Laju Pertumbuhan Penduduk
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat
Disparitas pembangunan merupakan suatu fenomena universal yang dialami oleh suatu wilayah baik di dunia secara umum maupun skala provinsi sendiri di Indonesia. Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari 19 kabupaten/kota tentu memiliki perkembangan pembangunan yang tidak sama. Guna mengetahui tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat maka pada penelitian ini dilakukan pendekatan menggunakan Indeks Williamson untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah dan Indeks Theil untuk mendekomposisi sumber disparitas tersebut. Data yang digunakan adalah nilai PAD, pendapatan total, PDRB harga berlaku dan PDRB harga konstan.
Disparitas Antar Wilayah
Nilai indeks yang dihasilkan dalam analisis Indeks Williamson memiliki nilai lebih besar dari nol (Gambar 12). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan di Provinsi Sumatera Barat. Hasil analisis Indeks Williamson dengan menggunakan data PAD ternyata lebih tinggi apabila dibandingkan dengan menggunakan data lainnya dimana untuk indeks seluruh kabupaten/kota hasilnya 0,58, sedangkan untuk data pendapatan total sekitar 0,49, PDRB atas harga berlaku 0,34, dan PDRB atas harga konstan sekitar 0,38. Nilai indeks yang tinggi dari data PAD tersebut menunjukan bahwa kemampuan suatu daerah mengelola potensi yang terdapat di wilayah masing-masing masih belum merata.
Angka nominal Indeks Williamson Kota Padang sebesar 116,236 miliar rupiah masih sangat dominan dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya, namun apabila dijadikan per kapita maka nilai PAD Kota Padang hanya sekitar 136,676 juta rupiah. Angka tersebut menjadi lebih rendah bila dibandingkan PAD per kapita Kota Sawahlunto yang berjumlah 445,202 juta rupiah karena penduduk Kota Padang yang berjumlah 838.190 jiwa jauh lebih besar dibandingkan penduduk Kota Sawahlunto dengan jumlah 57.120 jiwa. Wilayah yang memiliki PAD per kapita di
atas rata – rata PAD per kapita provinsi (143,557 juta rupiah) seperti Kota Sawahlunto, Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, dan Kota Padang Panjang menunjukkan tingkat produktifitas wilayah tersebut menjadi lebih baik dibandingkan dengan wilayah yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupeten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam.
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 12. Indeks Williamson Sumatera Barat
Hasil Indeks Williamson antara wilayah perbatasan dengan yang bukan perbatasan pada seluruh jenis data yang digunakan menghasilkan nilai ketimpangan yang lebih besar pada wilayah bukan perbatasan dibandingkan wilayah perbatasan. Pada wilayah perbatasan menggunakan data PAD hasilnya adalah 0,53 sementara wilayah non perbatasan 0,57, sedangkan data pendapatan total 0,39 berbanding 0,55, data PDRB harga berlaku 0,33 berbanding 0,20, dan data PDRB harga konstan 2000 nilainya adalah 0,33 berbanding 0,19. Nilai ini bisa terjadi karena wilayah yang berada pada perbatasan kemampuan wilayahnya masih rendah namun jumlah penduduk yang lebih sedikit sehingga menghasilkan angka per kapita yang besar dan relatif merata. Sedangkan untuk wilayah non perbatasan terdapat Kota Padang dengan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya ditambah juga pada
0.58 0.53 0.57 0.49 0.41 0.52 0.28 0.60 0.59 0.59 0.55 0.41 0.61 0.31 0.34 0.24 0.33 0.20 0.34 0.21 0.16 0.46 0.57 0.35 0.44 0.35 0.76 0.41 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90
Sum Bar Perbatasan Non
Perbatasan
Kabupaten Kota Pemekaran Induk
In d e ks Wi ll iam son Klasifikasi Wilayah PAD ' 08 PAD ' 07 PDRB ' 08 PDRB ' 07
wilayah non perbatasan ini terdapat wilayah kabupaten dan kota. Wilayah kabupaten dan kota jelas memiliki jumlah penduduk yang berbeda karena kabupaten memiliki luas yang jauh lebih besar dari kota dan kecenderungan jumlah penduduk yang juga lebih banyak kecuali pada Kota Padang yang merupakan ibukota Sumatera Barat.
Pengelompokkan berdasarkan kabupaten dan kota nilai Indeks Williamson yang diperoleh hampir sama dengan pengelompokkan berdasarkan wilayah perbatasan dan bukan perbatasan yaitu terjadinya indeks yang lebih tinggi pada kota dibandingkan dengan kabupaten. Hasil yang sedikit berbeda diperoleh dengan menggunakan data PAD dimana indeks pada kota sedikit lebih baik dibandingkan kabupaten yaitu 0,41 berbanding 0,49. Data tersebut mengindikasikan bahwa tingkat ketimpangan di wilayah kabupaten lebih tinggi dibandingkan wilayah kota. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa wilayah kabupaten yang tingkat PAD sangat rendah seperti Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Sijunjung.
Hasil Indeks Williamson wilayah kota yang lebih baik dibandingkan wilayah kabupaten dapat terjadi karena pengaruh tingkat sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan data Sumatera Barat dalam angka 2009, jumlah mahasiswa yang ada di wilayah kota sebanyak 121.112 orang (9,27 persen jumlah penduduk), tenaga dosen sebanyak 8.334 orang (0,64 persen), dan jumlah perguruan tinggi negeri 14 buah serta perguruan tinggi swasta 60 buah. Sementara untuk wilayah kabupaten jumlah mahasiswa sebanyak 12043 orang (0,35 persen), tenaga dosen sebanyak 1534 orang (0,04 persen), dan jumlah perguruan tinggi negeri 2 buah serta perguruan tinggi swasta 28 buah.
Selanjutkan pengelompokkan antara wilayah kabupaten hasil pemekaran dengan wilayah kabupaten induk menghasilkan nilai Indeks Williamson yang lebih besar pada kelompok kabupaten pemekaran. Pada data PAD Indeks Williamson pada wilayah pemekaran sebesar 0,52 sedangkan wilayah induk hanya sekitar 0,28, untuk data penghasilan total 0,47 berbanding 0,13, data PDRB harga berlaku 0,21 berbanding 0,16, dan data PDRB harga konstan 2000 nilainya 0,18 berbanding 0,16.
Dekomposisi Sumber Disparitas
Dekomposisi sumber disparitas di Provinsi Sumatera Barat dilakukan dengan analisis Indeks Theill. Pengelompokkan wilayah terdiri dari wilayah perbatasan dengan bukan perbatasan, wilayah kabupaten dan kota, serta wilayah pemekaran dan induk dengan data yang digunakan PDRB harga berlaku, PDRB harga konstan, PAD, dan pendapatan total tahun 2008.
Berdasarkan hasil analisis Gambar 13 menggunakan data PDRB harga berlaku 2008 untuk kelompok wilayah perbatasan dengan bukan perbatasan serta kelompok wilayah pemekaran dan induk sumber disparitas terbesar terdapat dalam kelompok wilayah sementara untuk kelompok wilayah kabupaten dan kota sumber disparitas terbesar terdapat antar kelompok wilayah. Hasil yang sama juga terjadi dengan menggunakan dua data lainnya yaitu PDRB harga konstan 2000 dan PAD sedangkan menggunakan data pendapatan total seluruh kelompok wilayah tersebut sumber disparitasnya terjadi dalam kelompok wilayah.
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 13. Indeks Theil Provinsi Sumatera Barat
Ket : APB = Antar Wilayah Perbatasan/Bukan ADB = Dalam Wilayah Perbatasan/Bukan AKK = Antar Wilayah Kabupaten/Kota DKK = Dalam Wilayah Kabupaten/Kota
API = Antar Wilayah Pemekaran/Induk DDI = Dalam Wilayah Pemekaran/Induk 15.81 36.17 9.52 0.06 84.19 63.83 90.48 99.94 56.71 66.05 53.38 5.72 43.29 33.95 46.62 94.28 14.10 9.85 19.06 11.36 85.90 90.15 80.94 88.64 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 PDRB B'08 PDRB K'08 PAD'08 PT'08 In d e ks Th e il Jenis Data APB DPB AKK DKK API DPI
Hasil indeks Theil tersebut menunjukkan bahwa secara umum sumber disparitas perekonomian di Provinsi Sumatera Barat berasal dari dalam kelompok wilayah atau antar kabupeten/kota. Hal ini berarti dalam pengambilan kebijakan pengembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat tidak bisa dipandang dalam lingkup kelompok wilayah namun harus lebih spesifik lagi yaitu dalam lingkup kabupeten/kota, sehingga kebijakan yang diambil disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing-masing kabupeten/kota.
Perkembangan dan Karakteristik Wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat Pengembangan wilayah merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk menentukan perkembangan dan karekteristik wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dari segi ekonomi dilakukan analisis tipologi Klassen, indeks entropy, dan analisis FA, dari segi infrastruktur wilayah analisis skalogram serta dari faktor fisik dilihat kemampuan lahan dan tingkat kerawanan bencana.
Tipologi Klassen Provinsi Sumatera Barat
Tipologi Klassen merupakan salah satu analisis untuk mengetahui tingkat perkembangan dan karakteristik wilayah dari segi ekonomi. Hasil penggelompokkan wilayah dari analisis dapat menunjukkan terjadinya tingkat disparitas wilayah di Provinsi Sumatera Barat. Kelompok wilayah yang masuk dalam kategori kuadrat I adalah wilayah yang maju dengan laju pertumbuhan dan tingkat PDRB per kapitanya lebih besar dari pemerintah provinsi serta pada kuadrat IV terjadi sebaliknya. Adanya perbedaan kuadrat dari kabupaten/kota yang ada mengindikasikan telah terjadi disparitas di Provinsi Sumatera Barat.
Hasil analisis tipologi Klassen (Tabel 11) dengan menggunakan indikator laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita tahun 2008 diperoleh hasil untuk kategori wilayah maju terdapat lima wilayah atau sekitar 26,32 persen. Wilayah yang
masuk dalam kategori wilayah maju ini adalah Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Padang, Kota Solok, dan Kota Bukittinggi. Pada Kuadrat kedua, wilayah dengan kategori maju tapi tertekan adalah Kabupaten Solok, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Dharmasraya, Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh.
Tabel 11. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Sumatera Barat Laju Pertumbuhan Ekonomi
Di Atas Rata-Rata Di Bawah Rata-Rata
PDRB P er K a p ita Di Ata s Ra ta - Ra ta Daerah Maju:
Lima Puluh Kota, Pasaman Barat, Kota Padang, Kota
Solok, Kota Bukittingi
Daerah Maju Tapi Tertekan:
Solok, Padang Pariaman, Agam, Dharmasraya, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh
Di B a wa h R a ta -Ra ta Daerah Berkembang: Kepulauan Mentawai, Kota Sawahlunto, Kota Pariaman
Daerah Relatif Terbelakang: Pesisir Selatan, Sijunjung, Tanah
Datar, Pasaman, Solok Selatan
Sumber : Hasil Analisis
Sementara itu kategori wilayah yang masuk dalam kelompok wilayah berkembang adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Sawahlunto, dan Kota Pariaman. Wilayah pada kuadrat ke-III ini merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk berkembang. Pada kelompok terakhir terdapat lima wilayah yang masuk dalam kategori wilayah relatif terbelakang yaitu Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Solok Selatan. Secara spasial hasil analisis tipologi Klassen kabupaten/kota di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 14.
Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pasaman Barat yang berada pada kawasan perbatasan masuk ke dalam kategori wilayah maju. Keberadaan Pasaman Barat dalam kelompok ini merupakan suatu pencapaian yang baik mengingat wilayah ini adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Pasaman dan oleh Kementrian Percepatan Daerah Tertinggal masuk dalam kategori wilayah miskin. Sesuai dengan data awal dalam melakukan analisis tipologi klassen, berarti tingkat laju pertumbuhan ekonomi
dan PDRB per kapita Kabupaten Pasaman Barat berada diatas rata-rata. Pencapaian yang baik sebagai wilayah pemekaran oleh Kabupaten Pasaman Barat tidak diikuti oleh Kabupaten Solok Selatan yang masuk kategori wilayah yang relatif terbelakang.
Keberadaan Solok Selatan sebagai daerah baru hasil pemekaran pada kelompok wilayah terbelakang mungkin bisa dipahami, namun masuknya Kabupaten Pasaman yang merupakan induk dari Kabupaten Pasaman Barat tentu hal yang sangat disayangkan karena berdasarkan data jelas bahwa laju pertumbuhan dan PDRB per kapitanya berada di bawah wilayah hasil pemekarannya sendiri. Hal yang sama juga bisa jadi pertimbangan oleh Kabupaten Pesisir Selatan yang sangat gencar memiliki wacana untuk melakukan pemekaran wilayah karena berdasarkan Tipologi Klassen mereka belum mampu untuk berkompetisi dengan kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Diversifikasi Aktivitas Ekonomi
Diversifikasi aktivitas ekonomi yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat dalam penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan analisis indeks entropy. Prinsip indeks entropy adalah semakin tinggi nilai entropy yang dihasilkan berarti wilayah tersebut semakin berkembang. Semakin tinggi perbedaan diversifikasi ekonomi antara kabupaten/kota yang ada menunjukkan bahwa disparitas yang terjadi juga semakin besar. Gambaran dari analisis entropy ini dapat digunakan untuk meningkatkan diversifikasi ekonomi pada wilayah yang pertumbuhan ekonominya statis agar perbedaan antara wilayah yang maju dapat dikurangi. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Hasil perhitungan indeks entropy di Provinsi Sumatera Barat pada Tabel 12.
Tabel 12. Indeks Entropy Provinsi Sumatera Barat
Tani Tam Ind List Kon Dag Angk Keu Jasa Tot
Kep. Mentawai 0,04 0,00 0,01 0,00 0,00 0,02 0,01 0,00 0,01 0,09 Pesisir Selatan 0,07 0,01 0,03 0,00 0,02 0,05 0,01 0,01 0,04 0,25 Solok 0,10 0,01 0,02 0,00 0,02 0,04 0,03 0,01 0,03 0,27 Sijunjung 0,04 0,03 0,01 0,00 0,02 0,02 0,02 0,01 0,03 0,19 Tanah Datar 0,09 0,01 0,04 0,00 0,03 0,04 0,02 0,01 0,05 0,29 Pd. Pariaman 0,07 0,02 0,04 0,01 0,02 0,04 0,07 0,01 0,05 0,33 Agam 0,11 0,02 0,04 0,01 0,02 0,05 0,02 0,02 0,05 0,33 Lima Puluh Koto 0,09 0,03 0,04 0,00 0,01 0,06 0,02 0,01 0,05 0,32 Pasaman 0,08 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,01 0,01 0,03 0,18 Solok Selatan 0,03 0,01 0,01 0,00 0,01 0,02 0,01 0,00 0,01 0,09 Dharmasraya 0,05 0,01 0,01 0,00 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,16 Pasaman Barat 0,09 0,01 0,07 0,00 0,01 0,07 0,02 0,01 0,03 0,30 Kota Padang 0,07 0,03 0,14 0,03 0,06 0,17 0,19 0,09 0,15 0,92 Kota Solok 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,08 Kota Sawahlunto 0,01 0,02 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,00 0,02 0,08 Kota Pd. Panjang 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,07 Kota Bukittinggi 0,00 0,00 0,02 0,00 0,01 0,03 0,03 0,02 0,03 0,14 Kota P. Kumbuh 0,01 0,00 0,01 0,00 0,01 0,02 0,03 0,01 0,03 0,13 Kota Pariaman 0,03 0,00 0,01 0,00 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,11 Total 1,00 0,20 0,53 0,08 0,31 0,71 0,56 0,26 0,68 4,34 Entropy Maks 5,14 Perkemb. Wil. 0,84
Hasil indeks entropy secara sektoral di Provinsi Sumatera Barat nilai tertinggi dimiliki oleh sektor pertanian dengan 1,00272 atau sekitar 23,12 persen dari total sembilan sektor yang dianalisis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat. Sektor berikutnya yang memiliki keragaman tinggi adalah sektor perdagangan dengan indeks 0,77160 atau sekitar 16,40 persen dan sektor keragaman paling rendah adalah sektor listrik, gas, dan air dengan indeks 0,08445 atau sekitar 1,95 persen.
Entropy maksimum yang mampu dihasilkan Provinsi Sumatera Barat untuk data PDRB 2008 adalah 5,14 dan perkembangan wilayah yang mampu dicapai sekitar 84,37 persen. Berdasarkan hasil analisis entropy tersebut terlihat bahwa keberagaman aktivitas Kota Padang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Nilai entropy Kota Padang sebesar 0,92 dari 4,34 total entropy kabupaten/kota yang ada jelas sangat mempengaruhi perkembangan Sumatera Barat secara keseluruhan. Berdasarkan diversifikasi ekonomi tersebut dapat menunjukkan terjadinya disparitas di Provinsi Sumatera Barat. Keragaman aktivitas di Kota Padang yang mencapai 21,32 persen sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang rata – rata diversifikasi ekonominya hanya sebesar 4,37 persen. Persentase yang tinggi pada Kota Padang menunjukan bahwa sektor perekonomian di Sumatera Barat tidak terdistribusi secara merata.
Wilayah yang memiliki keragaman aktivitas ekonominya yang relatif tinggi adalah Kabupaten Padang Pariaman (7,72 persen), Kabupaten Agam (7,61 persen), dan Kabupaten Lima Puluh Kota (7,43 persen). Secara makro dari pengamatan dilapangan terlihat memang ketiga wilayah kabupaten tersebut memilki aktivitas perekonomian yang relatif beragam. Beberapa wilayah keragaman aktivitas ekonominya masih sangat rendah yaitu di bawah tiga persen seperti Kota Padang Panjang (1,59 persen), Kota Sawahlunto (1,83 persen), Kota Solok (1,85 persen), Kabupaten Kepulauan Mentawai (2, 04 persen), Kabupaten Solok Selatan (2,14 persen), Kota Pariaman (2, 61 persen), dan Kota Payakumbuh (2, 91 persen).
Keragaman yang rendah pada wilayah kota terjadi karena hanya mengandalkan sektor jasa (pajak) dan pada wilayah kabupaten hanya pada sektor pertanian (sawah). Kerja sama antar wilayah perlu di dorong oleh pemerintah provinsi agar diversifikasi ekonomi antar wilayah kabupaten/kota yang ada lebih merata.
Faktor Utama Perkembangan Wilayah Provinsi Sumatera Barat
Proses analisis multivariat dengan metode faktor analisis didasarkan pada faktor-faktor yang menggambarkan perkembangan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Perbedaan perkembangan wilayah dari nilai indeks berbasis faktor menggambarkan disparitas wilayah yang terjadi pada kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Beberapa wilayah akan memiliki indeks yang baik sementara wilayah lainnya memiliki indeks yang kurang bagus sehingga perbedaan tersebut terlihat dengan jelas. Nilai indeks yang diperoleh oleh setiap kabupaten/kota tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan alternatif strategi dalam mengurangi disparitas yang terjadi.
Data yang digunakan diperoleh dari data potensi desa tahun 2008 dan Sumatera Barat dalam angka tahun 2008 serta faktor fisik wilayah yang dikelompokkan ke dalam 6 (enam) bidang (kependudukan, ekonomi wilayah, pelayanan sosial, sarana perkotaan, aksebilitas, dan biofisik wilayah) dan terdiri dari 34 variabel. Pengelompokkan tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan interpretasi yang akan digunakan sebagai faktor penentu terjadinya disparitas di Provinsi Sumatera Barat.
Kelompok kependudukan terdiri dari 5 (lima) variabel yaitu : kepadatan penduduk, persentase keluarga petani, persentase keluarga pra sejahtera, persentase rumah permanen, dan persentase tingkat buta huruf. Dari 5 (lima) variabel bidang kependudukan tersebut dapat disederhanakan menjadi 1 (satu) variabel baru yang memiliki eigenvalue lebih dari satu yaitu faktor satu dengan nilai eigenvalue sebesar 3,03 dan mewakili 60,54 persen dari total variabelitas. Hasil analisis faktor untuk bidang kependudukan ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Eigenvalues Bidang Kependudukan
Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,03 60,54 3,03 60,54
Sumber: Hasil Analisis
Penciri dari masing-masing faktor tersebut ditunjukkan oleh faktor loading
yang menunjukkan tingkat keeratan suatu variabel terhadap variabel yang terbentuk. Semakin besar nilai factor loading-nya, maka semakin nyata variabel tersebut dapat dimasukkan dalam salah satu faktornya, begitu pula sebaliknya. Suatu factor loading
disebut nyata apabila angka mutlaknya minimal sama dengan 0,70 yang ditunjukkan dengan huruf tebal pada Tabel 14.
Berdasarkan hasil factor loading seperti ditunjukkan pada Tabel 23 untuk bidang kependudukan terdapat 1 (satu) faktor utama yang diwakili oleh persentase keluarga pra sejahtera, persentase rumah permanen, dan persentase tingkat buta huruf. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa semakin besar jumlah keluarga pra sejahtera dan tingkat buta huruf di Provinsis Sumatera Barat maka jumlah rumah permanen akan semakin berkurang.
Tabel 14. Factor Loadings Bidang Kependudukan
Variabel Faktor 1
Kepadatan -0,610
Keluarga Petani 0,633 Keluarga Prasejahtera 0,915
Rumah Permanen -0,795
Tingkat Buta Huruf 0,887
Expl.Var 3,027
Prp.Totl 0,605
Sumber: Hasil Analisis
Sementara untuk kelompok bidang pelayanan sosial terdiri dari 7 (tujuh) variabel yaitu : rasio tempat sekolah (TK negeri dan swasta, SD sederajat negeri dan swasta, SMP sederajat negeri dan swasta, SMA sederajat negeri dan swasta, dan PT
negeri dan swasta) terhadap 1000 penduduk, rasio tempat kesehatan (Rumah Sakit negeri dan swasta, Puskesmas, Puskesmas pembantu) terhadap 1000 penduduk, rasio tempat penjualan obat/apotik terhadap 1000 penduduk, rasio tempat ibadah terhadap 1000 penduduk, rasio tenaga dokter terhadap 1000 penduduk, rasio tenaga bidan/perawat terhadap 1000 penduduk, dan rasio guru terhadap 1000 penduduk.
Tabel 15. Eigenvalues Bidang Pelayanan Sosial
Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 3,89 55,56 3,89 55,56 2 1,97 28,21 5,86 83,77
Sumber: Hasil Analisis
Dari Tabel 15 variabel bidang pelayanan sosial dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) variabel baru yang memiliki eigenvalues lebih dari satu (Tabel 16). Kedua faktor tersebut berturut – turut mewakili 55,56 persen dan 28,21 persen dari total variabel dengan nilai eigenvalues sebesar 3,89 dan 1,97. Kedua faktor tersebut mewakili 83,77 persen dari total variabel. Ini berarti apabila delapan variabel disederhanakan menjadi dua variabel baru, maka kedua variabel tersebut dapat menjelaskan 83,77 persen dari total variabelitas ke delapan variabel. Adapun penciri dari masing – masing faktor tersebut ditunjukkan oleh factor loading sebagaimana terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Factor Loadings Bidang Pelayanan Sosial
Variabel faktor 1 faktor 2 Sklh 0.000 -0.991 Temkes -0.922 0.095 Obat -0.908 0.139 Ibadah 0.323 -0.908 Dokt -0.891 -0.172 Bidan -0.915 -0.168 Guru -0.693 -0.289 Expl.Var 3.889 1.975 Prp.Totl 0.556 0.282 Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan hasil factor loading seperti yang ditunjukkan pada Tabel 16. dapat dijelaskan bahwa faktor – faktor utama dari bidang pelayanan sosial di Provinsi Sumatera Barat adalah sebagai berikut :
i. Faktor 1 dapat dikelompokkan sebagai indikator kualitas kesehatan yang terdiri dari variabel tempat kesehatan, tempat penjualan obat/apotik, jumlah dokter, dan jumlah bidan/perawat. Berdasarkan faktor tersebut terlihat bahwa semakin banyak jumlah fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan lainnya maka jumlah tenaga kesehatan juga akan semakin meningkat.
ii. Faktor 2 sebagai indikator fasilitas pendidikan yang diwakili oleh jumlah sekolah dan jumlah tempat ibadah. yang mana kedua variabel tersebut memiliki nilai yang negatif yang berarti bahwa penurunan jumlah sarana pendidikan juga diikuti oleh penurunan sarana peribadatan
Kelompok berikutnya untuk bidang sarana perkotaan memiliki nilai eigenvalues sebesar 4,06 dan mewakili 81,21 persen dari total variabel (Tabel 17). Data yang digunakan untuk kelompok sarana perkotaan yaitu : persen kepala keluarga yang berlanggan PLN, persen kepala keluarga yang berlanggan telpon, persen kepala keluarga yang berlanggan PDAM, rasio lembaga keuangan/bank terhadap 1000 penduduk, dan rasio toko terhadap 1000 penduduk.
Tabel 17. Eigenvalues Bidang Sarana Perkotaan
Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 4,06 81,21 4,06 81,21
Sumber: Hasil Analisis
Nilai eigenvalues sebesar 4,06 tersebut menghasilkan 1 (satu) factor loading
(Tabel 18) yang diwakili oleh semua variabel. Nilai yang dimiliki oleh kelima variabel tersebut saling berkorelasi negatif, yang menunjukkan bahwa apabila jumlah keluarga menggunakan PLN berkurang maka jumlah keluarga yang menggunakan telpon dan PDAM juga akan ikut berkurang. Keterkaitan tersebut juga terjadi dengan
keberadaan lembaga keuangan dan tempat perdagangan yang ikut berkurang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelima variabel dari sarana perkotaan tersebut saling mempengaruhi. Keberadaan jaringan listrik PLN, telpon, dan PDAM diharapkan akan mendorong munculnya fasilitas perekonomian seperti perbankan dan pasar.
Tabel 18. Factor Loadings Bidang Sarana Perkotaan
Variabel Faktor 1 Pelanggan PLN -0,929 Pelanggan Telepon -0,927 Pelanggan PAM -0,929 Jumlah Bank -0,946 Jumlah Toko -0,762 Expl.Var 4,061 Prp.Totl 0,812
Sumber: Hasil Analisis
Analisis faktor utama untuk bidang ekonomi wilayah merupakan sektor – sektor dari PDRB ditambah dengan nilai PAD dan pendapatan total. Sembilan sektor PDRB tersebut disederhanakan menjadi empat sektor menjadi sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor ekonomi sekunder (PDRB industri per kapita, PDRB listrik air dan gas per kapita, PDRB konstruksi per kapita, PDRB perdagangan per kapita, PDRB angkutan per kapita), dan sektor ekonomi tersier (PDRB keuangan per kapita, dan PDRB jasa – jasa per kapita).
Tabel 19. Eigenvalues Bidang Ekonomi Wilayah
Value Eigenvalue % Total variance Cumulative Eigenvalue Cumulative % 1 2.89 48.24 2.89 48.24 2 1.45 24.12 4.34 72.36
Sumber: Hasil Analisis
Nilai eigenvalues (Tabel 19) yang dimiliki dari enam variabel tersebut berturut – turut sebesar 2,89 dan 1,45 yang mewakili 48,24 persen dan 24,12 persen dari total variabel. Variabel ekonomi wilayah tersebut menghasilkan dua Factor Loadings yang diwakili oleh indiks ekonomi tersier sebagai faktor 1 dan indeks produktivitas wilayah sebagai faktor 2.
Tabel 20. Factor Loadings Bidang Ekonomi Wilayah
Variabel Faktor 1 Faktor 2 Tani -0.751 -0.132 Tamb -0.174 0.615 Sekun 0.876 -0.094 Ters 0.928 0.265 Pad 0.396 0.867 Pentol 0.216 0.831 Expl.Var 2.425 1.916 Prp.Totl 0.404 0.319 Sumber: Hasil Analisis
Selanjutnya untuk kelompok bidang biofisik wilayah yang terdiri dari 6 (enam) variabel yang diwakili oleh variabel persen kawasan lindung per luas wilayah, tingkat kerentanan bencana, persen kemampuan lahan kelas II dan kelas III per luas wilayah, persen kemampuan lahan kelas VII dan kelas VIII per luas wilayah, persen