• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah

Kondisi Geografis

Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatra. Secara geografis, Provinsi Riau terletak pada koordinat 01o05'00’’ Lintang Selatan sampai 02o25'00’’ Lintang Utara dan 100o00'00’’ Bujur Timur sampai 105o05'00’’ Bujur Timur. Provinsi Riau sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat. Pada wilayah bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara.Provinsi Riau memiliki luas area sebesar 87.023,66 km2.Wilayah bagian Timur Provinsi Riau didominasi oleh dataran rendah, wilayah bagian Tengah merupakan dataran bergelombang, dan wilayah bagian Barat merupakan dataran berbukit yang dibentuk oleh gugusan Bukit Barisan. Kondisi geomorfologi tersebut menempatkan wilayah Riau bagian Timur berfungsi sebagai kawasan bawahan dari wilayah bagian Barat yang merupakan hulu dari 15 sungai yang mengalir di Provinsi Riau yang bermuara di pantai Timur. Empat sungai diantaranya memiliki arti penting sebagai prasarana perhubungan yakni Sungai Siak, Sungai Kampar, Sungai Rokan, dan Sungai Indragiri. Wilayah Riau bagian Timur yang merupakan dataran rendah menjadi rentan terhadap bencana banjir dan genangan air secara berkala.

Kawasan bagian Timur sebagian besar merupakan lahan gambut, terdiri dari rawa gambut air tawar dan rawa gambut pasang surut. Kondisi geologi Riau didominasi oleh batuan sedimen kuarter dengan sisipan batuan sedimen tersier di bagian Barat dan Selatan. Ditinjau dari potensi bencana alam geologi, sebagian besar wilayah Provinsi Riau bagian Tengah dan Barat termasuk zona lipatan (folded zone). Kemungkinan terjadi gempa bumi di bagian barat dipengaruhi oleh keaktifan volkonis di daerah Sumatra Barat. Sementara potensi gerakan tanah relatif kecil karena wilayah Provinsi Riau umumnya datar, kecuali di sebagian wilayah Barat yang merupakan bagian dari Bukit Barisan (Pemerintah Provinsi Riau 2009).

Secara administratif, Provinsi Riau terdiri dari 10 kabupaten yaitu Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir dan Kepulauan Meranti serta dan 2 kota yaitu Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau pada akhir tahun 2010 terdapat 151 kecamatan dan 1643 kelurahan/desa (BPS 2010).

Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi

Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku yaitu Jawa, Minangkabau, Batak, Banjar, Tionghoa, dan Bugis. Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 mancatat jumlah penduduk di Provinsi Riau sebesar 3.755.485 jiwa dengan distribusi 56,7% tinggal di perkotaan dan 43,3% bermukim di pedesaan. Susenas mencatat jumlah penduduk tahun 2005 meningkat menjadi 4.614.930 jiwa. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Riau sementara adalah 5.543.031 orang yangterdiri dari 2.854.989 laki-laki dan 2.688.042 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau dari tahun 2000 sampai 2010 tergolong sangat tinggi, yakni rata-rata mencapai 3,59% pertahun. Tingginya jumlah penduduk di Provinsi Riau ini dipengaruhi oleh migrasi penduduk. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 tersebut, diketahui bahwa penyebaran penduduk bertumpu di Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau yakni sebesar 16,31%, kemudian diikuti oleh Kabupaten Kampar sebesar 12,38%. Sedangkan persentase penduduk terkecil terdapat di Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 3,18% (BPS 2010).

Angkatan kerja di Provinsi Riau pada tahun 2005 berjumlah 2.515.722 orang atau 66,9% dari jumlah penduduk. Angkatan kerja Provinsi Riau pada tahun 2007 sekitar 2.008.813 orang. Bagian terbesar penduduk bekerja pada kegiatan pertanian dan perdagangan (52,2%), rumah makan dan hotel, jasa-jasa, perkebunan, dan konstruksi. Tingginya angka migrasi masuk memberikan implikasi terhadap kesempatan kerja yang semakin terbatas bagi penduduk setempat. Sejalan dengan otonomi daerah, maka peluang bekerja diprioritaskan bagi tenaga kerja setempat dalam rangka meningkatkan peran serta penduduk setempat dalam pembangunan daerah (Pemerintah Provinsi Riau).

Struktur ekonomi di Provinsi Riau sangat didominasi oleh sektor yang berkaitan dengan migas dan industri. Pendapatan regional per kapita Riau

termasuk migas atas dasar harga berlaku adalah sebesar 55,04 juta rupiah pada tahun 2009 lebih besar dari angka tahun 2008 sebesar 48,69 juta rupiah. Sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian di Provinsi Riau selain sektor industri tanpa migas dan sektor perdagangan. Pada awal tahun 2007, potensi pertanian khususnya tanaman pangan dan hortikultura cukup besar dimana untuk penggunaan lahan sawah sebesar 278.876 Ha dan bukan lahan sawah 1.120.177 Ha dari luas 8.915.016 Ha. Pendapatan regional per kapita tanpa migas atas dasar harga berlaku di Provinsi Riau meningkat dari tahun 2008 sebesar 26,27 juta rupiah menjadi 30,87 juta rupiah pada tahun 2009. Komoditi unggulan Provinsi Riau untuk sektor pertanian terdiri dari padi, jagung, umbi-umbian dan lain-lain (BPS 2010).

Kuantitas Konsumsi Pangan Konsumsi Energi

Energi diperlukan untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan aktivitas tubuh. Kebutuhan energi diperoleh terutama dari karbohidrat dan lemak. Meskipun protein mampu memberikan energi, namun pemanfaatannya lebih diutamakan untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon, dan enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi 2001).

Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kekurangan asupan energi yang berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM), diantaranya dapat menurunkan produktivitas kerja, kecerdasan, imunitas, dan lainnya.

Tingkat konsumsi pangan dapat memberikan gambaran kondisi kesehatan penduduk di suatu wilayah yang ditinjau dari aspek keadaan gizinya. Indikator yang digunakan untuk analisis konsumsi dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung tingkat kecukupan energi (TKE) dan protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi konsumsi energi aktual terhadap angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan.

Penilaian konsumsi energi dan protein tersebut mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004, yaitu kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan sebesar 2000 kkal/kapita/hari dan kecukupan

konsumsi protein adalah sebesar 52 g/kapita/hari. Jumlah konsumsi tersebut harus terpenuhi agar setiap orang dapat hidup sehat, aktif, dan produktif.

Secara umum, konsumsi energi dan tingkat kecukupan energi aktual penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 menurun. Konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sudah melebihi angka kecukupan energi yang dianjurkan (2144 kkal atau 107,2% AKE). Namun konsumsi energi penduduk menurunpada tahun 2009 menjadi 1933 kkal dengan 96,6% AKE dan pada tahun 2010 sebesar 1904 kkal atau 95,3% AKE.

Departemen Kesehatan (1996) melakukan klasifikasi untuk penilaian tingkat kecukupan energi. Klasifikasi tersebut adalah defisit berat (AKE <70%), defisit tingkat sedang (AKE: 70-79%), defisit tingkat ringan (AKE: 80-89%), normal (AKE: 90-119%), dan berlebih (AKE>120%). Mengacu pada klasifikasi tersebut, secara umum tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 adalah normal. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Riau

No Wilayah Konsumsi (kkal/kap/hari) Tingkat Kecukupan (%AKE)* Pertumbuhan 2008 2009 2010 2008 2009 2010 Konsumsi Pertahun (%) 1 Pedesaan 2231 1933 1924 111,5 96,6 96,2 -153,5 -6,9 2 Perkotaan 2065 1932 1884 103,3 96,6 94,2 -90,5 -4,5 Pedesaan+Perkotaan 2144 1933 1904 107,2 96,6 95,3 -120 -5,7 Keterangan :

*) Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2000 kkal/kap/hari

Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat dilihat laju pertumbuhan konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 menunjukkan nilai negatif. Hal ini berarti pada tahun 2008 sampai 2010 terjadi penurunan konsumsi energi di wilayah pedesaan, perkotaan, dan wilayah pedesaan+perkotaan masing-masing sebesar 6,9%, 4,5%, dan 5,7%. Situasi konsumsi energi di Provinsi Riau mengalami pola yang serupa dengan situasi konsumsi energi nasional yang menurun dari tahun 2008-2010. Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi energi penduduk Indonesia pada tahun 2008 adalah 2038 kkal/kapita/hari (101,9% AKE), tahun 2009 adalah 1927 kkal/kapita/hari (96,4% AKE), dan tahun 2010 adalah 1926 kkal/kapita/hari (97,6% AKE).

Menurut Khomsan dan Kusharto (2004), kebutuhan pangan suatu wilayah dipengaruhi oleh pertumbuhanpendudukdan juga pertumbuhan ekonomi. Menurut BPS (2011), pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau pada tahun 2008 mencapai 5,65% dan berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,50%. Namun pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau mengalami penurunan pada tahun 2009 yaitu 2,97% dan berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 4,74%.Kemudian dalam kajian ekonomi regional yang dilakukan oleh Bank Indonesia Pekanbaru (2010), pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau pada tahun 2010 hanya mencapai 4,17%. Pertumbuhan ekonomi tersebut jauh berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,08%. Dalam konteks ilmu ekonomi, pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menilai aktivitas ekonomi yang menyerap tenaga kerja serta menciptakan sumber mata pencarian dan sekaligus pendapatan yang berhubungan erat dengan daya beli (Syah 2008). Daya beli yang rendah akan memungkinkan masyarakat tidak mampu dalam memenuhi kebutuhannya. Daya beli yang terbatas dapat menyebabkan rendahnya akses atau permintaan masyarakat terhadap kebutuhan primer yang termasuk ke dalamnya kebutuhan konsumsi pangan.

Hasil Pra WNPG IX, bulan Juni 2008 menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan disebabkan oleh rendahnya keterjangkauan pangan sebagian penduduk. Menurut Suryana (2008), keterjangkauan pangan masyarakat harus memenuhi tiga hal yaitu ekonomi, fisik, dan sosial. Keterjangkauan ekonomi artinya masyarakat dapat mempunyai daya beli yang cukup untuk mendapatkan bahan pangan yang sesuai kebutuhan dan pilihan setiap individu anggotanya. Keterjangkauan fisik artinya masyarakat dapat menjangkau pangan dengan mudah karena adanya dukungan prasarana dan sarana mobilitas maupun pasar yang memadai. Menurut BKP Riau (2009), Secara umum kondisi sarana dan prasarana di Riau masih belum mendukung kinerja subsistem distribusi pangan daerah. Masih terdapat kekurangan pada fasilitas prasarana jalan, pelabuhan, dan sarana angkutan sehingga menyebabkan mahalnya biaya distribusi dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Hal ini terutama terdapat di daerah kepulauan seperti Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hilir, dan Pelalawan serta daerah terpencil lainnya. Minimnya prasarana dan sarana ini menyebabkan daerah-daerah tertentu menjadi sangat terisolir dan sulitnya masyarakat mengakses pangan. Oleh karena itu, kedepannya pemerintah Provinsi Riau perlu

melakukan perubahan dan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran disrtribusi pangan ke seluruh wilayah.

Pertumbuhan pendudukyang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negaraberkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalahpeningkatan kebutuhan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk.Disisi lain, menurut Khomsan dan Kusharto (2004), bila jumlah penduduk meningkat makaakan terjadi kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat mengancam keberadaan lahanpertanian. Konversi lahan pertanian akan mengancam pemantapan ketahananpangan. Berdasarkan data BPS (2010), laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau cukup tinggi yaitu mencapai 3,59% per tahun. Hal ini dapat berdampak pada konversi lahan potensial pertanian ke lahan non pertanian seperti perumahan, daerah industri, dan lain-lain. Menurut data BPS (2010) terjadi penurunan luas panen pada padi dan jagung pada tahun 2010 yaitu masing-masing mencapai1,31% dan 34,28%. Penurunan luas panen pada lahan jagung mengakibatkan penurunan produksi jagung pada tahun 2010. Produksi jagung pada tahun 2009 tercatat mencapai 49,8 ribu ton dan menurun menjadi 41,9 ribu ton pada tahun 2010 yang berarti mengalami penurunan produksi sekitar -15,9% (BKP Riau 2011).Mengingat jagung merupakan komoditas kelompok pangan padi-padian, maka penurunan produksi jagung mengurangi produksi pada kelompok pangan padi-padian. Penurunan produksi tersebut diikuti oleh penurunan konsumsi pada kelompok pangan padi-padian yang dapat dilihat pada tabel 5.

Selain kelompok padi-padian, sumber pangan karbohidrat yang dapat menjadi sumber energi penduduk adalah kelompok pangan umbi-umbian. Menurut (BKP Riau 2011), perkembangan produksi kelompok pangan umbi-umbian di Provinsi Riau mengalamipeningkatan produksi dengan pertumbuhan per tahun pada tahun 2008-2010 mencapai 15,9%.Namun konsumsi masyarakat terhadap kelompok pangan umbi-umbian sebagai sumber energi masih sangat rendah apabila dibandingkan konsumsi pada kelompok padi-padian yang dapat dilihat pada Tabel 5. Konsumsi pangan dari kelompok umbi-umbian yang dianjurkan adalah 90 g/kapita/hari. Konsumsi pangan dari kelompok umbi-umbian pada tahun 2008 masih rendah yaitu 44 g/kapita/hari. Begitu juga dengan konsumsi pada tahun 2009 dan 2010 yaitu 35 g/kapita/hari.

Pada tahun 2008, kelompok umbi-umbian hanya menyumbang 2,2% dari total konsumsi energi yang dianjurkan WNPG (2000kkal/kapita/hari). Angka tersebut menurun pada tahun 2009 dan 2010 yaitu masing-masing hanya menyumbang 1,8% energi dari kontribusi energi yang seharusnya yaitu 6% dari kelompok pangan umbi-umbian.

Tabel 5 Tingkat konsumsi energi di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010 g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE Pedesaan+perkotaan 1 Padi-padian 1167 58,3 1101 55,0 1083 54,2 2 Umbi-umbian 44 2,2 35 1,8 35 1,8 3 Pangan Hewani 209 10,5 207 10,3 214 10,7 4 Minyak dan Lemak 354 17,7 271 13,6 266 13,3 5 Buah/Biji Berminyak 72 3,6 69 3,4 65 3,2 6 Kacang-kacangan 45 2,3 37 1,8 35 1,8 7 Gula 122 6,1 107 5,4 104 5,2 8 Sayur dan Buah 95 4,7 81 4,0 76 3,8 9 Lain-lain 36 1,8 25 1,2 26 1,3 Total 2144 107,2 1933 96,6 1904 95,2

Apabila dibedakan menurut wilayah, konsumsi energi di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Tabel 6 menyajikan konsumsi energi penduduk di Provinsi Riau yang dibedakan menurut wilayah pedesaan dan perkotaan. Dapat diketahui bahwa konsumsi energi penduduk di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan untuk kelompok pangan sumber energi baik dari kelompok padi-padian maupun umbi-umbian. Konsumsi energi di wilayah pedesaan pada tahun 2008 adalah 2231 kkal/kapita/hari (111,5% AKE) sementara konsumsi energi di wilayah perkotaan adalah 2065 kkal/kapita/hari (103,3% AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi di wilayah pedesaan adalah 1933 kkal/kapita/hari (96,6% AKE) dan di perkotaan 1932 kkal/kapita/hari (96,6% AKE).Tahun 2010 konsumsi energi di wilayah pedesaan adalah 1924 kkal/kapita/hari (96,2% AKE) dan di wilayah perkotaanadalah 1884 kkal/kapita/hari (94,2% AKE).Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi energi penduduk Indonesia di wilayah pedesaan juga menunjukkan nilai yang lebih besar daripada wilayah perkotaan. Tahun 2008, konsumsi energi penduduk Indonesia di pedesaan adalah 2095 kkal/kapita/hari (104,8% AKE) dan perkotaan 1976 kkal/kapita/hari (98,8% AKE), tahun 2009 konsumsi energi di pedesaan 1961 kkal/kapita/hari (98,1% AKE) dan perkotaan 1891 kkal/kapita/hari (94,6% AKE), dan tahun 2010

konsumsi penduduk Indonesia di pedesaan 1966 kkal/kapita/hari (100,3% AKE) dan di perkotaan 1884 kkal/kapita/hari (94,9% AKE).

Menurut Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan konsumsi energi antara penduduk pedesaan dan perkotaan diantaranya adalah karena perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan, dan kemampuan untuk membeli pangan.Aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan penduduk perkotaanyang cenderung bergaya hidup sedentarysehingga relatif membutuhkan dan mengkonsumsi energi yang lebih sedikit.Selain itu, menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), tingkat pendapatan yang terbatas di pedesaan membuat seseorang cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pangan tersebut umumnya merupakan pangan sumber karbohidrat dan menjadi penyumbang energi terbesar.

Tabel 6 Tingkat konsumsi energi di wilayah pedesaan dan perkotaan Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010 No Kelompok Pangan 2008 2009 2010 g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE Pedesaan 1 Padi-padian 1212 60,6 1105 55,3 1102 55,1 2 Umbi-umbian 51 2,5 37 1,9 37 1,9 3 Pangan Hewani 185 9,3 179 9,0 187 9,3 4 Minyak dan Lemak 380 19,0 266 13,3 268 13,4 5 Buah/Biji Berminyak 84 4,2 80 4,0 75 3,8 6 Kacang-kacangan 44 2,2 36 1,8 35 1,8 7 Gula 142 7,1 121 6,0 116 5,8 8 Sayur dan Buah 95 4,7 83 4,2 78 3,9 9 Lain-lain 37 1,9 26 1,3 26 1,3 Total 2231 111,5 1933 96,6 1924 96,2 Perkotaan 1 Padi-padian 1122 56,1 1.096 54,8 1.064 53,2 2 Umbi-umbian 38 1,9 33 1,7 34 1,7 3 Pangan Hewani 233 11,7 234 11,7 240 12,0 4 Minyak dan Lemak 328 16,4 277 13,8 264 13,2 5 Buah/Biji Berminyak 66 3,3 57 2,8 54 2,7 6 Kacang-kacangan 46 2,3 38 1,9 35 1,8 7 Gula 102 5,1 94 4,7 93 4,6 8 Sayur dan Buah 94 4,7 79 4,0 74 3,7 9 Lain-lain 35 1,7 24 1,2 26 1,3 Total 2065 103,3 1932 96,6 1884 94,2

Pada Tabel 6 di atas juga dapat dilihat bahwa untuk kontribusi konsumsi energi dari kelompok padi-padian wilayah pedesaan di Provinsi Riau tahun 2008 adalah 60,6% dan sudah melebihi angka yang dianjurkan yaitu 50%. Sama halnya dengan kontribusi konsumsi energi di perkotaan dari kelompok padi-padian sudah melebihi angka yang dianjurkan yaitu mencapai 56,1%. Namun proporsi kontribusi energi dari kelompok padi-padian di wilayah pedesaan lebih

tinggi 4,5% dibandingkan wilayah perkotaan.Pada tahun 2009 dan 2010, kontribusi konsumsi energi dari kelompok padi-padian di wilayah pedesaan dan perkotaan menurun dari tahun 2008, namun kontribusi konsumsi energi tersebut masih berada di atas kontribusi energi yang dianjurkan. Sementara untuk kontribusi energi dari konsumsi pangan umbi-umbian masih sangat rendah. Pada tahun 2008 kontribusi konsumsi energi dari kelompok pangan umbi-umbian di wilayah pedesaan adalah 2,5% dan di wilayah perkotaan adalah 1,9%. Kontribusi tersebut masih jauh berada di bawah kontribusi yang diharapkan dari kelompok pangan umbi-umbian yaitu 6% dari AKE 2000 kkal/kapita/hari.

Konsumsi Protein

Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Protein yang dikonsumsi sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna, dan diserap oleh tubuh. Konsumsi protein yang dianjurkan menurut WNPG VIII tahun 2004 adalah sebesar 52 g/kapita/hari.

Secara umum, konsumsi protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai tahun 2010 sudah melebihi angka kecukupan yang dianjurkan. Konsumsi protein pada tahun 2008 adalah 57,9 g/kapita/hari, kemudian konsumsimenurun pada tahun 2009 menjadi 54,7 g/kapita/hari. Konsumsi meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 55 g/kapita/hari. Situasi konsumsi protein di Provinsi Riau mengikuti pola konsumsi protein nasional. Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi protein penduduk Indonesia tahun 2008 adalah 57,49 g/kapita/hari. Kemudian konsumsi juga mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 54,35 g/kapita/hari dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 55,05 g/kapita/hari. Situasi tingkat kecukupan protein di Provinsi Riau pada tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7Tingkat kecukupan protein di Provinsi Riau

No Wilayah Konsumsi (gram/kap/hari) Tingkat Kecukupan (%AKP)* Pertumbuhan 2008 2009 2010 2008 2009 2010 Konsumsi % 1 Pedesaan 57,8 53,4 54,0 111,2 102,6 103,8 -1,9 -3,2 2 Perkotaan 58,2 56,1 56,1 111,9 107,8 107,8 -1,1 -1,8 Pedesaan+Perkotan 57,9 54,7 55,0 111,4 105,3 105,8 -1,5 -2,5 Keterangan :

Sama halnya dengan denganlaju pertumbuhan konsumsi energi, laju pertumbuhan konsumsi protein di Provinsi Riau juga bernilai negatif. Pada tahun 2008 sampai 2010 terjadi penurunan konsumsi protein diwilayah pedesaan, perkotaan, dan wilayah pedesaan+perkotaan masing-masing sebesar 3,2%, 1,8%, dan 2,5%. Laju penurunan konsumsi protein di wilayah pedesaan lebih besar dibandingkan perkotaan. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan konsumsi pangan dari kelompok padi-padian yang cukup besar di wilayah pedesaan yang dapat dilihat pada Tabel 6. Seperti yang diketahui, masyarakat pedesaan cenderung lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat yang berasal dari kelompok padi-padian terutama beras. Kelompok padi-padian, selain menjadi sumber energi terbesar juga menjadi sumber protein terbesar di wilayah pedesaan sehingga penurunan konsumsi pangan tersebut dapat mempengaruhi penurunan konsumsi protein penduduk pedesaan.

Selanjutnya Tabel 8 menyajikan konsumsi protein penduduk di Provinsi Riau menurut kelompok pangan. Meskipun konsumsi protein menurun pada tahun 2009 menjadi 54,7 g/kapita/hari, namun kontribusi protein dari pangan hewani semakin membaik. Pada tahun 2008, tingkat konsumsi protein dari pangan nabati mencapai 51,1% dari kelompok padi-padian. Kemudian konsumsi protein semakin membaik pada tahun 2009 dan 2010 yang ditandai dengan penurunan kontribusi protein dari pangan nabati dan terjadinya peningkatan kontribusi protein dari pangan hewani. Menurut Pudjiaji (2001), protein yang berasal dari hewan lebih baik kualitasnya dibandingkan protein nabati. Pada tahun 2008 kontribusi protein dari pangan hewani adalah 38,6%, tahun 2009 meningkat menjadi 39,7% dan pada tahun 2010 menjadi 41,4%.

Tabel 8 Tingkat konsumsi protein di Provinsi Riau menurut kelompok pangan berdasarkan data Susenas tahun 2008-2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010 g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE g/kap/hari % TKE Pedesaan+perkotaan 1 Padi-padian 26,6 51,1 25,2 48,5 24,9 47,8 2 Umbi-umbian 0,5 1,0 0,4 0,8 0,4 0,8 3 Pangan Hewani 20,1 38,6 20,6 39,7 21,5 41,4 4 Minyak dan Lemak 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0 0,1 5 Buah/Biji Berminyak 0,8 1,5 0,7 1,4 0,7 1,3 6 Kacang-kacangan 4,0 7,8 3,3 6,4 3,2 6,1 7 Gula 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 8 Sayur dan Buah 3,7 7,2 2,9 5,5 2,8 5,4 9 Lain-lain 2,1 4,1 1,4 2,7 1,5 2,9 Total 57,9 111,4 54,7 105,3 55,0 105,8

Apabila dibedakan menurut wilayah, tingkat konsumsi protein di wilayah pedesaan lebih rendah daripada wilayah perkotaan. Konsumsi protein di wilayah pedesaan pada tahun 2008 adalah 57,8 g//kapita/hari (111,2% AKP) sementara di wilayah perkotaan adalah 58,2 g/kapita/hari (111,9% AKP). Konsumsi protein di wilayah pedesaan pada tahun 2009 adalah 53,4 g/kapita/hari ( 102,6% AKP) dan di perkotaan 56,1 g//kapita/hari (107,8% AKP). Tahun 2010 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 54,0 g/kapita/hari 103,8% AKP) dan di wilayah perkotaan 56,1 g/kapita/hari (107,8% AKP). Berdasarkan data Susenas yang diolah oleh BKP (2012), konsumsi protein penduduk Indonesia di wilayah pedesaan juga menunjukkan nilai yang lebih rendah daripada wilayah perkotaan. Tahun 2008, konsumsi protein penduduk Indonesia di pedesaan adalah 56,9 g/kapita/hari (109,4% AKP) dan perkotaan 58,3 g/kapita/hari (112,1% AKP), tahun 2009 konsumsi protein di pedesaan 53,1 g/kapita/hari (102,1% AKP) dan perkotaan 55,7 g/kapita/hari (107,1% AKP), dan tahun 2010 konsumsi protein penduduk Indonesia di pedesaan 53,9 g/kapita/hari (10,8% AKP) dan di perkotaan 56,2 g/kapita/hari (108,1% AKP).

Menurut Hardinsyah et al (2002), beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan diantaranya adalah pendapatan.Pendapatan yang rendah berhubungan dengan akses yang terbatas terhadap pangan yang layak untuk dikonsumsi. Kemudian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat pedesaan cenderung memperoleh protein lebih besar dari kelompok nabati daripada hewani. Sementara itu, masyarakat di perkotaan lebih banyak mengkonsumsi protein yang berasal dari pangan hewani daripada masyarakat pedesaan.

Aspek distribusi pangan juga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan penduduk sehingga aspek transportasi dan distribusi pangan dapat menjadi sangat vital dalam penyediaan pangan yang merata bagi seluruh penduduk. Perbaikan konsumsi pangan perlu dicermati secara komprehensif, baik dari dimensi fisik penyediaan maupun dari dimensi ekonomi dan kesadaran gizi, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.

Tabel 9 menyajikan tingkat konsumsi protein di wilayah pedesaan dan perkotaan di Provinsi Riau menurut kelompok pangan. Dapat dilihat kontribusi protein di wilayah pedesaan dari kelompok padi-padian pada tahun 2008 mencapai 53,2%, sementara untuk wilayah perkotaan adalah 49%. Kemudian konsumsi protein semakin membaik pada tahun 2009 dan 2010 yang ditandai

dengan penurunan kontribusi protein dari pangan nabati dan terjadinya peningkatan kontribusi protein dari pangan hewani baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pada tahun 2008 kontribusi protein dari pangan hewani di wilayah pedesaan adalah 35,1%, tahun 2009 meningkat menjadi 36,4% dan pada tahun 2010 menjadi 37,8%. Pada wilayah perkotaan, kontribusi protein dari

Dokumen terkait