• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMBAHAN ISI RUMEN SAPI

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Silase

Kualitas fisik merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu silase yang dihasilkan. Kualitas fisik silase meliputi warna, aroma, tekstur, dan keberadaan jamur. Kualitas fisik silase (aroma dan tekstur) C. odorata dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan warna silase ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Warna silase C. odorata pada 0 hari dan 21 hari setelah proses ensilase.

CO (0 hari) COP (0 hari)

COP (21 hari) CO (21 hari)

COPR5 (21 hari) COPR10 (21 hari)

22

Warna silase yang dihasilkan menunjukan bahwa keempat perlakuan warnanya sama pada 0 hari, sedangkan setelah fermentasi (21 hari) warna keempat perlakuan tergradasi dari hijau alami ke hijau kecoklatan. Perubahan warna dari hijau alami ke hijau kecoklatan diduga disebabkan oleh reaksi oksidasi yang dikatalis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim tersebut mengkatalis fenol menjadi quinon yang dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna cokelat (Mayer 1986). Warna tanin akan berubah menjadi gelap ketika terpapar cahaya atau dibiarkan di udara terbuka (Susanti 2000) dan juga karena tingginya suhu selama proses ensilase.

Aroma silase 0 hari tidak asam, dikarenakan belum adanya proses ensilase sehingga belum terbentuknya senyawa asam. Aroma pada silase 21 hari untuk perlakuan CO dan COP tidak beraroma asam sedangkan perlakuan COPR5 dan COPR10 beraroma agak asam. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kualitas silase yang dihasilkan kurang baik karena silase yang baik adalah silase yang memiliki aroma asam (Abdelhadi et al. 2005). Hal ini disebabkan oleh adanya tanin dalam

C. odorata sehingga tanin menghambat kerja bakteri yang ada dalam proses ensilase. Tanin dalam bahan pakan dapat mengurangi populasi bakteri sehingga proses ensilase tidak berlangsung optimal. Tekstur silase yang dihasilkan baik 0 hari maupun 21 hari memiliki tekstur yang padat berarti silase yang dihasilkan baik karena memiliki tekstur lembut (Sandi et al. 2010).

Tabel 6 Kualitas fisik silase C. odorata

Kualitas fisik silase

Hari ke-

Perlakuan Penambahan Aditif (PPA)

CO COP COPR5 COPR10

Aroma 0 tidak asam tidak asam tidak asam tidak asam

21 tidak asam tidak asam agak asam agak asam

Tekstur 0 padat padat padat padat

21 padat padat padat padat

Keterangan: CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%; COPR5= C. odorata

segar + putak 10% + isi rumen 5%; COPR10= C. odorata segar + putak 10% + isi rumen 10%

Persentase jamur, suhu dan pH silase pun dapat digunakan sebagai penentu kualitas silase (Tabel 7). Persentase jamur yang dihasilkan pada silase 0 hari dan 21 hari berkisar antara 0%-1.98%. Menurut Davies (2007), persentase bagian berjamur pada silase berkualitas baik adalah kurang dari 10%. Suhu sebelum fermentasi berkisar 27.7oC–28.2oC, sedangkan suhu silase setelah fermentasi 29.8oC–30 oC. Suhu silase dalam penelitian ini tergolong dalam suhu maksimum seperti yang dilaporkan oleh Levital et al. (2009) bahwa suhu maksimum yang dapat dihasilkan oleh silase adalah 30oC.

pH menggambarkan sejauh mana proses ensilase berlangsung. Silase dengan proses ensilase yang sempurna ditandai dengan rendahnya nilai pH. Pada penelitian ini nilai pH silase untuk keempat perlakuan pada waktu fermentasi 0 hari dan 21 hari berkisar 6.7-5.2. Wilkins (1988) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu baik sekali (pH 3.2-4.2), baik (pH 4.2-4.5), sedang (pH 4.5-4.8), dan buruk (pH>4.8). Tingginya nilai pH mungkin dipengaruhi oleh belum tercukupinya kebutuhan BAL akan karbohidrat mudah larut sehingga produksi asam laktat berkurang. Asam laktat yang

23 dihasilkan selama proses fermentasi selain berfungsi untuk menurunkan pH, juga berfungsi sebagai pengawet.

Tabel 7 Suhu dan pH silase C. odorata Kualitas fisik

silase Hari ke-

Perlakuan Penambahan Aditif (PPA)

Rataan

CO COP COPR5 COPR10

Jamur (%)

0 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00± 0.00 0.00±0.00 0.00±0.00a

21 1.98 ± 0.46 1.55±0.24b 1.48±0.26 1.43±0.21 1.61±0.35b

Rataan 0.99±1.10 0.78±0.84 0.74±0.81 0.71±0.77 0.80±0.85

Suhu(oC)

0 27.8±0.08ab 27.7±0.54a 28.2±0.00c 28.3±0.00bc 27.93±0.31a

21 30.0±0.00d 29.9±0.00d 29.8±0.00d 30.0±0.00d 29.93±0.09b Rataan 28.90±1.18 28.80±1.23 29.00±0.86 29.00±1.07 28.93±1.04 pH 0 6.7±0.08c 6.7±0.13c 6.6±0.05c 6.6±0.08c 6.6±0.09 21 6.3 ±0.50b 6.0±0.31b 5.4±0.21a 5.2±0.19a 6.0±0.50 Rataan 6.5±0.35 6.3±0.43 6.0±0.70 5.9±0.75 6.2±0.60

Keterangan: CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%; COPR5= C. odorata

segar + putak 10% + isi rumen 5%; COPR10= C. odorata segar + putak 10% + isi

rumen 10%. Huruf kecil yang berbeda pada kolom/baris yang sama menunjukkan

berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Duncan).

Selain rendahnya produksi asam laktat, faktor penyebab rendahnya nilai pH dikarenakan adanya kapasitas buffering oleh protein karena C. odorata mengandung PK tinggi. Dalam penelitian ini walaupun pH basa namun silase yang dihasilkan tidak busuk. Artinya bahwa ada zat lain selain asam laktat yang terdapat dalam silase C. odorata yang berperan sebagai pengawet. Diduga dengan adanya tanin dalam silase C. odorata dapat berfungsi sebagai pengawet, karena tanin memiliki sifat antibakteri yang dapat menghambat proses pembusukan akibat tumbuhnya bakteri Clostridium sp (Salawu et al. 1999).

Kandungan Nutrisi Silase C. odorata

Bagian C. odorata yang digunakan dalam pembuatan silase adalah bagian daun, dengan asumsi bahwa daun tanaman merupakan bagian yang paling disukai oleh ternak. Kondisi awal dan akhir digunakan sebagai acuan dalam melihat sejauh mana perbedaan nutrien sebelum dan sesudah proses ensilase. Variabel nutrisi penting penentu nilai biologis bahan pakan dari silase C.odorata yang dipengaruhi oleh perlakuan yaitu kandungan bahan organik, protein kasar, dan serat kasar.

Komposisi nutrien C. odorata sebelum dan sesudah ensilase ditampilkan pada Tabel 8. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan PA berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kandungan BK silase C.odorata. Waktu fermentasi berpengaruh tidak signifikan terhadap kandungan BK serta tidak terdapat interaksi antara perlakuan PA dan waktu fermentasi. Penurunan BK tertinggi terdapat pada perlakuan COP sebesar 9.98%, diikuti perlakuan COPR10 dan COPR5 (10.37%) dibanding kontrol (12.26%). Penambahan putak dalam pembuatan silase C. odorata dapat menurunkan bahan kering karena kemampuan BAL dalam memanfaatkan karbohidrat mudah larut sehingga kadar air yang dikeluarkan meningkat (Ridwan et al. 2005). Kondisi inilah yang menyebabkan kadar bahan kering menurun.

24

Tabel 8 Komposisi nutrien C. odorata sebelum dan sesudah ensilase

Peubah Hari Perlakuan Penambahan Aditif Rataan

CO COP COPR5 COPR10

BK (%)

0 12.75± 0.20 10.10±0.16 10.47± 0.17 10.50±0.20 10.96±1.10

21 11.77±1.31 9.85±0.90 10.27±0.32 10.24±0.46 10.53±1.07

Rataan 12.26±1.01b 9.98±0.61a 10.37±0.26a 10.37±0.36a 10.74±1.09

BO (%)

0 86.12±0.12 88.59±0.04 88.66±0.03 89.36±0.01 88.18±1.27a

21 85.93±0.69 88.45±0.36 88.63±0.08 88.61±0.10 87.90±1.23b

Rataan 86.02±0.47a 88.52±0.25b 88.64±0.05b 88.99±0.41c 88.04±1.24

PK (%)

0 13.78±0.77a 14.40±1.69ab 15.45±1.03bc 21.61±1.24e 16.31±3.41

21 15.64±0.17bc 16.04±0.35c 16.63±0.80c 20.10±0.93d 17.10±1.91

Rataan 14.71±1.12 15.22±1.43 16.04±1.06 20.86±1.30 16.71±2.75

LK (%)

0 7.73±0.29e 5.31±0.33d 5.04±0.65bcd 4.25±0.30ab 5.58±1.39

21 5.15±0.23cd 4.08±0.52a 4.03±0.95a 4.37±0.45abc 4.41±0.71

Rataan 6.44±1.40 4.69±0.77 4.53±0.93 4.31±0.36 4.99±1.24

SK (%)

0 13.43±0.88c 13.33±0.15c 13.31±0.17c 14.28±0.43d 13.59±0.61

21 9.95±0.32b 8.98±0.47a 8.44±0.73a 8.30±0.38a 8.92±0.80

Rataan 11.69±1.96 11.16±2.35 10.88±2.65 11.30±3.22 11.25±2.48

BETN (%)

0 51.19±1.52 55.55±1.30 54.86±0.44 49.22±0.43 52.70±2.91a

21 55.19±0.87 59.35±0.96 59.53±1.60 55.84±1.60 57.48±2.27b

Rataan 53.19±2.43a 57.45±2.29b 57.20±2.72b 52.53±2.72a 55.09±3.53

Keterangan: BK: bahan kering; BO= bahan organik; PK= protein kasar; LK= lemak kasar; SK= serat kasar; BETN= bahan ekstrak tanpa nitrogen; CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%; COPR5= C. odorata segar + putak 10% + isi rumen 5%;

COPR10= C. odorata segar + putak 10% + isi rumen 10%; Huruf kecil yang berbeda

pada kolom/baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji Duncan); *Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2015)

Bahan organik menjadi penentu kualitas nutrisi dan juga merupakan sumber organik bagi ternak. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan PA berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kandungan BO silase C.odorata. Waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kandungan BO serta tidak terdapat interaksi antara perlakuan PA dan waktu fermentasi. Kandungan BO tertinggi terdapat pada perlakuan COPR10 yaitu sebesar 88.99%, COPR5 (88.64%), COP (88.52%), dan kontrol (86.02%).Penambahan putak dan isi rumen meningkatkan kandungan BO silase karena adanya sumbangan BO dari putak dan isi rumen. Ridwan et al. (2005) menyatakan bahwa penambahan sumber karbohidrat meningkatkan BO silase. Lamanya waktu fermentasi berpengaruh terhadap kandungan BO silase, di mana setelah fermentasi 21 hari, kandungan BO silase menurun. Hal ini dikarenakan selama proses fementasi berlangsung terjadi penguraian bahan organik oleh bakteri untuk kelangsungan hidupnya. Walaupun ada penambahan sumber karbohidrat, namun diduga jumlah yang diberikan belum mencukupi kebutuhan bakteri selama ensilase sehingga terjadi penurunan kandungan BO silase.

Kandungan PK silase C. odorata ditampilkan pada Tabel 8. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan PA berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kandungan PK silase C.odorata. Waktu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kandungan PK serta terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan PA dan waktu fermentasi. Peningkatan PK terjadi pada perlakuan COPR10 sebelum ensilase karena adanya penambahan PK dari putak dan isi rumen. Namun, setelah fermentasi terjadi sedikit penurunan yang dikarenakan adanya penurunan kandungan N selama proses ensilase akibat meningkatnya proporsi senyawa N yang larut dalam effluent (Ginting et al. 2011). Interaksi terbaik antara

25 penambahan aditif dan waktu fermentasi terdapat pada perlakuan COPR10 0 hari. Hal ini diduga sebagai akibat adanya penambahan rumen dan isi rumen serta belum terurainya kandungan N akibat proses fermentasi.

Hasil analisis varians (Tabel 8) menunjukkan bahwa penambahan aditif dan waktu fermentasi sangat nyata (P<0.01) menurunkan kandungan LK serta terdapat interaksi antara penambahan aditif dan waktu fermentasi. Perlakuan dengan kandungan LK terendah terdapat pada perlakuan COPR5 21 hari diduga karena kandungan LK putak dan isi rumen rendah serta telah terpecahnya ikatan kompleks trigliserida menjadi ikatan yang lebih sederhana antara lain dalam bentuk asam lemak dan alkohol.

Analisis varians untuk kandungan SK silase C. odorata (Tabel 8) menunjukkan bahwa penambahan aditif nyata mempengaruhi SK silase, waktu fermentasi sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi SK serta terdapat interaksi antara penambahan aditif dan waktu fermentasi. Perlakuan COPR10 21 hari merupakan perlakuan dengan kandungan SK terendah. Hal ini dikarenakan selama proses fermentasi mikroba memecah komponen yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana (Winarno et al. 1980). Hasil penelitian ini senada dengan yang dilaporkan oleh Hidayat (2009) bahwa fermentasi dapat menurunkan kandungan serat kasar kulit singkong dari 21.2% menjadi 14.96%.

Beta-N menjadi penunjuk ketersediaan karbohidrat sebagai sumber organik. Hasil analisis sidik ragam terhadap Beta-N menunjukkan bahwa penambahan aditif dan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kandungan Beta-N silase C. odorata. Penambahan aditif pada COP dan COPR5 memiliki kandungan Beta-N tertinggi karena adanya sumbangan dari

putak dan isi rumen. Diharapkan kandungan BETN pada perlakuan COPR10 yang tertinggi namun hasilnya rendah diduga karena meningkatnya penambahan isi rumen akan meningkatkan kandungan SK yang berakibat terhadap rendahnya kandungan Beta-N. Waktu fermentasi 21 hari merupakan waktu terbaik untuk meningkatkan kandungan Beta-N, karena selama proses ensilase terjadi penurunan kandungan SK yang berkibat terhadap tingginya kandungan Beta-N.

Kandungan Metabolit Sekunder

Kandungan metabolit sekunder silase C. odorata ditampilkan pada Tabel 9. Analisis varians menunjukkan bahwa penambahan aditif dan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap penurunan kandungan tanin silase C. odorata, namun tidak terdapat interaksi antar kedua faktor tersebut.

Tabel 9 Kandungan metabolit sekunder silase C. odorata*

Peubah Hari PPA Rataan

CO COP COPR5 COPR10

Tanin (%)

0 8.63±0.32 8.11±0.14 7.97±0.30 7.46±0.09 8.04±0.48a

21 7.66±0.75 7.57±0.76 6.33±0.49 6.03±0.41 6.90±0.93b

Rataan 8.14±0.75b 7.84±0.58b 7.15±0.95a 6.74±0.81a 7.47±0.93

Trypsin Inhibitor

(mg g-1)

0 27.08±0.21e 23.63±0.78cd 25.13±0.88cde 24.79±1.32cde 25.16±1.51

21 25.94±2.88de 22.53±2.88bc 18.50±2.36a 20.01±0.17ab 21.75±7.59

Rataan 26.51±1.98 23.08±2.04 21.82±3.91 22.40±2.70 23.45±3.22

Keterangan: CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%; COPR5= C. odorata

segar + putak 10% + isi rumen 5%; COPR10= C. odorata segar + putak 10% + isi

rumen 10%; Huruf kecil yang berbeda pada kolom/baris yang sama menunjukkan

berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); *Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2015)

26

Penambahan aditif putak 10% dan isi rumen 10% menurunkan total tanin. Hal ini dikarenakan adanya penambahan putak 10% dan isi rumen 10% sebagai sumber mikroba sehingga membantu dalam mendegradasi ikatan kompleks tanin-protein sehingga tanin yang terikat larut sebagai tanin bebas (Ikemefuna dan Atii 1994). Selain itu, penurunan ini pun dikarenakan sudah adanya penambahan putak

10% sehingga secara tidak langsung konsentrasi tanin sudah berkurang. Perlakuan CO dan COP tidak terlalu banyak menurunkan konsentrasi taninnya karena proses pemutusan ikatan tanin hanya mengandalkan kemampuan bakteri dan enzim yang berasal dari bahan baku sehingga tidak seefektif perlakuan COPR5 dan COPR10.

Analisis varians terhadap aktivitas trypsin inhibitor menunjukkan bahwa penambahan aditif dan waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap aktivitas trypsin inhibitor silase serta adanya interaksi antar kedua faktor tersebut. Perlakuan dengan penambahan putak 10% dan isi rumen 5% selama ensilase 21 hari menurunkan aktivitas trypsin inhibitor. Penurunan tersebut diduga selama fermentasi protease yang dihasilkan dapat memotong molekul protein menjadi peptida dan asam-asam amino. Terpotongnya molekul protein mengakibatkan trypsin inhibitor terdegradasi atau termodifikasi sehingga kehilangan aktivitasnya dalam mengikat trypsin (Chen et al., 2013). Semestinya pada perlakuan COPR10 penurunan aktivitas trypsin inhibitor yang tertinggi dengan asumsi jumlah isi rumen yang ditambahkan lebih banyak (10%) sehingga lebih efektif memotong molekul protein. Ternyata peningkatan jumlah isi rumen ke 10% menghasilkan penurunan yang tidak berbeda dengan yang diberikan 5% sehingga mengindikasikan bahwa proses mungkin telah jenuh.

Kualitas Fermentasi Rumen secara invitro

Kualitas fermentasi rumen merupakan salah satu indikator dalam mengukur berapa banyak pakan dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kualitas fermentasi rumen silase C. odorata dapat dilihat pada Tabel 10. NH3 merupakan hasil hidrolisis protein menjadi ammonia oleh mikroba selama proses ensilase. Haresign dan Cole (1981) menyatakan bahwa protein dalam pakan akan mempengaruhi kandungan N-amonia rumen. Makin besar kandungan protein dalam pakan maka makin meningkat kandungan N-amonia dalam rumen. Selama ensilase terjadipemecahan protein menjadi peptida dan asam amino bebas yang dilakukan enzim tanaman. Sementara itu perombakan asam amino menjadi amonia dan senyawa NPN lainnya dilakukan oleh Clostridia proteolitik (Ohshima & McDonald 1978).

Konsentrasi NH3 dan VFA silase C. odorata ditampilkan dalam Tabel 10. Analisis varians NH3 menunjukkan bahwa penambahan aditif berpengaruh nyata (P<0.05), waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01), namun tidak terdapat interaksi antar kedua faktor. Penambahan aditif dengan konsentrasi NH3 tertinggi terdapat pada perlakuan CO sebesar 10.01 mM, COPR10 sebesar 8.99 mM, diikuti COPR5 (8.73 mM), dan yang terendah COP (8.56 mM). Rendahnya kandungan NH3 pada perlakuan dengan penambahan putak akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikanpenggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba (Ranjhan 1980) akibat dari pasokan tambahan sumber karbon dari putak yang menyediakan kerangka karbon bagi pertumbuhan mikroba. Setelah ensilase 21 hari terjadi peningkatan konsentrasi NH3 silase dikarenakan

27 aktivitas mikroba rumen meningkat dalam mencerna protein sebagai akibat dari tingginya protein pakan (Ranjhan 1980).

Tabel 10 Kualitas fermentasi rumen silase C. odorata*

Peubah Hari Perlakuan Penambahan Aditif Rataan

CO COP COPR5 COPR10

NH3

(mM)

0 7.11±0.28 6.35±0.28 5.82±0.17 6.91±0.88 6.55±0.68a

21 12.91±1.18 10.78±1.18 11.64±1.35 11.07±1.33 11.60±1.54b

Rataan 10.01±3.20b 8.56±2.65a 8.73±3.24a 8.99±2.46ab 9.07±2.82

VFA (mM)

0 146.57±0.28 128.02±0.48 106.94±0.18 128.76±0.50 127.57±0.73

21 137.35±0.64 136.44±1.09 133.85±0.79 124.49±1.24 133.03±0.90

Rataan 141.96±0.51b 132.23±0.80ab 120.40±0.84a 126.63±0.88ab 130.30±0.82

pH 0 6.9±0.05bc 6.8±0.05b 6.7±0.05a 6.6±0.05a 6.7±0.11

21 6.8±0.00bc 6.9±0.10bc 6.8±0.00bc 6.9±0.12c 6.8±0.08

Rataan 6.8±0.05 6.8±0.09 6.7±0.07 6.8±0.17 6.8±0.11

Keterangan: CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%; COPR5= C. odorata

segar + putak 10% + isi rumen 5%; COPR10= C. odorata segar + putak 10% + isi

rumen 10%.Huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%

(uji selang berganda Duncan); * Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB (2015).

Salah satu indikator aktivitas mikroba rumen memfermentasi ransum ditunjukkan oleh produksi VFA yang merupakan hasil hidrolisa komponen polisakarida menjadi monosakarida oleh enzim mikroba rumen. Analisis varians menunjukkan bahwa penambahan aditif berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap VFA, sedangkan waktu fermentasi tidak berpengaruh. Selain itu, tidak terdapat interaksi antar kedua faktor. Perlakuan CO sangat tinggi kandungan VFAnya yaitu 141.96 mM, COP (132.23 mM), COPR10 (126.63 mM), dan COPR5 (120.40 mM). Bahan makanan yang memiliki karbohidrat tinggi menghasilkan asetat dan propionat yang tinggi sehingga meningkatkan jumlah VFA total (Arora 1995). Namun, dalam penelitian ini perlakuan dengan penambahan putak dan isi rumen justru konsentrasi VFA rendah dibanding perlakuan tanpa penambahan putak. Hal ini mungkin dikarenakan VFA yang terbentuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya.

Nilai pH silase C.odorata hari ke-0 dan hari ke-21 ditampilkan pada Tabel 10. Nilai pH silase C.odorata pada penelitian ini setara dengan yang dilaporkan oleh Syahniar (2015) bahwa pH silase daun singkong berkisar 6.7-6.8. Nilai pH pada silase C.odorata hari ke-0 dan hari ke-21 menunjukkan lingkungan rumen yang normal seperti yang dilaporkan McDonald et al. (2010) yaitu berkisar 5.5-6.5.

Nilai Kecernaan In vitro Silase C. odorata

Penentuan kualitas pakan dapat dilihat dari kecernaan bahan pakan tersebut. Pengukuran kecernaan secara in vitro bertujuan untuk mengetahui banyaknya BK dan BO, dan PK yang hilang atau terfermentasi di rumen dan pascarumen. Semakin besar kecernaan suatu pakan maka semakin bagus pula kualitas pakan karena kecernaan mencirikan sejauh mana pakan tersebut dapat dicerna dalam rumen.

Nilai kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar in vitro silase C. odorata pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 11. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan PA berpengaruh

28

sangat nyata (P<0.01) terhadap KCBK, KCBO, dan KCPK in vitro silase C. odorata. Waktu fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap KCBK dan KCBO tetapi berpengaruh tidak signifikan terhadap KCPK. Terdapat interaksi antara perlakuan penambahan aditif dan waktu fermentasi terhadap KCBK, KCBO, dan KCPK. Nilai KCBK tertinggi silase C. odorata terdapat pada perlakuan COPR10 0 hari sebesar 68.34% dan yang terendah CO 21 hari (53.40%). Tingginya KCBK pada perlakuan COPR10 0 hari karena terjadi penurunan tanin dan aktivitas trypsin inhibitor, protein yang tersedia meningkat sehingga meningkatkan kecernaan. Kandungan serat kasar pada perlakuan COPR10 0 hari lebih tinggi (Tabel 8) dibanding perlakuan lainnya maka kecernaan bahan kering seharusnya menurun namun justru sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa diduga komponen NDF yang terkandung lebih tinggi dibanding komponen ADF (Tabel 1) sehingga tidak terlalu berpengaruh negatif terhadap kecernaan. Jayanegara et al. (2009) pun melaporkan bahwa kecernaan lebih dipengaruhi oleh kadar ADF dalam bahan. Selain itu, komposisi protein dan karbohidrat yang mudah larut akan membantu pertumbuhan mikroba rumen, yang memungkinkan bekerja lebih efektif untuk mendegradasi komponen serat kasar secara fermentatif.

Tabel 11 Nilai kecernaan in vitro silase C. odorata

Peubah Hari Perlakuan Penambahan Aditif Rataan

CO COP COPR5 COPR10

KCBK (%) 0 61.16±1.08c 64.74±0.61d 67.88±1.58e 68.34 ±0.55e 65.81±3.01 21 53.40±0.47a 54.32±0.69a 56.92±2.32b 57.31±0.86b 55.49±2.08 Rataan 57.28±4.22 59.53±5.60 62.40±6.14 62.83±5.93 60.48±5.82 KCBO (%) 0 68.35±1.32c 69.81±0.96c 73.69±1.90d 74.92±0.59d 71.69±3.01 21 59.40±0.33a 59.43±0.87a 61.61±2.64b 61.86±0.78b 60.57±1.77 Rataan 63.87±4.87 64.62±5.61 67.65±6.80 68.39±7.01 66.13±6.15 KCPK (%) 0 55.98±0.57a 76.11±0.49b 77.20±0.26b 77.46±0.37b 72.80±0.67 21 69.60±0.63b 70.09±0.26b 73.63±0.12b 73.90±0.05b 71.81±0.34 Rataan 62.79±0.72 73.10±0.41 75.41±0.22 75.68±0.27 72.29±0.52

Keterangan: KCBK= kecernaan bahan kering; KCBO= kecernaan bahan organik; KCPK= kecernaan protein kasar; CO= C. odorata segar; COP= C. odorata segar + putak 10%;

COPR5= C. odorata segar + putak 10% + isi rumen 5%; COPR10= C. odorata segar

+ putak 10% + isi rumen 10%.Huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); * Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB (2015).

Kecernaan bahan organik menunjukkan sifat fermentabilitas suatu bahan pakan. KCBO yang tinggi pada perlakuan COPR10 0 hari sebesar 74.92% dan yang terendah perlakuan CO 21 hari yaitu sebesar 59.40%. Kecernaan BO selaras dengan kecernaan BK. Tillman et al. (1982) kecernaan bahan kering dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik lebih tinggi dari kecernaan bahan kering. Hal ini dikarenakan pada bahan kering masih terdapat komponen mineral, sedangkan pada bahan organik tidak mengandung mineral, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna. Kandungan abu memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering ransum (Fathul et al. 2010).

Kecernaan PK silase C.odorata tertinggi terdapat pada perlakuan COPR10 0 hari dan yang terendah COP 0 hari masing-masing sebesar 77.46% dan 56.28%. Hasil ini dapat dijelaskan dengan Tabel 8 dan Tabel 9, dimana perlakuan COPR10 merupakan perlakuan dengan kemampuan menurunkan metabolit sekunder

29 tertinggi dan juga memiliki kandungan protein yang tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini senada dengan Tillman et al. (1982) bahwa kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh kandungan protein dalam bahan penyusun ransum dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan.

SIMPULAN

Silase C.odorata dengan penambahan putak 10% dan isi rumen hingga level 10% mampu menurunkan metabolit sekunder (tanin dan trypsin inhibitor), serta mampu mempertahankan kualitas nutrisi dan meningkatkan nilai kecernaan

in vitro silase C.odorata bila dibandingkan dengan silase tanpa aditif putak dan isi rumen.

4 PEMBAHASAN UMUM

Chromolaena odorata atau biasa disebut dengan semak bunga putih merupakan spesies tanaman daerah tropik dan subtropik, memiliki nama ilmiah

Chromolaena odorata (L) R.M. King dan H. E. Robinson. Nama lokal dari semak bunga putihberbeda-beda di setiap daerah. Orang rote menyebutnya ai buna fulak, suf muti/mun-mun kase (Timor), ki rinyuh (Sunda), dan siam weed / jack in the bush (Inggris). Taksonomi dari semak bunga putih tergolong dalam Kingdom: Plantae, phylum: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Asterales, Famili:

Asteraceae, Genus: Chromolaena, Spesies: Chromolaena odorata (L.) King & H.E.Robins (Wikipedia 2016). Tanaman ini masuk dalam kategori 100 gulma paling berbahaya di dunia karena mendominasi padang penggembalaan, bersifat alelopati serta bersifat allergen/toxic bagi manusia dan ternak (Hawaii Department of Agriculture 2016; United States Department of Agriculture 2016).

Kendati keberadaan C. odorata dianggap sebagai gulma, tanaman ini memiliki guna positif bagi dunia peternakan yaitu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. C.odorata merupakan tanaman yang kaya protein namun memiliki metabolit sekunder sehingga tidak dimakan oleh ternak secara langsung. Keberadaan metabolit sekunder (tanin dan trypsin inhibitor) dalam bahan pakan merupakan faktor pembatas, dapat menurunkan konsumsi, menurunkan daya cerna, dan dapat menekan konsumsi dan pertumbuhan. Keberadaan kedua metabolit sekunder ini dapat berguna bagi ternak bila berada pada kisaran normal kebutuhan ternak.

Penelitian ini terdiri atas dua tahapan penelitian, yaitu tahap pertama menguji beberapa metode pengolahan untuk meminimalisir kandungan metabolit sekunder dari tanaman C. odorata, serta pengaruhnya terhadap kandungan nutrien dan kecernaan in vitro. Metode pengolahan yang diuji terdiri atas perlakuan segar, jemur, oven, rebus, rendam air, rendah NaOH, rendam HCl, dan fermentasi. Pemilihan jenis metode pengolahan ini didasarkan pada beberapa riset sebelumnya yang melaporkan bahwa perlakuan ini dapat menurunkan kandungan metabolit sekunder (Habiba (2002; Norton 2000; Roger et al. 2015). Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi (tanpa penambahan bahan aditif), jemur, rendam air dan rebus efektif dalam menurunkan kandungan metabolit sekunder tanaman C. odorata. Penurunan tanin dikarenakan adanya

30

aktivitas kimia dari enzim-enzim yang diproduksi oleh berbagai mikrorganisme fermentatif sehingga merusak ikatan tanin-enzim dan protein-tanin (Taylor and Duodu 2014), terjadinya hidrolisis dan dekomposisi tanin (Makkar dan Becker 1996; Khanbabaee dan van Ree 2001). Penurunan aktivitas trypsin inhibitor

dikarenakan sifat trypsin inhibitor yang tidak stabil terhadap panas, terjadi inaktivasi inhibitor (Vidal-Valverde et al. 1994) dan terdegradasi atau termodifikasinya trypsin inhibitor akibat terpotongnya molekul protein sehingga kehilangan aktivitasnya dalam mengikat trypsin (Chen et al. 2013).

Kandungan BO dan BETN perlakuan fermentasi rendah dibanding perlakuan lainnya sedangkan kandungan PK lebih tinggi. Kondisi ini

Dokumen terkait