• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman disungkup dengan gelas plastik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lingkungan Ruang

Pertumbuhan Kentang

Laboratorium Agrometeorologi yang digunakan untuk melakukan penelitian aeroponik kentang diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan iklim mikro yang memungkinkan tanaman kentang dapat tumbuh. Ketinggian tempat Laboratorium Agrometeorologi, Kampus IPB, Darmaga, (± 201 m dpl.) tidak memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman kentang karena suhu yang terlalu tinggi (20.0 – 33.0 oC). Tanaman kentang menghendaki suhu antara 15.0 – 25.0˚C (Lovatt 1997). Untuk mengatasi hal ini digunakan pendingin (Air Conditioner / AC)

yang dinyalakan terus menerus selama penelitian berlangsung.

Suhu yang telah diukur selama 24 jam memiliki rata-rata 22.6˚C. Nilai terendah dari suhu yang terukur yaitu 20.0˚C pada pukul 06.00. Suhu tertinggi yaitu 26.5˚C pada pukul 16.00. Kisaran suhu di dalam ruangan Laboratorium Agrometeorologi cukup memenuhi kebutuhan suhu untuk pertumbuhan tanaman kentang.

Berdasarkan pengukuran suhu udara setiap hari pada pukul 10.00 WIB, suhu di sekitar media tumbuh kentang mempunyai rata-rata 21.3˚C. Pengambilan data unsur cuaca di Laboratorium tempat percobaan dimulai saat tanaman yang ditanam di media aeroponik yaitu19 hari setelah tanam (HST) terhitung setelah dilakukan aklimatisasi plantlet.

Gambar 11 Pola suhu dan RH diurnal Laboratorium Agrometeorologi.

(Sumber: Simangunsong 2011)

Gambar 12 Pola suhu pengamatan pukul 10.00 WIB.

Kelembaban udara (RH) yang diukur pada Laboratorium Agrometeorologi berkisar antara 48 - 53% (Gambar 11). Nilai RH di Laboratorium Agrometeorologi tergolong kering. Hal tersebut karena keberadaan AC yang bersifat mengeringkan udara dalam ruang. Udara yang relatif kering tersebut dapat menyebabkan tanaman kentang layu saat awal pertumbuhan, sehingga perlu ditutup dengan gelas plastik untuk menjagakelembaban udara di sekitar tanaman.

Kebutuhan nutrisi dan air pada sistem aeroponik ini diperoleh dari penyemprotan dengan durasi 13 detik setiap 7 menit yang secara otomatis menyemprotkan air sehingga membasahi akar tanaman. Dalam sistem aeroponik ini, air yang tidak terserap oleh tanaman akan kembali ke ember nutrisinya. 4.2 Perlakuan Intensitas dan Lama

Pencahayaan

Pengukuran intensitas cahaya menggunakan satuan lux. Nilai energi cahaya matahari yang diterima tanaman biasa dinyatakan dalam W/m2 Oleh sebab itu, perlu dilakukan konversi satuan dari lux menjadi W/m2 untuk mengetahui satuan energi cahaya yang diterima oleh tanaman kentang tersebut. Lampu untuk membuat cahaya buatan menggunakan lampu jenis fluorescent (TL) berdaya 40 W dengan jarak lampu dari tanaman sekitar 30 cm.

Pada penelitian ini, pengukuran intensitas cahaya dilakukan untuk mengukur intensitas cahaya yang diterima oleh semua tanaman. Total lampu yang digunakan untuk penelitian ini adalah delapan lampu untuk pengukuran

dan dua lampu untuk tanaman tanpa perlakuan sebagai tanaman contoh untuk bahan kalibrasi hubungan antara luas dengan berat daun. Tanaman tanpa perlakukan ini kemudian tidak dapat digunakan sebagai kalibrasi, dikarenakan semua tanaman mati. Daya lampu yang digunakan pada pengukuran yaitu 8 x 40 W sehingga total daya lampu 320 W digunakan untuk area tanam 2 x 1.2 m2 = 2,4 m2 merupakan luasan kedua perlakuan pencahayaan.

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan tiap hari yakni pada pukul 10.00 WIB. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada titik tengah dan ujung box tanaman yang mewakili tanaman dalam mendapatkan cahaya. Intensitas yang terukur pada titik tengah pengamatan memiliki nilai tertinggi sekitar 1750 lux atau 13.8 W/m2, sedangkan intensitas terendah adalah 728 lux atau 5.8 W/m2 pada ujung/tepi box. Terlihat bahwa sebaran nilai intensitas sangat beragam, namun nilai rata-rata relatif konstan (Gambar 13). Rata-rata tanaman kentang mendapatkan energi sekitar 1149 lux atau 9 W/m2. Perbedaan yang sangat tinggi dari cahaya yang diterima oleh tanaman pada titik tengah dengan ujung disebabkan oleh perbedaan jarak terhadap sumber cahaya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hartmann et al. (1981) bahwa intensitas yang didapatkan akan semakin kecil dengan semakin jauh lokasi pengambilan data. Nilai Kebutuhan cahaya kentang dalam ruang pertumbuhan buatan ini sangat jauh dari tingkat kejenuhan cahaya tanaman kentang di lapangan yaitu 313.65 W/m2 (Chang 1968).

Gambar 13 Intensitas cahaya (W/m2) yang diterima oleh tanaman kentang. (Selang pengukuran berkisar antara maksimum dan minimum; titik adalah nilai rata-rata)

Kebutuhan cahaya tanaman juga dipengaruhi oleh lama pencahayaan yang diberikan. Lama pencahayaan yang diberikan pada penelitian ini yakni lampu dinyalakan selama 24 jam penuh (24-h/24 hours pencahayaan) dan lampu hanya dinyalakan selama 12 jam (12-h pencahayaan). Ketika tanaman diberikan perlakuan 12-h pencahayaan, tanaman kentang mengalami pertumbuhan yang sangat lambat. Hal tersebut disebabkan karena cahaya yang digunakan untuk melakukan fotosintesis sangat terbatas. Tidak sepenuhnya tanaman yang mendapat perlakuan 12-h pencahayaan tidak mendapatkan cahaya ketika lampu dipadamkan. Tanaman tersebut masih mendapatkan sedikit cahaya lampu yang berasal dari lampu yang masih dinyalakan selama 24-h meskipun jumlahnya sangat kecil. Kedua perlakuan tersebut dibatasi oleh sekat sehingga pencahayaan 24-h tidak terlalu mempengaruhi tanaman dengan perlakuan 12-h penca12-hayaan.

4.3 Pengaruh Intensitas dan Lama Pencahayaan terhadap Pertumbuhan Kentang

Pada saat penanaman di media aeroponik, terlihat bahwa kualitas plantlet (bibit kentang kultur jaringan) varietas Atlantis lebih baik dari Super John. Hal tersebut dapat dibandingkan dari tingkat kehijauan tanaman, tinggi batang, jumlah daun, dan kondisi akar. Plantlet varietas Atlantis memiliki batang yang relatif kuat, warna hijau tua, daun lebih banyak berwarna hijau tua serta kondisi akar yang sudah cukup panjang. Batang plantlet varietas Super John berwana hijau muda kekuningan dan masih banyak yang belum tumbuh daunnya.

Pertumbuhan tanaman merupakan perubahan ukuran (massa, luas, tinggi dan

jumlah) selama musim pertumbuhan tanaman (Handoko 1994). Indikator pertumbuhan tanaman yang digunakan yaitu jumlah daun. Nilai 0 jumlah daun menunjukkan bahwa tanaman tersebut telah mati. Telah diketahui bahwa intensitas cahaya yang diterima rata-rata yaitu 9 W/m2. Dengan intensitas cahaya tersebut kebutuhan cahaya tanaman kentang tidak terpenuhi secara optimal sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman yang kurang baik. Terlihat dari Gambar 14 bahwa terjadi penurunan yang tajam pada jumlah daun varietas Atlantis dengan perlakuan 12-h. Begitu juga untuk varietas Super John (Gambar 15), laju kematian dari varietas Super John lebih cepat dibandingkan Atlantis. Tanaman kentang varietas Super John yang ditanam dengan perlakuan 12-h pencahayaan mati 16 hari lebih cepat dibandingkan varietas Atlantis dengan perlakuan yang sama. Tanaman tersebut mati karena cahaya yang diberikan sangat rendah dengan pencahayaan selama 12 jam. Pada varietas Atlantis 24-h pencahayaan, jumlah daun relatif stabil sedangkan untuk varietas Super John terjadi penurunan jumlah daun. Selain dipengaruhi oleh lama pencahayaan yang diberikan, varietas juga menentukan tingkat pertumbuhan tanaman. Hal tersebut terlihat dari varietas Super John yang lebih cepat jumlah penurunan daun dibanding varietas Atlantis. Pada Gambar 15 data jumlah daun varietas Super John dilakukan pengukuran dari data 20 HST. Pengukuran yang dilakukan pada varietas Super John sehari lebih lambat dari pengukuran varietas Atlantis. Hal tersebut karena kondisi tanaman kentang varietas Super John masih membutuhkan proses aklimatisasi yang lama dibandingkan dengan tanaman kentang varietas Atlantis.

Gambar 15 Penurunan jumlah daun varietas Super John. Suhu yang tinggi jika ditambah dengan

insentitas cahaya yang kurang akan menghasilkan pertumbuhan yang rendah dan tanaman yang panjang serta kecil (Hartmann et al. 1981). Dalam ruang pertumbuhan tanaman (Laboratorium Agrometeorlogi) suhu udara relatif tidak terlalu tinggi, namun cahaya yang sangat rendah (rata-rata 9 W/m2) yang menjadi kendala utama pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan aeroponik ini. Hal ini dibuktikan bahwa pemberian cahaya 24 jam ternyata mengurangi laju kematian tanaman dibandingkan dengan tanaman pada perlakuan cahaya 12 jam.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait