi dihasilkan oleh perlakuan ketiga yaitu tanaman rumput gajah dan flemingia. Perlakuan ketiga memiliki jumlah rata-rata berat basah 8.10 ton/ha dan berat kering 1.21 ton/ha tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kedua dan keempat, yaitu perlakuan dengan tanaman utama rumput gajah. Kandungan kadar air tanaman untuk seluruh perlakuan tanaman utama rumput gajah tidak berbeda nyata. Kadar air tanaman tertinggi dimiliki oleh rumput gajah di perlakuan kedua sebesar 85.59 %. Pada perlakuan tanaman utama koro benguk hasil produksi tertinggi terlihat di perlakuan pertama dengan berat basah 2.76 ton/ha dan berat kering 0.59 ton/ha. Kadar air tanaman tertinggi juga dihasilkan oleh koro benguk di perlakuan pertama sebesar 76.13 %.

Tabel 3. Hasil produksi biomassa pada pemanenan tanaman tahap kedua Perlakuan Jenis Tanaman

Berat Basah (ton/ha) Berat Kering (ton/ha) Kadar Air (%) 1 Koro Benguk 2.76 0.59 76.13 2 Rumput Gajah 7.82 1.13 85.59

3 Rumput Gajah dan Flemingia* 8.10 1.21 85.02 4 Rumput Gajah dan Kaliandra* 6.39 1.10 82.86 5 Koro Benguk dan Flemingia* 1.96 0.52 74.06 6 Koro Benguk dan Kaliandra* 1.83 0.46 75.42 Keterangan : *analisis hanya pada tanaman utama

Perbedaan yang nyata terlihat dari jumlah biomassa yang dihasilkan pada panen pertama dan kedua. Pemanenan pertama menghasilkan jumlah biomassa yang jauh lebih tinggi daripada pemanenan kedua. Hal ini dikarenakan waktu tumbuh sebelum pemanenan pertama lebih lama daripada waktu untuk pemanenan kedua. Panen pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 12 minggu sedangkan panen kedua dilakukan pada saat tanaman berumur 18 minggu, sehingga terdapat perbedaan waktu selama enam minggu untuk waktu pertumbuhannya. Dalam selang waktu yang lebih lama ini, tanaman memiliki kesempatan untuk menyerap air dan unsur hara, menangkap cahaya untuk fotosintesis dan bertumbuh lebih banyak. Pada rumput gajah walaupun biomassa yang dihasilkan lebih sedikit pada pemanenan kedua namun anakan atau tunas-tunas baru telah bertambah jauh lebih banyak daripada saat penanaman awal yang hanya berasal dari satu stek batang. Laju pertumbuhan tanamanpun berlangsung lebih cepat karena hanya dalam waktu satu minggu tanaman sudah mampu tumbuh kembali rata-rata setinggi + 20 cm. Hal ini memperlihatkan potensi rumput gajah sebagai tanaman yang cepat menghasilkan biomassa. Hasil biomassa pada tanaman koro benguk juga lebih sedikit daripada pemanenan pertama. Hal ini karena setelah pemanenan pertama banyak tanaman yang sulit untuk dapat tumbuh kembali, daun-daun menjadi lebih sedikit, cadangan air berkurang, tanaman kemudian menjadi kekeringan, layu dan mati. Berbeda dengan rumput gajah yang berkembang dengan menghasilkan anakan-anakan, tanaman koro benguk tumbuh merambat, dan menghasilkan bunga dan buah untuk perkembangannya. Rumput gajah yang dipotong menghasilkan tunas-tunas

baru yang segera tumbuh kembali. Sedangkan koro benguk yang jika tidak hati-hati dalam pemotongannya, maka daun-daun muda akan sulit untuk tumbuh kembali.

Kadar air rumput gajah pada pemanenan kedua lebih tinggi daripada pemanenan tahap pertama, sedangkan pada koro benguk relatif hanya mengalami perubahan yang tidak nyata. Rumput gajah menghasilkan anakan-anakan yang tumbuh dengan cepat setelah pemanenan pertama. Penyerapan dan penyimpanan air di tubuh tanaman menjadi lebih tinggi. Namun karena waktu yang lebih singkat dibandingkan panen pertama, anakan-anakan rumput gajah ini belum mampu membentuk tubuh tanaman yang lebih berbobot. Pada koro benguk kadar air relatif tidak berubah. Tanaman ini memiliki kadar air yang tinggi di mana air tersimpan di batangnya yang merambat serta daun-daun yang lebar. Tanaman-tanaman yang memiliki kadar air yang tinggi cocok sebagai sumber pakan namun kurang baik sebagai sumber bahan organik tanah. Karena jika dihitung sebagai sumber bahan organik maka penghitungan bobotnya adalah berdasarkan bobot kering tanaman. Tanaman dengan bobot kering yang tinggi mampu menyumbangkan lebih banyak bahan organik di suatu lahan sehingga akan lebih berperan dalam peningkatan kadar bahan organik di lahan tersebut.

Jika dilihat dari hasil biomassa total (Tabel 4), maka perlakuan tanaman yang menunjukkan produksi biomassa total tertinggi adalah perlakuan keempat (rumput gajah dan kaliandra) dengan berat basah sebesar 28.98 ton/ha dan berat keringnya 8.32 ton/ha dalam waktu 18 minggu. Untuk tanaman utama koro benguk, produksi tertinggi dihasilkan perlakuan kelima (koro benguk dan flemingia) dengan berat basah sebesar 9.60 ton/ha dan berat keringnya 2.13 ton/ha dalam waktu 18 minggu. Produksi biomassa tanaman secara keseluruhan dihasilkan dalam kurun waktu 18 minggu. Jika kemampuan pertumbuhan tanaman dianggap sama dan dapat dilakukan empat kali pemanenan selama satu tahun maka jumlah biomassa yang dapat dihasilkan untuk tanaman rumput gajah adalah 28,88 ton/ha bahan kering dan pada koro benguk 6,44 ton/ha bahan kering.

Tabel 4. Hasil produksi biomassa total

Perlakuan Jenis Tanaman Berat Basah (ton/ha)

Berat Kering (ton/ha)

1 Koro Benguk 8.06 1.77

2 Rumput Gajah 23.66 5.71

3 Rumput Gajah dan Flemingia* 28.01 8.11 4 Rumput Gajah dan Kaliandra* 28.98 8.32 5 Koro Benguk dan Flemingia* 9.60 2.13 6 Koro Benguk dan Kaliandra* 7.39 1.85 Keterangan : *analisis hanya pada tanaman utama

Biomassa koro benguk tergolong rendah jika dibandingkan dengan literatur yang ada sedangkan pada rumput gajah tergolong sesuai. Menurut Ardiyanto (2009) jenis kacangan seperti koro benguk dapat menghasilkan biomassa sekitar 15 ton berat kering/ha/tahun. Tanaman ini juga mempunyai kadar selulosa paling rendah (31.14%), namun kadar ligninnya cukup besar yaitu 12.08% (Nurida et al., 2007). Sementara menurut Anonim (2009) rumput gajah mampu menghasilkan 20-40 ton/ha bahan kering tiap tahun. Lingkungan tumbuh tanaman menjadi faktor yang menentukan dalam penelitian ini. Di dalam penelitian-penelitian lain dimungkinkan tanaman mendapatkan cukup suplai bahan organik serta kondisi fisik dan kimia tanah yang umum ditemui. Berbeda dengan lingkungan tumbuh dalam penelitian ini yang dapat digolongkan ke dalam kondisi ekstrim, dimana lahan sangat miskin akan bahan organik serta kondisi fisiknya yang bertekstur dominan pasir dan kesuburan awalnya yang rendah. Hal inilah yang membatasi pertumbuhan tanaman sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah biomassa total yang dihasilkan. Hasil biomassa yang rendah ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor di lapang, seperti defisiensi hara, kerusakan karena angin laut dan serangan hama.

Indikasi defisiensi hara terlihat dari adanya gejala perubahan pada daun tanaman yang terlihat menguning (Gambar 5). Daun-daun yang terlihat menguning menunjukkan gejala kekurangan nitrogen dalam pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi karena tingkat pencucian hara yang tinggi pada jenis tanah pasir. Selain itu juga dari kondisi awal lahan yang memang memiliki ketersediaan hara yang rendah. Pupuk yang diberikan mudah tercuci dan hilang dari zona perakaran pada saat penyiraman atau hujan, bahkan untuk urea dapat

lebih mudah hilang karena suhu yang tinggi. Kurangnya bahan organik menjadi salah satu penyebab ketidakmampua n tanah untuk menjerap dan mempertahanka n unsur hara. Ketersediaan unsur hara sangat menentukan baik buruknya pertumbuhan tanaman, sehingga kekurangan hara akan berpengaruh pada penurunan jumlah biomassa yang dihasilkan.

(a) (b) (c)

Gambar 5. Berbagai kondisi tanaman koro benguk menunjukkan gejala defisiensi hara.

Kondisi ekstrim yang ada di lahan percobaan ternyata tetap memungkinkan hama lokal untuk bertahan hidup. Serangan yang terjadi terutama hama ulat daun, ulat tanah dan belalang. Serangan hama mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada tubuh tanaman seperti daun, batang serta akar (Gambar 6). Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal, sehingga kemudian akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah biomassa.

(a) (b)

Gambar 6. Gejala-gejala kerusakan tanaman koro benguk karena hama ulat. Pada peralihan antara bulan Mei dan Juni 2010, angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Hal ini dirasakan sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman. Saat itu daun-daun berubah warna menjadi kuning, kering dan layu (Gambar 7). Angin dari laut memiliki kelembaban yang tinggi dan dimungkinkan memiliki salinitas yang tinggi pula. Hal inilah yang diperkirakan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Kerusakan karena angin inipun berpengaruh terhadap jumlah biomassa yang dihasilkan tanaman.

(a) (b) (c)

Gambar 7. Berbagai kerusakan pada tanaman karena pengaruh angin laut, (a) dan (b) pada koro benguk; (c) pada rumput gajah

Selain pengaruh-pengaruh di atas, kondisi lahan yang merupakan hasil timbunan-timbunan pasir menyebabkan ketidakseragaman sifat dari lahan ini. Sifat heterogen ini kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam pertumbuhan tanaman. Misalnya satu tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memiliki ukuran yang normal, namun di lokasi yang berbeda tanaman yang sama mengalami gangguan pertumbuhan sehingga ukuran tanaman lebih kecil atau tidak normal dan bahkan dapat mengakibatkan kematian tanaman (Gambar 8).

(a) (b) (c)

4.3. Kandungan dan Serapan N pada Setiap Kombinasi Tanaman

Hasil analisis N-total pada tanaman (Tabel 5) menunjukkan tanaman yang memiliki kandungan N tertinggi pada pemanenan pertama dan kedua adalah koro benguk. Pada panen pertama serapan N tertinggi dihasilkan pada koro benguk di perlakuan kelima 26.61 kg/ha dan pada panen kedua serapan tertinggi dihasilkan koro benguk di perlakuan pertama 13.05 kg/ha. Hal ini sejalan dengan Buckleset al. (1998) yang menyatakan bahwa jenis legum pada umumnya memiliki potensi untuk memperbaiki siklus N melalui hubungan simbiosis dengan mikroorganisme tanah. Nitrogen diubah oleh bakteri bintil akar tanaman menjadi bentuk yang lebih tersedia yang tersimpan dalam daun, rambatan dan benih, menjadikan tanaman ini sumber N yang efisien. Kadar N pada keseluruhan tanaman tergolong rendah, dimana rata-rata nilainya di bawah 2 %. Pada panen pertama rumput gajah, kadar N tertinggi dihasilkan pada rumput gajah di perlakuan kedua 0.80 % dan pada panen kedua dihasilkan rumput gajah di perlakuan ketiga sebesar 1.17 %. Peningkatan kadar ini dapat disebabkan perkembangan akar tanaman yang lebih baik sampai pada panen kedua, sehingga serapan nitrogen pada tanamanpun dapat meningkat. Untuk serapan N tertinggi pada pemanenan pertama tanaman rumput gajah dihasilkan di perlakuan keempat sebesar 52.89 kg/ha dan pada panen kedua dihasilkan oleh tanaman rumput gajah di perlakuan ketiga sebesar 14.24 kg/ha. Tabel 5. Kadar dan serapan N rata-rata pada setiap perlakuan tanaman

Perlakuan Jenis Tanaman

Panen Pertama Panen Kedua % N Serapan N (kg/ha) % N Serapan N (kg/ha) 1 Koro Benguk 1.87 22.22 2.23 13.05 2 Rumput Gajah 0.80 36.88 1.03 11.66 3 Rumput Gajah dan

Flemingia* 0.72 49.88 1.17 14.24 4 Rumput Gajah dan

Kaliandra* 0.73 52.89 0.84 9.21 5 Koro Benguk dan

Flemingia* 1.65 26.61 1.82 9.40 6 Koro Benguk dan

Kaliandra* 1.76 24.49 1.17 5.42 Keterangan : *analisis hanya pada tanaman utama

Tanaman koro benguk yang tergolong jenis legum seharusnya mampu menghasilkan kadar N yang lebih tinggi lagi. Nilai N yang rendah ini dapat disebabkan karena kekurangan hara pada saat pertumbuhan tanaman, sehingga perkembangan bintil akar terhambat dan sulit untuk tumbuh, atau dapat tumbuh namun tidak aktif menangkap N di udara seperti tanaman legum pada umumnya. 4.4. Kandungan dan Serapan P pada Setiap Kombinasi Tanaman

Kandungan P pada tanaman rumput gajah maupun koro benguk tergolong rendah (Tabel 6). Pada panen pertama kandungan dan serapan P tertinggi dihasilkan oleh tanaman rumput gajah di perlakuan kedua sebesar 0.27 % dengan serapan 12.21 kg/ha. Pada tanaman utama koro benguk, kandungan dan serapan P tertinggi dihasilkan di perlakuan pertama sebesar 0.14 % dengan serapan sebesar 1.65 kg/ha. Kandungan dan serapan P tertinggi pada panen kedua untuk tanaman rumput gajah juga dihasilkan di perlakuan kedua sebesar 0.11 % dengan serapan 1.23 kg/ha. Sedangkan pada tanaman koro benguk dihasilkan di perlakuan kelima yaitu sebesar 0.22 % namun serapan tertinggi dihasilkan oleh tanaman koro benguk di perlakuan pertama sebesar 1.14 kg/ha. Nilai kandungan dan serapan P yang rendah ini dapat disebabkan karena unsur P yang diberikan melalui pupuk belum terjerap di tanah dengan baik. Hal ini menyebabkan ketersediaan unsur P di dalam tanah sangat rendah dan tidak efektif diserap oleh tanaman.

Tabel 6. Kadar dan serapan P rata-rata pada setiap perlakuan tanaman Perlakuan Jenis Tanaman

Panen Pertama Panen Kedua % P Serapan P (kg/ha) % P Serapan P (kg/ha) 1 Koro Benguk 0.14 1.65 0.19 1.14 2 Rumput Gajah 0.27 12.21 0.11 1.23 3 Rumput Gajah dan

Flemingia* 0.08 5.31 0.09 1.13 4 Rumput Gajah dan

Kaliandra* 0.15 10.88 0.10 1.08 5 Koro Benguk dan

Flemingia* 0.07 1.14 0.22 1.13 6 Koro Benguk dan

Kaliandra* 0.12 1.61 0.19 0.89 Keterangan : * analisis hanya pada tanaman utama

4.5. Kandungan dan Serapan K pada Setiap Kombinasi Tanaman

Hasil analisis K-total pada tanaman (Tabel 7) menunjukkan kandungan K tanaman tertinggi pada pemanenan pertama dihasilkan oleh tanaman rumput gajah di perlakuan kedua sebesar 1.25 %. Pada tanaman utama koro benguk kandungan K tertinggi dihasilkan oleh koro benguk di perlakuan keenam sebesar 0.62 %. Serapan hara tertinggi dihasilkan oleh tanaman rumput gajah di perlakuan ketiga sebesar 78.86 kg/ha, sedangkan pada tanaman koro benguk dihasilkan di perlakuan kelima sebesar 9.53 kg/ha. Pada pemanenan kedua kandungan dan serapan K tertinggi dihasilkan oleh tanaman rumput gajah pada perlakuan ketiga sebesar 2.22 % dengan serapan sebesar 26.96 kg/ha. Dan untuk tanaman utama koro benguk, kandungan dan serapan K tertinggi dihasilkan oleh koro benguk di perlakuan kelima sebesar 0.93 % dengan serapannya sebesar 4.83 kg/ha.

Tabel 7. Kadar dan serapan K rata-rata pada setiap perlakuan tanaman Perlakuan Jenis Tanaman

Panen pertama Panen kedua % K Serapan K (kg/ha) % K Serapan K (kg/ha) 1 Koro Benguk 0.49 5.81 0.78 4.54 2 Rumput Gajah 1.25 57.10 0.96 10.84 3 Rumput Gajah dan

Flemingia* 1.14 78.86 2.22 26.96 4 Rumput Gajah dan

Kaliandra* 1.09 78.66 1.85 20.31 5 Koro Benguk dan

Flemingia* 0.59 9.53 0.93 4.83

6 Koro Benguk dan

Kaliandra* 0.62 8.55 0.87 4.05

Keterangan : *analisis hanya pada tanaman utama

Kemampuan tanaman rumput gajah dalam menyerap unsur K sangat tinggi bahkan pada perlakuan ketiga memiliki serapan K yang lebih tinggi daripada jumlah unsur K yang diberikan. Serapan K tertinggi pada rumput gajah di perlakuan ketiga dari panen pertama dan kedua menghasilkan 105.82 kg/ha (Tabel 7). Nilai serapan ini lebih besar daripada jumlah pupuk KCl yang hanya diberikan dengan dosis 100 kg/ha. Hal ini dimungkinkan karena adanya kandungan unsur K dalam komposisi mineral-mineral yang lapuk pada lahan bekas penambangan

pasir besi. Kondisi ini menunjukkan lahan tersebut masih memiliki potensi sebagai sumber K bagi tanaman.

Biomassa tanaman dengan jumlah terbesar dihasilkan oleh tanaman utama rumput gajah di perlakuan keempat dan tanaman utama koro benguk di perlakuan kelima. Tanaman utama rumput gajah di perlakuan keempat mampu menghasilkan bahan kering sebesar 8.32 ton/ha dalam waktu 18 minggu. Jumlah ini tidak berbeda jauh dengan biomassa rumput gajah di perlakuan ketiga yaitu sebesar 8.11 ton/ha. Namun tanaman rumput gajah di perlakuan keempat memiliki perbandingan kandungan dan serapan N, P, dan K tanaman yang relatif lebih seimbang. Tanaman rumput gajah di perlakuan keempat memiliki perbandingan kandungan NPK (0.79:0.13:1.47). Sedangkan biomassa terbesar untuk tanaman utama koro benguk dihasilkan di perlakuan kelima dengan jumlah bahan kering sebesar 2.13 ton/ha dalam waktu 18 minggu, serta memiliki perbandingan nilai serapan N, P, dan K tanaman yang lebih seimbang yaitu (1.74:0.15:0.76). Tanaman yang mampu memberikan sejumlah besar biomassa dengan kandungan dan nilai serapan hara yang seimbang dapat menjadi pilihan paling efektif dalam memperbaiki kondisi lahan-lahan bekas tambang. Jumlah biomassa yang tinggi mampu menyumbangkan sejumlah besar bahan organik pada lahan bekas tambang yang miskin akan bahan organik. Selain itu, kandungan dan serapan hara yang seimbang dalam biomassa tanaman akan berperan dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara pada lahan tersebut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait