• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi

Lokasi penelitian Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol terletak antara 106,53˚ BT dan 06,53˚ LS dengan ketinggian 145 m di atas permukaan laut. UP3 Jonggol berada di desa Singasari kecamatan Jonggol, kabupaten Bogor dengan batas-batas wilayah : sebelah Utara Kampung pasir, sebelah Barat Kampung Pangkalan Jemben, Sebelah Selatan kampung Pedes dan sebelah Timur Kampung Melati. Jarak lokasi penelitian dari kota Bogor sekitar ± 75 km. Unit Pendidikan dan penelitian peternakan Jonggol memiliki lahan peternakan seluas 169 hektar, terdiri atas padang rumput, bangunan kandang, kantor, laboratorium, gudang dan perumahan. Kondisi lingkungan UP3 Jonggol mengenai curah hujan, kelembaban udara dan suhu lingkungan bulan Juli dan Agustus 2007 terdapat pada Tabel 2. Kondisi di UP3 Jonggol ketika penelitian termasuk musim kemarau karena curah hujan yang rendah dan suhu lingkungan yang tinggi. Daerah UP3 Jonggol diberi pagar kawat pada batas tanah wilayah UP3 Jonggol dengan tanah di sekitar UP3 Jonggol. Pagar ini dibuat agar ternak milik UP3 Jonggol tidak keluar dari wilayah UP3 Jonggol dan ternak dari luar tidak bebas keluar masuk ke dalam wilayah UP3 Jonggol.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3 Jonggol Bulan Juli dan Agustus 2007

Kondisi Umum Bulan

Juli Agustus

Curah Hujan (mm) 8,5 159

Kelembaban (%) 91,7 89,63

Temperatur Min ( 0C ) 20,8 20,84

Temperatur Max ( 0C ) 31,75 32,42

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol

Suhu lingkungan di UP3 Jonggol yang tinggi akan mengakibatkan ternak domba bisa stres dan menurunkan konsumsi pakan sehingga menurunkan performa reproduktivitas ternak. Yousef (1985) menyatakan bahwa suhu kritis pada anak domba yaitu diatas 320C dan suhu nyaman pada domba dewasa yaitu diatas 280C.

14 Ternak di UP3 Jonggol

Ternak di UP3 Jonggol terdiri dari domba, kerbau dan sapi. Populasi terbanyak adalah ternak domba yang digembalakan setiap hari yaitu sebanyak 611 ekor (308 betina dan 303 jantan). Domba diberi kandang untuk melindungi dari predator. Domba dikeluarkan pukul 10 pagi dan dimasukkan kembali ke kandang pukul 4 sore. Populasi Kerbau di UP3 Jonggol berjumlah 40 ekor. Kerbau tidak diberi kandang khusus dikarenakan kerbau di UP3 Jonggol ini masih termasuk liar. Sapi milik UP3 Jonggol berjumlah 3 ekor.

Kondisi Padang Rumput

Padang rumput yang dimiliki UP3 Jonggol terdiri atas Brachiaria

humidicola, Brachiaria decumbens, rumput alam dan campuran legum. Areal

pengembalaan dikelilingi dengan pagar kawat. Hal ini memudahkan pengamatan dan keamanan. Selain itu, terdapat beberapa pohon-pohon besar yang dapat digunakan untuk bernaung domba. Kondisi rumpur Brachiaria humidicola di padang rumput UP3 Jonggol pada waktu penelitian keadaannya kering. Hal ini dikarenakan terik matahari yang panas akibat musim kemarau atau padang rumput tersebut kekurangan zat hara.

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ternak adalah kesehatan ternak, pelaksanaan program pencegahan penyakit ternak sangat penting karena dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Jenis penyakit yang banyak terdapat pada domba di UP3 Jonggol adalah cacingan. Tindakan yang dilakukan oleh pihak pengelola UP3 Jonggol adalah pemberian obat cacing dan antibiotik. Pemberian obat dilakukan dengan cara memberikan langsung kepada ternak yang terinfeksi cacing yaitu melalui oral (mulut).

Status Reproduksi

Status reproduksi suatu peternakan dapat menggambarkan produktivitas ternak dari peternakan tersebut. Status peternakan dapat dilihat dari jumlah dan persentase domba betina yang bunting dan yang tidak bunting. Status reproduksi induk domba di UP3 Jonggol dapat dilihat pada Tabel 3.

15 Tabel 3 memperlihatkan 45,78% domba betina yang bunting dan 54,22% tidak bunting. Persentase tersebut lebih rendah daripada standar persentase pada domba Garut yang masih domba lokal yaitu sebesar 95% dari total induk yang dikawinkan (Heriyadi, 2007). Hal ini disebabkan tidak adanya teknologi canggih dalam pemeriksaan kebuntingan domba ketika penelitian. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi abdomen sehingga induk domba yang dapat dideteksi kebuntingannya induk dengan umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada UP3 Jonggol terdapat domba betina bunting yang berumur dibawah 1 tahun (I1) yaitu sebanyak 8 ekor. Hal ini terjadi dikarenakan ternak digembalakan sehingga terjadi perkawinan antara pejantan dengan domba betina yang baru dewasa kelamin. Jumlah induk bunting terbanyak terdapat pada induk domba yang berumur I4 yaitu sebanyak 78 ekor (25,32%).

Tabel 3. Persentase Kebuntingan Induk Domba di UP3 Jonggol

Umur Induk Bunting Tidak Bunting Total (ekor)

n (ekor) % n (ekor) % I0 8 2,60 - - 8 I1 15 4,87 40 12,99 55 I2 21 6,82 26 8,44 47 I3 19 6,17 20 6,49 39 I4 78 25,32 81 26,30 159 Total (ekor) 141 45,78 167 54,22 308 Keterangan : n = jumlah induk

Jumlah induk yang melahirkan di UP3 Jonggol adalah sebanyak 81 ekor (57,49%). Persentase induk yang melahirkan di UP3 Jonggol lebih tinggi daripada hasil penelitian Malewa (2007) yang menyatakan bahwa persentase beranak domba Donggala di daerah Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru secara berturut-turut adalah 51,41%; 55,33%; dan 57,25%.

Tipe Kelahiran

Tipe kelahiran merupakan gambaran jumlah anak yang dilahirkan dari seekor induk domba. Jumlah anak yang berjumlah satu ekor disebut kelahiran tunggal dan lebih satu ekor anak disebut kelahiran kembar.

16 Gambar 1 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur induk kemungkinan untuk melahirkan anak kembar semakin besar. Kelahiran kembar tiga pada penelitian ini terjadi pada induk domba dengan umur I3 dan I4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adawiah (1993) yang melaporkan bahwa bertambahnya umur dan ulangan beranak induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran terutama induk berumur I3 dan I4 pada ulangan beranak kelima.

Gambar 1. Jumlah Induk yang Beranak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Hasil pengamatan induk domba yang beranak memperlihatkan bahwa kelahiran tunggal mempunyai persentase tertinggi (70,37%) daripada kelahiran kembar dua (27,16%) dan kelahiran kembar tiga (2,47%). Pada penelitian Erminawati (2003), induk domba Garut tipe pedaging diperoleh 34% kelahiran tunggal, 49,5% kelahiran kembar dua, 15,5% kelahiran kembar tiga dan 1% kelahiran kembar empat. Hasil penelitian Inounu et al. (1999) diperoleh 44,5% kelahiran tunggal; 37,6% kelahiran kembar dua; 14,5% kelahiran kembar tiga; 3,1% kelahiran kembar empat dan 0,3% kelahiran kembar lima. Tingginya kelahiran tunggal pada induk yang melahirkan bisa disebabkan karena tidak ada pelaksanaan

flushing pada induk. Blakely dan Bade (1994) menyatakan bahwa flushing pada

domba betina bisa meningkatkan terjadinya kelahiran kembar. Jumlah anak yang dilahirkan dari induk dipengaruhi oleh umur, pertambahan bobot badan induk, bangsa induk dan sistem manajemen (Dimsoski et al., 1999; Inounu et al., 1999).

Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) dari peneletian ini sebesar 1,32 ekor. Rataan JAS ini lebih rendah dibandingkan hasil Inounu et al. (1999) yaitu 1,77 ekor, begitu juga JAS dari hasil penelitian Tiesnamurti (2002) yaitu 1,98 ekor. Rataan JAS

0 5 10 15 20 25 Jumlah Induk I0 I1 I2 I3 I4 Umur Induk tunggal kembar 2 kembar 3

17 di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada rata-rata JAS domba tropis yaitu sebesar 1,36 ekor per kelahiran (Gatenby, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk serta pertambahan bobot badan induk (Tiesnamurti, 2002).

Tabel 4. Rataan Jumlah Anak Sekelahiran di UP3 Jonggol

Umur Induk Rataan Jumlah Anak Sekelahiran (ekor)

I1 1,15

I2 1,24

I3 1,39

I4 1,40

Rasio Jenis Kelamin Anak

Rasio jenis kelamin anak adalah persentanse anak jantan dan betina. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa jumlah anak betina lebih banyak daripada jantan dengan rasio kelahiran anak domba jantan dan betina yaitu 49,53% (n=53) : 50,47 (n=54). Menurut Sabrani et al. (1981) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin ternak domba yang ada di beberapa daerah antara jantan dan betina adalah sebagai berikut; 43,86% : 56,95% untuk perbandingan daerah Cirebon, 46,95% : 53,03% untuk perbandingan daerah Bogor dan 45,66% : 54,34% untuk daerah Garut. Berbeda dengan hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan lebih tinggi daripada anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Gatenby (1991) dan Wahyuzi (2005) mendapatkan rasio jenis kelamin anak pada domba Texel adalah 1 : 1.

Tabel 5. Rasio Jantan dan Betina berdasarkan Umur Induk Domba

Umur Induk Jantan Betina Total

N % n % n % I0 - - 2 100 2 1,87 I1 8 53,33 7 46,67 15 14,02 I2 13 50 13 50 26 24,30 I3 11 61,11 7 38,89 18 16,82 I4 21 45,65 25 54,35 46 42,99 Total 53 49,53 54 50, 47 107 100

18 Bobot Lahir

Bobot lahir anak merupakan salah satu faktor penting yang bisa memperlihatkan prestasi produksi dari seekor induk. Induk yang melahirkan anak dengan bobot lahir yang tinggi perlu dipertahankan untuk meningkatkan produktivitas dari peternakan tersebut. Bobot lahir lahir yang tinggi bisa memperlihatkan akan diperoleh bobot sapih yang tinggi pada anak domba. Informasi mengenai bobot lahir anak dapat dilihat dari Tabel 6.

Tabel 6. Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Umur

Induk

Rataan Bobot Lahir Total

Tunggal Kembar 2 Kembar 3

I0 Rataan (kg) - 1,26A±0,42 - 1,26±0,42 n (ekor) - 2 - 2 KK (%) - 33,67 - 33,67 I1 Rataan (kg) 1,82Aa±0,54 1,86Aa±0,63 - 1,83±0,54 n (ekor) 11 4 - 15 KK (%) 29,56 33,74 - 29,49 I2 Rataan (kg) 2,00ABa±0,51 1,61Aa±0,33 - 1,85±0,48 n (ekor) 16 10 - 26 KK (%) 25,61 20,42 - 25,98 I3 Rataan (kg) 2,42Ba±0,62 1,32Ab±0,44 1,47b±1,72 1,90±0,73 n (ekor) 9 6 3 18 KK (%) 25,50 33,24 11,70 38,43 I4 Rataan (kg) 2,26Ba±0,56 1,76Ab±0,39 1,54b±0,19 1,97±0,53 n (ekor) 21 22 3 46 KK (%) 24,72 22,08 12,39 27,04 Total Rataan (kg) 2,13±0,58 1,65±0,43 1,51±0,17 1,90±0,56 n (ekor) 57 44 6 107 KK (%) 27,08 25,87 11,06 29,45

Keterangan : - Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

- Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rataan bobot lahir secara umum adalah 1,90±0,56 kg. Bobot lahir anak domba di UP3 Jonggol lebih rendah daripada Inounu et al. (1999) yang melaporkan bahwa bobot lahir domba prolifik 3,43±1 kg, serta lebih rendah juga bobot lahir anak

19 domba Priangan pada penelitian Nafiu (2003) yaitu 4,87±1,38 kg. Bobot lahir anak di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada standar bobot lahir domba Garut yang masih domba lokal Indonesia yaitu sebesar 2,0-3,2 kg (Heriyadi, 2007) dan lebih rendah dari bobot lahir domba tropis Awassi yaitu 3,6 kg dan Blackhead Persian yaitu 2 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot lahir pada domba milik UP3 Jonggol erat hubungannya dengan bobot induk yang rendah. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan manajemen pemberian pakan yang kurang baik dan Inounu et al. (1999) berpendapat induk domba dengan bobot yang rendah akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah juga. Rataan bobot lahir tertinggi terdapat pada induk domba yang mempunyai umur I3 dengan tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 2,42±0,51 kg.

Hasil analisis uji-t pada tabel 6 menunjukkan bahwa tipe kelahiran dan umur induk mempengaruhi bobot lahir anak domba. Hal ini terlihat adanya perbedaaan bobot lahir anak pada umur induk dan tipe kelahiran berbeda. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dudi (2002) dan Inounu et al., (1999) yang menyatakan bahwa tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak.

Perbedaan rataan bobot lahir dapat terjadi karena perkembangan janin yang berbeda dalam rahim induk. Devendra and McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 dan kembar 3. Adanya pengaruh antara tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak domba kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta (Hinch et al., 1983).

Tabel 7. Rataan Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Umur Induk Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK(%) I0 - - - 1,26±0,42 2 33,67 I1 2,03± 0,57 8 28,22 1,61±0,43 7 26,78 I2 1,86±0,47 13 25,03 1,84±0,51 13 27,95 I3 1,71±0,66 11 38,58 2,17±0,79 7 35,92 I4 2,04± 0,54 21 26,72 1,92±0,53 25 27,59 Total 1,92±0,56 53 28,91 1,87±0,56 54 30,21

20 Hasil uji-t menunjukkan bahwa jenis kelamin pada penelitian ini tidak mempengaruhi bobot lahir anak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba Texel. Hal ini disebabkan oleh nilai keragaman yang tinggi. Rataan bobot lahir anak domba berdasarkan umur induk domba dan jenis kelamin anak ditampilkan pada tabel 7.

Bobot Sapih

Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya. Bobot sapih anak menggambarkan produksi susu dari induk, biasanya produksi susu induk yang tinggi dapat menghasilkan bobot sapih anak yang lebih tinggi. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman bobot sapih domba lokal di UP3 Jonggol berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tabel 8.

Tabel 8. Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Umur

Induk

Tipe Kelahiran Total

Tunggal Kembar 2 I0 Rataan (kg) - 3,46 3,46 n (ekor) - 1 1 KK (%) - I1 Rataan (kg) 4,03A±0,98 7,15 4,75±1,51 n (ekor) 6 1 7 KK (%) 27,02 31,71 I2 Rataan (kg) 5,44AB±2,32 5,29A±1,22 5,58±1,62 n (ekor) 4 4 8 KK (%) 35,48 23,13 28,93 I3 Rataan (kg) 7,81B±2,96 4,88A±2,09 6,58±2,24 n (ekor) 8 2 10 KK (%) 31,13 42,79 33,96 I4 Rataan (kg) 5,47B±1,45 4,20A±1,04 5,67±1,67 n (ekor) 17 7 24 KK (%) 27,83 29,17 29,46 Total Rataan (kg) 5,95±1,90 5,01±1,42 5,67±1,81 n (ekor) 35 15 50 KK (%) 31,95 28,35 31,92

Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama adalah nyata (P<0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih secara umum adalah 5,67±1,81 kg. Hasil ini lebih rendah dibandingkan bobot sapih domba Garut di desa

21 Sukawargi sebesar 11,6±2,00 kg (Wisnuwardani, 2000) dan rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12±4,33 kg serta lebih rendah daripada standar bobot sapih domba Garut yaitu sebesar 8-10 kg. Bobot sapih anak di UP3 Jonggol juga lebih rendah dari bobot sapih domba tropis tipe Rainforest yaitu 8,4 kg, domba Deccani yaitu 7-9 kg dan domba Blackhead Persian yaitu 8-10 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot sapih anak di UP3 Jonggol disebabkan bangsa berbeda, umur induk, manajemen, dan pakan yang kurang baik serta waktu penyapihan yang berbeda. Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh genotipe dan manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik akan meningkatkan bobot sapih total per induk pada semua genotipe. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa manajemen pemberian pakan yang baik dan waktu penyapihan anak domba yang tepat akan memberikan manfaat positif untuk pertumbuhan anak.

Rataan bobot sapih tertinggi pada tabel 8 berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 5,95±1,90 kg. Hal ini disebabkan bobot lahir individu yang tinggi dan ketika menyusu pada induk tidak ada persaingan antara sesama anak domba sehingga anak domba memperoleh susu induk secara optimal. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Dudi (2002) yaitu bobot sapih kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar.

Berdasarkan uji-t terlihat pada tabel 8 bahwa umur induk mempengaruhi (P<0.05) bobot sapih anak. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh umur sapih dan umur induk dan Inounu (1996) menyatakan bahwa bertambah dewasanya induk diiringi pula dengan meningkatnya kemampuan untuk merawat anaknya sehingga dihasilkan bobot sapih anak yang meningkat pada semua tingkat manajemen. Bobot sapih tertinggi tercapai pada paritas ke empat dan menurun kembali pada paritas ke lima. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan (Bell, 1984). Tetapi berbeda dengan Tiesnamurti et al., (1985) berpendapat bahwa bobot sapih dan pertumbuhan anak sampai disapih, sangat dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, tetapi pengaruh bangsa jenis kelamin dan umur induk tidak begitu mempengaruhi bobot sapih.

22 Hasil uji-t rataan bobot sapih tidak dipengaruhi oleh tipe kelahiran. Hal ini bisa disebabkan tidak ada perlakuan khusus kepada anak domba seperti pemberian pakan tambahan dan produksi susu yang mengakibatkan pertumbuhan anak tidak terlalu jauh berbeda. Tiesnamurti et al. (2002) menyatakan bahwa produksi susu mempengaruhi pertumbuhan anak prasapih. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa induk domba yang melahirkan kembar lebih dari tiga akan memproduksi susu yang lebih banyak untuk membesarkan anak-anaknya. Adakalanya anak domba dengan bobot lahir yang rendah bisa tumbuh dengan cepat. Dari pernyataan ini, anak domba yang lahir dengan pertumbuhan lebih cepat bisa menyamai bobot sapih pada anak domba yang berat sehingga mengakibatkan rataan bobot sapih pada anak domba antar tipe kelahiran dengan umur induk yang sama tidak berbeda.

Hasil uji-t pada tabel 9 memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi terhadap bobot sapih anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak domba. Hal ini diduga oleh tingginya koefisien keragaman sebesar 31,92 %. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan adanya silang dalam atau perkawinan sesama kerabat dalam satu bangsa, karena sistem perkawinan di UP3 Jonggol adalah perkawinan alam atau perkawinan pada ternak domba dengan manajemen yang kurang.

Tabel 9. Rataan Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Umur Induk Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK (%) I0 - - - 3,46 1 - I1 5,22±1,42 4 27,30 4,13±1,66 3 40,19 I2 5,36±0,77 2 14,39 5,66±1,87 6 33,08 I3 6,63±2,42 5 36,48 6,54±2,32 5 35,52 I4 6,05±1,91 9 31,52 5,45±1,54 15 28,25 Total 5,96±1,84 20 30,90 5,47±1,79 30 32,73

23 Mortalitas Anak

Mortalitas (tingkat kematian) anak adalah persentase kematian anak yang didapat dari jumlah anak yang mati dibagi jumlah anak yang dilahirkan. kematian anak ini memperlihatkan berapa besar daya hidup anak setelah dilahirkan. Informasi kematian anak di UP3 Jonggol dapat dilihat pada tabel 10.

Tingkat kematian anak domba secara umum di UP3 Jonggol adalah sebesar 21,50%. Tingkat kematian anak di UP3 Jonggol ini lebih rendah daripada hasil penelitian Inounu (1996) yaitu sebesar 26,07% dan lebih tinggi daripada tingkat kematian anak (mortalitas) didaerah tropis sebesar 20% (Devendra dan McLeroy, 1982). Menurut Inounu (1996) keragaman tingkat kematian anak dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajemen, paritas induk. Pada paritas pertama induk mempunyai daya hidup anak 11% lebih rendah dibandingkan pada paritas kedua.

Mortalitas tertinggi anak domba berdasarkan umur induk dan tipe kelahiran yaitu induk I4 dengan kelahiran kembar 3. Hasil penelitian Putu (1989) yaitu tingkat kematian anak kelahiran kembar lebih tinggi dibandingkan anak kematian tunggal. Bila dibandingkan dengan hasil Putu (1989) kematian anak kelahiran tunggal di UP3 Jonggol lebih tinggi (24,5%) dan kematian anak kelahiran kembar di UP3 Jonggol lebih tinggi (3,9%). Tingkat kematian anak bisa terjadi karena adanya persaingan untuk mendapatkan air susu induk antara anak domba dan induk tidak mau menyusui anaknya. Sehingga salah satu dari anak domba kekurangan kebutuhan dari air susu induk.

Tabel 10. Jumlah Anak yang Mati dan Persentase Kematian Anak Umur

Induk

Jumlah Anak Yang Mati (ekor)

Tunggal % Kembar 2 % Kembar 3 %

I0 - - 1 50 - - I1 3 27,27 1 25 - - I2 1 6,25 1 10 - - I3 1 11,11 3 50 2 66,67 I4 2 9,52 5 22,73 3 100 Total 7 12,28 11 25 5 83,33

Dari tabel 10 terlihat juga bahwa persentase kematian anak meningkat sejalan dengan meningkatnya tipe kelahiran anak yaitu 12,28 %, 25 %, dan 83,33 %.

24 Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tipe kelahiran, maka peluang kematian anak semakin besar. Gatenby (1991) menyatakan bahwa induk domba yang mempunyai anak per kelahiran yang lebih tinggi, tingkat kematian yang dilahirkan lebih tinggi dibandingkan dengan induk domba yang melahirkan tunggal.

Kematian anak domba di UP3 Jonggol selama penelitian sering terjadi pada umur 1-7 hari. Inounu et al. (1999) menyatakan kematian anak domba prasapih sering terjadi pada umur antara 1-6 hari setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh bobot lahir yang rendah, tingkah laku menyusu induk (mothering ability) dan adaptasi terhadap lingkungan. Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran dan tingkah laku menyusu induk serta manajemen. Umumnya anak domba di UP3 Jonggol mati dikarenakan induk yang tidak mengakui anaknya sehingga anak domba tidak mendapatkan susu dari induknya. Penyebab lain matinya anak domba disebabkan karena terperosok di kandang karena adanya celah lantai kandang yang luas dan dimakan anjing ketika domba digembalakan di padang rumput.

Dokumen terkait