• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Pedaging dan Kerja (kandang B), Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor adalah tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian. Kandang B terdiri dari empat bangunan, satu bangunan sebagai kantor atau untuk berbagai kegiatan yang menunjang selama penelitian dan tiga bangunan lainnya merupakan kandang domba. Penelitian ini menggunakan salah satu kandang yang didalamnya terdapat 30 kandang individu dengan masing-masing kandang individu berukuran 125x55x110 cm. Alas kandang terdiri dari kayu papan yang diatur sejajar dengan jarak antar papan kurang lebih 2cm agar kotoran dapat jatuh kebawah kandang. Setiap kandang individu dilengkapi bak pakan dan ember tempat air minum.

Suhu dan kelembaban kandang rata-rata 24,84±0,97 ºC dan 94,00±3,16%. Walaupun cukup panas, tetapi kandang memiliki sirkulasi udara yang cukup baik karena adanya atap monitor dan keempat dinding yang setengah bagian terbuka. Selama penelitian, semua domba yang digunakan mengalami pertumbuhan dengan baik. Pada saat laktasi terdapat salah satu domba yang sakit, namun kondisinya dapat membaik kembali.

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Rataan konsumsi bahan kering konsentrat, rumput, dan ransum serta konsumsi bahan kering persen bobot badan selama penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 3.

Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering ransum domba induk pada saat bunting maupun laktasi. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering rumput (P<0,01) dan konsentrat (P<0,05) pada saat bunting maupun laktasi.

Tabel 3. Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba Induk Status Fisiologi Konsumsi Bahan Kering Perlakuan Rataan P1 P2 P3 Bunting Rumput (g/e/h)1) 192,68±7,99A 185,06±2,27B 149,42±13,00C 175,72±23,09 Konsentrat (g/e/h)2) 377,58±34,23b 364,54±3,50b 442,88±51,60a 395,00±41,98 Ransum (g/e/h) 570,25±38,72 549,61±3,98 592,31±60,83 570,72±17,4 (%BB) 2,36 2,25 2,29 2,30 Rasio Rumput:Konsentrat 34:66 34:66 25:75 31:69 Laktasi Rumput (g/e/h)1) 238,54±4,48a 221,29±13,19b 173,54±7,39c 211,12±33,67 Konsentrat (g/e/h)2) 489,76±8,78b 466,13±33,58b 602,73±59,44a 519,54±73,00 Ransum (g/e/h) 728,30±13,26 687,41±46,21 776,27±55,46 730,66±36,3 (%BB) 2,67 2,76 2,78 2,74 Rasio Rumput:Konsentrat 33:67 32:68 22:78 29:71

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. 1) Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01). 2) Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi bahan kering rumput menurun seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Sebaliknya, konsumsi bahan kering konsentrat meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan energi ransum. Hal tersebut disebabkan konsentrat diberikan terlebih dahulu dibandingkan rumput, sehingga domba mengonsumsi konsentrat untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, domba lebih menyukai konsentrat dibandingkan rumput. Hal tersebut terlihat pada rasio rumput:konsentrat yang dikonsumsi yaitu rata-rata sebesar 31 : 69 pada saat bunting dan 29 : 71 pada saat laktasi. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa ternak lebih memilih pakan yang memiliki kualitas baik.

Konsumsi bahan kering konsentrat dipengaruhi oleh rasio rumput:konsentrat yang diberikan, baik saat bunting maupun laktasi. Konsumsi bahan kering konsentrat P3 lebih besar dibandingkan P1 dan P2. Hal tersebut disebabkan rasio rumput:konsentrat pada P3 lebih rendah dibandingkan P1 dan P2. Sulistyowati

(1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternyata mampu meningkatkan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering konsentrat P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 377,58±34,23, 364,54±3,50, dan 442,88±51,60 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 489,76±8,78, 466,13±33,58, dan 602,73±59,44 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan bahwa domba lokal yang berasal dari Jonggol pada saat bunting dapat mengonsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering konsentrat domba ekor tipis yang sedang laktasi yang diberi pakan dengan TDN 65 dan 75% berkisar 389-562 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat yang melebihi 320 gram/hari pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Sementara itu, Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah. Konsumsi bahan kering rumput P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 192,68±7,99, 185,06±2,27, dan 149,42±13,00 gram/ekor/hari pada saat bunting serta 238,54±4,48, 221,29±13,19, dan 173,54±7,39 gram/ekor/hari pada saat laktasi. Sitepu (2011) melaporkan konsumsi bahan kering rumput saat domba bunting yaitu berkisar 207,57-216,81 gram/ekor/hari. Sementara, konsumsi bahan kering rumput domba ekor tipis yang sedang laktasi berkisar 138,31-377,77 gram/ekor/hari (Frimawaty, 1998).

Konsumsi bahan kering ransum domba induk saat laktasi lebih besar dibandingkan saat bunting. Rataan konsumsi bahan kering ransum domba induk saat bunting dan laktasi yaitu sebesar 570,72±17,4 dan 730,66±36,3 gram/ekor/hari atau setara dengan 2,30 dan 2,74 persen bobot badan. Perbedaan tersebut disebabkan pada saat laktasi, kebutuhan nutrisi domba sangat tinggi dibandingkan fase lainnya. Perpindahan metabolit yang sangat cepat dari darah untuk memproduksi susu dan kebutuhan nutrisi untuk perbaikan organ reproduksi setelah melahirkan merupakan

hal yang menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi tinggi (Forbes, 2007). Selain itu, adanya fetus membuat volume rumen menjadi kecil sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering menjadi terbatas (Freer dan Dove, 2002). Marai et al. (2007) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering. Suhu yang rendah dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Pada penelitian ini, suhu lingkungan saat domba bunting rata-rata sebesar 26 oC dan pada saat laktasi rata-rata sebesar 25 oC (BMKG, 2010). Walaupun terdapat perbedaan suhu yang tidak besar, namun perbedaan suhu dapat mempengaruhi ransum yang dikonsumsi sehingga menyebabkan konsumsi bahan kering saat laktasi lebih tinggi dibandingkan saat bunting. Abdalla et al. (2003) menyatakan bahwa domba laktasi lebih tahan suhu panas dibandingkan domba bunting. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi bahan kering ransum penelitian ini lebih besar dibandingkan penelitian (Nugroho, 2010), bahwa domba bunting yang yang digembalakan di Jonggol hanya mengonsumsi bahan kering sebesar 426,15 gram/ekor/hari pada musim kemarau dengan suhu lingkungan mencapai 32 oC. Marai et al. (2001) menyatakan bahwa domba akan mengalami stres panas yang rendah pada temperatur kurang dari 22,2 o

C, stres panas yang sedang pada temperatur 22,2-23,3 oC, stres panas yang tinggi pada temperatur 23,3-25,6 oC, dan stres yang ekstrem pada temperatur diatas 25,6 oC. Konsumsi bahan kering ransum penelitian lebih rendah bila dibandingkan standar kebutuhan nutrisi domba. Kebutuhan nutrisi domba yang sedang bunting dengan bobot badan 20 kg dan pertambahan bobot badan 50 g/hari dapat mengonsumsi bahan kering sebesar 660 g/hari atau 3,3 persen bobot badan dan saat laktasi pada bobot badan yang sama dengan pertambahan bobot badan 5 g/hari dapat mengonsumsi bahan kering sebesar 990 g/hari atau 5 persen bobot badan (Kearl, 1982). Forbes (2007) menyatakan bahwa besarnya tingkat konsumsi dapat dipengaruhi oleh genetik ternak, kualitas dan kuantitas pakan yang digunakan, status fisiologi serta lingkungan.

Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum Domba

Pola konsumsi bahan kering domba terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering selama Pemeliharaan

Pada Gambar 2, rataan konsumsi bahan kering dari ketiga perlakuan meningkat secara perlahan dari awal hingga bulan ke-4 kebuntingan. Kemudian meningkat dengan cepat hingga bulan ke-6 (awal laktasi). Namun, pada P2 konsumsi bahan kering meningkat cepat baru dimulai pada bulan ke-5 atau setelah beranak hingga bulan ke-6. Hal ini disebabkan P2 memiliki rata-rata fetus kembar, sehingga konsumsinya terbatas. Pada akhir laktasi (bulan ke-7), konsumsi bahan kering konstan. Konsumsi yang meningkat cepat yang dimulai pada bulan ke-4 hingga bulan ke-6 disebabkan konsumsi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan fetus yang sangat cepat pada waktu tersebut (Saun, 2011) dan untuk memenuhi kebutuhan tingginya produksi susu hingga awal laktasi (Pulina, 2004). Puncak laktasi biasanya terjadi pada awal laktasi yaitu hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998) atau sekitar minggu ke-3 sampai ke-4 laktasi (Poli, 1998). Konsumsi akan normal pada bulan ke-2 laktasi karena pada saat tersebut produksi susu telah menurun (Forbes, 2007).

Konsumsi Zat Makanan Ransum

Konsumsi zat makanan domba yang mendapatkan ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi Zat Makanan Induk Domba yang Mendapat Perlakuan Berbeda Selama Bunting dan Laktasi

Perlakuan Zat Makanan

BK Abu LK PK SK Ca P TDN Bunting P1 (g/e/h) 570,25 54,23 49,80 84,83 70,93 7,96 0,69 387,72 (%) 67,99 6,47 5,94 10,11 8,46 0,95 0,08 68,00 P2 (g/e/h) 549,61 59,77 60,28 102,32 70,78 4,99 0,34 393,67 (%) 64,81 7,05 7,11 12,07 8,35 0,59 0,04 71,63 P3 (g/e/h) 592,31 42,05 44,40 98,52 62,48 4,03 0,73 444,86 (%) 70,14 4,98 5,26 11,67 7,40 0,48 0,09 75,11 Laktasi P1 (g/e/h) 728,30 69,68 63,98 108,68 89,37 10,29 0,89 496,52 (%) 67,99 6,51 5,97 10,15 8,34 0,96 0,08 68,17 P2 (g/e/h) 687,41 75,54 76,25 129,02 86,94 6,33 0,43 494,74 (%) 64,73 7,11 7,18 12,15 8,19 0,60 0,04 72,00 P3 (g/e/h) 776,27 55,51 58,83 130,55 78,11 5,39 0,98 588,67 (%) 70,21 5,02 5,32 11,81 7,06 0,49 0,09 75,83

Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%. BK = Bahan Kering, LK = Lemak Kasar, PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar.

Berdasarkan konsumsi bahan kering, kandungan zat makanan yang dikonsumsi tidak sama dengan yang diharapkan, terutama yaitu kandungan TDN. Kandungan TDN yang dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan rasio rumput : konsentrat yang dikonsumsi berbeda dengan yang diharapkan. Konsumsi konsentrat lebih tinggi, sedangkan konsumsi rumput lebih rendah dibandingkan yang diharapkan. Pada penelitian ini, konsumsi TDN domba yang sedang bunting maupun laktasi secara berturut-turut berkisar 387,72–444,86 dan 494,74–588,67 gram/ekor/hari. Sitepu (2011) melaporkan, konsumsi TDN domba Jonggol yang sedang bunting berkisar 342,50-357,73 gram/ekor/hari. Sementara, Sudjatmogo (1998) melaporkan bahwa konsumsi TDN domba laktasi yang mendapat ransum dengan kandungan TDN 65 dan 75% yaitu berkisar 503,21-559,64 gram/ekor/hari.

Penampilan Reproduksi Domba Induk

Penampilan reproduksi domba induk yang mendapat ransum penelitian secara lengkap tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Penampilan Reproduksi Domba Betina yang Mendapat Ransum dengan Tingkat Energi Berbeda

Peubah Perlakuan

Rataan

P1 P2 P3

Jumlah Induk Awal (ekor) 4,00 4,00 4,00 4,00

Berdasarkan USG

Jumlah Induk Bunting (ekor) 4,00 3,00 4,00 3,66

Jumlah Fetus:

Total (ekor) 8,00 8,00 8,00 8,00

Rata-rata/Induk (ekor) 2,00 2,66 2,00 2,22

Jumlah Anak Lahir:

Total 6,00 6,00 4,00 5,33

Rata-rata/Induk 1,50 2,00 1,00 1,50

Lambing Rate (%) 150 200 100 150

Rasio Anak Lahir:

Jantan:Betina 33:67 67:33 25:75 44:56

Tunggal:Kembar 50:50 17:83 100:0 50:50

Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.

Jumlah Fetus

Berdasarkan hasil USG, jumlah fetus untuk perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing adalah 2, 2,66, 2 fetus/induk. Walaupun tingkat energi ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata, tetapi flushing dapat meningkatkan jumlah fetus. Pengaruh flushing pada penelitian ini dapat menghasilkan fetus kembar pada domba. Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan Mathius (1996) yang dalam penelitiannya memberikan tingkatan energi dan protein berbeda terhadap domba selama bunting, rata-rata fetus yang dihasilkan sebesar 1,6 fetus/induk. Landau et al. (1995) melaporkan bahwa domba Boorola Merino yang mendapatkan pakan dengan kandungan pati yang tinggi selama tiga minggu sebelum ovulasi dapat menghasilkan rata-rata ovulasi yang tinggi.

Jumlah Anak Lahir

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan lebih rendah dibandingkan jumlah fetus hasil USG (Tabel 5). Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini sebesar 1,5 ekor/induk. Sementara rata-rata jumlah fetus yang dihasilkan sebesar 2,22 fetus/induk. Secara keseluruhan domba belum cukup mampu untuk melahirkan anak kembar karena terdapat kematian embrio/fetus selama kebuntingan. König et al. (2006) menyatakan bahwa kelahiran anak kembar dipengaruhi oleh umur induk domba. Induk domba berumur satu tahun memiliki kemungkinan menghasilkan anak kembar rendah yaitu berkisar 10% dibandingkan induk domba yang berumur 2-3 tahun yaitu kemungkinan melahirkan anak kembar sebesar 40-50%. Hal ini disebabkan pada tahun pertama, energi yang tersedia dari makanan digunakan untuk pertumbuhan sehingga perkembangan alat reproduksi belum maksimal yang akan menurunkan kemampuan untuk menghasilkan anak kembar. Selain itu, anak yang lahir sangat dipengaruhi oleh daya hidup embrio selama di uterus. Domba lokal (berasal dari Garut, Semarang, dan Grati) memiliki rataan daya hidup embrio sebesar 85,74%, nilai tersebut dipengaruhi oleh kapasitas uterus domba yang terbatas. Domba yang memiliki laju ovulasi 2-4 memiliki kapasitas uterus sebesar 1,8-2,9 embrio. Hal ini akan menyebabkan kematian embrio selama berada didalam uterus (Inounu, 1996).

Tingkat energi ransum yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kematian fetus. Parr et al. (1987) menyatakan bahwa pemberian pakan yang berlebih pada awal kebuntingan dapat menurunkan domba yang bunting karena adanya kematian embrio, hal ini dihubungkan dengan aktivitas metabolisme di hati, pemberian pakan yang berlebih menyebabkan mmeningkatnya aliran darah pada hati sehingga terjadi pemecahan progesteron yang akan menurunkan kadar progesteron dalam darah (Parr et al., 1993).

Terjadinya kematian fetus selama domba bunting terbesar pada perlakuan P3 dibandingkan P1 dan P2 (50 vs 25 dan 25%). Penggunaan urea yang tidak diikuti dengan penggunaan bahan pakan sumber protein yang optimal dalam ransum dapat berpengaruh terhadap kematian embrio. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1, ransum P3 mengandung urea yang lebih tinggi dibandingkan P1 dan P2, serta

mengandung bungkil kelapa yang lebih rendah dibandingkan dengan P1 dan P2. Whittier (2011) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penggunaan urea yaitu bahan pakan sumber karbohidrat mudah dicerna, frekuensi pemberian urea, level urea pakan, dan bahan pakan sumber protein mudah larut. Tingginya penggunaan bahan pakan sumber protein dapat meningkatkan penggunaan urea dan sebaliknya. Tingginya konsumsi protein yang mudah terdegradasi rumen dapat meningkatkan urea maupun amonia dalam darah (Canfield et al., 1990). Urea dan amonia yang tinggi dalam darah dapat menjadi racun bagi embrio (Sinclair et al., 2000) dan merusak beberapa fungsi organ reproduksi yaitu menurunkan pH uterus yang dapat menyebabkan kematian embrio (Elrod et al., 1993). Mc Evoy et al. (1997) menyatakan bahwa urea secara langsung dapat merusak kematangan oosit dan perkembangan embrio, serta secara tidak langsung mengganggu lingkungan utero-oviductal selama perkembangan zigot.

Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini (Tabel 5) lebih besar dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Jarmuji (2008) bahwa induk domba Jonggol yang dipelihara secara ekstensif dapat menghasilkan rata-rata anak sebesar 1,3 ekor/induk. Sementara itu, Harahap (2008) yang menggunakan materi yang sama yaitu induk domba Jonggol berumur kurang lebih satu tahun yang dipelihara secara ekstensif tanpa mendapat pakan penguat, rata-rata anak yang dihasilkan yaitu sebesar 1,15 ekor/induk. Hasil yang sama juga terlihat pada rasio anak tunggal:kembar. Rasio anak tunggal:kembar penelitian ini lebih rendah atau cenderung menghasilkan anak kembar dibandingkan yang dilaporkan oleh Raharjo (2008) mengenai reproduksi domba Jonggol (50:50 vs 73:27). Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan secara intensif dengan memberikan pakan yang baik dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan atau dapat meningkatkan penampilan reproduksi domba Jonggol. Tomaszewska (1991) menyatakan bahwa angka ovulasi maupun jumlah anak yang dilahirkan dipengaruhi genetik, umur, dan nutrisi. Perbaikan nutrisi selama kebuntingan dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan.

Penampilan Produksi Domba Induk Pertambahan Bobot Badan Induk

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan (PBB) induk pada saat bunting, tetapi tidak nyata pada saat laktasi. Pertambahan bobot badan perlakuan P1 dan P3 lebih besar dibandingkan P2 masing-masing sebesar 43,49±10,9, 52,47±10,47, dan 29,45±2,58 gram/ekor/hari. Besarnya pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tingkat konsumsi induk domba. Konsumsi induk domba yang mendapat perlakuan P3 dan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 (592,31 dan 570,25 vs 549,61). Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi yang tinggi selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus serta organ reproduksi induk domba. Pada penelitian ini, rataan pertambahan bobot badan induk domba selama bunting yaitu sebesar 41,80±9,47 gram/ekor/hari. Wardhani (2006) melaporkan bahwa rataan pertambahan bobot badan domba lokal sebesar 47,00 gram/ekor/hari. Sudjatmogo (1998) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pertambahan bobot badan domba ekor pipih sedang bunting yaitu berkisar 41,50-67,70 gram/ekor/hari.

Tabel 6. Penampilan Produksi Domba Induk yang Mendapatkan Tingkat Energi Berbeda

Peubah Perlakuan Rataan

P1 P2 P3 BB Awal (kg/ekor) 19,63±0,96 20,13±0,82 19,88±0,89 19,88±0,20 BB Sesaat Setelah Melahirkan (kg/ekor) 27,88±2,66 26,83±1,04 29,63±2,06 28,11±1,15 PBB Selama Bunting (g/e/h)1) 43,49±10,91a 29,45±2,58b 52,47±10,47a 41,80±9,47

Efisiensi Ransum Selama

Bunting1) 0,076±0,015a 0,054±0,004b 0,089±0,012a 0,073±0,017

BB Saat Sapih

(kg/ekor) 27,25±0,75 25,17±0,62 27,75±2,27 26,72±1,12

PBB Selama Laktasi

(g/e/h) -40,18±18,94 -26,79±7,87 -33,48±15,25 -33,48±5,46

Efisiensi Ransum Selama Laktasi

(tanpa PBB anak) -0,055±0,025 -0,039±0,012 -0,044±0,023 -0,046±0,008

(dengan PBB anak) 0,154±0,017 0,156±0,040 0,150±0,022 0,154±0,003

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%. 1) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Pada saat laktasi terjadi penurunan bobot badan. Rataan penurunan bobot badan induk domba 33,48±5,86 gram/ekor/hari. Penurunan bobot badan terjadi karena pakan yang dikonsumsi belum dapat memenuhi kebutuhan induk laktasi. Mathius (1996) melaporkan, pada domba yang sedang laktasi, perubahan bobot badan bernilai negatif. Pada periode tersebut, tingginya produksi susu tidak bisa dicukupi dari konsumsi pakan yang diberikan, maka terjadi mobilisasi lemak oleh induk domba, sehingga akan terjadi kehilangan bobot badan selama awal laktasi. Besarnya penurunan bobot badan selama awal laktasi yaitu 10-36 gram/ekor/hari. Pola Pertumbuhan Bobot Badan Domba Induk

Pola pertumbuhan bobot badan domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Pola Pertumbuhan dari Bobot Badan Induk selama Pemeliharaan

Gambar 3 menunjukkan bahwa bobot badan domba induk meningkat mulai dari awal penelitian hingga beranak, kemudian akan terjadi penurunan bobot badan. Pada perlakuan P3, penurunan bobot badan terjadi setelah beranak hingga bulan ke-2 laktasi. Sementara itu, penurunan bobot badan pada perlakuan P1 terjadi hingga bulan pertama laktasi dan tidak terjadi pertambahan maupun penurunan pada bulan ke-2 laktasi. Pada perlakuan P1, penurunan bobot badan terjadi hingga bulan pertama laktasi, kemudian meningkat pada bulan ke-2 laktasi. Terjadinya penurunan bobot

badan hingga bulan ke dua laktasi pada perlakuan P3 dipengaruhi oleh produksi susu induk yang mendapatkan perlakuan P3 masih cukup tinggi dibandingkan P1 dan P2. Hal tersebut karena perlakuan P3 menghasilkan anak tunggal dibandingkan P1 dan P2 yang cenderung menghasilkan anak kembar. Raharjo (2008) menyatakan bahwa penurunan produksi susu secara nyata lebih besar terjadi pada induk yang menghasilkan anak kembar dibandingkan anak tunggal, penurunan tersebut terjadi setelah puncak laktasi atau pada hari ke-35.

Pola Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk

Pola pertambahan bobot badan harian domba induk yang mendapatkan tingkat energi berbeda terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian Domba Induk selama Pemeliharaan

Gambar 4 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan meningkat cepat mulai awal penelitian hingga bulan ke-2 kebuntingan. Selanjutnya pertambahan bobot badan menurun secara cepat hingga bulan ke-3 dan menurun secara perlahan hingga bulan ke-5 (beranak). Penurunan bobot badan terjadi setelah domba beranak hingga bulan ke-1 laktasi, kemudian kembali meningkat hingga bulan ke-2 laktasi. Terjadinya pertambahan bobot badan secara cepat pada awal kebuntingan disebabkan zat makanan yang dikonsumsi diprioritaskan untuk pembentukan dan pertumbuhan

uterus, plasenta, dan membran. Sebaliknya, pada sepertiga akhir kebuntingan zat makanan diprioritaskan untuk perkembangan fetus. Forbes (2007) menyatakan bahwa meningkatnya ukuran fetus menyebabkan rongga perut mengecil dan laju aliran pakan meningkat sehingga penggunaan kapasitas energi menurun. Pada bulan pertama laktasi merupakan hal yang biasa terjadi penurunan bobot badan, karena pada awal laktasi terjadi aliran metabolit yang cepat dari darah untuk produksi susu, namun konsumsi pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh oleh induk untuk produksi susu, serta kebutuhan nutrisi untuk perbaikan organ reproduksi setelah beranak (Mathius 1996; Forbes 2007; Pulina 2004). Pertambahan bobot badan induk akan meningkat setelah puncak laktasi karena produksi susu mulai menurun, sehingga nutrisi yang ada digunakan untuk pertambahan bobot badan (Freer dan Dove, 2002).

Efisiensi Penggunaan Ransum

Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,01) terhadap efisiensi penggunaan ransum pada saat bunting, tetapi tidak pada saat laktasi. Pada saat bunting perlakuan P1 dan P3 memberikan efisiensi penggunaan ransum yang lebih tinggi dibandingkan P2 yaitu masing-masing sebesar 0,076±0,015, 0,089±0,012, dan 0,054±0,004. Efisiensi penggunaan ransum bergantung pada pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa efisiensi ransum dipengaruhi oleh genetik, kualitas pakan, suhu dan kelembaban.

Pada saat laktasi, apabila dilakukan perhitungan tanpa bobot badan anak, efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan rata-rata sebesar -0,046. Tetapi, jika pertambahan bobot badan anak selama 28 hari dimasukkan dalam perhitungan, efisiensi penggunaan ransum yang dihasilkan rata-rata sebesar 0,154. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pakan pada saat laktasi belum mampu memenuhi kebutuhan untuk produksi susu, sehingga akan terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh,maka yang terjadi adalah penurunan bobot badan (Mathius, 1996). Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa energi pakan lebih efisien dimanfaatkan untuk produksi susu dibandingkan untuk pembentukan cadangan tubuh pada saat laktasi. Forbes (2007) juga menyatakan bahwa pada saat laktasi energi pakan secara berturut-turut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, lalu produksi susu dan yang terakhir untuk pertumbuhan.

Penampilan Produksi Anak

Penampilan produksi anak dari induk yang mendapatkan perlakuan ransum dengan energi yang berbeda tercantum pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tingkat energi ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir anak, bobot anak hari ke-28, bobot sapih anak (hari ke-56), pertambahan bobot badan anak pada hari ke 0 sampai 28 dan 29 sampai 56, serta produksi susu induk pada hari ke 0 sampai 28.

Tabel 7. Penampilan Produksi Anak Umur 0-28 Hari dari Induk Domba yang Mendapat Perlakuan Berbeda

Peubah Perlakuan Rataan

P1 P2 P3

Bobot Lahir 1,56±0,63 1,38±0,53 2,71±0,34 1,88±0,72

Bobot Hari Ke-28 (kg/e) 6,55±0,07 4,99±2,10 7,72±0,88 6,42±1,37

PBB Hari Ke 0-28 (g/e/h) 160,36±3,54 121,13±39,04 179,18±30,08 153,55±29,62

Produksi Susu Hari Ke

0-28 (g/e/h) 962,14±21,21 969,00±252,01 1075,07±180,45 1002,07±63,31

Keterangan: P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.

Bobot Lahir

Bobot lahir antar perlakuan pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Bobot lahir yang tidak berbeda nyata disebabkan jumlah anak yang dilahirkan tidak berbeda. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Subhagiana (2008) bahwa jumlah anak yang dilahirkan dapat mempengaruhi bobot lahir anak. Tingginya jumlah anak yang dilahirkan dapat menurunkan bobot lahir tiap ekor anak dan sebaliknya. Bobot lahir anak yang dihasilkan oleh induk yang mendapatkan ransum perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing sebesar 1,56±0,63, 1,38±0,53, dan 2,71±0,34 kg/ekor. Rataan bobot lahir anak yang dihasilkan sebesar 1,88±0,72

Dokumen terkait