• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Babi Rachel Farm, Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Bogor, Jawa Barat. Peta lokasi Kecamatan Tajur Halang dapat dilihat pada Gambar 3. Kota Bogor secara geografis terletak diantara 1060 - 480 Bujur Timur dan 60 - 260 Lintang Selatan. Wilayah ini mempunyai rata-rata ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m di atas permukaan laut. Kondisi iklim di Kota Bogor, rataan suhu tiap bulan 260C dengan suhu terendah 21,80C dan suhu tertinggi 30,40C. Kelembaban udara 70 %, dan rataan curah hujan setiap tahun sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari.

Gambar 3. Peta Lokasi Kecamatan Tajur Halang

Peternakan ini berdiri diatas lahan seluas 2.260 m2 dengan ukuran 90,4 x 25 m2. Peternakan ini mempunyai tiga jenis bangunan yaitu rumah berukuran 6 x 8 m (tempat tinggal peternak bersama keluarganya), gudang pakan berukuran 6 x 4 m, dan perkandangan. Bangunan perkandangan (housing) dalam peternakan ini ada dua

buah masing-masing berukuran 15 x 7 m2. Selain itu juga terdapat empat buah bak penampungan limbah masing-masing berukuran 2,5 x 1,5 x 1 m3 (dua buah), 8 x 3 x 4 m3 dan 8 x 4 x 6 m3 yang terletak di bagian belakang kandang.

Berbagai jenis tanaman seperti ubi, pepaya, pisang, juga tanaman bangun-bangun dan cabai terdapat di sekitar perkandangan, akan tetapi masih terdapat lahan yang belum dimanfaatkan sepenuhnya. Lokasi peternakan ini jauh dari pemukiman penduduk sehingga lingkungan sekitar tidak terganggu oleh bau dan suara atau kebisingan dari peternakan tersebut.

Tata Laksana Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan babi di Peternakan Babi Rachel Farm berjalan dengan baik sesuai dengan prosedur yang sebenarnya. Kandang yang digunakan ada dua jenis yaitu kandang kerangkeng khusus induk babi bunting (Gambar 4a) dengan ukuran 120 x 60 x 80 cm3 dan kandang bak (Gambar 4b) untuk induk menyusui, pejantan dan lepas sapih dengan ukuran 200 x 180 x 100 cm3. Jumlah kandang kerangkeng dan kandang bak masing-masing adalah 37 dan 8 buah. Kandang bak yang digunakan untuk anak lepas sapih atau kandang pembesaran terdiri dari dua model yaitu model A (3 x 3 x 1 m3) sebanyak 13 buah dan model B (3 x 8 x 1 m3) sebanyak tiga buah. Kandang bak dilengkapi dengan water nipple, sehingga air minum diberikan ad libitum. Kandang kerangkeng tidak mempunyai water nipple, tetapi dilengkapi dengan tempat air minum.

(a) (b)

Gambar 4. Jenis Kandang yang Digunakan (a) Kandang Kerangkeng dan (b) Kandang Bak

Ternak babi yang dipelihara di peternakan ini tidak memiliki proporsi bangsa yang jelas karena merupakan hasil perkawinan dari beberapa bangsa yaitu: Yorkshire, Hampshire, Landrace, Duroc dan Spotted Poland China. Jumlah total induk babi yang dipelihara adalah 37 ekor dengan 3 ekor pejantan. Induk babi yang dipelihara sebagian berasal dari hasil pembesaran yang dilakukan dan sebagian lagi dibeli dari peternakan lain.

Pengawinan induk berahi dilakukan secara alami yaitu pada pagi dan sore hari. Pejantan yang mengawini induk babi berahi pada pagi hari berbeda dengan pejantan untuk sore hari. Proses pengawinan berlangsung selama ± 30 menit. Induk babi dinyatakan bunting apabila pada hari ke-21 setelah pengawinan, induk babi tidak berahi kembali. Induk yang sudah bunting ditempatkan di kandang kerangkeng dan dipindahkan ke kandang induk beranak kira-kira 10 hari sebelum beranak. Penyapihan dilakukan setelah anak babi berumur ± 30 hari.

Pemberian pakan di Peternakan Babi Rachel Farm dilakukan dua kali sehari yaitu pagi (pukul 08.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00 WIB). Ransum yang diberikan berupa pakan kering, yang terdiri dari campuran dedak halus dan jagung giling. Pencampuran pakan dilakukan secara manual dengan menggunakan sekop dan biasanya dikerjakan pada sore hari. Komposisi campuran ransum yang berbeda-beda diberikan untuk setiap kelas ternak babi. Komposisi campuran bahan pakan dalam ransum untuk berbagai kelas ternak babi diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Ransum di Peternakan Babi Rachel Farm

Bahan Makanan

Kelas Ternak Babi

Starter Grower Jantan, Induk Kering, Induk Bunting dan Beranak

---%---

Jagung Giling 60 35 25

Dedak Halus 10 65 75

Pur 551 30 - -

Pekerja (karyawan) di Peternakan Babi Rachel Farm berjumlah tiga orang termasuk pemilik peternakan, dimana tiap orang mempunyai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Proses pencatatan dilakukan oleh peternak sendiri dengan menggunakan komputer yang tersedia di peternakan. Populasi ternak babi

yang dipelihara sejak awal penelitian berlangsung adalah 276 ekor. Data populasi ternak babi sejak awal penelitian di Peternakan Babi Rachel Farm lebih rinci diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Populasi Ternak Babi di Peternakan Babi Rachel Farm

Kelas Ternak Babi Jumlah (ekor)

Pejantan produktif

Induk menunggu birahi atau dikawinkan Induk menyusui Induk bunting Calon induk Sapihan (≤ 20 kg) Grower (≥ 20-50 kg) Finisher (≥ 50 kg) Anak menyusu 3 6 6 22 4 47 33 43 53 Total 276

Pembersihan kandang dilakukan bersamaan dengan memandikan babi yaitu satu kali sehari, yang dilakukan pada pagi hari (pukul 10.00 WIB). Semua ternak babi dimandikan kecuali induk babi yang baru beranak. Anak babi mulai dimandikan setelah umur ± 3 minggu. Pembersihan kandang dan memandikan babi dilakukan dengan menggunakan steam air. Penggunaan steam air ini sangat menguntungkan karena dengan tekanannya yang sangat kuat sehingga kandang dan ternak babi mudah dan cepat dibersihkan dengan waktu yang lebih cepat.

Suhu dan Kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban selama penelitian dilakukan dengan menggunakan thermohygrometer (Gambar 5) yang ditempatkan di bagian kandang induk babi beranak dan dilakukan pencatatan pada pagi (08.00 WIB), siang (13.00 WIB), sore (18.00 WIB) dan malam hari (22.00 WIB). Kisaran suhu dan kelembaban harian dalam kandang selama penelitian masing-masing adalah 26 – 36oC dan 50 – 78%. Rataan suhu dan kelembaban dalam kandang pada pagi hari masing-masing

27,6oC dan 67,3%, siang hari 34,9oC dan 53,6%, sore hari 31,3oC dan 69,0%, dan malam hari 28,5oC dan 77,5%.

Gambar 5. Thermohygrometer

Sihombing (2006) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang ideal untuk induk babi masing-masing berkisar antara 20 - 260C dan 30-70%. Berdasarkan hasil pencatatan suhu dan kelembaban yang dilakukan, maka dapat dilihat bahwa kisaran suhu dan kelembaban dalam kandang melebihi batas ideal. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas induk dan anak babi. Apabila kondisi lingkungan tidak sesuai, maka produktivitas yang dicapai tidak akan optimal (Malole dan Pramono, 1989). Suhu dan kelembaban yang melewati batas ideal dalam perkandangan ternak babi ini diminimalkan dengan cara memandikan dan menyiram kandang ternak babi setiap hari.

Ternak Penelitian

Penelitian ini menggunakan 16 ekor induk babi yang akan segera beranak. Induk babi yang digunakan selama penelitian mempunyai periode beranak dan bobot badan yang berbeda. Periode beranak tiap ekor induk percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Bobot badan induk babi penelitian berkisar antara 100 - 180 kg/ekor. Selama penelitian berlangsung, terdapat dua ekor induk babi penelitian (R1U4 dan R2U3) yang mempunyai mortalitas anak hingga 100%. Kematian anak babi (100%) ini tidak diakibatkan oleh perlakuan pemberian TDB dalam ransum induk babi laktasi, sehingga data dianggap sebagai data hilang.

Mortalitas anak babi pada R1U4 dengan litter size lahir 16 ekor terjadi karena induk babi mengalami pincang pada kaki belakang sejak bunting, sehingga semua

anak mati karena tertindih oleh induknya selang beberapa hari setelah lahir. Sedangkan mortalitas anak babi pada R2U3 dengan litter size lahir dua ekor terjadi karena induk babi berahi kembali beberapa hari setelah beranak, sehingga induk babi tidak menghasilkan produksi air susu.

Penanganan induk babi pada saat beranak dilakukan dengan baik, seperti membantu membersihkan anak babi baru lahir dengan menggunakan kain bersih, memotong gigi menggunakan tang, memotong tali pusar, dan mengarahkan anak babi menyusu pada induknya. Induk babi yang mengalami kesulitan saat beranak dapat dibantu dengan melakukan penyuntikan hormoniura 5 ml (untuk membantu kontraksi dan merangsang pengeluaran air susu). Penyuntikan antibiotik (neoxil 10 ml/ekor) juga dilakukan setelah induk babi selesai beranak yang bertujuan untuk manjaga kesehatan rahim induk babi.

Kandang induk babi yang baru beranak dilengkapi dengan lampu (120 watt) dan ditaburi dengan serbuk gergaji yang berfungsi sebagai penghangat karena anak babi yang baru lahir membutuhkan suhu lingkungan 350C (Sihombing, 2006). Setelah anak berumur tiga hari dilakukan penyuntikan hemadex (zat besi) sebanyak 1 ml dan pada umur lima hari dilakukan pemotongan ekor.

Ransum Penelitian

Ransum yang diberikan pada induk babi penelitian adalah ransum yang biasa digunakan di Peternakan Babi Rachel Farm yaitu ransum kering, akan tetapi selama penelitian diberikan tepung daun bangun-bangun dengan taraf berbeda sebagai perlakuan (R1, R2, R3, dan R4). Ransum induk babi laktasi yang mengandung tepung daun bangun-bangun ini diberikan hingga anaknya disapih pada umur 30 hari. Persediaan bahan pakan dalam gudang pakan biasanya hanya mencukupi untuk kebutuhan sekitar satu minggu. Pada pertengahan penelitian, peternak terpaksa merubah jenis ransum yang digunakan untuk meminimalkan biaya produksi karena adanya musibah virus H1N1 yang mengakibatkan penyakit flu yang dapat menular pada manusia. Kasus ini mengakibatkan harga jual daging babi sangat rendah, karena permintaan konsumen terhadap daging babi menurun. Turunnya harga jual babi mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak, karena harga jual daging babi tidak sesuai dengan biaya produksi terutama dari segi biaya pakan.

Perubahan jenis ransum yang dilakukan adalah dengan mengganti pakan kering menjadi pakan basah (ampas tahu). Pergantian pakan ini tidak dapat dihindari karena peternak tidak mau mengalami kerugian yang lebih besar jika tetap menggunakan pakan kering. Biaya pakan kering jauh lebih besar dibandingkan dengan pakan basah (ampas tahu). Adapun susunan ransum yang diberikan selama penelitian berlangsung disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Susunan Ransum Induk Babi Selama Penelitian

Bahan Pakan Perlakuan R1 R2 R3 R4 ---%--- Pakan Kering Dedak halus 75 74,06 73,12 72,19 Jagung giling 25 24,69 24,38 24,06 TDB - 1,25 2,50 3,75 Pakan Basah Ampas tahu 100 98,75 97,50 96,25 TDB - 1,25 2,50 3,75

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

TDB= tepung daun bangun-bangun

Kandungan nutrisi zat makanan dari ransum yang digunakan selama penelitian berdasarkan hasil Laboratorium Ilmu Nutrisi dan teknologi Pakan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 memperlihatkan bahwa ransum yang diberikan TDB dengan taraf yang berbeda mengakibatkan sedikit perubahan terhadap komposisi kandungan zat makanan dalam ransum. Ransum yang diberikan TDB dengan taraf yang semakin tinggi mengakibatkan kadar protein, lemak kasar, dan energi metabolisme semakin menurun sedangkan kalsium dan posfor semakin meningkat.

Hasil analisa ransum penelitian menunjukkan kandungan zat makanan yang sangat berbeda antara pakan kering dan pakan basah. Pakan kering mempunyai kandungan zat makanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan pakan basah. Hal ini karena pakan basah mempunyai kadar air yang jauh lebih tinggi sehingga bahan keringnya lebih rendah. Semakin rendah bahan kering bahan pakan, maka kandungan

zat makanannya juga akan semakin rendah. Selama penelitian berlangsung, jumlah pemberian pakan basah disamakan dengan pakan kering. Hal ini tidak sesuai karena kandungan zat makanannya sangat berbeda. Untuk menyeimbangi kandungan nutrisi zat makanan yang diperoleh oleh ternak, maka seharusnya jumlah pemberian pakan basah harus lebih banyak dibandingkan dengan pakan kering.

Tabel 9. Hasil Analisa Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian

Ransum Penelitian

Zat Makanan Energi metb.

(kkal/kg) BK PK LK SK Ca P ---%--- Pakan Kering R1 85,94 12,79 9,68 10,75 0,08 0,89 4238 R2 85,11 12,30 9,30 12,25 0,09 1,16 4125 R3 84,91 12,01 7,64 12,89 0,14 1,42 3798 R4 84,88 11,75 6,56 13,76 0,27 1,11 3463 Pakan Basah R1 13,58 3,92 0,53 2,58 0,05 0,04 625 R2 13,66 3,70 0,91 3,05 0,07 0,09 612 R3 13,98 3,63 0,89 2,95 0,11 0,09 605 R4 14,26 3,62 1,83 2,84 0,18 0,09 540

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB; R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB; R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB; R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB; PK= Protein Kasar; LK= Lemak Kasar; SK= Serat Kasar; Ca= Kalsium; dan P= Posfor.

Konsumsi Ransum Induk Babi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum induk babi harian selama penelitian adalah 4,11±0,35 kg/ekor/hari dengan koefisien keragaman 8,52%. Konsumsi ransum ini masih dalam kisaran anjuran Sihombing (2006), yang menyatakan bahwa konsumsi ransum babi laktasi adalah 3,00-4,50 kg/ekor/hari. Rataan konsumsi ransum induk babi laktasi selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan dengan pemberian TDB pada taraf yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi

ransum induk babi laktasi. Tabel 10 memperlihatkan, bahwa pemberian TDB dalam ransum induk babi laktasi meningkatkan konsumsi babi harian pada R2 (4,38 ± 0,56 kg/ekor/hari) kemudian menurun pada R3 (4,15 ± 0,35 kg/ekor/hari) dan R4 (3,99 ± 0,01 kg/ekor/hari) dibanding dengan ransum kontrol (R1= 3,93 ± 0,10 kg/ekor/hari).

Tabel 10. Rataan Konsumsi Ransum Induk Babi Laktasi Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

R1 R2 R3 R4 ---kg/ekor/hari--- 1 3,99 5,19 4,00 3,99 17,17 2 3,95 3,99 4,67 3,99 16,60 3 3,98 4,32 3,95 3,98 16,23 4 3,78 4,00 3,99 4,00 15,77 Jumlah 15,70 17,50 16,61 15,96 65,77 Rataan 3,93±0,10 4,38±0,56 4,15±0,35 3,99±0,01 4,11±0,35 KK (%) 2,54 12,79 8,43 0,25 8,52

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

KK= koefisien keragaman

Jumlah ransum yang biasa diberikan selama penelitian adalah sekitar empat kg/ekor/hari. Kondisi induk babi yang sehat dan tingkat konsumsi yang tinggi menyebabkan sisa pakan hanya sedikit bahkan ada yang habis sama sekali. Pakan yang ada sisa biasanya terjadi pada saat hari pertama sampai hari ketiga setelah induk babi baru beranak. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat partus, induk babi mengalami stres sehingga nafsu makannya turun.

Litter Size Lahir

Litter size lahir adalah jumlah anak lahir hidup per induk per kelahiran. Jumlah anak babi seperindukan yang dilahirkan dipengaruhi oleh pejantan dan induknya, bangsa, umur induk, periode beranak (paritas), fertilitas, kematian selama kebuntingan, dan lamanya kebuntingan (Kingston, 1983). Rataan litter size lahir yang diperoleh selama penelitian adalah 10,29 ± 3,75 ekor dengan kisaran 4 – 16 ekor. Litter size dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2006) yaitu 9,43 ± 2,34 ekor dan lebih rendah

dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir (2008) yaitu 11,44 ± 2,29 ekor. Rataan litter size lahir selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Litter Size Lahir Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

R1 R2 R3 R4 ---ekor--- 1 4 15 9 11 39 2 16 7 15 5 43 3 9 - 8 12 29 4 - 9 10 14 33 Jumlah 29 31 42 42 144 Rataan 9,67±6,03 10,33±4,16 10,50±3,11 10,50±3,87 10,29±3,75 KK (%) 62,36 40,29 29,61 36,89 36,44

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

KK= koefisien keragaman - = data hilang

Jumlah anak yang dilahirkan oleh 14 ekor induk babi selama penelitian seluruhnya adalah 144 ekor dengan litter size yang sangat tidak seragam. Koefisien keragaman yang diperoleh sangat tinggi (KK= 36,44%), hal ini diakibatkan oleh perbedaan bobot badan induk, umur induk dan periode beranak (paritas) induk. Periode beranak induk dari perlakuan dan ulangan berkisar antara periode ke-3 hingga ke-7, dimana perbedaan ini sangat mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan. Periode beranak induk babi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Koefisien keragaman yang tinggi ini tidak dapat dihindari karena induk babi yang digunakan sebagai materi penelitian pada peternakan tersebut sangat terbatas.

Bobot Lahir

Bobot lahir merupakan bobot badan ternak saat lahir yang diperoleh dari hasil penimbangan berat litter size dibagi dengan jumlah anak babi. Rataan bobot lahir anak babi yang diperoleh selama penelitian adalah 1,18 ± 0,14 kg/ekor dengan kisaran berat 0,95 – 1,45 kg/ekor. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan rataan bobot lahir yang diperoleh oleh Simorangkir (2008) dengan pemberian ekstrak daun katuk pada ransum induknya, dimana rataan bobot lahir yang diperoleh adalah 1,36 ± 0,17 kg/ekor. Koefisien keragaman yang diperoleh adalah 11,86%, hal ini

disebabkan bobot lahir tiap ekor anak dalam tiap perlakuan tidak jauh berbeda. Bobot lahir anak babi selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan Bobot Lahir Anak Babi Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

R1 R2 R3 R4 ---kg/ekor--- 1 1,45 1,11 1,13 1,32 5,01 2 1,17 1,02 1,09 1,20 4,48 3 1,37 - 1,13 1,09 5,19 4 - 1,31 0,95 1,13 4,37 Jumlah 3,99 3,44 4,30 4,74 16,47 Rataan 1,33±0,14 1,15±0,15 1,08±0,09 1,19±0,10 1,18±0,14 KK (%) 10,84 12,95 7,95 8,51 11,86

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

KK= koefisien keragaman - = data hilang

Bobot lahir anak babi berbanding terbalik dengan litter size lahir. Semakin tinggi litter size lahir, maka bobot lahir anak babi akan semakin rendah, demikian juga sebaliknya semakin rendah litter size lahir maka bobot lahir anak babi akan semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa perlakuan R1 (9,67±6,03 ekor) dengan litter size lahir paling rendah mempunyai bobot lahir (1,33±0,14 kg/ekor) yang lebih tinggi, sedangkan perlakuan R3 (10,50±3,11 ekor) dengan litter size lahir paling tinggi mempunyai bobot lahir (1,08±0,09 kg/ekor) yang lebih rendah.

Bobot lahir anak babi merupakan parameter yang perlu diperhatikan karena bobot lahir akan mempengaruhi pertambahan bobot badan dan bobot sapih. Bobot lahir yang lebih tinggi biasanya akan menghasilkan pertambahan bobot badan dan bobot sapih yang lebih tinggi.

Produksi Air Susu Induk Babi

Anak babi menerima nutrien yang sangat penting dari air susu induk sejak lahir hingga umur 2-3 minggu. Air susu induk babi diakui sebagai makanan utama yang ideal bagi anak babi pada masa menyusu. Menurut Sibuea (2009) dengan

materi penelitian yang sama, rataan produksi air susu induk babi yang diperoleh selama penelitian adalah 207,1±56,1 g/ekor/menyusui. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidauruk (2008) dengan pemberian ekstrak daun katuk pada ransum induknya, dimana rataan produksi air susu induk babi yang diperoleh sebesar 714,3±219 g/ekor/menyusui. Rataan produksi air susu induk babi selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rataan Produksi Air Susu Induk Babi Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah R1 R2 R3 R4 ---g/ekor/menyusui--- 1 200,00 283,33 266,67 266,67 1016,7 2 116,67 150,00 200,00 166,67 633,3 3 200,00 - 283,33 133,33 616,7 4 - 216,67 166,67 250,00 633,3 Jumlah 516, 7 650,0 916, 7 816, 7 2900,0 Rataan 172,2±48,1 216,7±66,7 229,2±55,1 204,2±64,4 207,1±56,1 KK (%) 27,94 30,77 24,03 31,53 27,09

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

KK= koefisien keragaman - = data hilang

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa pemberian TDB dalam ransum induk babi laktasi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk. Akan tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa taraf pemberian TDB yang berbeda dalam ransum induk babi laktasi yaitu R2, R3, dan R4 masing-masing 216,7±66,7; 229,2±55,1; dan 204,2±64,4 g/ekor/menyusui, mempunyai PASI yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu R1= 172,2±48,1 g/ekor/menyusui. Berdasarkan hasil ini maka dapat dilihat bahwa perlakuan R3 meningkatkan PASI sebesar 33,10% dari kontrol.

Rendahnya produksi air susu induk babi selama penelitian kemungkinan diakibatkan oleh ransum induk yang diberikan tidak mampu mencukupi kebutuhan zat makanan induk babi selama menyusui. Konsumsi harian energi dan protein merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan air susu induk babi.

Berdasarkan NRC (1998), kebutuhan energi dan protein induk babi laktasi masing-masing adalah 13060 kkal/ekor/hari dan 0,74 kg/ekor/hari.

Rataan konsumsi energi dan protein harian induk babi laktasi selama penelitian masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 5, dimana konsumsi energi dan protein harian induk babi laktasi ini lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan NRC (1998). Rataan konsumsi energi harian induk babi laktasi selama penelitian adalah 7135±5161 kkal/ekor/hari. Rataan konsumsi protein harian induk babi selama penelitian adalah 0,23±0,15 kg/ekor/hari yang berkisar antara 0,19±0,20 - 0,28±0,26 kg/ekor/hari. Rendahnya konsumsi protein ini kemungkinan mengakibatkan pemberian tepung daun bangun-bangun ke dalam ransum induk babi menyusui tidak berpengaruh nyata terhadap produksi air susu induk.

Mortalitas Anak Babi

Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah anak babi yang mati dengan jumlah total anak babi yang dipelihara dari tiap induk selama penelitian. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, rataan persentase mortalitas selama penelitian adalah 19,80±19,87%. Tingkat mortalitas ini lebih rendah daripada yang umum terjadi yaitu 20-25% dari litter size lahir hidup (Sihombing, 2006). Rataan mortalitas anak babi menyusu selama penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Berdasarkan hasil analisis ragam, dapat diketahui bahwa taraf pemberian TDB dalam ransum induk babi laktasi tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas anak babi. Akan tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa perlakuan TDB pada taraf berbeda dalam ransum induk babi laktasi mempunyai mortalitas anak yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan R2 mempunyai persentase mortalitas anak yang lebih rendah yaitu sebesar 9,52±16,49% dibandingkan dengan perlakuan R1, R3 dan R4 masing-masing 33,1±29,3; 22,1±15,1; dan 15,3±20,3%. Mortalitas anak babi selama penelitian disebabkan oleh kurangnya produksi air susu induk (PASI), jumlah litter size lahir, tertindih oleh induk dan penyakit (mencret).

Tabel 14. Mortalitas Anak Babi Menyusu Selama Penelitian

Ulangan Perlakuan Jumlah

R1 R2 R3 R4 ---%--- 1 0,00 0,00 0,00 18,18 4,55 2 43,75 28,57 33,33 0,00 26,41 3 55,56 - 25,00 0,00 26,85 4 - 0,00 30,00 42,86 24,29 Jumlah 99,31 28,57 88,33 61,04 82,10 Rataan 33,1±29,3 9,5±16,5 22,1±15,1 15,3±20,3 19,8±19,9 KK (%) 88,42 173,21 68,45 133,01 100,35

Keterangan: R1= 100% ransum + 0% TDB R2= 99,75% ransum + 1,25% TDB

R3= 97,50% ransum + 2,50% TDB R4= 96,25% ransum + 3,75% TDB

KK= koefisien keragaman - = data hilang

Produksi air susu induk babi yang meningkat diharapkan dapat menekan mortalitas menjadi lebih rendah, akan tetapi tidak demikian dengan hasil penelitian yang diperoleh. Induk dengan PASI lebih tinggi (R3= 229,2±55,1 g/ekor/menyusui) mempunyai tingkat mortalitas (22,1±15,1 %) nomor dua tertinggi setelah perlakuan R1. Pada umumnya, litter size lahir yang tinggi lebih mengakibatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi juga. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan R1 dengan rataan litter size lahir yang lebih tinggi (11,00±5,60 ekor) mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi juga yaitu sebesar 33,10±29,27%.

Selama penelitian berlangsung, faktor utama yang menyebabkan kematian anak babi adalah tertindih oleh induknya, lemah saat lahir, dan akibat penyakit (mencret). Tertindih oleh induknya merupakan faktor penyebab mortalitas anak yang paling tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan perkandangan yang tersedia di peternakan tidak mendukung, dimana masih menggunakan kandang berbentuk bak biasa sehingga resiko tertindih induk sangat besar. Kandang yang sebaiknya digunakan adalah kandang beranak khusus (farrowing crate), karena jenis kandang ini sudah dibuktikan dapat menekan kematian anak babi terutama disebabkan tertindih oleh induknya. Faktor kedua adalah lahir lemah, dimana akibatnya anak babi tidak mampu bersaing untuk memperoleh air susu induknya sehingga anak babi semakin lemah dan akhirnya mati. Faktor ketiga adalah akibat penyakit dan penyakit

yang ditemukan selama penelitian adalah penyakit mencret. Anak babi biasanya terserang penyakit mencret apabila suhu perkandangan terlalu rendah, yaitu pada saat hujan dan apabila lantai kandang induk beranak basah (oleh air minum dan urin induk babi menyusui).

Konsumsi Ransum Anak Babi Menyusu

Konsumsi ransum adalah rataan jumlah ransum yang dimakan anak babi menyusu setiap hari. Air susu induk babi diakui sebagai makanan utama yang ideal bagi anak babi pada masa menyusu, akan tetapi untuk mempercepat pertambahan bobot badan anak babi sebelum disapih, maka perlu dilakukan pemberian ransum.

Dokumen terkait