• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Pekanbaru tanggal 26 Januari 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan bapak H. Muhammad Amin dan Ibu Hj. Ernawati. Penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor Tahun 2009. Tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi ke Program Pascasarjana (S2) Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terdapat keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berupa kayu dan nonkayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Beberapa masyarakat lokal yang hidup di sekitar areal hutan memanfaatkan hutan secara intensif demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat lokal telah mengembangkan dan beradaptasi secara langsung terhadap lingkungannya untuk mempertahankan hidup berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki secara turun temurun. Kenyataan membuktikan bahwa pengetahuan lokal telah teruji secara turun temurun dan memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal mereka terapkan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang dapat diterapkan bagi upaya konservasi alam yang berbasis masyarakat sebelum modernisasi masuk dan mengubah pola hidup masyarakat. Hal ini menjadi penting karena modernisasi dengan mudah telah menggeser sejumlah pengetahuan asli suku bangsa di luar pulau Jawa (Waluyo 1991).

Pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara tidak terkontrol dan tidak terkelola merupakan faktor utama yang menyebabkan laju kepunahan suatu jenis tumbuhan semakin cepat. Hal ini dapat mengancam kelestarian suatu spesies. Sastrapradja (1992) menyatakan bahwa penyusutan keanekaragaman hayati lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia berupa eksploitasi hutan, sementara upaya reboisasi tidak seimbang dengan kegiatan eksploitasi. Menurut Rachmawati (1998) masalah penebangan liar merupakan gangguan terbesar bagi tegakan kayu dewasa maupun anakan sementara upaya budidayanya masih sangat kurang.

Salah satu jenis tumbuhan yang masih kurang mendapatkan perhatian dalam hal budidayanya adalah kulim. Jenis tumbuhan ini terdaftar dalam 200 jenis tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al. 2001). Kulim merupakan jenis pohon yang potensial untuk dijadikan kusen pintu rumah dan kapal kayu terutama bagian dinding/palka, dan tiang kapal (Martawijaya et al. 1989). Kulim merupakan jenis kayu khas khususnya di daerah Riau. Kulim pada beberapa daerah di Riau dijadikan sebagai bahan baku industri masyarakat misalnya industri pembuatan kapal dan telah dikenal luas.

Kayu kulim pada saat ini sulit diperoleh karena terbatasnya habitat tempat tumbuh, adanya kegiatan pemanfaatan dan belum adanya upaya budidaya. Hal ini

tentu akan mengakibatkan populasi kulim yang tersedia di alam semakin lama akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail (2000) di Bagan Siapi-api Riau, terjadi kenaikan permintaan bahan baku kulim rata-rata 15% lebih setiap tahunnya. Kenaikan permintaan bahan baku kulim ini jika tidak diimbangi dengan persediaan yang cukup dapat menyebabkan kulim punah di alam.

Status kulim saat ini menurut IUCN adalah not evaluated. Hal ini menjadikan kulim belum menjadi jenis prioritas untuk dilakukan konservasi. Spesies yang terancam punah seringkali dihadapkan kepada beberapa kendala yaitu belum adanya petunjuk teknis untuk memudahkan perencanaan, masih kurangnya informasi sebaran dan habitat jenis yang terancam punah, dan tata guna lahan yang belum mantap. Primack (1998) menyatakan bahwa suatu populasi yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dengan perbandingan antara individu muda, dewasa dan tua. Jika anggota suatu kelas umur terutama individu anakan tidak ditemukan atau terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit, gejala ini biasanya menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Tidak sebandingnya jumlah permudaan yang ada dengan jumlah pohon yang ditebang akan menyebabkan struktur tegakan kayu terganggu dimana jumlah anakan akan lebih sedikit dibandingkan jumlah pohon dewasa. Sebaliknya, jika individu anakan terdapat dalam jumlah besar hal ini mungkin menunjukkan bahwa populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami peningkatan.

Salah satu daerah yang diketahui masih terdapat kulim adalah daerah hutan di Desa Aur Kuning. Desa ini merupakan desa tertinggal yang lokasinya terisolir, jauh dari wilayah perkotaan sehingga dalam kehidupannya masyarakat masih memanfaatkan sumberdaya alam dengan sistem tradisional. Hutan yang mengelilingi Desa Aur Kuning merupakan areal hutan yang termasuk dalam kawasan hutan lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling namun sebagian dari kawasan hutan ini yang dekat dengan perkampungan masyarakat diakui sebagai tanah milik masyarakat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Besarnya potensi hutan dan adanya nilai manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat menjadikan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap alam sehingga upaya konservasi sumberdaya diharapkan akan lebih efektif dilakukan. Nilai-nilai yang dirasakan langsung oleh masyarakat ini diharapkan mampu menjadi stimulus untuk melakukan upaya konservasi.

Kurangnya perhatian terhadap kelestarian kulim dan terbatasnya informasi mengenai kulim akan menyebabkan tingkat kelangkaan kulim khususnya di Riau semakin tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan kondisi populasi kulim yang masih ada di Provinsi Riau, khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning untuk memberikan masukan bagi upaya pelestarian kulim dan merumuskan strategi konservasi kulim sehingga tetap

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan kelestarian kulim tetap terjaga serta mendukung konservasi hutan di Desa Aur Kuning.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menduga struktur populasi, dominansi tumbuhan, pola sebaran, dan asosiasi kulim.

2. Mengidentifikasi bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat. 3. Memberikan rekomendasi upaya konservasi kulim.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu : a) menjadi salah satu sumber informasi mengenai potensi tegakan kulim yang masih ada di daerah Riau khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning, b) sebagai masukan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan konservasi kulim, dan c) sebagai acuan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat lokal yang mendukung konservasi kulim dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Kerangka Pemikiran

Hutan memiliki potensi yang sangat besar bagi kehidupan manusia khususnya bagi masyarakat lokal. Hutan masyarakat diketahui memiliki kekayaan alam yang belum dikelola dengan baik. Salah satunya adalah kulim. Jenis ini dahulunya merupakan jenis kayu primadona di Riau karena memiliki kelas awet yang baik sehingga cocok dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kapal maupun bangunan, namun keterbatasan bahan baku menyebabkan beberapa usaha ini terhenti. Pemanfaatan kulim yang terus berlangsung menjadikan kayu kulim semakin langka sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Hal ini harusnya mampu menjadi perhatian masyarakat maupun pemerintah karena status tumbuhan ini yang langka dan data mengenai populasi kulim belum banyak diketahui.

Penyebaran kulim di Indonesia terbatas yaitu di Sumatera dan Kalimantan (Sleumer 1982). Di Riau, diketahui kulim dapat ditemukan di daerah Indragiri hilir, Indragiri Hulu, Kampar, dan Bengkalis (Ismail 2000). Kulim dikenal dengan nama bawang hutan di daerah Kenohan, Kalimantan Timur dan dimanfaatkan

sebagai pengganti aroma bawang putih (biji dan kulit kayunya), sebagai sayuran (daun), obat tradisional (akar dan daun) dan pelengkapan upacara ritual (kulit kayu dan buah) (Siagian et al. 2000).

Terbatasnya wilayah penyebaran kulim dan semakin berkurangnya areal hutan di Indonesia mengakibatkan populasi kulim semakin terancam. Lambatnya pertumbuhan kayu kulim dan adanya penebangan kulim dapat menyebabkan reproduksi kulim berjalan sangat lambat. Hal ini memungkinkan terjadinya penurunan populasi kulim, sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Sosef et al. (1998) menyebutkan bahwa secara alami pertumbuhan kulim relatif`lambat, hal ini dilihat dari riap rata-rata diameter tahunan (avarage annual diameter increament) kulim pada hutan alam di Semenanjung Malaysia yaitu antara 0,2 – 0,3 cm. Hal ini membuktikan bahwa secara ekologi pertumbuhan kulim yang lambat akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menambah jumlah populasi, disamping itu juga tumbuhan akan bersaing dengan jenis-jenis vegetasi lain sehingga akan terjadi seleksi alam. Hal ini dapat menyebabkan keberadaan kulim di alam semakin terancam karena pemanfaatan yang terus berlangsung. Oleh karena itu dibutuhkan suatu mekanisme pengelolaan yang baik dan upaya budidaya kulim sehingga kelestarian kulim tetap terjaga dan pemanfaatannya masih dapat terus berlangsung.

Belum adanya upaya budidaya kulim mengakibatkan kayu kulim di alam menjadi tempat persediaan kayu kulim. Salah satu kawasan yang diketahui masih terdapat kayu kulim adalah kawasan hutan adat Desa Aur Kuning. Kayu kulim di daerah ini umumnya tumbuh liar di kawasan hutan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku pembuatan kusen rumah, jembatan, dan sebagai bahan obat tradisional. Pemanfaatan yang terus berlangsung bukan tidak mungkin akan menyebabkan populasi kulim di hutan ini akan terus berkurang dan hingga saat ini belum diketahui berapa besar potensi kulim yang terdapat di lokasi ini.

Tersedianya informasi mengenai populasi kulim yang terdapat di hutan adat Desa Aur Kuning diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi populasi kulim di lokasi ini. Pengetahuan masyarakat diharapkan dapat memberikan stimulus-stimulus bagi upaya konservasi kulim ke depan. Timbulnya sikap masyarakat yang peduli terhadap alam ini diharapkan mampu mewujudkan konservasi yang baik karena masih berlandaskan pada kearifan tradisional masyarakat sehingga upaya konservasi khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning akan dapat terlaksana. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disusun diagram kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian.

Konservasi kulim terancam Penebangan kayu

kulim

Belum ada budidaya Pemanfaatan sbg

bahan baku industri

Ketersediaan kayu kulim di alam

Pertumbuhan kulim lambat

Mengetahui kondisi populasi dan pemanfaatan kulim

Masyarakat

Membantu penyebaran dan budidaya kulim

Pemerintah Program dan aturan mengenai konservasi kulim

Konservasi kulim terwujud Sikap dan aksi konservasi

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis Kecamatan Kampar Kiri Hulu

Wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu terletak di sebelah selatan Kabupaten Kampar dengan batas wilayah :

Sebelah barat : Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat.

Sebelah utara : Kecamatan XIII Koto Kampar, Kecamatan Bangkinang Kecamatan Kampar, Kota Pekanbaru.

Sebelah selatan : Kabupaten Kuantan Singingi.

Sebelah timur : Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru.

Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Status pemerintahan dari lokasi ini yaitu berupa desa, dengan nama Desa Aur Kuning. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa dimana keberadaan dan lokasi kantor kepala desa terdapat di dalam wilayah desa, serta terdapat juga badan perwakilan desa dan perangkat adat berupa ninik mamak. Pencapaian menuju Desa Aur Kuning ini ditempuh dengan melewati beberapa daerah. Jarak tempuh dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Lipat Kain sekitar 75 km, kemudian diteruskan ke Kecamatan Gema dengan jarak tempuh 28 km. Untuk mencapai Desa Aur Kuning, perjalanan ditempuh sekitar 30 km. Lokasi ini harus ditempuh dengan jalur darat dan air. Jalur darat dapat ditempuh dengan menggunakan mobil dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Gema dan jalur air ditempuh dengan menggunakan perahu bermesin dari Kecamatan Gema hingga Desa Aur Kuning (Gambar 3).

Kondisi Hutan

Desa Aur Kuning berada di sekitar/tepi kawasan hutan yang merupakan kawasan hutan dengan kemiringan lahan tergolong sedang yaitu antara 15%-25%. Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang terdapat dalam kawasan hutan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (Gambar 4). Status kawasan ini sebagai suaka margasatwa belum mampu memberikan manfaat bagi masyarakat sebaliknya masyarakat dianggap sebagai perusak alam. Masyarakat adat Desa Aur Kuning telah hidup di dalam kawasan dan hidup selaras dengan alam jauh sebelum ditetapkannya status kawasan ini. Kebijakan Pemerintah yang menetapkan Bukit Rimbang Bukit Baling sebagai Suaka Margasatwa didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/l986 Tanggal 6 Juni 1986 yang kini luasnya 84011 ha. Terdapat lebih kurang 16 Desa yang hidup dan bergantung terhadap potensi hutan ini, salah satunya adalah Desa Aur Kuning.

Kawasan hutan yang berada di sekitar desa dianggap masyarakat sebagai hutan adat masyarakat yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakal lokal. Keberadaan hutan adat ini diakui juga dalam UU No. 41 thn 1999 dimana hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pemanfaatan hutan ini boleh dilakukan oleh masyarakat sepanjang pemanfaatan tersebut tidak mengganggu fungsi hutan dalam hal ini sebagai suaka margasatwa.

Gambar 4 Lokasi Desa Aur Kuning di dalam Kawasan Hutan.

Sebagian besar desa yang terdapat di wilayah Kabupaten Kampar Hulu merupakan daerah perbukitan/lereng yang berada di kaki Bukit Barisan dengan ketinggian 0 – 500 m dpl. Struktur tanah adalah arganosol, gleihumus alluvial, hidromorfik kelabu, padzolik merah kuning, litosol dan regosol. Jenis tanah argosol ini merupakan jenis tanah yang semakin jauh dari pinggir sungai semakin tebal bahan gambutnya.

Terdapat delapan sungai besar di wilayah Kabupaten Kampar Hulu yaitu : 1. Sungai Kampar Kanan yang melintasi wilayah Kecaman Siak Hulu dan

Kecamatan Perhentian Raja.

2. Sungai Kampar Kiri yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri, Kampar Kiri Tengah, Kecamatan Gunung Sahilan, dan Kecamatan Kampar Kiri Hilir.

3. Sungai Subayang yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. 4. Sungai Lipai yang melintasi wilayah Kecamatan Gunung Sahilan. 5. Sungai Setingkai yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri.

6. Sungai Paku yang melintasi sebagian desa-desa di Kecamatan Kampar Kiri.

7. Batang Bio yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. 8. Batang Lipai yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu.

Potensi Tumbuhan di hutan Desa Aur Kuning

Desa Aur Kuning merupakan kawasan yang masih memiliki potensi tumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya tumbuhan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian Ernawati (2009), data tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Aur Kuning sebanyak 168 jenis dari 67 famili. Berdasarkan kelompok kegunaan, spesies-spesies yang terdapat di Desa Aur Kuning dapat dikelompokkan ke beberapa kegunaan yaitu tumbuhan pangan termasuk tumbuhan buah dan sayuran. Jenis tumbuhan yang dijadikan sebagai sumber karbohidrat adalah nyola/jelai (Hordeum vulgare), sagu (Metroxylon sagu), jagung (Zea mays), dan ubi kayu (Manihot esculenta). Tumbuhan penghasil zat warna seperti pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) yang menghasilkan wrna hijau, kulit buah manggis (Garcinia mangostana) yang menghasilkan warna hitam, dan pacar/inai (Lawsonia inermii). Tumbuhan sebagai penghasil pestisida nabati seperti jenis tuba tikus (Derris elliptica) dan gadung (Dioscorea hispida). Tumbuhan yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara adat adalah kemenyan (Styrax sp.), gambir (Uncaria gambir), sirih (Piper betle), tembakau (Nicotiana sp.), dan pinang (Areca catechu). Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan seperti rotan (Daemonorops sp.), manau (Daemonorops

mraginatus), terap (Artocarpus odoratissimus), dan pandan (Pandanus sp.). Selain itu, terdapat juga tumbuhan tumbuhan penghasil pakan ternak, tumbuhan hias, dan tumbuhan aromatik. Terdapat 98 jenis yang digunakan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat. Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat di desa ini adalah kulim. Bagian yang digunakan yaitu buahnya sebagai obat sakit perut dan untuk mengobati bengkak.

Sosial Ekonomi Penduduk

Desa Aur Kuning dihuni oleh 169 keluarga dengan jumlah penduduk laki- laki sebanyak 345 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 331 jiwa. Pemukiman masyarakat berada di pinggir sungai dengan dua lokasi yaitu di sisi kiri dan kanan aliran sungai dan dihubungkan oleh jembatan (Lampiran 6). Sumber penghasilan utama sebagian masyarakat disini berasal dari sektor perkebunan dengan jenis komoditi getah karet. Selain itu terdapat juga masyarakat yang bekerja di sektor perdagangan. Kehidupan masyarakat di desa ini masih bersifat kekeluargaan dengan memegang adat istiadat yang berlaku di daerah ini dengan pemangku adat sebagai pemegang tertinggi kekuasaan. Desa ini telah memiliki kepala desa untuk bidang pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu desa dengan desa lainnya hingga ketingkat kabupaten dan kota.

Sarana dan Prasarana Desa

Sungai merupakan sarana utama bagi kehidupan masyarakat desa ini. Sungai di desa ini berfungsi sebagai sarana transportasi, MCK (mandi, cuci, kakus) dan sebagai sumber air minum. Alat transportasi yang biasa digunakan oleh masyarakat adalah sampan yang menggunakan mesin (Gambar 5) karena desa ini merupakan desa yang berada di daerah terisolir dan belum memiliki akses jalan darat.

Gambar 5 Alat transportasi masyarakat Desa Aur kuning.

Sumber penerangan bagi desa ini berasal dari non-PLN yaitu berupa mesin diesel yang dimiliki secara pribadi oleh tiap-tiap keluarga. Tidak semua keluarga memiliki alat penerangan hanya sekitar 110 keluarga yang telah menikmati penerangan, sebagian masyarakat masih mengandalkan penerangan dari lampu teplok. Kurangnya fasilitas penerangan menyebabkan jalan-jalan utama desa belum mendapatkan penerangan yang memadai sehingga ketika malam hari desa ini masih terasa gelap dan aktifitas hanya berlangsung hingga semua listrik padam. Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan memasak masih bersifat sangat sederhana yaitu berupa kayu bakar namun sudah terdapat beberapa masyarakat yang menggunakan kompor gas.

Fasilitas pendidikan di desa ini sudah cukup memadai yaitu terdapat satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya terdapat di daerah kota yang harus ditempuh dengan jalur air sekitar 30 km sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat universitas harus ke Kota Pekanbaru. Akses menuju kota Pekanbaru sangat sulit yaitu harus ditempuh dengan jalur air dan jalur darat. Sulitnya akses dan rendahnya pendapatan masyarakat di desa ini mengakibatkan mutu pendidikan masyarakat masih rendah.

Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Aur Kuning berupa puskesmas pembantu dengan dibantu dua orang bidan, pos kesehatan desa, dan posyandu. Aktifitas rutin posyandu biasa dilakukan satu kali dalam sebulan untuk kegiatan imunisasi bayi dan pemberian makanan sehat bagi balita. Pengobatan secara tradisional masih tetap berlangsung di desa ini yaitu terdapat dukun kampung yang biasa membantu dalam kegiatan melahirkan dan melakukan pengobatan secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sebagai bahan obat tradisional.

Agama, Sosial Budaya dan Sarana Informasi

Mayoritas masyarakat adat Desa Aur Kuning adalah suku Melayu Riau. Penduduk desa ini beragama Islam sehingga unsur-unsur kebudayaan Islam hampir berpengaruh disemua segi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk tulisan lama yang disebut tulisan Arab Melayu, upacara ritual, dan bentuk keseniannya yaitu pencak silat. Pengaruh ajaran Islam juga terlihat dari ketaatan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban agama seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan, dan dalam setiap perayaan hari besar agama Islam. Dominannya pengaruh ajaran Islam ini tercermin dalam pepatah adat Melayu

yang berbunyi “Tungku tiga sejerangan, tali tiga sepilin” yang maksudnya “Adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Tiga hal yang tidak dapat dipisahkan adalah adat istiadat, agama, dan pemerintah.

Sarana ibadah yang ada di desa ini yaitu satu buah masjid dan dua buah surau/mushalla. Alat musik yang digunakan antara lain kompang, gendang, rebana, dan gong. Desa ini juga dilengkapi oleh sarana olah raga berupa lapangan sepak bola, lapangan voli, dan lapangan badminton. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan pemuda desa yaitu kegiatan turnamen olah raga untuk meningkatkan kerukunan antar desa maupun bagi masyarakat Desa Aur Kuning sendiri. Jauhnya lokasi desa ini dari kota mengakibatkan desa ini belum mendapatkan jaringan komunikasi misalnya sinyal telepon ataupun layanan pos surat.

4

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas kompas, pita ukur, clinometer, meteran, tali tambang/plastik, tally sheet, panduan pertanyaan, alat tulis, gunting, kamera. Alat untuk membuat herbarium antara lain kantong plastik, kertas koran, hekter, label gantung, alkohol 70%, sprayer, dan teropong sebagai alat bantu.

Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu :

1. Populasi kulim meliputi jumlah populasi, struktur tegakan, dominansi tumbuhan, pola sebaran dan asosiasi kulim

2. Pemanfaatan kulim oleh masyarakat meliputi bentuk pemanfaatan dan faktor- faktor yang mempengaruhi kelestarian kulim

3. Nilai-nilai dan upaya yang dilakukan masyarakat untuk melakukan konservasi kulim.

Metode Pengumpulan Data

Analisis vegetasi

Potensi sumberdaya tumbuhan yang menjadi tujuan utama penelitian adalah kulim namun dilakukan juga inventarisasi tumbuhan yang berada disekitar tegakan kulim. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis vegetasi adalah metode garis berpetak. Banyaknya petak pengamatan yang dibuat adalah 150 petak dengan tiga jalur transek dengan masing-masing transek dibuat sebanyak 50 petak pengamatan. Peletakan petak pertama ditentukan dari hasil survey awal yang dilakukan. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis vegetasi adalah :

a) Menentukan lokasi peletakan petak pengamatan pertama, kemudian membuat garis/transek mengikuti garis kontur hutan. Peletakan petak pengamatan berikutnya dilakukan secara sistematik mengikuti garis/transek.

b) Selanjutnya petak pengamatan tersebut dibagi menjadi sub petak pengamatan

Dokumen terkait