• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI

INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN

DI UP3 JONGGOL

SKRIPSI

AHMAD SALEH HARAHAP

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

AHMAD SALEH HARAHAP. D14104008. 2008. Pengaruh Umur terhadap Performa Reproduksi Induk Domba Lokal yang Digembalakan di Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, M.Si.

Domba lokal merupakan salah satu ternak potong yang selama ini banyak memberikan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Domba lokal mempunyai keunggulan antara lain dapat beranak sepanjang tahun dan memiliki kemampuan beradaptasi tinggi dan prolifik. Produktivitas suatu peternakan dapat diketahui dari performa reproduksi induk domba. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terhadap performa reproduksi induk domba lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol.

Penelitian ini dilakukan di Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan pengamatan di lokasi serta wawancara kepada pegawai di UP3 Jonggol. Data yang diambil adalah data primer yang meliputi jumlah betina yang bunting, persentase induk yang bunting, jumlah betina yang melahirkan, umur ternak, tanggal beranak, kandang, jumlah anak yang dilahirkan, tipe kelahiran domba, rasio anak jantan dan betina, bobot lahir (BL) anak, mortalitas anak dan bobot sapih (BS) anak umur 2 bulan. Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan umur induk, jenis kelamin, dan tipe kelahiran. Kemudian data dianalisis secara deskriptif (rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman) dan uji-t student digunakan untuk mengetahui pengaruh umur induk, tipe kelahiran dan jenis kelamin anak terhadap bobot lahir dan bobot sapih anak.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase induk yang bunting dari populasi induk yaitu sebesar 45,78%. Hasil pengamatan dari induk yang melahirkan memperlihatkan bahwa kelahiran tunggal 70,37%, kelahiran kembar dua 27,16% dan kelahiran kembar tiga 2,47%. Bobot lahir, bobot sapih, rasio jenis kelamin dan mortalitas anak secara umum adalah 1,96±0,56 kg, 5,67±1,81 kg, 49,53% : 50,47%, dan 21,50%. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa umur induk dan tipe kelahiran berpengaruh terhapap bobot lahir anak. Pada tipe kelahiran tunggal, BL anak dengan umur induk I3 (2,42±0,62 kg) dan I4 (2,26±0,56 kg) lebih

tinggi dari pada BL anak dengan umur induk I1 (1,82±0,54 kg), sedangkan BL anak

dengan umur induk I2 (2,00±0,51 kg) samadengan BL dengan umur induk I1, I3 dan

I4. Rataan BL anak pada kelahiran kembar dua tidak berbeda antara umur yang

berbeda yaitu I0, I1, I2, I3 dan I4. Pada umur induk I1 rataan BL anak tipe kelahiran

tunggal tidak berbeda dengan BL tipe kelahiran kembar dua. Rataan BL anak pada umur induk I2, BL tipe kelahiran tunggal tidak berbeda dengan tipe kelahiran kembar

dua. Pada umur induk I3, rataan BL anak tipe kelahiran tunggal lebih tinggi daripada

BL tipe kelahiran kembar dua dan tiga. Rataan BL anak pada tipe kelahiran kembar dua dan kembar tiga tidak berbeda antara umur induk yang berbeda. Begitu juga dengan rataan BL anak dengan umur induk I4 yaitu rataan BL kelahiran tunggal

berbeda dengan kembar dua dan tiga. Sedangkan jenis kelamin anak tidak mempengaruhi bobot lahir anak.

(3)

ii Rataan bobot sapih berdasarkan tipe kelahiran tunggal, BS anak dengan umur induk I3 (4,03±2,96 kg) dan I4 (5,47±1,45 kg) lebih besar dari pada BS anak

dengan umur induk I1 (4,03±0,98 kg), sedangkan BS anak dengan umur induk I2

(2,00±0,51 kg) sama dengan BS dengan umur induk I1, I3 dan I4. Rataan BS anak

pada tipe kelahiran kembar dua tidak berbeda antara umur induk yang berbeda yaitu pada I2, I3 dan I4. Pada umur induk I2, BS tipe kelahiran tunggal tidak berbeda dengan

tipe kelahiran kembar dua. Pada umur induk I3, rataan BS anak tipe kelahiran

tunggal) tidak berbeda dengan BS tipe kelahiran kembar dua. Begitu juga dengan rataan BS anak dengan umur induk I4 yaitu rataan BS kelahiran tunggal tidak

berbeda dengan kembar dua. Jenis kelamin anak tidak mempengaruhi bobot sapih anak.

Mortalitas anak domba meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah anak sekelahiran. Mortalitas anak tertinggi terdapat pada kelahiran kembar tiga (83,33%) yang diikuti kembar dua (25%) dan tunggal (12,28%). Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah performa reproduksi induk domba di UP3 Jonggol masih lebih rendah dibandingkan dengan bangsa domba tropis lainnya, sehingga perlu peningkatan manajemen untuk meningkatkan produktivitas domba.

(4)

ABSTRACT

The Effect of Age on Reproductive Performance of Local Ewes under Grazing Management in UP3 Jonggol

Harahap. A. S., C. Sumantri and S. Rahayu

The objective of this research was to investigate reproductive performance of ewes. This research was held in Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (UP3 Jonggol) from July until August 2007. Total of the ewes used in UP3 Jonggol were 308 heads with status, such as 141 pregnant and 167 not pregnant. Variables in this research were percentage of pregnant, lambing rate, birth weight, sex of lamb, birth type, weaning weight, and mortality of lamb. Data obtained were analyzed with descriptive analysis (means, standard deviation and coefficient variation) and t-student test. Lambing rate found at UP3 Jonggol was 57,49%. Birth weight was influenced by age of ewe and birth type. The single birth type has the biggest amount of birth weight. Weaning weight was influenced by age of ewes. The Best of birth weight and weaning weight of lamb found on age of ewe three years (I3) with single

birth type. Percentage of birth type in UP3 Jonggol were 70,37% single birth, 27,16% twins birth and 2,47% triplet birth. Sex ratio of lambs were 49,53% male : 50,47% female. Lamb mortality found at UP3 Jonggol was 21,50%.

(5)

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI

INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN

DI UP3 JONGGOL

AHMAD SALEH HARAHAP D14104008

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI

INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN

DI UP3 JONGGOL

Oleh

AHMAD SALEH HARAHAP D14104008

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 5 Mei 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 131 624 187

Ir. Sri Rahayu, M.Si. NIP. 131 667 775

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP. 131 955 531

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 14 Desember 1985. Penulis adalah anak ke tiga dari enam bersaudara dari keluarga Abdul Hakim Harahap dan Akhrini.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri 146272 Pasar Lama, Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Batang Angkola, Tapanuli Selatan dan pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 3 Sipirok Tapanuli Selatan.

Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa IPB pada program studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor penulis aktif di FAMM AL AN’AM dan DPM D serta di organisasi daerah yaitu Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan (IMA TAPSEL).

(8)

KATA PENGANTAR Assalamualikum Wr.Wb.

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Umur Terhadap Performa Reproduksi Induk Domba Lokal yang Digembalakan di UP3 Jonggol. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Jumlah induk yang bunting, bobot lahir, jumlah anak yang dilahirkan dan bobot sapih merupakan salah satu indikator untuk melihat prestasi sutu induk domba pada suatu peternakan. Maka faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan untuk perkembangan ternak selanjutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak yang memerlukannnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2008

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Klasifikasi Domba ... 3

Domba Ekor Tipis ... 3

Domba Ekor Gemuk... 3

Domba Garut... 4

Reproduksi Domba ... 4

Rasio Jenis Kelamin... 5

Tipe Kelahiran ... 5

Bobot Lahir ... 6

Mortalitas ... 7

Bobot Sapih ... 8

METODE ... 9

Lokasi dan Waktu ... 9

Materi ... 9

Prosedur ... 9

Peubah yang diamati ... 10

Penentuan Umur ... 10

Analisa Data ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Kondisi Umum Lokasi ... 13

Status Reproduksi ... 14

Tipe kelahiran ... 15

(10)

ix

Bobot Lahir ... 18

Bobot Sapih ... 20

Mortalitas Anak ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan... 25

Saran ... 25

UCAPAN TERIMA KASIH ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri

Tetap... 11

2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Ling- kungan di UP3 Jonggol ... 13

3. Status Reproduksi Induk Domba di UP3 Jonggol ... 15

4. Rataan Jumlah Anak Sekelahiran di UP3 Jonggol ... 17

5. Rasio Jantan dan Betina Berdasarkan Umur Induk Domba ... 17

6. Bobot Lahir Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran 18

7. Rataan Bobot Lahir Anak Berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin ... 19

8. Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran 20

9. Rataan Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk Dan Jenis Kelamin ... 22

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Jumlah Induk yang Beranak berdasarkan Umur Induk dan

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe Kelahiran tunggal dengan

kembar 2 pada Umur Induk I1, I2, I3, dan I4 ... 30

2. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur

Induk I3 dan I4 ... 30

3. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Umur Induk I0, I1, I2, I3 dan I4

pada Tipe kelahiran kembar 2 ... 30 4. Uji-t Bobot Lahir Anak antar Umur Induk dengan Tipe Kela-

hiran Tunggal dan Kembar 2 ... 31 5. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur Induk

I3 dan I4 ... 31

6. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Jantan dengan Betina pada Umur Induk yang berbeda ... 32 7. Uji-t Bobot Lahir Anak Jantan pada Umur Induk I1, I2, I3, dan I4 32

8. Uji-t Bobot Lahir Anak Betina pada Umur Induk I0, I1, I2, I3, dan

I4 ... 33

9. Uji-t Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe

Kelahiran ... 33 10. Uji-t Bobot Sapih Anak pada Kelahiran Tunggal dengan Umur In-

duk yang berbeda ... 34 11. Uji-t Bobot Sapih Anak pada Kelahiran Kembar 2 dengan Umur

Induk yang berbeda ... 34 12. Uji-t Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk Dan Jenis Kela-

Min ... 35 13. Uji-t Bobot Sapih Anak Jantan dengan Umur Induk yang berbeda 35 14. Uji-t Bobot Sapih Anak Betina dengan Umur Induk yang

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ternak domba lokal memiliki peran penting dalam peternakan Indonesia. Ternak berfungsi sebagai penghasil daging untuk memenuhi dalam negeri, juga berpotensi untuk memasok pasar ekspor. Keunggulan dari domba lokal adalah prolifik, dapat beranak tiap tahun selama masa produktifnya dan bisa beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Tetapi ada beberapa kendala yang masih dalam pengembangannya, yaitu terutama rendahnya manajemen untuk meningkatkan produktivitas induk domba.

Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang mempunyai tingkat prolifikasi yang tinggi. Jumlah anak sekelahiran (JAS) per induk merupakan komponen penting dalam mengukur produktivitas domba. JAS mempengaruhi bobot total anak per induk pada saat penyapihan, sehingga keberhasilan induk dalam memelihara anak-anaknya sampai lepas sapih. Namun perlu diperhatikan bahwa daya hidup anak biasanya akan menurun seiring bertambahnya jumlah anak yang dilahirkan.

Keberhasilan dari suatu peternakan bisa dilihat dari performa reproduksi ternak. Salah satu reproduksi kurang baik adalah perkawinan yang tidak tepat waktu yang disebabkan oleh kurangnya pejantan ataupun peternak tidak peduli terhadap tanda-tanda berahi yang timbul pada ternak yang dipeliharanya. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya upaya meningkatkan efisiensi reproduksi induk.

Upaya dalam mengembangbiakan ternak domba adalah dengan didirikannya usaha pembibitan ternak domba. Salah satu tempat pembibitan ternak domba dengan dengan jumlah ternak yang banyak adalah Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol. Ternak yang dimiliki Unit Pendidikan dan penelitian Peternakan Jonggol adalah domba lokal dimana sistem pemeliharaannya digembalakan. Produktivitas ternak domba yang digembalakan berbeda dengan produktivitas peternakan yang dikandangkan ternaknya selama 24 jam. Oleh karena itu, perlu dilihat produktivitas domba yang digembalakan dengan melihat penampilan reproduksi induk domba. Data dasar reproduksi induk domba atau informasi yang perlu dikumpulkan adalah jumlah induk yang bunting, jumlah induk yang

(15)

2 melahirkan, jumlah anak yang dilahirkan, tipe kelahiran, jumlah anak yang mati, dan bobot lahir anak.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh umur terhadap performa reproduksi domba di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba

Ternak domba termasuk dalam kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus Ovis (domba) dan spesies Ovis Aries (domba yang telah didomestikasi) (Blakely dan Bade, 1991).

Beberapa jenis domba yang dikenal di Indonesia tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Hardjosubroto (1994) menyatakan kedua jenis domba tersebut dianggap berasal dari bangsa yang sama.

Domba Ekor Tipis

Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba sayur atau domba Jawa. Ciri lainnya yaitu ekor relatif kecil dan tipis, biasanya bulu badan berwarna putih, namun ada pula warna lain, misalnya belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian tubuh lainnya. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar. Berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Einstiana, 1999).

Domba Ekor Gemuk

Domba ekor gemuk memiliki ciri-ciri khusus yaitu berbulu kasar, baik jantan maupun betina biasanya bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Devendra dan McLeroy, 1982). Ekor yang gemuk merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan dalam bentuk lemak yang dapat dimanfaatkan jika terjadi kekurangan pakan. Pada saat banyak pakan, ekor domba ini penuh dengan lemak sehingga terlihat membesar. Namun, bila pakan kurang, ekor mengecil karena cadangan energinya dibongkar untuk mensuplai energi yang dibutuhkan tubuh. Panjang ekor normal 15-18 cm tulang vertebrae, berbentuk hurup S atau sigmoid.

Domba ekor gemuk jantan unggul memiliki bobot badan yang dapat mencapai 50-70 kg, betina 25-40 kg dan rataan bobot potong 24 kg. Domba ini bersifat prolifik dengan selang beranak hanya 8-9 bulan, umur pertama kali beranak

(17)

4 antara 11-17 bulan dan dapat menghasilkan 2,34 anak sapihan pertahun (Devendra dan McLeroy, 1982).

Domba Garut

Domba Garut dikategorikan dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging. Domba jantan memiliki tanduk yang cukup besar, melengkung kearah belakang dan ujungnya mengarah kedepan sehingga berbentuk seperti spiral, sedangkan domba betina tidak bertanduk. Menurut Einstiana (2006), pola warna bulu domba garut di Margawati terdiri dari empat pola warna bulu, yaitu putih, hitam, cokelat dan kombinasi (dua warna dan tiga warna). Bobot badan domba priangan betina sekitar 35-40 kg, sedangkan bobot domba jantan mencapai 50-60 kg. Domba Priangan termasuk domba yang prolifik, interval beranak yang pendek dan jumlah anak yang dihasilkan pertahun rata-rata 1,7 ekor (Devendra dan McLeroy, 1982) .

Reproduksi Domba

Reproduksi merupakan suatu proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur dengan sel sperma. Hasil penggabungan kedua sel ini membentuk zigot. Zigot ini akan terus berkembang selama kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi yaitu jarak antar beranak, jarak antar melahirkan sampai bunting kembali (masa kosong), angka kebuntingan, rata-rata jumlah perkawinan per kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995).

Devendra dan McLeroy. (1982) melaporkan bahwa jenis domba Indonesia pada umumnya mempunyai sifat reproduksi yang baik, hal ini terlihat pada frekuensi melahirkan dan tingkat kelahiran kembar yang tinggi, serta adaptasinya baik. Toelihere (1985) menambahkan bahwa aktivitas reproduksi secara umum bisa berlangsung sepanjang tahun. Standarisasi persentase kebuntingan pada domba Garut yaitu sebesar 95% dari total induk yang dikawinkan (Heriyadi, 2007). Malewa (2007) menyatakan bahwa persentase beranak domba Donggala di daerah Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru secara berturut-turut adalah 51,41%; 55,33%; dan 57,25%.

(18)

5 Rasio Jenis Kelamin

Sabrani et al. (1981) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin ternak domba yang ada beberapa daerah antara jantan dan betina adalah sebagai berikut 43,86% : 46,95% untuk perbandingan di daerah Cirebon, 46,95% : 53,03% untuk perbandingan Bogor dan 45,66% : 54,34% untuk perbandingan di daerah Garut. Hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan lebih tinggi daripada anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan dan anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Gatenby (1991) dan Wahyuzi (2005) menyatakan rasio jenis kelamin anak pada anak domba Texel adalah 1 : 1.

Tipe Kelahiran

Abdulgani (1981) menyatakan bahwa tipe kelahiran dapat digunakan sebagai kriteria umtuk menentukan tingkat kesuburan. Ternak kambing dan domba tingkat kesuburan atau fertilitas dicerminkan oleh keteraturan induk beranak kembar. Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor anak dalam sekali beranak.

Hasil penelitian Inounu et al., (1999), diperoleh rataan jumlah anak domba sekelahiran 1,77 ekor per induk, sementara Tiesnamurti (2002) menyatakan bahwa anak domba mempunyai 1,98 ekor per induk. Gatenby (1991) menyatakan bahwa rata-rata jumlah anak sekelahiran domba di daerah tropis sebesar 1,36 ekor per induk. Dimsoski et al., (1999) dan Inounu et. al., (1999) menyatakan faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk. Adawiah (1993) melaporkan bahwa bertambahnya umur dan paritas induk, akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran terutama pada induk berumur I3

dan I4 pada ulangan beranak kelima. Flushing pada domba betina bisa meningkatkan

terjadinya kelahiran kembar (Blakely dan Bade, 1994).

Persentase tipe kelahiran pada induk domba Garut tipe pedaging adalah untuk tipe kelahiran tunggal sebesar 34%, kelahiran kembar dua 49,5%, kelahiran kembar tiga 15,5% dan kelahiran kembar empat 1% (Erminawati, 2003). Hasil penelitian Inounu et al. (1999) diperoleh 44,5% kelahiran tunggal; 37,6 kelahiran kembar dua;

(19)

6 14,5% kelahiran kembar tiga; 3,1% kelahiran kembar empat dan 0,3% kelahiran kembar lima.

Bobot Lahir

Inounu et al. (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan bobot lahir adalah bangsa, tipe kelahiran, umur domba, kondisi induk dan ransum tambahan untuk induk saat bunting. Anak domba dengan bobot lahir besar akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan anak domba yang bobot lahirnya kecil (Inounu et al., 1999 dan Dudi, 2002).

Partodiharjo et al. (1983) menyatakan bahwa anak-anak domba yang lahir kembar tiga baik jantan maupun betina bobot lahirnya rendah, sifat fisiknya lemah, pembagian saat menyusu pada induk tidak teratur, kompetisi memperoleh susu induk sangat tergantung kekuatan fisik. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 dan kembar 3. Hinch et al. (1983) menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak domba yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta. Dudi (2002) dan Inounu et al., (1999) yang menyatakan bahwa tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak.

Penelitian Wahyuzi (2005) bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba Texel. Hal ini disebabkan oleh nilai keragaman yang tinggi. Rataan bobot lahir anak domba betina 3,61±1,691 kg dan anak domba jantan 2,86±1,098 kg. Hasil penelitian diatas berbeda dengan hasil penelitian Dudi (2002) yang menyatakan bahwa bobot jantan lebih tinggi daripada bobot lahir betina. Perbedaan ini bisa oleh sistem hormonal yang berbeda antara jantan dan betina.

Hasil penelitian Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot lahir domba prolifik 3,43±1 kg. Heriyadi (2007) menyatakan bahwa standarisasi bobot lahir anak domba garut adalah 2,0-3,2 kg dan bobot lahir domba tropis Awassi yaitu 3,6 kg dan Blackhead Persian yaitu 2 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rataan Rendahnya bobot lahir pada domba erat hubunganya dengan bobot induk yang rendah. Nafiu (2003) menyatakan bahwa bobot lahir anak domba yaitu 4,87±1,38 kg. Bobot erat hubungannya dengan bobot induk, jika bobot induk rendah biasanya bobot anak

(20)

7 domba yang dilahirkan rendah. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan manajemen pemberian pakan yang kurang baik.

Mortalitas

Tingkat kematian anak kelahiran kembar (24,5%) lebih tinggi dibandingkan anak kelahiran tunggal (3,9). Hal ini berhubungan dengan gangguan sifat keindukan pada saat kelahiran yang dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan saat kebuntingan. Pertumbuhan janin terjadi sangat pesat sekitar 70% pada enam minggu sebelum kelahiran. Pemberian makanan dengan kualitas dan kuantitas yang rendah pada periode ini menyebabkan induk menggunakan body reserve untuk mengimbangi pertumbuhan anaknya. Sehingga pada saat kelahiran, tubuh induk sangat lemah dan akan segera makan dan tidak memperhatikan anaknya (Putu, 1989).

Tingkat kematian anak domba hasil penelitian Inounu (1996) yaitu sebesar 26,07%. Keragaman tingkat kematian anak dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dengan manajemen dan paritas induk. Pada paritas pertama induk mempunyai daya hidup anak 11% lebih rendah dibandingkan pada paritas kedua. Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran dan tingkah laku menyusu induk serta manajemen. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa tingkat kematian anak (mortalitas) didaerah tropis sebesar 20%. Gatenby (1991) menyatakan bahwa induk domba yang mempunyai anak per kelahiran yang lebih tinggi, maka tingkat kematian akan lebih tinggi dibandingkan dengan induk domba yang melahirkan tunggal.

Tiesnamurti et al. (1985) melaporkan bahwa bangsa domba berpengaruh nyata terhadap kemampuan hidup anak saat dilahirkan. Pada penelitian yang sama yang dilakukan pada domba di pulau Jawa, didapatkan bahwa mortalitas paling tinggi ditemukan pada anak domba hasil persilangan domba ekor tipis dengan domba ekor gemuk (17%) dan paling rendah adalah pada domba ekor tipis. Bangsa dan jenis kelamin tidak mempengaruhi tingkat mortalitas dari lahir sampai umur sapih.

Inounu et al. (1996) dalam studinya pada domba ekor tipis menunjukkan mortalitas yang tinggi sebagai akibat dari tingginya jumlah anak sekelahiran dan perbedaan lingkungan peternakan. Hal ini dapat dibuktikan pada stasiun percobaan di

(21)

8 daerah Garut, mortalitas anak domba lebih tinggi dibandingkan pada daerah pedesaan. Inounu (1999) menambahkan bahwa kematian prasapih pada anak domba sering terjadi pada umur antara 1-6 hari setelah kelahiran.

Bobot Sapih

Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya pada umur yang paling muda. Bobot sapih pada domba Garut di Desa Sukawargi sebesar 11,6±2,00 kg (Wisnuwardani, 2000) dan Rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12±4,33 kg. Heriyadi (2007) menyatakan bahwa standarisasi bobot sapih domba Garut sebesar 8,0-10 kg. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih domba tropis tipe Rainforest yaitu 8,4 kg, domba Deccani yaitu 7-9 kg dan domba Blackhead Persian yaitu 8-10 kg). Bobot sapih pada kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar (Dudi, 2002). Bobot sapih yang diperoleh dari hasil penelitian Dudi (2002) yaitu sebesar 11,05 kg. Hal ini bisa terjadi dikarenakan bobot lahir, pertumbuhan, lingkungan dan bangsa domba yang berbeda.

Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih dan umur induk. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan (Bell, 1984). Tiesnamurti et al., (1985) berpendapat bahwa bobot sapih dan pertumbuhan anak sampai disapih, sangat dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran (JAS), tetapi pengaruh bangsa jenis kelamin dan umur induk tidak begitu mempengaruhi bobot sapih. Wahyuzi (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak domba. Hal ini diduga oleh tingginya koefisien keragaman. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan adanya silang dalam atau perkawinan sesama kerabat dalam satu bangsa.

Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh genotipe dan manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik akan meningkatkan bobot sapih total per induk pada semua genotipe. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa manajemen pemberian pakan yang baik dan waktu penyapihan anak domba yang tepat akan memberikan manfaat positif untuk

(22)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2007.

Materi Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah induk domba dengan total induk 308 ekor yang terdiri dari 141 ekor induk yang bunting dan 168 ekor yang tidak bunting serta anak domba yang berjumlah 107 ekor.

Padang Rumput

Padang rumput yang digunakan adalah padang rumput Brachiaria humidicola UP3 Jonggol. Luas UP3 Jonggol 169 hektar dengan rumput Brachiaria humidicola ditanami ± 55 hektar, Brachiaria decumbens dengan luas ±19 hektar.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang koloni berjumlah 4 kandang yang terdiri 3 kandang untuk anak dan induk serta 1 kandang untuk jantan yang sudah dewasa. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan dengan kapasitas 15 kg untuk menimbang anak domba.

Prosedur

Ternak yang digunakan tidak diberi perlakuan khusus seperti pemberian pakan tambahan namun mengikuti manajemen dari pihak UP3 Jonggol. Kegiatan utama penelitian adalah pengambilan data reproduksi domba betina UP3 Jonggol. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di lapang serta wawancara dengan pengelola UP3 Jonggol. Data yang dikumpulkan adalah jumlah populasi induk, jumlah domba betina yang bunting, jumlah domba betina yang melahirkan, tipe kelahiran, bobot lahir anak, umur induk yang ditentukan berdasarkan gigi, jumlah anak yang mati, jumlah anak yang disapih dan bobot sapih anak umur 2 bulan. Bobot lahir didapat dengan menimbang anak beberapa saat setelah anak dilahirkan 10 menit sampai 24 jam. Data yang diperoleh akan dibedakan berdasarkan umur induk, jenis kelamin dan tipe kelahiran.

(23)

10 Diagnosa induk yang bunting dilakukan dengan cara palpasi abdomen. Domba betina yang akan diagnosa kebuntingannya bisa dilihat dengan meraba abdomen dari domba betina, serta melihat ambing dari domba betina yang dewasa. Sedangkan induk yang melahirkan dan anak diberi nomor kalung untuk memudahkan identifikasi penyapihan anak.

Peubah yang diamati :

1. Persentase Kebuntingan. Persentase kebuntingan dihitung dari jumlah induk yang bunting di bagi dengan jumlah total induk.

2. Jumlah Anak Sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran adalah jumlah anak total yang dilahirkan oleh satu induk domba dalam satu kelahiran.

3. Bobot Lahir. Bobot lahir dihitung dari berat anak domba yang ditimbang setelah lahir.

4. Rasio Jenis Kelamin anak. Rasio jenis kelamin anak didapat dari perbandingan antara jumlah anak domba jantan dengan jumlah anak domba betina.

5. Tipe Kelahiran (TK). Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor anak dalam sekali beranak.

6. Mortalitas anak. Mortalitas anak atau persentase kematian anak adalah banyaknya anak yang mati sampai masa sapih perjumlah total keseluruhan anak.

7. Bobot Sapih. Bobot sapih adalah bobot anak domba saat dipisahkan dari induknya. Campbell et al. (2003) menyatakan anak domba dapat disapih dari induknya umur 2-5 bulan.

Penentuan Umur Domba

Penentuan umur yang dilakukan adalah dengan cara melihat gigi dari domba yang akan diamati. Anak domba yang baru dilahirkan telah mempunyai dua buah gigi seri sulung. Pada umur satu bulan, gigi seri sulung telah lengkap (Ensminger, 2002). Pendugaan umur domba berdasarkan gigi tetap disajikan pada tabel 1.

(24)

11 Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri Tetap

Umur Jumlah Gigi Seri Tetap Kode Umur

Kurang dari 1 tahun Belum ada gigi seri tetap Io

1,0 – 1,5 tahun Sepasang gigi seri tetap I1

1,5 – 2,0 tahun Dua pasang gigi seri tetap I2

2,5 – 3,0 tahun Tiga pasang gigi seri tetap I3

3,5 – 4,0 tahun Empat pasang gigi seri tetap I4

Lebih dari 4 tahun Gigi seri tetap aus serta mulai lepas I5

Sumber : Ensminger (2002)

Analisa Data

Data reproduksi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif (Gasperz, 1995), dengan menggunakan rataan, koefisien keragaman dan simpangan baku dengan rumus : n Xi X n i 1 1 ) ( 1 2 n X X SB n i i KK= X SB (100%) keterangan : X = Rataan contoh

Xi = Rataan contoh ke-i

n = Jumlah contoh SB = Simpangan Baku

KK = Koefisienan Keragaman

Bobot lahir dan bobot sapih yang dibedakan berdasarkan umur induk, tipe kelahiran dan jenis kelamin anak dianalisa dengan menggunakan Uji-t student (Gasperz, 1995) dengan rumus :

2 2 1 1 X X S X X t 2 1 2 1 1 2 1 n n s SX X

(25)

12 keterangan : X1 = Rataan contoh yang pertama

X2 = Rataan contoh yang kedua

2

1 X

X

S = Simpangan baku antara contoh yang pertama dengan yang kedua

n1 = Jumlah contoh yang pertama

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi

Lokasi penelitian Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol terletak antara 106,53˚ BT dan 06,53˚ LS dengan ketinggian 145 m di atas permukaan laut. UP3 Jonggol berada di desa Singasari kecamatan Jonggol, kabupaten Bogor dengan batas-batas wilayah : sebelah Utara Kampung pasir, sebelah Barat Kampung Pangkalan Jemben, Sebelah Selatan kampung Pedes dan sebelah Timur Kampung Melati. Jarak lokasi penelitian dari kota Bogor sekitar ± 75 km. Unit Pendidikan dan penelitian peternakan Jonggol memiliki lahan peternakan seluas 169 hektar, terdiri atas padang rumput, bangunan kandang, kantor, laboratorium, gudang dan perumahan. Kondisi lingkungan UP3 Jonggol mengenai curah hujan, kelembaban udara dan suhu lingkungan bulan Juli dan Agustus 2007 terdapat pada Tabel 2. Kondisi di UP3 Jonggol ketika penelitian termasuk musim kemarau karena curah hujan yang rendah dan suhu lingkungan yang tinggi. Daerah UP3 Jonggol diberi pagar kawat pada batas tanah wilayah UP3 Jonggol dengan tanah di sekitar UP3 Jonggol. Pagar ini dibuat agar ternak milik UP3 Jonggol tidak keluar dari wilayah UP3 Jonggol dan ternak dari luar tidak bebas keluar masuk ke dalam wilayah UP3 Jonggol.

Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3 Jonggol Bulan Juli dan Agustus 2007

Kondisi Umum Bulan

Juli Agustus

Curah Hujan (mm) 8,5 159

Kelembaban (%) 91,7 89,63

Temperatur Min ( 0C ) 20,8 20,84

Temperatur Max ( 0C ) 31,75 32,42

Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol

Suhu lingkungan di UP3 Jonggol yang tinggi akan mengakibatkan ternak domba bisa stres dan menurunkan konsumsi pakan sehingga menurunkan performa reproduktivitas ternak. Yousef (1985) menyatakan bahwa suhu kritis pada anak domba yaitu diatas 320C dan suhu nyaman pada domba dewasa yaitu diatas 280C.

(27)

14 Ternak di UP3 Jonggol

Ternak di UP3 Jonggol terdiri dari domba, kerbau dan sapi. Populasi terbanyak adalah ternak domba yang digembalakan setiap hari yaitu sebanyak 611 ekor (308 betina dan 303 jantan). Domba diberi kandang untuk melindungi dari predator. Domba dikeluarkan pukul 10 pagi dan dimasukkan kembali ke kandang pukul 4 sore. Populasi Kerbau di UP3 Jonggol berjumlah 40 ekor. Kerbau tidak diberi kandang khusus dikarenakan kerbau di UP3 Jonggol ini masih termasuk liar. Sapi milik UP3 Jonggol berjumlah 3 ekor.

Kondisi Padang Rumput

Padang rumput yang dimiliki UP3 Jonggol terdiri atas Brachiaria

humidicola, Brachiaria decumbens, rumput alam dan campuran legum. Areal

pengembalaan dikelilingi dengan pagar kawat. Hal ini memudahkan pengamatan dan keamanan. Selain itu, terdapat beberapa pohon-pohon besar yang dapat digunakan untuk bernaung domba. Kondisi rumpur Brachiaria humidicola di padang rumput UP3 Jonggol pada waktu penelitian keadaannya kering. Hal ini dikarenakan terik matahari yang panas akibat musim kemarau atau padang rumput tersebut kekurangan zat hara.

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ternak adalah kesehatan ternak, pelaksanaan program pencegahan penyakit ternak sangat penting karena dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Jenis penyakit yang banyak terdapat pada domba di UP3 Jonggol adalah cacingan. Tindakan yang dilakukan oleh pihak pengelola UP3 Jonggol adalah pemberian obat cacing dan antibiotik. Pemberian obat dilakukan dengan cara memberikan langsung kepada ternak yang terinfeksi cacing yaitu melalui oral (mulut).

Status Reproduksi

Status reproduksi suatu peternakan dapat menggambarkan produktivitas ternak dari peternakan tersebut. Status peternakan dapat dilihat dari jumlah dan persentase domba betina yang bunting dan yang tidak bunting. Status reproduksi induk domba di UP3 Jonggol dapat dilihat pada Tabel 3.

(28)

15 Tabel 3 memperlihatkan 45,78% domba betina yang bunting dan 54,22% tidak bunting. Persentase tersebut lebih rendah daripada standar persentase pada domba Garut yang masih domba lokal yaitu sebesar 95% dari total induk yang dikawinkan (Heriyadi, 2007). Hal ini disebabkan tidak adanya teknologi canggih dalam pemeriksaan kebuntingan domba ketika penelitian. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi abdomen sehingga induk domba yang dapat dideteksi kebuntingannya induk dengan umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada UP3 Jonggol terdapat domba betina bunting yang berumur dibawah 1 tahun (I1) yaitu

sebanyak 8 ekor. Hal ini terjadi dikarenakan ternak digembalakan sehingga terjadi perkawinan antara pejantan dengan domba betina yang baru dewasa kelamin. Jumlah induk bunting terbanyak terdapat pada induk domba yang berumur I4 yaitu sebanyak

78 ekor (25,32%).

Tabel 3. Persentase Kebuntingan Induk Domba di UP3 Jonggol

Umur Induk Bunting Tidak Bunting Total (ekor)

n (ekor) % n (ekor) % I0 8 2,60 - - 8 I1 15 4,87 40 12,99 55 I2 21 6,82 26 8,44 47 I3 19 6,17 20 6,49 39 I4 78 25,32 81 26,30 159 Total (ekor) 141 45,78 167 54,22 308 Keterangan : n = jumlah induk

Jumlah induk yang melahirkan di UP3 Jonggol adalah sebanyak 81 ekor (57,49%). Persentase induk yang melahirkan di UP3 Jonggol lebih tinggi daripada hasil penelitian Malewa (2007) yang menyatakan bahwa persentase beranak domba Donggala di daerah Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru secara berturut-turut adalah 51,41%; 55,33%; dan 57,25%.

Tipe Kelahiran

Tipe kelahiran merupakan gambaran jumlah anak yang dilahirkan dari seekor induk domba. Jumlah anak yang berjumlah satu ekor disebut kelahiran tunggal dan lebih satu ekor anak disebut kelahiran kembar.

(29)

16 Gambar 1 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur induk kemungkinan untuk melahirkan anak kembar semakin besar. Kelahiran kembar tiga pada penelitian ini terjadi pada induk domba dengan umur I3 dan I4. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Adawiah (1993) yang melaporkan bahwa bertambahnya umur dan ulangan beranak induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran terutama induk berumur I3 dan I4 pada ulangan beranak kelima.

Gambar 1. Jumlah Induk yang Beranak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Hasil pengamatan induk domba yang beranak memperlihatkan bahwa kelahiran tunggal mempunyai persentase tertinggi (70,37%) daripada kelahiran kembar dua (27,16%) dan kelahiran kembar tiga (2,47%). Pada penelitian Erminawati (2003), induk domba Garut tipe pedaging diperoleh 34% kelahiran tunggal, 49,5% kelahiran kembar dua, 15,5% kelahiran kembar tiga dan 1% kelahiran kembar empat. Hasil penelitian Inounu et al. (1999) diperoleh 44,5% kelahiran tunggal; 37,6% kelahiran kembar dua; 14,5% kelahiran kembar tiga; 3,1% kelahiran kembar empat dan 0,3% kelahiran kembar lima. Tingginya kelahiran tunggal pada induk yang melahirkan bisa disebabkan karena tidak ada pelaksanaan

flushing pada induk. Blakely dan Bade (1994) menyatakan bahwa flushing pada

domba betina bisa meningkatkan terjadinya kelahiran kembar. Jumlah anak yang dilahirkan dari induk dipengaruhi oleh umur, pertambahan bobot badan induk, bangsa induk dan sistem manajemen (Dimsoski et al., 1999; Inounu et al., 1999).

Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) dari peneletian ini sebesar 1,32 ekor. Rataan JAS ini lebih rendah dibandingkan hasil Inounu et al. (1999) yaitu 1,77 ekor, begitu juga JAS dari hasil penelitian Tiesnamurti (2002) yaitu 1,98 ekor. Rataan JAS

0 5 10 15 20 25 Jumlah Induk I0 I1 I2 I3 I4 Umur Induk tunggal kembar 2 kembar 3

(30)

17 di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada rata-rata JAS domba tropis yaitu sebesar 1,36 ekor per kelahiran (Gatenby, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk serta pertambahan bobot badan induk (Tiesnamurti, 2002).

Tabel 4. Rataan Jumlah Anak Sekelahiran di UP3 Jonggol

Umur Induk Rataan Jumlah Anak Sekelahiran (ekor)

I1 1,15

I2 1,24

I3 1,39

I4 1,40

Rasio Jenis Kelamin Anak

Rasio jenis kelamin anak adalah persentanse anak jantan dan betina. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa jumlah anak betina lebih banyak daripada jantan dengan rasio kelahiran anak domba jantan dan betina yaitu 49,53% (n=53) : 50,47 (n=54). Menurut Sabrani et al. (1981) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin ternak domba yang ada di beberapa daerah antara jantan dan betina adalah sebagai berikut; 43,86% : 56,95% untuk perbandingan daerah Cirebon, 46,95% : 53,03% untuk perbandingan daerah Bogor dan 45,66% : 54,34% untuk daerah Garut. Berbeda dengan hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan lebih tinggi daripada anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Gatenby (1991) dan Wahyuzi (2005) mendapatkan rasio jenis kelamin anak pada domba Texel adalah 1 : 1.

Tabel 5. Rasio Jantan dan Betina berdasarkan Umur Induk Domba

Umur Induk Jantan Betina Total

N % n % n % I0 - - 2 100 2 1,87 I1 8 53,33 7 46,67 15 14,02 I2 13 50 13 50 26 24,30 I3 11 61,11 7 38,89 18 16,82 I4 21 45,65 25 54,35 46 42,99 Total 53 49,53 54 50, 47 107 100

(31)

18 Bobot Lahir

Bobot lahir anak merupakan salah satu faktor penting yang bisa memperlihatkan prestasi produksi dari seekor induk. Induk yang melahirkan anak dengan bobot lahir yang tinggi perlu dipertahankan untuk meningkatkan produktivitas dari peternakan tersebut. Bobot lahir lahir yang tinggi bisa memperlihatkan akan diperoleh bobot sapih yang tinggi pada anak domba. Informasi mengenai bobot lahir anak dapat dilihat dari Tabel 6.

Tabel 6. Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Umur

Induk

Rataan Bobot Lahir Total

Tunggal Kembar 2 Kembar 3

I0 Rataan (kg) - 1,26A±0,42 - 1,26±0,42 n (ekor) - 2 - 2 KK (%) - 33,67 - 33,67 I1 Rataan (kg) 1,82Aa±0,54 1,86Aa±0,63 - 1,83±0,54 n (ekor) 11 4 - 15 KK (%) 29,56 33,74 - 29,49 I2 Rataan (kg) 2,00ABa±0,51 1,61Aa±0,33 - 1,85±0,48 n (ekor) 16 10 - 26 KK (%) 25,61 20,42 - 25,98 I3 Rataan (kg) 2,42Ba±0,62 1,32Ab±0,44 1,47b±1,72 1,90±0,73 n (ekor) 9 6 3 18 KK (%) 25,50 33,24 11,70 38,43 I4 Rataan (kg) 2,26Ba±0,56 1,76Ab±0,39 1,54b±0,19 1,97±0,53 n (ekor) 21 22 3 46 KK (%) 24,72 22,08 12,39 27,04 Total Rataan (kg) 2,13±0,58 1,65±0,43 1,51±0,17 1,90±0,56 n (ekor) 57 44 6 107 KK (%) 27,08 25,87 11,06 29,45

Keterangan : - Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

- Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rataan bobot lahir secara umum adalah 1,90±0,56 kg. Bobot lahir anak domba di UP3 Jonggol lebih rendah daripada Inounu et al. (1999) yang melaporkan bahwa bobot lahir domba prolifik 3,43±1 kg, serta lebih rendah juga bobot lahir anak

(32)

19 domba Priangan pada penelitian Nafiu (2003) yaitu 4,87±1,38 kg. Bobot lahir anak di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada standar bobot lahir domba Garut yang masih domba lokal Indonesia yaitu sebesar 2,0-3,2 kg (Heriyadi, 2007) dan lebih rendah dari bobot lahir domba tropis Awassi yaitu 3,6 kg dan Blackhead Persian yaitu 2 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot lahir pada domba milik UP3 Jonggol erat hubungannya dengan bobot induk yang rendah. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan manajemen pemberian pakan yang kurang baik dan Inounu et al. (1999) berpendapat induk domba dengan bobot yang rendah akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah juga. Rataan bobot lahir tertinggi terdapat pada induk domba yang mempunyai umur I3 dengan tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 2,42±0,51 kg.

Hasil analisis uji-t pada tabel 6 menunjukkan bahwa tipe kelahiran dan umur induk mempengaruhi bobot lahir anak domba. Hal ini terlihat adanya perbedaaan bobot lahir anak pada umur induk dan tipe kelahiran berbeda. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dudi (2002) dan Inounu et al., (1999) yang menyatakan bahwa tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak.

Perbedaan rataan bobot lahir dapat terjadi karena perkembangan janin yang berbeda dalam rahim induk. Devendra and McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 dan kembar 3. Adanya pengaruh antara tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak domba kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta (Hinch et al., 1983).

Tabel 7. Rataan Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Umur Induk Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK(%) I0 - - - 1,26±0,42 2 33,67 I1 2,03± 0,57 8 28,22 1,61±0,43 7 26,78 I2 1,86±0,47 13 25,03 1,84±0,51 13 27,95 I3 1,71±0,66 11 38,58 2,17±0,79 7 35,92 I4 2,04± 0,54 21 26,72 1,92±0,53 25 27,59 Total 1,92±0,56 53 28,91 1,87±0,56 54 30,21

(33)

20 Hasil uji-t menunjukkan bahwa jenis kelamin pada penelitian ini tidak mempengaruhi bobot lahir anak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba Texel. Hal ini disebabkan oleh nilai keragaman yang tinggi. Rataan bobot lahir anak domba berdasarkan umur induk domba dan jenis kelamin anak ditampilkan pada tabel 7.

Bobot Sapih

Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya. Bobot sapih anak menggambarkan produksi susu dari induk, biasanya produksi susu induk yang tinggi dapat menghasilkan bobot sapih anak yang lebih tinggi. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman bobot sapih domba lokal di UP3 Jonggol berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tabel 8.

Tabel 8. Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Umur

Induk

Tipe Kelahiran Total

Tunggal Kembar 2 I0 Rataan (kg) - 3,46 3,46 n (ekor) - 1 1 KK (%) - I1 Rataan (kg) 4,03A±0,98 7,15 4,75±1,51 n (ekor) 6 1 7 KK (%) 27,02 31,71 I2 Rataan (kg) 5,44AB±2,32 5,29A±1,22 5,58±1,62 n (ekor) 4 4 8 KK (%) 35,48 23,13 28,93 I3 Rataan (kg) 7,81B±2,96 4,88A±2,09 6,58±2,24 n (ekor) 8 2 10 KK (%) 31,13 42,79 33,96 I4 Rataan (kg) 5,47B±1,45 4,20A±1,04 5,67±1,67 n (ekor) 17 7 24 KK (%) 27,83 29,17 29,46 Total Rataan (kg) 5,95±1,90 5,01±1,42 5,67±1,81 n (ekor) 35 15 50 KK (%) 31,95 28,35 31,92

Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama adalah nyata (P<0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih secara umum adalah 5,67±1,81 kg. Hasil ini lebih rendah dibandingkan bobot sapih domba Garut di desa

(34)

21 Sukawargi sebesar 11,6±2,00 kg (Wisnuwardani, 2000) dan rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12±4,33 kg serta lebih rendah daripada standar bobot sapih domba Garut yaitu sebesar 8-10 kg. Bobot sapih anak di UP3 Jonggol juga lebih rendah dari bobot sapih domba tropis tipe Rainforest yaitu 8,4 kg, domba Deccani yaitu 7-9 kg dan domba Blackhead Persian yaitu 8-10 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot sapih anak di UP3 Jonggol disebabkan bangsa berbeda, umur induk, manajemen, dan pakan yang kurang baik serta waktu penyapihan yang berbeda. Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh genotipe dan manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik akan meningkatkan bobot sapih total per induk pada semua genotipe. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa manajemen pemberian pakan yang baik dan waktu penyapihan anak domba yang tepat akan memberikan manfaat positif untuk pertumbuhan anak.

Rataan bobot sapih tertinggi pada tabel 8 berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 5,95±1,90 kg. Hal ini disebabkan bobot lahir individu yang tinggi dan ketika menyusu pada induk tidak ada persaingan antara sesama anak domba sehingga anak domba memperoleh susu induk secara optimal. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Dudi (2002) yaitu bobot sapih kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar.

Berdasarkan uji-t terlihat pada tabel 8 bahwa umur induk mempengaruhi (P<0.05) bobot sapih anak. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh umur sapih dan umur induk dan Inounu (1996) menyatakan bahwa bertambah dewasanya induk diiringi pula dengan meningkatnya kemampuan untuk merawat anaknya sehingga dihasilkan bobot sapih anak yang meningkat pada semua tingkat manajemen. Bobot sapih tertinggi tercapai pada paritas ke empat dan menurun kembali pada paritas ke lima. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan (Bell, 1984). Tetapi berbeda dengan Tiesnamurti et al., (1985) berpendapat bahwa bobot sapih dan pertumbuhan anak sampai disapih, sangat dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, tetapi pengaruh bangsa jenis kelamin dan umur induk tidak begitu mempengaruhi bobot sapih.

(35)

22 Hasil uji-t rataan bobot sapih tidak dipengaruhi oleh tipe kelahiran. Hal ini bisa disebabkan tidak ada perlakuan khusus kepada anak domba seperti pemberian pakan tambahan dan produksi susu yang mengakibatkan pertumbuhan anak tidak terlalu jauh berbeda. Tiesnamurti et al. (2002) menyatakan bahwa produksi susu mempengaruhi pertumbuhan anak prasapih. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa induk domba yang melahirkan kembar lebih dari tiga akan memproduksi susu yang lebih banyak untuk membesarkan anak-anaknya. Adakalanya anak domba dengan bobot lahir yang rendah bisa tumbuh dengan cepat. Dari pernyataan ini, anak domba yang lahir dengan pertumbuhan lebih cepat bisa menyamai bobot sapih pada anak domba yang berat sehingga mengakibatkan rataan bobot sapih pada anak domba antar tipe kelahiran dengan umur induk yang sama tidak berbeda.

Hasil uji-t pada tabel 9 memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi terhadap bobot sapih anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak domba. Hal ini diduga oleh tingginya koefisien keragaman sebesar 31,92 %. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan adanya silang dalam atau perkawinan sesama kerabat dalam satu bangsa, karena sistem perkawinan di UP3 Jonggol adalah perkawinan alam atau perkawinan pada ternak domba dengan manajemen yang kurang.

Tabel 9. Rataan Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Umur Induk Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK (%) I0 - - - 3,46 1 - I1 5,22±1,42 4 27,30 4,13±1,66 3 40,19 I2 5,36±0,77 2 14,39 5,66±1,87 6 33,08 I3 6,63±2,42 5 36,48 6,54±2,32 5 35,52 I4 6,05±1,91 9 31,52 5,45±1,54 15 28,25 Total 5,96±1,84 20 30,90 5,47±1,79 30 32,73

(36)

23 Mortalitas Anak

Mortalitas (tingkat kematian) anak adalah persentase kematian anak yang didapat dari jumlah anak yang mati dibagi jumlah anak yang dilahirkan. kematian anak ini memperlihatkan berapa besar daya hidup anak setelah dilahirkan. Informasi kematian anak di UP3 Jonggol dapat dilihat pada tabel 10.

Tingkat kematian anak domba secara umum di UP3 Jonggol adalah sebesar 21,50%. Tingkat kematian anak di UP3 Jonggol ini lebih rendah daripada hasil penelitian Inounu (1996) yaitu sebesar 26,07% dan lebih tinggi daripada tingkat kematian anak (mortalitas) didaerah tropis sebesar 20% (Devendra dan McLeroy, 1982). Menurut Inounu (1996) keragaman tingkat kematian anak dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajemen, paritas induk. Pada paritas pertama induk mempunyai daya hidup anak 11% lebih rendah dibandingkan pada paritas kedua.

Mortalitas tertinggi anak domba berdasarkan umur induk dan tipe kelahiran yaitu induk I4 dengan kelahiran kembar 3. Hasil penelitian Putu (1989) yaitu tingkat

kematian anak kelahiran kembar lebih tinggi dibandingkan anak kematian tunggal. Bila dibandingkan dengan hasil Putu (1989) kematian anak kelahiran tunggal di UP3 Jonggol lebih tinggi (24,5%) dan kematian anak kelahiran kembar di UP3 Jonggol lebih tinggi (3,9%). Tingkat kematian anak bisa terjadi karena adanya persaingan untuk mendapatkan air susu induk antara anak domba dan induk tidak mau menyusui anaknya. Sehingga salah satu dari anak domba kekurangan kebutuhan dari air susu induk.

Tabel 10. Jumlah Anak yang Mati dan Persentase Kematian Anak Umur

Induk

Jumlah Anak Yang Mati (ekor)

Tunggal % Kembar 2 % Kembar 3 %

I0 - - 1 50 - - I1 3 27,27 1 25 - - I2 1 6,25 1 10 - - I3 1 11,11 3 50 2 66,67 I4 2 9,52 5 22,73 3 100 Total 7 12,28 11 25 5 83,33

Dari tabel 10 terlihat juga bahwa persentase kematian anak meningkat sejalan dengan meningkatnya tipe kelahiran anak yaitu 12,28 %, 25 %, dan 83,33 %.

(37)

24 Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tipe kelahiran, maka peluang kematian anak semakin besar. Gatenby (1991) menyatakan bahwa induk domba yang mempunyai anak per kelahiran yang lebih tinggi, tingkat kematian yang dilahirkan lebih tinggi dibandingkan dengan induk domba yang melahirkan tunggal.

Kematian anak domba di UP3 Jonggol selama penelitian sering terjadi pada umur 1-7 hari. Inounu et al. (1999) menyatakan kematian anak domba prasapih sering terjadi pada umur antara 1-6 hari setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh bobot lahir yang rendah, tingkah laku menyusu induk (mothering ability) dan adaptasi terhadap lingkungan. Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran dan tingkah laku menyusu induk serta manajemen. Umumnya anak domba di UP3 Jonggol mati dikarenakan induk yang tidak mengakui anaknya sehingga anak domba tidak mendapatkan susu dari induknya. Penyebab lain matinya anak domba disebabkan karena terperosok di kandang karena adanya celah lantai kandang yang luas dan dimakan anjing ketika domba digembalakan di padang rumput.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Bobot lahir anak di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol dipengaruhi oleh tipe kelahiran dan umur induk namun tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Rataan umum bobot lahir di UP3 Jonggol adalah 1,90±0,56 kg. Rataan bobot lahir di UP3 Jonggol masih lebih rendah dibandingkan dengan bobot lahir bangsa domba tropis Garut, Awassi dan Blackhead Persian. Bobot lahir anak domba terbaik berdasarkan umur induk dan tipe kelahiran terdapat pada anak domba dengan umur induk I3 dan tipe kelahiran tunggal dengan bobot lahir 2,42±510 kg. Bobot

sapih anak dipengaruhi umur induk tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kelahiran dan jenis kelamin. Rataan umum bobot sapih di UP3 Jonggol adalah 5,67±1,81 kg. Rataan bobot sapih di UP3 Jonggol masih lebih rendah dibandingkan dengan bobot sapih bangsa domba tropis lainnya (Garut, Rainforest, Deccani dan domba Blackhead Persian). Rataan bobot sapih anak domba terbaik berdasarkan umur induk dan tipe kelahiran terdapat pada anak domba dengan umur induk I3 dan tipe kelahiran

tunggal yaitu 7,81±2,96 kg. Persentase induk domba yang beranak terbesar adalah kelahiran tunggal (70,37%) yang diikuti dengan kelahiran kembar dua (27,16%) dan kelahiran kembar tiga (2,47%). Rasio jenis kelamin anak jantan dengan betina adalah 49,53% : 50,47%. Mortalitas anak di UP3 Jonggol sebesar 21,50%. Mortalitas di UP3 Jonggol lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas anak domba di daerah tropis. Mortalitas anak meningkat seiring dengan meningkatnya tipe kelahiran. Mortalitas tertinggi terdapat pada kelahiran kembar tiga (83,33%) yang disusul kelahiran kembar dua (25%) dan tunggal (12,28%).

Saran

Perlu peningkatan recording di UP3 Jonggol untuk mengetahui potensi dari ternak domba serta peningkatan manajemen untuk lebih meningkatkan performa reproduksi induk domba lokal sebagai sumber plasma nutfah. Selain itu juga perlu penelitian di musim hujan untuk melihat pengaruh musim terhadap performa reproduksi induk domba.

(39)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Dan tidak lupa shlawat dan salam semoga tercurahkan selalu bagi junjungan kita Rasulullah SAW.

Kepada Ayah dan Ibu yang penulis hormati dan sayangi, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kasih sayang, dorongan dan kepercayaan yang diberikan selama ini. Juga, kepada Ir. R. Bambang Pangestu M.Si. sebagai pembimbing akademik, Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. sebagai pembimbing utama dan Ir. Sri Rahayu, M.Si. sebagai pembimbing anggota yang telah membimbing, mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc. dan Ir. Kukuh Budi Santoso, MS. yang telah menguji dan memberi masukan dalam penulisan skripsi ini.

Terima kasih juga kepada tim pengelola UP3 Jonggol yaitu pak Koheri, pak Karman, pak Widodo dan semua pegawai pengelola di UP3 Jonggol. Penulis juga sampaikan ucapan terima kasih kepada teman satu tim penelitian yang telah banyak membantu dalam penelitian penulis. Selain itu, penulis ingin memberikan ucapan terima kasih kepada teman-teman satu kost serta teman-teman, abang dan kakak satu daerah Tapanuli Selatan khususnya angkatan 41.

Penulis juga mengucapkan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada sahabat-sahabat da teman-teman yang ada di TPT 41 yang telah banyak membantu saya, sebelum dan sesudah penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap semoga skripsi bisa berguna bagi siapa saja yang membutuhkannya. Amin.

Bogor, Mei 2008

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, I. K. , 1981 . Beberapa ciri populasi kambing di desa Ciburuy dan Cigombong serta kegunaannya bagi peningkatan produktifitas. Disertasi Doktor, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Adawiah, D. R. 1993. Penampilan reproduksi ternak induk domba lokal di pedesaan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bell, A. W. 1984. Factors Controlling Placental and Foetal Growth and Their Effet on Future Production. In : Reproduction in Sheep. Lindsay, D. R. and D. T. Pearel (Ed.). Cambridge University Press, Cambridge. Pp. 144-145.

Blakely, J. dan Bade, D. H. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Campbell, J. R., M. D. Kenealy, dan K. L. Campbell. 2003. Animal Science. 4th ed. The Biology, care, and production of domestic animals. McGraw-Hill Companies, Inc. New York.

Devendra, C. dan G. B. McLeroy . 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. 1st Ed. Oxford University Press, Oxford.

Dimsoski, P., J. Tosh, J. C. Clay dan K. M. Irvin. 1999. Influence of management system on litter size, lamb growth, and carcass characteristics in sheep. J. Anim. Sci. 77: 1037-1043.

Dudi. 2002. Analisis Pengaruh efek tetap terhadap bobot badan prasapih domba priangan. Jurnal Ilmu Ternak 2(2) : 75-78.

Ensminger, M. E. 2002. Sheep and Goat Science. 6th ed. Interstate Publisher Inc. United States of America.

Erminawati. 2003. Performa reproduksi dan dinamika populasi domba Garut tipe pedaging dan tangkas di kabupaten Garut. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Einstiana, A. 2006 Studi keragaman fenotipik dan pendugaan jarak genetik antar domba lokal di Indonesia. Skripsi, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gasperz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung. Gatenby, R. M. 1991. Sheep. The Tropical Agriculturalist. Mac Millan Education

Ltd. London and Basingtoke.

Hadjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya.

Hardjosubroto. 1994. Aplikasi Pemultibiakan Ternak di Lapangan. Grasindo, Jakarta. Heriyadi, D. 2007. Standarisasi Plasma Nutfah Mutu Bibit Domba Garut. Fakultas

(41)

28 Hinch, G. N., R. W. Kelly, J. I. Owens dan S.F. Croble. 1983. Pattern of Lamb Survival High Fecundity Boorola Flocks. Proc. Of The N. Z. Soc. Animal. Prod. 43 : 29-32.

Inounu, I. B., B. Tiesnamurti, Subandriyo dan H. Martojo. 1999. Produksi anak pada domba prolifik. Jurnal Ilmu Ternak 4(3): 25-38.

Inounu, I. 1996. Keragaan produksi ternak induk domba prolifik. Disertasi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, bogor.

Malewa, A. DG. 2007. Karakteristik fenotipe dan jarak genetik domba Donggala di tiga lokasi di Sulawesi Tengah. Tesis. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, bogor.

Nafiu, L. O. 2003. Evaluasi genetik domba Priangan dan persilangannya dengan St. Croix dan Multon Charollais. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Partodihardjo, S., I. Supriyatna, D. Patunru, Hardiyanto, dan Y. D. Wijaya. 1983. Produksi domba melalui obat perangsang birahi, kelahiran kembar dan inseminasi buatan dengan mani beku atau cair tahap satu dan dua. Laporan Penelitian. Departemen Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Putu, I. G. 1989. Tingkat makanan yang rendah pada akhir masa kebuntingan mempengaruhi sifat keindukan dan menaikkan angka kematian anak domba kelahiran kembar. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Sabrani, M., P. Sitorus, M. Rangkuti, Subandryo, I. W. Mathius, Soedjana dan A. Samali. 1981. Laporan Survey Baseline Ternak Kambing dan Domba. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Tiesnamurti, B. 2002. Kajian genetik terhadap induk domba Priangan peridi ditinjau dari aspek kuantitatif dan molukuler. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tiesnamurti, I. Inounu, P. Sitorus and Subandriyo. 1985. Pre-Weaning performance of Javanese lamb. Working Paper, no. 42. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Toelihere, M. R. 1985. Fisisologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Wahyuzi. 2005. Produktivitas domba Texel pada pemeliharaan intensif di dusun

Klowoh kecamatan Kalikajar kabupaten Wonosobo. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wisnuwardani, D. W. 2000. Pola pertumbuhan anak domba garut pra sapih pada berbagai tipe kelahiran di desa Sukawargi kecamatan Cisurupan kabupaten Garut. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yousef, M. K. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. II. CRC. Press. Inc. Florida.

(42)
(43)

30 Lampiran 1. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe Kelahiran tunggal dengan

kembar 2 pada Umur Induk I1, I2, I3, dan I4

Umur Induk Tipe Kelahiran Tunggal Kembar 2 P I1 1,82±0,54 1,86±0,63 0,923 I2 1,99±0,51 1,61±0,33 0,032 I3 2,42±0,62 1,32±0,44 0,002 I4 2,26±0,56 1,76±0,34 0,002

Lampiran 2. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur Induk I3 dan I4.

Umur Induk

Rataan Bobot Lahir

Tunggal Kembar 3 P I3 2,42±0,51 1,47±1,72 0,003 I4 2,26±0,56 1,54±0,19 0,002 Kembar 2 Kembar 3 P I3 1,32±0,44 1,47±1,72 0,493 I4 1,76±0,39 1,54±0,19 0,188

Lampiran 3. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Umur Induk I0, I1, I2, I3 dan I4 pada

tipe kelahiran kembar 2. Tipe kelahiran Umur Induk I0 I1 P Kembar 2 1,26±0,42 1,86±0,63 0,261 I0 I2 P Kembar 2 1,26±0,42 1,61±0,33 0,466 I0 I3 P Kembar 2 1,26±0,42 1,32±0,44 0,886 I0 I4 P Kembar 2 1,26±0,42 1,76±0,39 0,355

(44)

31 Lampiran 4. Uji-t Bobot Lahir Anak antar Umur Induk dengan Tipe

Kelahiran Tunggal dan Kembar 2. Tipe kelahiran Umur Induk I1 I2 P Tunggal 1,82±0,54 1,99±0,51 0,428 Kembar 2 1,86±0,63 1,61±0,33 0,511 I1 I3 P Tunggal 1,82±0,54 2,42±0,51 0,038 Kembar 2 1,86±0,63 1,32±0,44 0,212 I1 I4 P Tunggal 1,82±0,54 2,26±0,56 0,042 Kembar 2 1,86±0,63 1,76±0,39 0,774 I2 I3 P Tunggal 1,99±0,51 2,42±0,62 0,099 Kembar 2 1,61±0,33 1,32±0,44 0,199 I2 I4 P Tunggal 1,99±0,51 2,26±0,56 0,134 Kembar 2 1,61±0,33 1,76±0,39 0,292

Lampiran 5. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur Induk I3 dan I4 Tipe kelahiran Umur Induk I3 I4 P Tunggal 2,42±0,51 2,26±0,56 0,524 Kembar 2 1,32±0,44 1,76±0,39 0,064 Kembar 3 1,47±0,17 1,54±0,19 0,684

(45)

32 Lampiran 6. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Jantan dengan Betina pada Umur

Induk yang berbeda. Umur Induk Jenis kelamin Rataan (kg) Rataan (kg) P I0 - 1,26±4,24 - I1 2,03±0,57 1,61±0,43 0,126 I2 1,86±0,47 1,84±0,51 0,908 I3 1,71±0,66 2,19±0,79 0,211 I4 2,04±0,54 1,92±0,53 0,474

Lampiran 7. Uji-t Bobot Lahir Anak Jantan pada Umur Induk I1, I2, I3, dan I4

Umur Induk I1 I2 P 2,03±0,57 1,86±0,47 0,479 I1 I3 P 2,03±0,57 1,71±0,66 0,274 I1 I4 P 2,03±0,57 2,04±0,54 0,988 I2 I3 P 1,86±0,47 1,71±0,66 0,546 I2 I4 P 1,86±0,47 2,04±0,54 0,315 I3 I4 P 1,71±0,66 2,04±0,54 0,178

(46)

33 Lampiran 8. Uji-t Bobot Lahir Anak Betina pada Umur Induk I0, I1, I2, I3, dan

I4. Umur Induk I0 I1 P 1,26±0,42 1,61±0,43 0,496 I0 I2 P 1,26±0,42 1,84±0,51 0,334 I0 I3 P 1,26±0,42 2,19±0,79 0,116 I0 I4 P 1,26±0,42 1,92±0,53 0,286 I1 I2 P 1,61±0,43 1,84±0,51 0,307 I1 I3 P 1,61±0,43 2,19±0,79 0,121 I1 I4 P 1,61±0,43 1,92±0,53 0,132 I2 I3 P 1,84±0,51 2,19±0,79 0,317 I2 I4 P 1,84±0,51 1,92±0,53 0,630 I3 I4 P 2,19±0,79 1,92±0,53 0,429

Lampiran 9. Uji-t Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran. Umur Induk Tipe Kelahiran Tunggal Kembar 2 P I1 4,03±0,98 7,15 - I2 5,44±2,32 5,29±1,22 0,647 I3 7,81±2,96 4,88±2,09 0,421 I4 5,47±1,45 4,20±1,04 0,090

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tugas akhir ini akan direncanakan struktur jembatan menggunakan busur rangka batang baja yang melewati sungai Grindulu, Kabupaten Pacitan dengan bentang total 354

Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi

Biji dari tanaman dikotil yang lambat perkecambahnnya yaitu kacang tanah, dimana pada umur 7 hari baru menunjukan panjang radikula 1,5 cm.. Kacang Hijau menunjukan perkecambahan yang

Seluruh sks atau mata kuliah harus ditransfer sesuai surat pernyataan yang ditandatangani oleh PT di proposal (Learning Agreement) bahwa seluruh kredit yang diambil

institusi petani menjadi institusi ekonomi petani. Namun sejauh ini belum bekerja seperti yang diharapkan. 4) hasil analisis indikator peubah kegiatan penyuluhan berada

Karsinoma serviks terbanyak ditemukan pada pasien yang berusia 45 – 49 tahun, paritas &gt; 2, ibu rumah tangga, bersuami petani, domisili di Padang, jenis

Dalam bab ini akan membahas tentang kerangka teoritis yang mendukung dan menjelaskan hah-hal yang berkaitan dengan penelitian seperti Teori Penalaran Moral dan

Pengaruh konsentrasi pemberian 17α -MT pada pakan larva ikan nilem terhadap persentase kelamin jantan yang diukur maka digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan