• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODE PENELITIAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Populasi Kulim

Populasi Kulim di Hutan Desa Aur Kuning

Salah satu jenis tanaman yang termasuk dalam kategori langka adalah kulim (Mogea et al. 2001). Tumbuhan langka Indonesia adalah tumbuhan asli Indonesia yang takson atau populasi taksonnya cenderung berkurang, baik dalam jumlah individu, populasi maupun keanekaragaman genetisnya, sehingga jika tidak dilakukan usaha pelestarian yang cukup berarti maka akan punah dalam waktu singkat. Kulim memiliki wilayah penyebaran yang sangat terbatas khususnya di Indonesia hanya dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Sleumer 1982).

Berdasarkan hasil perhitungaan diketahui nilai dugaan populasi kulim yang terdapat di hutan adat Desa Aur Kuning seperti tersaji pada Gambar 9. Nilai dugaan ini didasarkan pada perhitungan terhadap jumlah kulim yang ditemukan dengan luas lokasi pengamatan.

Gambar 9 Dugaan populasi kulim pada tiap tingkat pertumbuhan.

Data komposisi jenis dan struktur hutan berguna untuk memprediksi kecenderungan komposisi tegakan di masa mendatang (Whittaker 1974). Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa nilai dugaan jumlah semai per hektar yaitu 1333 ind/ha dan kemudian jumlahnya menurun dengan jumlah pancang 101 ind/ha, tiang 9 ind/ha, dan pohon 24 ind/ha. Jika dilihat dari dugaan populasi kulim di lokasi ini menunjukkan bahwa struktur tegakan kayu kulim mengalami fluktuasi dimana pada saat pertumbuhan awal (semai) ditemukan banyak sekali individu kulim namun dalam perkembangannya semai ini tidak berkembang

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

semai pancang tiang pohon

ju m lah (i n d /h a) tingkat pertumbuhan

hingga menjadi pohon. Banyaknya semai yang tidak tumbuh menjadi anakan dapat disebabkan oleh tempat tumbuhnya yang tidak baik atau kondisi buah yang rusak. Kondisi seperti ini mengindikasikan bahwa populasi kulim di hutan adat Desa Aur Kuning tidak menunjukkan kondisi tegakan normal di hutan alam. Populasi kulim yang ditemukan kondisinya menunjukkan hasil yang tidak seimbang antara jumlah anakan yang banyak dan jumlah pohon yang sangat sedikit. Hal ini menyebabkan populasi kulim di hutan adat Desa Aur Kuning dikhawatirkan akan mengalami penurunan bahkan dapat menyebabkan kelangkaan.

Berkurangnya lahan hutan dan banyaknya perkebunan kelapa sawit di Riau juga mengakibatkan banyak jenis kayu potensial yang tumbuh di areal hutan Riau menjadi hilang dan tidak mendapat perhatian dalam hal pelestariannya. Maraknya perambahan kayu secara ilegal yang terjadi pada tahun 1990-an juga mengakibatkan banyak wilayah hutan di Riau kehilangan keanekaragaman hayati salah satu diantaranya adalah kayu kulim. Kayu kulim di Riau merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat dan merupakan tumbuhan yang tumbuh di hutan-hutan masyarakat maupun kawasan konservasi.

Berdasarkan kelas diameter kayu kulim maka dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas seperti terlihat pada Gambar 10.

Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa jumlah kayu kulim yang banyak dijumpai di hutan adat Desa Aur Kuning memiliki diameter antara 10 cm

– 20 cm. Jumlahnya kemudian menurun menurut kelas diameternya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah yang menurun ini mungkin disebabkan karena adanya penebangan yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari luar Desa Aur Kuning. Apabila penebangan ini terus dilakukan dapat menyebabkan

0 2 4 6 8 10 12 10-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90 ju m lah (i n d /h a) kelas diameter (cm)

berkurangnya jumlah kayu kulim yang produktif menghasilkan biji dan akan menganggu populasi kulim.

Suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dalam suatu kawasan. Ada kalanya pada suatu kelas umur terutama individu muda, tidak ditemukan individu atau individu yang ditemukan hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit. Gejala ini menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Sebaliknya, apabila anakan dan individu terdapat dalam jumlah besar berarti populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan (Primack 1998).

Dominansi Tumbuhan

Hutan di desa ini memiliki berbagai jenis tumbuhan dimana jenis-jenis tersebut memiliki peran tersendiri dalam komunitas. Indeks nilai penting merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan (dominansi) suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu komunitas. Kayu kulim di hutan Desa Aur Kuning memiliki nilai INP sebagai berikut 42.11% pada tingkat pohon 15.685% pada tingkat semai, 7.115% pada tingkat tiang, dan 5.1192% pada tingkat pancang. Nilai ini menunjukkan bahwa dominansi kulim pada tingkat pohon lebih tinggi daripada untuk tingkat pertumbuhan lainnya. Jika dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainnya indeks nilai penting pada berbagai tingkat pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan di hutan Desa Aur Kuning dapat dilihat dalam Tabel 2. (selengkapnya tersaji pada Lampiran 1-4).

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada berbagai tingkat pertumbuhan jenis tumbuhan yang memiliki indeks nilai penting (INP) tertinggi berbeda-beda. Semakin besar INP suatu jenis maka peranannya dalam komunitas tersebut semakin penting. Perbedaan nilai INP mungkin disebabkan oleh jenis tumbuhan tersebut tidak ditemukan pada setiap lokasi pengamatan. Jenis kulim diketahui mendominasi pada tingkat pertumbuhan pohon, sedangkan untuk tingkat tiang didominasi Swintonia shwenkii, pada tingkat pancang didominasi Syzygium palembanicum, dan pada tingkat semai didominasi Santiria laevigata.

Odum (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragamannya. Sebaliknya jika nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis. Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena dalam suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya rendah.

Tabel 2. Lima (5) Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi spesies pada berbagai tingkatan pertumbuhan

Klasikasi Nama ilmiah Nama lokal Famili INP (%)

Santiria laevigata Lalan Burseraceae 20.182

Semai Calophyllum inophyloides Bintangur Guttiferae 17.518

Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 16.157

Syzygium palembanicum Kelat Myrtaceae 15.882

Scorodocarpus borneensis Kulim Olacaceae 15.685

Syzygium palembanicum Kelat Myrtaceae 12.968

Pancang Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 9.9314

Aglaia sp. Parak Meliaceae 6.3815

Canarium littorale Kenari Burseraceae 5.4981

Scorodocarpus borneensis Kulim Olacaceae 5.1192

Swintonia shwenkii Kereta Anacardiaceae 19.402

Tiang Palaquium burckii Balam ketawah Sapotaceae 18.815

Gironniera nervosa Siluk Ulmaceae 18.162

Scaphium macropodum Merpayang Sterculiaceae 17.539

Syzygium napiforme Kelat Myrtaceae 17.374

Scorodocarpus bornensis Kulim Dipterocarpaceae 42.11

Pohon Swintonia shwenkii Kereta Anacardiaceae 12.418

Dialium platysepalum Karanji Fabaceae 10.711

Shorea leprosula Meranti pirang Dipterocarpaceae 10.487

Gironniera nervosa Siluk Ulmaceae 8.9299

Kulim pada tingkat pohon merupakan jenis yang banyak dijumpai, hal ini mungkin disebabkan lokasi ini memenuhi kriteria yang cocok bagi tempat tumbuh kulim yaitu tanah padzolik merah kuning dan pada daerah kering atau perbukitan dengan ketinggian mencapai 300 m dpl. Podsolik Merah Kuning merupakan jenis tanah yang mempunyai penyebaran sangat luas di Indonesia (Buurman 1980). Tanah ini merupakan jenis tanah yang miskin hara, warna tanah kemerah-merahan sampai kuning atau kekuning-kuningan, tekstur tanah lempung sampai liat, kebanyakan lempung berliat, keasaman tanah (pH tanah) nya sangat rendah yaitu antara 4-5.5. Jika dilihat dari jenis tanah ini, kulim dapat tumbuh pada kondisi tanah yang miskin hara dan dapat tumbuh hampir di semua wilayah di Riau namun karena terjadinya penyusutan areal hutan di Riau mengakibatkan kulim sekarang sulit untuk dijumpai.

Jenis jambu-jambuan yang termasuk dalam famili myrtaceae merupakan jenis yang dapat ditemukan pada setiap tingkat pertumbuhan. Hal ini mungkin disebabkan famili ini merupakan jenis tumbuhan yang penyebarannya mudah dilakukan yaitu oleh binatang pemakan biji. Jenis Syzygium palembanicum dan Syzygium napiforme merupakan jenis yang dapat tumbuh pada daerah hutan dataran rendah hingga perbukitan dengan ketinggian 700 m dpl dan sering ditemukan di Sumatera. Selain banyak dijumpai, jenis syzygium juga memiliki manfaat misalnya di Malaysia, air dari daun Syzygium palembanica dioleskan untuk mengobati demam dan sakit kepala (Ong et al. 2011), tetapi pemanfaatan seperti ini tidak dijumpai pada masyarakat Desa Aur Kuning.

Pola Sebaran Kulim

Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu acak, teratur, dan mengelompok. Pola distribusi demikian erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Barbour et al. 1987). Bila seluruh faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran spesies relatif sedikit, maka faktor kesempatan lebih berpengaruh, dimana spesies yang bersangkutan berhasil hidup di tempat tersebut.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Morisita diketahui nilai id = 3.398. Hal ini menunjukkan bahwa pola sebaran kulim adalah mengelompok dimana nilai id >1. Hasil ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2000) yaitu pola penyebaran kayu kulim di Riau adalah mengelompok. Hal ini disebabkan kulim bereproduksi dengan biji yang kemudian anakan hidup di sekitar pohon induknya. Tumbuhnya anakan di sekitar pohon induk menyebabkan pola sebaran kulim menjadi mengelompok dan biasanya selalu berada berdekatan dengan pohon kulim lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan campur tangan manusia untuk membantu pemencaran kulim agar tumbuhan ini dapat tumbuh tersebar. Jarak tumbuh antara pohon kulim yang satu dengan yang lainnya di lokasi hutan Desa Aur Kuning yaitu 10 meter.

Pola sebaran kulim yang mengelompok ini menyebabkan habitat kulim menjadi spesifik. Kulim hanya dapat tumbuh di wilayah-wilayah tertentu sehingga keberadaannya menjadi terancam apabila habitat tersebut rusak. Kondisi habitat kulim yang spesifik ini membutuhkan upaya pengelolaan habitat yang baik sehingga cocok sebagai tempat tumbuh kulim. Habitat kulim di Desa Aur Kuning diketahui berada pada daerah punggung bukit yang bergelombang. Areal ini dapat menjadi salah satu kawasan pelestarian kulim.

Asosiasi Kulim dengan Jenis Spesies Lain

Suatu vegetasi terbentuk oleh adanya kehadiran dan interaksi dari beberapa jenis tumbuhan di dalamnya. Salah satu bentuk interaksi antar jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Asosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Mueller et al. 1974). Asosiasi terbagi menjadi asosiasi positif dan asosiasi negatif. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis tumbuhan lainnya tersebut. Asosiasi negatif

terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara bersamaan (McNaughton et al. 1992).

Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui jenis-jenis tumbuhan yang berasosiasi dengan kulim di lokasi ini, diantaranya dapat dilihat pada Tabel 3 (selengkapnya tersaji pada Lampiran 5).

Tabel 3. Nilai asosiasi kulim dengan sepuluh (10) jenis tumbuhan

No Jenis Sifat asosiasi Tingkat

asosiasi

Keterangan 1 Alseodaphne sp. - 0.6667 Tinggi 2 Artocarpus elasticus + 0.2308 Rendah 3 Baccaurea deflexa + 0.2308 Rendah 4 Calophyllum inophylloidea + 0.2143 Sangat rendah 5 Dyera costulata + 0.2308 Rendah 6 Gironniera nervosa + 0.2667 Rendah 7 Koompassia malaccensis + 0.2308 Rendah 8 Shorea singkawang + 0.2667 Rendah 9 Swintonia penangiana + 0.2667 Rendah 10 Pometia pinnata + 0.1429 Sangat rendah

Ket : 1.00-0.75 Sangat Tinggi (ST) ;0.74-0.49 Tinggi (T); 0.48-0.23 Randah (R) ; < 0.22 Sangat Rendah (SR)

Berdasarkan Tabel 3 diketahui beberapa jenis yang memiliki asosiasi positif dengan kayu kulim antara lain Artocarpus elasticus, Baccaurea deflexa, Calophyllum inophylloidea, Dyera costulata, Gironniera nervosa, Koompassia malaccensis, Shorea singkawang, Swintonia penangiana, dan Pometia pinnata. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini merupakan jenis tumbuhan yang umumnya biasa dijumpai tumbuh secara bersama dengan jenis kulim. Hal ini bisa saja disebabkan karena adanya kesamaan habitat.

Jenis Alseodaphne sp. memiliki nilai asosiasi negatif dengan kulim. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain (Soegianto 1994). Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup. Barbour et al. (1999) dalam (Kurniawan 2008) mengemukakan bahwa asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk bahwa setiap tumbuhan dalam suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area habitat yang sama. Menurut Krivan & Sirot (2002) dikemukakan bahwa dalam asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai kompetitor yang mendominasi spesies lain.

Dilihat dari lokasi penyebarannya, beberapa jenis tumbuhan ini merupakan jenis-jenis yang biasa dijumpai di daerah Sumatera. Habitat dari tumbuhan ini

memiliki lokasi tumbuh yang sama dengan kulim yaitu hidup pada hutan dataran rendah dengan ketinggian ± 300 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa ketinggian tempat tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan ada atau tidaknya tumbuhan tersebut dijumpai secara bersama. Selain itu berdasarkan pengamatan di lapang, kulim merupakan tumbuhan intoleran dimana dalam pertumbuhannya jenis ini memerlukan cahaya matahari yang cukup sehingga tidak tahan hidup di bawah naungan pohon lain dan diketahui tumbuh pada lokasi yang berbukit. Lokasi tempat tumbuh kulim yang berada pada lokasi bergelombang ini merupakan salah satu cara adaptasi kulim untuk dapat bertahan hidup. Keberadaan pohon-pohon yang memiliki ukuran daun yang kecil dan batang yang tinggi dapat memaksimalkan asupan cahaya matahari yang masuk ke dalam hutan. Tingkat asosiasi diuji dengan indeks Jaccard yang mempunyai arti bahwa semakin mendekati angka 1, maka tingkat asosiasi mendekati maksimum atau asosiasi penuh, begitu juga sebaliknya semakin menjauhi angka 1 semakin kecil tingkat asosiasinya. Dari 10 jenis diatas diketahui tingkat asosiasi dengan kulim yaitu Artocarpus elasticus (0.2308), Baccaurea deflexa (0.2308), Calophyllum inophylloidea (0.2143), Dyera costulata (0.2308), Gironniera nervosa (0.2667), Koompassia malaccensis (0.2308), Shorea singkawang (0.2667), Swintonia penangiana (0.2667), dan Pternandra azurea (0.1429). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan jenis tumbuhan lain yang berada pada lingkungan sekitar kulim tidak memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan kulim karena tingkat asosiasinya rendah. Faktor lain yang menentukan keberadaan jenis ini mungkin lebih disebabkan adanya kesamaan habitat antara kulim dengan jenis- jenis tersebut.

Pemanfaatan Kulim Oleh Masyarakat

Sistem pengetahuan tentang alam dan tumbuh-tumbuhan merupakan pengetahuan dasar yang amat penting bagi masyarakat lokal dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Seiring dengan berubahnya ekosistem tempat mereka hidup, perubahan lingkungan dan arus lalu lintas, komunikasi dan informasi dari luar menyebabkan nilai-nilai budaya yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat ikut berkembang.

Salah satu potensi yang dimiliki oleh hutan di Desa Aur Kuning adalah kulim. Hutan ini merupakan areal hutan lindung dan diakui masyarakat sebagai tanah adat/ulayat. Keberadaan tanah adat/ulayat masyarakat ini berada di luar lingkar desa dan merupakan daerah yang membatasi antara satu desa dengan desa yang lainnya. Hak atas tanah ulayat di Kabupaten Kampar diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor : 12 tahun 1999 dimana disebutkan hak tanah ulayat adalah salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang

mencakup suatu kesatuan wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar diatasnya sehingga dalam pemanfaatannya diatur oleh peraturan-peraturan ada yang berlaku pada setiap desa. Adapun beberapa fungsi tanah ulayat bagi masyarakat adat Desa Aur Kuning adalah sebagai berikut :

1. Sebagai zona pembatas antara habitat satwaliar dengan daerah kebun atau pemukiman masyarakat. Di daerah ini masyarakat masih sering menemukan adanya berbagai jenis satwaliar seperti harimau, babi, rusa, landak, dll. Keberadaan tanah ulayat ini menjadi sangat penting untuk melindungi daerah kebun atau pemukiman masyarakat demi menjaga keselarasan hidup antara manusia dengan satwaliar.

2. Hutan ulayat merupakan suatu kawasan hutan yang menyimpan segala sumberdaya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat baik itu kebutuhan akan buah hutan, bahan obat tradisional, bahan bangunan, dsb.

3. Kawasan hutan ulayat merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan ekologis dimana keberadaan hutan alam ini dapat mencegah terjadinya bencana alam seperti banjir.

Jika dilihat dari pengetahuan masyarakat terhadap hutan dapat dikatakan bahwa masyarakat sangat mengerti akan pentingnya fungsi hutan. Adanya status lindung yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap keberadaan hutan ulayat masyarakat ini secara tidak langsung memberikan legalitas terhadap perlindungan areal hutan tersebut. Dilihat dari pola tingkah laku masyarakat yang sangat menjaga hutan dan memanfaatkan sumberdaya hutan sesuai dengan kebutuhan mereka, keberadaan hutan ulayat bagi kehidupan masyarakat Desa Aur Kuning merupakan salah satu bentuk perlindungan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat, dimana dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di kawasan hutan ini masyarakat tidak boleh sembarangan dan harus mengikuti peraturan adat yang berlaku. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya arti hutan belum diiringi dengan pengetahuan masyarakat tentang status konservasi baik tumbuhan maupun hewan. Masyarakat masih menganggap semua yang tersedia di alam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini yang dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian jenis-jenis tumbuhan yang keberadaannya sudah langka.

Pemanfaatan buah kulim

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan bentuk pemanfaatan buah kulim yang dilakukan oleh masyarakat Desa Aur Kuning kini hanya sebatas sebagai bahan pengobatan tradisional yaitu untuk mengobati sakit perut. Pemanfaatan buah kulim sebagai pengganti bawang putih tidak lagi dilakukan oleh masyarakat di Desa Aur Kuning. Cara pemanfaatannya yaitu buah kulim dihancurkan kemudian diambil isinya lalu digiling dan ditambahkan air. Air ini kemudian

dibalurkan ke perut bayi atau orang dewasa supaya tidak mudah masuk angin. Daging buah kulim juga dapat dimakan untuk mengobati penyakit cacingan. Burkil (1935) menyatakan buah kulim dapat dijadikan sebagai obat penangkal racun berbisa dan tempurung pada buah kulim dapat dijadikan sebagai kotak tembakau pada masyarakat tradisional.

Pada masyarakat Suku Sakai di Riau, buah dan daun kulim biasa digunakan sebagai salah satu bahan rempah-rempah (Medi 1998). Kebanyakan rempah- rempah dari Indonesia mempunyai daya guna ganda yang dapat dimanfaatkan sebagai penyedap masakan, minuman, wewangian makanan atau dapat juga diramu sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan buah kulim pada masyarakat Suku Sakai yaitu dengan digiling secara halus kemudian dimasukkan ke dalam masakan. Pemanfaatan daun kulim pada masyarakat Suku Sakai dengan cara dicuci bersih kemudian dimasukkan ke dalam masakan sebagai pewangi masakan sedangkan pada masyarakat di Serawak daun mudanya biasa digunakan sebagai sayuran.

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku jembatan dan tiang rumah Pemanfaatan kayu/batang kulim yang dilakukan oleh masyarakat Desa Aur Kuning adalah sebagai bahan baku pembuatan jembatan (Gambar 11) dan tiang rumah. Kayu kulim yang dijadikan sebagai bahan baku langsung diambil masyarakat dari hutan alam karena belum adanya kegiatan budidaya kulim. Kriteria kayu kulim yang dapat ditebang ditetapkan sendiri oleh masyarakat agar kayu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Kriteria yang ditetapkan misalnya kayu tidak berlubang dan memiliki diameter yang cukup besar. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh masyakarat berdasarkan pengalaman mereka yang biasa menebang kayu di dalam hutan. Jembatan ini merupakan alat penghubung antar kampung. Pada awalnya masyarakat menyebrang dengan menggunakan sampan, namun kini dengan adanya jembatan dapat lebih memudahkan akses masyarakat.

Kayu kulim dimanfaatkan juga sebagai tiang rumah. Dahulunya perumahan di Desa Aur Kuning merupakan rumah panggung dengan bahan yang sepenuhnya berasal dari kayu, namun kini perumahan di desa ini sebagian besar sudah bersifat permanen dan terbuat dari semen. Perumahan yang masih menggunakan bahan kayu dapat dijumpai pada masyarakat suku Sakai di Riau. Bentuk rumah panggung bertujuan untuk melindungi pemiliknya dari gangguan alam, binatang buas, dan gangguan roh halus. Salah satu bahan baku pembuatan tiang rumah pada masyarakat suku ini adalah kayu kulim. Rumah-rumah masyarakat suku Sakai umumnya bertiang tinggi, tidak berjendela, dan tidak berkamar (Medi 1998).

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kapal

Masyarakat di Bagan Siapi-api Riau memanfaatkan kulim sebagai bahan baku dalam industri pembuatan kapal (Gambar 12). Industri ini merupakan industri masyarakat dan sudah menjadi ciri khas daerah ini. Keberadaan industri rakyat berupa galangan kapal kayu yang telah berjalan puluhan tahun di Bagan Siapi-api dan merupakan galangan kapal terbesar di Riau, akan tetapi keterbatasan kayu kulim menyebabkan industri ini terancam keberlangsungannya.

Pemilihan kayu kulim sebagai bahan baku kapal ini disebabkan karena kayu kulim termasuk jenis kayu yang mudah dikerjakan dan tidak cepat menumpulkan gigi gergaji. Hasil serutan bervariasi tergantung kepada tingkat perpaduan serat, kayu yang mempunyai arah serat lurus dapat diserut sampai licin. Kayu kulim dapat dibor dengan halus. Kayu kulim juga memiliki keawetan yang cukup tinggi yaitu termasuk ke dalam kelas awet I – II dan kelas kuat I. Kayu kulim juga memiliki warna yang sangat bagus, kayu teras kulim berwarna merah tua atau coklat kelabu, semu-semu lembayung, kayu gubal berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan (Martawijaya 1977). Sifat yang dimiliki kayu kulim menyebabkan kapal dapat bertahan lama dan memiliki nilai estetik karena warna kayunya yang indah.

Gambar 12 Kapal kayu dengan bahan baku kayu kulim (sumber: Ismail 2000). Setiap kapal membutuhkan bahan baku yang berbeda-beda sesuai peruntukkannya, semakin besar ukuran kapal yang dibuat maka akan membutuhkan bahan baku yang besar pula. Satu unit kapal besar (120-150 ton)

Dokumen terkait