• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivasi Kitin Menggunakan Glutaraldehid

Imobilisasi enzim dimaksudkan untuk memperoleh enzim yang dapat digunakan terus menerus dan berulang-ulang dalam mengkatalisis suatu reaksi. Lipase diimobilisasi menggunakan kitin sebagai support-nya. Kitin merupakan support yang ideal digunakan untuk mengimobilisasi lipase. Selain karena kitin memiliki gugus amino sebagai tempat ikatan dengan protein, kitin mudah didapat dan murah harganya, mudah didegradasi di lingkungan, tidak beracun, kitin tahan terhadap tekanan, bersifat hidrofilik, tidak bereaksi dengan enzim, tahan terhadap

16

agen reaktif. Semakin lama waktu reaksi yang digunakan, semakin banyak lipase yang terikat pada support (Lee et al. 2006).

Waktu aktivasi 2 jam 30 menit dan 3 jam menunjukkan penurunan angka derajat imobilisasi. Aktivasi lebih dari dua jam menyebabkan ikatan yang terbentuk antara enzim dan kitin mudah terlepas. Hal ini terlihat dari tingginya kadar protein yang terkandung dalam hasil pembilasan kitin setelah proses imobilisasi. Migneault et al. (2004), menyatakan bahwa kekuatan ikatan cross-linking dipengaruhi oleh struktur konjugat yang terbentuk. Kitin yang diaktivasi lebih dari dua jam menunjukkan struktur yang keras dan kaku dibandingkan dengan kitin sebelum aktivasi maupun kitin yang diaktivasi kurang dari dua jam.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa waktu aktivasi yang menghasilkan derajat imobilisasi tertinggi adalah 1 jam 30 menit hingga 2 jam. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Migneault et al. (2004) yang dalam penelitiannya melakukan ikatan silang antara glutaraldehid dengan tripsin. Ikatan silang bisa tercapai maksimal dengan waktu aktivasi sekitar 0.5 menit sampai 120 menit dalam larutan buffer fosfat 0.5 M pH 6.8. selain itu, Carneiro et al. (2014) mengaktivasi kitosan dengan glutaraldehid 2.5% selama 1 jam menghasilkan efesiensi imobilisasi sebesar 68.2%. Waktu aktivasi 1 jam 30 menit digunakan untuk proses imobilisasi selanjutnya dalam penelitian ini.

Pengaruh Konsentrasi Lipase

Konsentrasi lipase merupakan variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan banyak lipase yang terikat pada kitin. Konsentrasi enzim harus dipertimbangkan untuk mendapatkan banyak ikatan cross-linking terhadap enzim dan support. Dalam penelitian ini digunakan lipase Habio komersial cair. Pemilihan konsentrasi lipase yang digunakan didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mokodongan (2009) yang menggunakan lipase Habio komersial bubuk. Konsentrasi lipase Habio bubuk yang digunakan adalah 0.05 g mL-1 hingga 0.125 g mL-1. Konsentrasi murni dalam 0.05 g mL-1 lipase Habio padat adalah sebesar 0.044 mg mL-1. Oleh karena itu, variasi konsentrasi lipase yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.044 mg mL-1, 0.088 mg mL-1, 0.132 mg mL-1, 0.176 mg mL-1, 0.22 mg mL-1 dan 0.264 mg mL-1 yang diencerkan dari stok lipase Habio cair dengan konsentrasi 88 mg mL-1.

Tabel 3 Pengaruh konsentrasi lipase terhadap derajat imobilisasi

Konsentrasi lipase (mg mL-1) Derajat imobilisasi (%)

0.044 65.26±2.272 0.088 65.96±5.889 0.132 63.47±5.806 0.176 66.75±2.819 0.22 71.19±0.767 0.264 63.17±1.446

Berdasarkan Tabel 3, konsentrasi lipase 0.22 mg mL-1 menghasilkan nilai derajat imobilisasi tertinggi yaitu 71.19%. Sementara itu, konsentrasi 0.044 mg mL-1 hingga 0.176 mg mL-1 menghasilkan derajat imobilisasi yang lebih rendah.

17 Untuk konsentrasi enzim yang lebih besar yakni 0.264 mg mL-1, juga menghasilkan derajat imobilisasi yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi 0.22 mg mL-1, yaitu sebesar 63.17%. Menurut Migneault et al. (2004), konsentrasi enzim yang rendah cenderung mengakibatkan gugus fungsional glutaraldehid berikatan dengan enzim yang sama sedangkan konsentrasi enzim yang terlalu tinggi menyebabkan ikatan cross-linking yang terbentuk sedikit akibat adanya pengendapan enzim. Artinya, dalam konsentrasi yang rendah, kitin akan berikatan dengan enzim yang sama karena jumlah enzim yang kurang sehingga menghasilkan derajat imobilisasi yang rendah. Dalam konsentrasi enzim yang terlalu tinggi, maka kitin juga akan mengikat enzim dalam jumlah yang sedikit akibat terjadinya pengendapan enzim. Oleh karena itu, konsentrasi enzim yang digunakan dalam proses imobilisasi dalam kondisi penelitian ini adalah 0.22 mg mL-1. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mokodongan (2009), menggunakan lipase Habio bubuk yang diimobilisasi pada kitin. Untuk 1 g kitin yang digunakan sebagai support dibutuhkan 0.075 g mL-1 lipase bubuk dan menghasilkan derajat imobilisasi sebesar 49.82%.

Pengaruh Waktu Inkubasi

Proses imobilisasi lipase pada kitin melewati tahapan inkubasi kitin aktif (telah diberi perlakuan sebelumnya dengan heksametilendiamin dan glutaraldehid) dalam larutan lipase. Proses inkubasi ini terdiri dari fase dinamis dan fase statis. Fase dinamis yaitu fase dimana kitin direndam dalam larutan lipase dengan konsentrasi tertentu dan dilakukan pengadukan selama 3 jam. Sementara itu, fase statis merupakan kelanjutan dari fase dinamis, dimana kitin dan enzim diinkubasi dalam cold room (4 oC). Menurut Setyahadi et al. (2011), waktu inkubasi lipase dengan kitin (inkubasi secara statis) menentukan banyaknya lipase yang terikat pada kitin. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan variasi waktu inkubasi fase statis yaitu 14 jam, 16 jam, 18 jam, 20 jam, 22 jam dan 24 jam.

Tabel 4 Pengaruh waktu inkubasi terhadap derajat imobilisasi

Waktu inkubasi (jam) Derajat imobilisasi (%)

14 65.72±2.015 16 61.43±2.022 18 67.86±1.011 20 67.86±1.011 22 67.14±2.022 24 66.79±1.520

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa waktu inkubasi 18 jam dan 20 jam menghasilkan derajat imobilisasi paling tinggi yaitu 67.86%. Derajat imobilisasi yang dihasilkan dari waktu inkubasi 18 jam hingga 24 jam cenderung stabil. Sementara itu, waktu inkubasi 14 jam dan 16 menghasilkan derajat imobilisasi yang lebih rendah yakni masing-masing 65.72% dan 61.43%. Waktu inkubasi kitin dalam larutan lipase pada proses imobilisasi mempengaruhi banyak sedikitnya enzim yang terikat. Semakin lama waktu inkubasi, maka semakin banyak enzim yang terikat. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka waktu

18

inkubasi 18 jam sudah optimal dalam proses imobilisasi lipase pada kitin. Setyahadi et al. (2011) melakukan imobilisasi lipase pada kitin dengan waktu inkubasi selama 18 jam menghasilkan derajat imobilisasi dan enzyme loading masing-masing sebesar 60% dan 14.23 mg gkitin-1. Sama halnya dengan penelitian Gomes et al. (2004), yang melakukan inkubasi selama 18 jam dalam proses imobilisasi lipase Candida rugosa pada matriks kitin.

Aktivitas Lipase Amobil

Lipase amobil yang digunakan dalam proses transesterifikasi diimobilisasi dengan perlakuan yang terbaik yang telah diperoleh sebelumnya, yaitu waktu aktivasi kitin selama 1 jam 30 menit, konsentrasli lipase yang digunakan adalah 0.22 mg mL-1, dan waktu inkubasi kitin dalam larutan lipase selama 18 jam. Aktivitas lipase amobil dan lipase bebas juga telah dipelajari menggunakan metode titrasi, dimana diperoleh aktivitas lipase amobil sebesar 10000 U gram-1 dan aktivitas lipase bebas sebesar 18500 U mL-1 (Lampiran 3). Dari uji aktivitas tersebut, diketahui bahwa terjadi penurunan aktivitas enzim setelah dilakukan proses imobilisasi. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaksi antara glutaraldehid dan enzim yang menyebabkan terjadinya perubahan konformasi molekul enzim yang berupa modifikasi asam amino baik pada sisi aktif maupun sisi non aktif (Chui dan Wan 1997). Glutaraldehid dapat bereaksi dengan gugus sulfuhidril pada sisi aktif enzim sehingga dapat menghambat aktivitas enzim tersebut (Goldstein dan Manecke 1976). Daya katalitik dan stabilitas lipase amobil juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama gugus fungsi reaktif enzim pada pusat aktif. Menurut Suhartono (1989) aktivitas enzim imobil dapat menurun karena kondisi operasional yang menimbulkan denaturasi enzim atau molekul penyangga selama proses operasi. Penurunan aktivitas selama operasi dipengaruhi oleh kecepatan aliran substrat atau pelarut lain selama proses operasi selain perubahan pH, suhu, kekuatan ion dan kondisi fisik lainnya. Perubahan pH optimum dari lipase amobil disebabkan oleh terbentuknya ion asam (H+) yang dihasilkan ketika aldehida dan amina bergabung dengan cepat membentuk suatu kompleks yang memiliki nilai pKa yang jauh lebih rendah dari amina induk. Semakin banyak amina yang bereaksi, semakin banyak pula asam yang dihasilkan, akibatnya semakin rendah nilai pKa sehingga pH optimum menjadi lebih asam (Migneault et al. 2004).

Anwar et al. (2009), melakukan pengukuran aktivitas enzim bebas dan enzim terimobilisasi pada kalsium alginat. Aktivitas enzim bebas pada menit ke-10 reaksi sebesar 90 U mL-1 min-1 sedangkan enzim amobil hanya sebesar 12 U mL-1 min-1. Namun seiring berjalannya waktu reaksi, aktivitas enzim bebas mengalami penurunan drastis hingga menit ke-25, aktivitas enzim bebas tinggal 18 U mL-1 min-1 sedangkan aktivitas enzim amobil masih mengalami peningkatan yakni sebesar 22 U mL-1 min-1. Hingga proses pengukuran aktivitas berakhir, yakni pada menit ke-30, aktivitas enzim bebas tinggal 10 U mL-1 min-1 sedangkan aktivitas enzim amobil masih stabil pada 15 U mL-1 min-1. Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun lipase amobil memiliki aktivitas yang lebih rendah, namun memiliki stabilatas aktivitas yang lebih lama dibandingkan lipase bebas. Oleh karena itu, menurunnya aktivitas lipase amobil dapat diimbangi dengan

19 11.27 16.92 4.19 4.65 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 40 45 50 55 K o nv er si m et il este r (%) Suhu oC

keuntungan dari imobilisasi enzim yakni dapat digunakan terus-menerus dan berkali-kali dengan stabilitas yang lebih tinggi dibanding lipase bebas dan mudah dilakukan pemisahan antara enzim dan media reaksi.

Pengaruh Suhu Reaksi Terhadap Konversi Metil Ester

Setiap enzim memiliki suhu reaksi optimum masing-masing. Secara umum, reaksi transesterifikasi dengan katalis basa terjadi pada titik didih alkohol, namun transesterifikasi menggunakan lipase amobil sebagai katalis dapat menggunakan suhu yang lebih rendah. Hal ini bertujuan untuk mencegah hilangnya aktivitas lipase (Shimada et al. 2001). Pada penelitian ini, suhu reaksi transesterifikasi menggunakan lipase amobil dipelajari untuk mendapatkan konversi metil ester yang tinggi. Suhu divariasikan antara 40 oC, 45 oC, 50 oC, dan 55 oC. Pemilihan variasi suhu didasarkan pada profil lipase komersial yang digunakan. Lipase komersial tersebut memiliki aktivitas yang tinggi pada rentang suhu 40 oC sampai 65 oC. Rasio mol minyak dan metanol yang digunakan adalah 1:3 mol. Reaksi belangsung selama 8 jam. Konversi metil ester yang dihasilkan sebagai berikut:

Gambar 7 Pengaruh suhu reaksi terhadap konversi metil ester

Gambar 7 menunjukkan bahwa konversi metil ester yang dihasilkan meningkat dari suhu 40 oC hingga suhu 45 oC yakni 11.27% pada suhu 40 oC dan 16.92% pada suhu 45 oC. Sementara itu, pada suhu 50 oC dan 55 oC konversi metil ester mengalami penurunan. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu 45 oC merupakan suhu yang optimum untuk digunakan dalam proses transesterifikasi selanjutnya meskipun dengan nilai konversi yang masih kecil. Egwim et al. (2012), mempelajari efek suhu reaksi terhadap biodiesel yield.. Suhu yang digunakan berkisar antara 30 oC hingga 60 oC. Biodiesel yield terus meningkat hingga suhu 40 oC yakni sebesar 61% kemudian mengalami penurunan pada suhu 50 oC.

Suhu reaksi optimum dengan menggunakan enzim amobil sebagai katalis dipegaruhi oleh kestabilan dari enzim yang digunakan dan jenis ikatan yang digunakan dalam proses imobilisasi (Sujoy dan Aparna 2013). Ghaly et al. (2010), mengemukakan bahwa lipase memiliki kestabilan pada range suhu yang cukup luas yaitu antara 20 oC hingga 70 oC. Lipase amobil yang digunakan pada

20 4.46 50.86 19.52 16.62 0 10 20 30 40 50 60 1:3 1:4 1:5 1:6 K o nv er si m et il este r (%)

Rasio mol minyak dan metanol (mol)

penelitian ini menghasilkan konversi metil ester tertinggi pada suhu 45 oC. Ikatan kovalen yang digunakan dalam proses imobilisasi memberikan stabilitas termal yang lebih tinggi bagi lipase amobil karena interaksi yang kuat antara molekul enzim dan support (Brena dan Batista-Viera 2006). Nie et al. (2006) melakukan imobilisasi lipase dengan metode adsorpsi yang digunakan untuk memproduksi biodiesel. Konversi biodiesel tertinggi diperoleh mulai pada suhu 27 oC hingga 40 o

C stabil pada konversi sebesar 87%. Sedangkan pada suhu diatas 40 oC, lipase amobil mengalami penurunan aktivitas. Hal ini disebabkan oleh ikatan antara support dan lipase tidak kuat sehingga pada suhu yang lebih tinggi, lipase terlepas dan mengalami kerusakan. Xie dan Ma (2009), melakukan imobilisasi lipase pada senyawa nanopartikel dengan metode ikatan kovalen. Aktivitas lipase amobil stabil mulai dari suhu 35 oC hingga suhu 45 oC sebesar 85%.

Pengaruh Rasio Mol Minyak dan Metanol Terhadap Konversi Metil Ester

Rasio mol minyak dan mentanol mempengaruhi besar-kecilnya konversi metil ester yang dihasilkan. Kelebihan rasio mol metanol terhadap minyak diperlukan untuk memperoleh laju reaksi yang lebih cepat, selama alkohol dapat larut dengan baik dalam substrat tersebut (Antczak et al. 2009). Kelarutan alkohol menjadi faktor pembatas karena dapat mempengaruhi aktivitas enzim amobil yang digunakan (Ghaly et al. 2010). Biasanya dalam sistem terlarut, rasio mol minyak dan metanol yang banyak digunakan adalah 1:3 hingga 1:6. Pada penelitian ini, rasio mol minyak dan metanol yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah 1:3 mol, 1:4 mol, 1:5 mol dan 1:6 mol. Suhu reaksi yang digunakan adalah 40 oC, selama 8 jam reaksi.

Gambar 8 Pengaruh rasio mol minyak dan metanol terhadap konversi metil ester

Gambar 8 menunjukkan bahwa konversi metil ester paling tinggi dihasilkan dari rasio mol minyak dan metanol 1:4 yakni sebesar 50.86. Konversi metil ester terendah diperoleh dari rasio 1:3 yaitu sebesar 4.46%. Reaksi transesterifikasi berlangsung secara reversible. Reaksi reversibel harus dijaga agar kesetimbangan reaksi bergeser ke arah produk sehingga perolehan biodiesel tinggi. Untuk mencapai hal tersebut, digunakan metanol sebagai pereaksi dalam jumlah yang

21 melebihi kebutuhan stoikiometri (Fessenden R & Fessenden J 1986). Reaksi transesterifikasi 1 mol trigliserida membutuhkan 3 mol metanol. Jumlah mol metanol yang melebihi kebutuhan, menghasilkan konversi metil ester yang lebih besar seperti yang dihasilkan pada penelitian ini. Jeong dan Park (2007), melakukan melakukan transesterifikasi menggunakan lipase sebagai katalis. Konversi tertinggi diperoleh pada rasio minyak dan metanol 1:4 yaitu sebesar 72%. Nasratun et al. (2009) melakukan transesterifikasi menggunakan lipase amobil sebagai katalis pada kondisi rasio mol minyak dan metanol 1:4 menghasilkan konversi ester sebesar 72.25%.

Jumlah mol metanol yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas enzim amobil, dimana rasio mol minyak dan metanol 1:5 dan 1:6 pada penelitian ini menghasilkan konversi yang lebih rendah daripada 1:4 yaitu masing-masing 19.52% dan 16.62%. Hal ini menunjukkan bahwa metanol dalam jumlah yang banyak dapat menghambat aktivitas enzim. Alkohol mendenaturasi protein dengan memutuskan ikatan hidrogen intramolekul pada rantai samping protein. Ikatan hidrogen yang baru dapat terbentuk antara alkohol dan rantai samping protein tersebut. Hal ini menyebabkan aktivitas enzim amobil menurun bahkan hilang. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kose et al. (2002) yang menghasilkan konversi metil ester tertinggi pada rasio mol minyak dan metanol 1:4 yaitu sebesar 87.4%. Aktivitas enzim amobil dan konversi metil ester menurun pada rasio mol minyak dan metanol 1:5 dan 1:6. Selain itu, Nasratun et al. (2009), telah melakukan reaksi transesterifikasi menggunakan rasio minyak dan metanol 1:4 dan 1:6. Konversi ester tertinggi diperoleh pada rasio mol minyak dan metanol 1:4 yaitu sebesar 71.25%, sedangkan pada rasio 1:6 menghasilkan konversi ester sebesar 62.50%.

Uji Stabilitas Enzim Amobil pada Proses Transesterifikasi dalam Reaktor Unggun Diam (Fixed Bed Reactor)

Aspek terpenting dari implementasi enzim amobil dalam industri biodiesel adalah pengembangan sistem reaktor yang efisien untuk enzim amobil. Pada skala laboratorium, umumnya digunakan sistem batch dengan pengadukan. Meskipun sistem batch mudah untuk dikontrol prosesnya, akan tetapi untuk skala industri penggunaan enzim amobil dengan fixed bed reactor lebih dipilih karena biaya yang lebih murah dibandingkan operasi secara batch. Lipase amobil dimasukkan ke dalam kolom dan substrat terus menerus dipompa ke dalam kolom. Enzim dapat digunakan terus menerus tanpa perlu pemisahan produk dan katalis. Selain itu, enzim amobil juga dapat dilindungi dari stress akibat pengadukan. Keuntungan utama dari sistem kontinyu adalah hasil yang diperoleh lebih tinggi tiap berat katalis yang digunakan (Lukovi et al. 2011 ). Proses kontinyu mudah dalam mengontrol kecepatan alir dalam reaktor dan kecepatan alir produk hasil reaksi dalam kolom fixed bed terhadap metil ester yang dihasilkan, serta produktivitas dan kualitas produk yang tinggi. Reaktor fixed bed akan memberikan aliran dari bawah kolom yang telah berisi support sehingga reaktan akan mempunyai waktu tinggal yang lebih lama sesuai dengan kecepatan aliran yang diberikan dan menghasilkan konversi metil ester yang lebih tinggi (Chen et al. 2010).

22

Gambar 9 Skema representasi dari reaktor unggun diam. 1: magnetic stirer; 2: wadah substrat; 3: pompa peristaltik; 4: kolom reaktor berisi lipase amobil; 5:wadah produk; 6: jaket reaktor; 7:waterbath

Gambar 9 merupakan skema rangkaian reaktor unggun diam yang digunakan. Reaktor unggun diam diisi dengan lipase amobil sebanyak 3 gram sepanjang 10 cm dengan diameter tabung reaktor 1.1 cm. Aliran substrat dengan rasio mol minyak dan metanol sebesar 1:4 dipompa dari ujung bawah tabung menggunakan pompa peristaltik dengan laju alir 0.2 ml menit-1. Laju alir substrat juga penting untuk dipertimbangkan. Laju alir yang terlalu lambat menyebabkan enzim mengalami kontak yang lama dengan metanol sedangkan laju alir yang terlalu cepat mengurangi waktu kontak substrat dengan lipase amobil. Suhu reaksi yang digunakan adalah 45 oC dijaga tetap konstan dengan cara mengalirkan air bersuhu 45 oC secara terus menerus ke dalam jaket reaktor. Waktu tinggal substrat di dalam tabung reaktor adalah 1 jam 45 menit. Meskipun metanol tidak dapat bercampur dengan minyak, dalam penelitian ini tidak digunakan pelarut (solvent) untuk menekan biaya produksi. Langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan pengadukan substrat menggunakan magnetic stirer sebelum substrat dipompa masuk kedalam kolom reaktor. Ongjanovic et al. (2009) berhasil melakukan produksi biodiesel tanpa menggunakan solvent dalam packed bed reactor. Enzim amobil dapat beroperasi selama 3 sampai 7 hari tanpa mengalami penurunan konversi ester.

Reaksi berlangsung selama 50 jam tanpa henti untuk menguji stabilitas dari lipase amobil yang digunakan. Salah satu tujuan dilakukannya imobilisasi enzim adalah untuk melihat apakah enzim tersebut dapat digunakan terus menerus dalam

1 2 3 6 4 5 7 10 cm

23 35.38 67.95 45.59 37.37 10.52 0 20 40 60 80 5 12 24 36 50 K o n v ersi m et il es ter (%) Jam ke-

jangka waktu yang lama. Gambar 10 merupakan kurva stabilitas lipase amobil selama 50 jam reaksi tanpa henti.

Gambar 10 Konversi metil ester secara kontinyu selama 50 jam

Konversi metil ester yang berlangsung secara kontinyu diperoleh sebesar 67.95% dan terus menurun seiring pertambahan waktu produksi yakni sebesar 10.52%. Hasil ini menunjukkan bahwa enzim amobil yang digunakan memiliki stabilitas yang rendah dalam penggunaan jangka panjang jika dibandingkan dengan penelitian lain yang serupa. Hama et al. (2011), melakukan uji kestabilan lipase amobil pada sintesis metil ester dalam packed bed reactor. Reaktor ini terdiri dari lima kolom reaktor yang dirangkaikan berseri dimana proses sintesis berlangsung secara kontinyu. Metil ester yang dihasilkan sebesar 96% dan tidak terjadi perubahan aktivitas enzim amobil secara signifikan selama 550 jam waktu produksi. Sementara itu Chen et al. (2009) melakukan produksi biodiesel secara kontinyu dari minyak goreng bekas menggunakan lipase Candida yang telah diimobilisasi. Reaksinya menggunakan n-heksan sebagai solvent. Suhu reaksi yang digunakan 45 oC, dengan laju alir 1.2 mL menit-1 dan rasio mol minyak dan metanol 1:4. Konversi biodiesel yang dihasilkan sebesar 91.08% dan mengalami penurunan setelah 100 jam yaitu sebesar 76.74%.

Menurunnya stabilitas enzim amobil yang digunakan dalam proses tansesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: 1) kemungkinan terlepasnya lipase ke dalam aliran substrat sehingga metil ester yang diperoleh semakin berkurang seiring dengan pertambahan waktu produksi; 2) terbentuknya gliserol sebagai produk samping. Gliserol akan membungkus enzim amobil, sehingga terbentuk lapisan hidrofilik yang membuat molekul enzim tidak dapat diakses oleh susbtrat yang hidrofobik yang menyebabkan aktivitas enzim menurun (Antczak 2009); 3) penggunaan metanol sebagai substrat juga dapat menurunkan stabilitas enzim amobil. Metanol tidak dapat larut dalam minyak sehingga lama kelamaan akan terbentuk fasa liquid baru. Hal ini menyebabkan enzim amobil dalam reaktor bereaksi dengan substrat yang tidak tercampur secara merata sehingga dapat menurunkan stabilitas enzim amobil tersebut; 4) buffer fosfat pH 7 (netral) yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi pH optimum lipase amobil. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan pH optimum dari lipase amobil yang disebabkan oleh terbentuknya ion asam (H+) yang dihasilkan ketika aldehida dan amina bergabung dengan cepat membentuk suatu kompleks yang memiliki nilai pKa yang jauh lebih rendah dari amina induk. Semakin banyak amina yang bereaksi, semakin banyak pula asam yang dihasilkan,

24

akibatnya semakin rendah nilai pKa sehingga pH optimum menjadi lebih asam (Migneault et al. 2004).

Untuk aplikasi selanjutnya dengan penggunaan jenis reaktor yang sama, perlu dilakukan beberapa modifikasi untuk menghasilkan konversi metil ester yang tinggi dan tetap mempertahankan kestabilan enzim amobil dalam jangka waktu pemakaian yang panjang. Beberapa modifikasi yang bisa dilakukan diantaranya adalah: 1) meningkatkan waktu tinggal substrat di dalam reaktor sehingga kontak antara substrat dan enzim lebih lama. Kontak enzim-substrat yang lebih lama akan menghasilkan konversi produk yang lebih banyak; 2) modifikasi aliran substrat masuk ke dalam tabung reaktor agar terjadi percampuran yang merata antara minyak dan metanol; 3) Hama & Kondo (2013), mengemukakan bahwa perlu dilakukan modifikasi reaktor dengan penambahan beberapa seri kolom reaktor yang disertai dengan tangki pemisah gliserol. Produk yang dihasilkan akan masuk ke dalam tangki pemisah gliserol untuk memisahkan gliserol dengan produk. Produk transesterifikasi dipompa kembali masuk ke seri kolom reaktor selanjutnya untuk proses transesterifikasi dan proses ini berlangsung terus-menerus hingga seri kolom reaktor terakhir; 3) untuk mendapatkan percampuran yang baik antara minyak dan metanol dapat digunakan solvent baik berupa senyawa n-heksan maupun tert-butanol. Selain itu, solvent juga berfungsi untuk mengurangi efek toksik dari metanol dengan menurunkan konsentrasi metanol dalam substrat (Lukovi et al. 2011; Chen et al. 2009).

Dokumen terkait