• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen POTENSI EKSTRAK ETANOL DAUN KIPAHIT (Halaman 30-46)

3 METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Kipahit (EEDK)

Ekstrak etanol daun kipahit (EEDK) diuji fitokimia untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang terkandung pada daun kipahit. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa EEDK memiliki kandungan senyawa aktif, antara lain flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid, triterpenoid, tanin, dan saponin. Senyawa steroid, tanin, dan saponin tergolong senyawa aktif yang kuat terkandung di dalam ekstrak etanol daun kipahit. Senyawa flavonoid dan triterpenoid tergolong positif.

Fenol hidrokuinon tergolong positif lemah di dalam EEDK. Senyawa alkaloid tidak teridentifikasi didalam EEDK (Tabel 1).

Tabel 1 Uji fitokimia senyawa aktif ekstrak etanol daun kipahit (Tithonia diversifolia)

Senyawa aktif Tingkat intensitas warna

Alkaloid -

Keterangan: (-) tidak teridentifikasi, (+) positif lemah, (++) positif, (+++) positif kuat, (++++) positif sangat kuat.

Penentuan Waktu Awal dan Puncak Demam

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif dari ekstrak etanol daun kipahit (EEDK), suhu awal dan puncak demam pada tikus percobaan yang diinduksi vaksin DTP HB-Hib, dan mendapatkan dua dosis terbaik dari EEDK dalam menurunkan suhu rektal tikus percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus percobaan yang diinduksi demam mengalami kenaikan suhu rektal (p<0.05). Tikus yang diinduksi demam mengalami kenaikan suhu rektal pada menit ke-30 dan kenaikan suhu tersebut bertahan sampai dengan menit ke-90 pascapenyuntikan vaksin DTP HB-Hib.

Sebaliknya, mulai menit ke-90 sampai dengan menit ke-120 pascapenyuntikkan vaksin DTP HB-Hib, suhu rektal tikus percobaan mulai mengalami penurunan dan kembali menuju ke suhu rektal normal. Berdasarkan pengukuran suhu rektal tikus percobaan pada berbagai waktu pengamatan menunjukkan bahwa puncak demam terjadi pada menit ke-90 pascapenyuntikkan vaksin DTP HB-Hib (Gambar 4).

13

Gambar 4. Suhu rektal tikus percobaan (♦: normal, ■: disuntik vaksin DTP HB-Hib) pada berbagi waktu pengukuran.

Penentuan Dosis Efektif Ekstrak Etanol Daun Kipahit (EEDK)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada menit ke-0 (sebelum diinduksi demam), tikus percobaan memiliki suhu rektal pada kisaran normal (36.5-37.5ºC) dan relatif sama (Tabel 2). Pada menit ke-90 pascainduksi demam, semua tikus percobaan yang mendapatkan perlakuan mengalami peningkatan suhu rektal (p<0.05) dibandingkan kelompok tikus normal. Pemberian EEDK dalam penelitian ini dilakukan pada menit ke-90 pascainduksi demam yang pada waktu tersebut merupakan puncak demam. Pada menit ke-120, tikus percobaan kelompok kontrol negatif mengalami peningkatan suhu rektal dibandingkan kelompok normal. Kelompok perlakuan EEDK secara keseluruhan pada menit ke-120 mengalami penurunan suhu rektal dibandingkan kelompok kontrol negatif.

Pada menit ke-150 dan 180 t ikus percobaan kelompok perlakuan EEDK juga mengalami penurunan suhu rektal dibandingkan kelompok kontrol negatif (Tabel 2). Pemberian EEDK terbaik yang menurunkan suhu rektal tikus percobaan yang diinduksi demam ialah pada dosis 100 d an 200 m g/kg BB dibandingan kelompok kontrol negatif. Efek penurunan suhu rektal tikus percobaan yang diberi EEDK dosis 100 dan 200 mg/kg BB mulai terjadi pada menit ke-120 pascainduksi demam. Sementara itu, pemberian EEDK dosis 300 da n 400 m g/kg BB juga mampu menurunkan suhu rektal tikus percobaan, namun penurunan suhu rektal tersebut cenderung fluktuatif (tidak stabil). Pemberian EEDK dosis 100 dan 200 mg/kg BB merupakan rentang dosis efektif yang dapat menurunkan suhu rektal tikus percobaan yang diinduksi demam. Sebaliknya, pemberian EEDK dosis 300 dan 400 mg/kg BB diduga telah melebihi dosis efektif sehingga efek penurunan yang diperoleh cenderung tidak stabil (Tabel 2).

14

Tabel 2 Pengaruh ekstrak etanol daun kipahit dan berbagai waktu pemberian pada suhu rektal tikus percobaan

Waktu

(menit) Kontrol 0

(Normal) Kontrol –

(Demam) Dosis Ekstrak Etanol Daun Kipahit (mg/kg BB)

100 200 300 400

0 36.7±0.47a 36.7±0.44a 36.5±0.18a 37.0±0.74a 37.0±0.67a 37.4±0.35a

90 36.9±0.48b 38.2 ±0.18 a 38.1±0.43a 38.1±0.19a 38.3±0.40a 38.1± 0.17a

120 36.6±0.21b 38.6±0.09a 37.3±1.52ab 37.3±0.49ab 37.0±0.43b 37.6±0.28ab

150 36.6±0.25b 38.4±0.28a 36.7±1.63b 37.1±0.58ab 37.3±0.33ab 37.4±1.26ab

180 37.1±0.42ab 38.2±0.20a 36.5±0.71b 36.2±0.58ab 37.1±0.63ab 37.6±0.28ab

Keterangan : superscript menunjukkan beda nyata dengan taraf signifikan P<0.05.

Pengaruh Pemberian EEDK pada Suhu Rektal

Pengukuran suhu rektal tikus percobaan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada menit ke-0 tanpa melihat faktor waktu perlakuan, suhu rektal tikus percobaan pada kelompok demam (K-), aspirin (K+), EEDK 100, dan EEDK 200 memiliki suhu demam yang berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok sehat (K0) (p<0.05). Suhu rektal tikus percobaan pada kelompok tersebut mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 2.1, 0.8, 1.9, dan 1.1% dibandingkan dengan kelompok normal (K0). Tanpa melihat faktor jenis perlakuan, waktu awal dan puncak demam memiliki suhu rektal yang tidak berbeda nyata. Kombinasi jenis perlakuan dan waktu perlakuan tidak menunjukkan interaksi (p>0.05).

Pada menit ke-30 pascaperlakuan, tanpa melihat faktor waktu perlakuan menunjukkan bahwa suhu rektal tikus pada setiap kelompok percobaan mengalami perbedaan yang nyata (p<0.01). Kelompok tikus demam yang diberi aspirin (K+), EEDK 100, dan EEDK 200 m engalami penurunan berturut turut sebesar 1.6, 1.3, dan 1.6% dibanding kelompok demam (K-) (p<0.01). Tanpa melihat faktor jenis perlakuan, waktu awal dan puncak demam memiliki suhu rektal yang tidak berbeda nyata. Kombinasi jenis perlakuan dan waktu perlakuan tidak menunjukkan interaksi (p>0.05) (Tabel 3).

Pada menit ke-60 pascaperlakuan, tanpa melihat faktor waktu perlakuan menunjukkan bahwa tikus percobaan demam yang diberi aspirin (K+), EEDK perlakuan menunjukkan interaksi (p<0.01). J enis perlakuan EEDK 100 pada waktu puncak demam menunjukkan interaksi dengan menurunkan suhu rektal terbaik sebesar 2.9% (Tabel 3).

Pada menit ke-90 pascaperlakuan, tanpa melihat faktor waktu perlakuan menunjukkan bahwa tikus percobaan demam yang diberi aspirin (K+), EEDK 100, dan EEDK 200 berbeda nyata dibandingkan kelompok demam (K-).

Kelompok tikus demam yang diberi aspirin (K+), EEDK 100, da n EEDK 200 mengalami penurunan berturut turut sebesar 3.7, 4.2, da n 3.2% dibanding kelompok demam (K-) (p<0.01). Kelompok EDDK 100 cenderung mengalami penurunan sebesar 0.54% dibanding kelompok aspirin (K+) (Tabel 3).

15

Pengaruh EEDK pada Sitokin Proinflamasi

Berdasarkan data Tabel 4 di ketahui bahwa tanpa melihat faktor waktu perlakuan menunjukkan bahwa persentase relatif sel limfosit yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin TNF-α (CD4+/TNFα+) pada kelompok tikus percobaan demam yang diberi aspirin (K+), EEDK 100, dan EEDK 200 be rbeda nyata dibandingkan kelompok demam (K-) (p<0.01). Kelompok tikus demam yang diberi aspirin (K+), EEDK 100, da n EEDK 200 m engalami penurunan berturut turut sebesar 46.1, 22. 6, dan 28.1% dibandingkan kelompok demam (K-) (p<0.01). Kondisi ini menunjukkan bahwa tikus percobaan yang diberi perlakuan memiliki sitokin proinflamasi, yakni TNFα yang lebih rendah dibandingkan kelompok demam (K-). Tanpa melihat jenis perlakuan, waktu perlakuan pada awal dan puncak demam berbeda nyata (p<0.01). Puncak demam dapat menurunkan demam sebesar 24.7% dibandingkan awal demam. Jenis perlakuan dan waktu perlakuan menunjukkan interaksi (p<0.01). Jenis perlakuan EEDK 200 pada waktu awal demam menunjukkan interaksi dengan menurunkan persentase relatif CD4+/TNFα+ terbaik sebesar 69.9%.

Parameter CD68+/IL-6+ pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis perlakuan tidak berbeda nyata pada persentase relatif sel makrofag yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin proinflamasi interleukin 6 (IL-6) (CD68+/IL-6+) (p>0.05).

Persentase relatif CD68+/IL-6+ pada kelompok perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok demam (K-). Waktu perlakuan, yakni awal dan puncak demam, memiliki persentase relatif CD68+/IL-6+ yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Persentase relatif CD68+/IL-6+ pada kelompok tikus percobaan di puncak demam cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok tikus percobaan di awal demam. Jenis perlakuan dan waktu perlakuan menunjukkan interaksi (p<0.05). Jenis perlakuan EEDK 100 pa da waktu awal demam menunjukkan interaksi terbaik dengan menurunkan persentase relatif C D68+/IL-6+ terbaik sebesar 55.9% (Tabel 4).

Pengaruh Pemberian EEDK pada Hati dan Ginjal

Hati dan ginjal tergolong organ penting dalam fisiologi tubuh. Keamanan pemberian EEDK terhadap organ hati ditinjau dari parameter kadar SGPT dan SGOT, sedangkan organ ginjal diamati dari parameter ureum, BUN, dan kreatinin. Kadar SGPT, SGOT, ureum, BUN, dan kreatinin dianalisis dengan menggunakan serum darah. Berdasarkan pemeriksaan serum terhadap kadar SGPT, SGOT, ureum, BUN, dan kreatinin menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada semua kelompok perlakuan dan kontrol (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tikus percobaan yang diberi perlakuan EEDK tidak mengalami gangguan fungsi hati dan ginjal.

Tabel 3 Suhu rektal tikus percobaan yang diberi perlakuan pada awal demam dan puncak demam Waktu PengamatanWaktu PerlakuanJenis perlakuan (mg/kg BB) Rataan±SE p-value Normal (K0) Demam (K-)Aspirin 4.5 (K+)EEDK 100 EEDK 200 JPWPJP*WP 0

Awal demam37.0.10a 38.0.28a 37.0.40a 38.0.12a 37.0.25a 37.0.16A * tntn Puncak demam37.0.18a 38.0.05a 38.0.04a 38.0.03a 38.0.07a 38.0.10A Rataan±SE 37.0.13B 38.0.17A 37.0.25AB 38.0.08A 37.0.19AB 30

Awal demam37.0.40ab 38.0.17a 37.0.05a 37.0.14ab 37.0.19ab 37.73±0.15A **tntn Puncak demam36.0.19b 38.0.10a 37.0.07ab 37.0.18ab 37.0.25ab 37.45±0.16A Rataan±SE 36.0.28B 38.0.13A 37.0.18AB 37.0.14A 37.0.19AB 60

Awal demam37.0.09bc 38.0.12a 37.0.04ab 37.0.09abc 37.0.05bc 37.0.12A **tn** Puncak demam36.0.31c 38.0.07a 37.0.12bc 37.0.12bc 37.83±0.19ab 37.0.17A Rataan±SE 37.0.22B 38.0.08A 37.0.16B 37.0.10B 37.0.20B 90

Awal demam36.0.07b 38.0.23a 37.0.19ab 36.0.23b 37.0.08b 37.0.19A **tntn Puncak demam36.0.23b 38.0.13a 36.0.07b 36.0.05b 37.0.20ab 37.0.18A Rataan±SE 36.0.16B 38.0.16A 37.0.20B 36.0.13B 37.0.16B Keterangan: *p<0.05. **p<0.01. JP merupakan jenis perlakuan, WP merupakan waktu perlakuan, tn menunjukkan rataan tidak berbeda nyata. ABHuruf superscript berbeda pada rataan baris (jenis perlakuan) dan rataan kolom (waktu perlakuan) perbedaan sangat nyata (p<0.01). abHuruf superscript berbeda pada kombinasi jenis perlakuan dan waktu perlakuan menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05).

16

17 Tabel 4 Persentase relatif CD4+ /TNFα+ dan CD68+ /IL-6+ tikus percobaan yang diberi perlakuan pada awal demam dan puncak demam Parameter PengamatanWaktu PerlakuanJenis perlakuan (mg/kg BB) Rataan±SE p-value Normal (K0) Demam (K-)Aspirin 4.5 (K+) EEDK 100 EEDK 200 JPWPJP*WP CD4+ /TN+

Awal demam12.63±0.43ab 14.73±0.10a 5.80±0.53def 8.87±0.36bcd 4.44±0.13ef 9.29±1.07A ** **** Puncak demam3.51±0.59f 6.82±0.66def 5.82±0.64def 7.81±0.42cde 11.07±0.36abc 7.00±0.75B Rataan±SE 8.07±2.12BC 10.78±1.85A 5.81±0.68C 8.34±0.40B 7.75±1.50BC CD68+ /IL-6+

Awal demam6.45±0.01ab 8.18±0.14a 4.56±0.16ab 3.64±0.53b 5.14±1.21ab 5.60±0.52A tntn* Puncak demam4.66±0.19ab 4.27±0.08b 5.61±0.62ab 4.27±0.47b 5.33±0.71ab 4.83±0.31A Rataan±SE 5.82±0.59AB 6.00±0.81A 5.08±0.57AB 3.96±0.43B 5.23±0.81AB *p<0.05. **p<0.01. JP merupakan jenis perlakuan, WP merupakan waktu perlakuan, tn menunjukkan rataan tidak berbeda nyata. ABHuruf superscript berbeda pada rataan baris (jenis perlakuan) dan rataan kolom (waktu perlakuan) perbedaan sangat nyata (p<0.01). ab Huruf superscript berbeda pada kombinasi jenis perlakuan dan waktu perlakuan menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05).

17

18

Gambar 5 Persentase sel limfosit TCD4 yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin TNFα (CD4+TNFα+) dari organ spleen tikus percobaan setelah pemberian

ekstrak etanol daun kipahit pada awal demam (Normal (K0) = kontrol tikus percobaan tanpa perlakuan, Demam (K-) = kontrol tikus percobaan diinduksi

vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB, Aspirin (K+) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi aspirin 4.5 mg/kg BB, EEDK 100 = tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 100 mg/kg BB, EEDK 200 = tikus percobaan diinduksi vaksin

DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 200 mg/kg BB).

18

19

Gambar 6 Persentase sel limfosit TCD4 yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin TNFα (CD4+TNFα+) dari organ spleen tikus percobaan setelah pemberian

ekstrak etanol daun kipahit pada puncak demam (Normal (K0) = kontrol tikus percobaan tanpa perlakuan, Demam (K-) = kontrol tikus percobaan diinduksi

vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB, Aspirin (K+) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi aspirin 4.5 mg/kg BB, EEDK 100 = tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 100 mg/kg BB, EEDK 200 = tikus percobaan diinduksi vaksin

DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 200 mg/kg BB).

20

Gambar 7 Persentase sel makrofag yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin IL-6 (CDIL-68+IL6+) dari organ spleen tikus percobaan setelah pemberian ekstrak etanol

daun kipahit pada awal demam (Normal (K0) = kontrol tikus percobaan tanpa perlakuan, Demam (K-) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB, Aspirin (K+) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi aspirin 4.5 mg/kg BB, EEDK 100 = tikus percobaan

diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 100 mg/kg BB, EEDK 200 = tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan

diberi EEDK 200 mg/kg BB).

21

Gambar 8 Persentase sel makrofag yang teraktivasi dan mensekresikan sitokin IL-6 (CDIL-68+IL6+) dari organ spleen tikus percobaan setelah pemberian ekstrak etanol

daun kipahit pada puncak demam (Normal (K0) = kontrol tikus percobaan tanpa perlakuan, Demam (K-) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB, Aspirin (K+) = kontrol tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi aspirin 4.5 mg/kg BB, EEDK 100 = tikus percobaan

diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan diberi EEDK 100 mg/kg BB, EEDK 200 = tikus percobaan diinduksi vaksin DTP-Hb-Hib 0.2 mL/kg BB dan

diberi EEDK 200 mg/kg BB).

22 Tabel 5 Fungsi hati (SGPT dan SGOT) dan fungsi ginjal (ureum, BUN, dan kreatinin) tikus percobaan yang diberi perlakuan pada awal demam dan puncak demam Parameter PengamatanWaktu PerlakuanJenis perlakuan (mg/kg BB) Rataan±SE p-value Normal (K0) Demam (K-)Aspirin 4.5 (K+)EEDK 100 EEDK 200 JPWPJP*WP SGPT

Awal demam36.18±14.03a 27.93±6.72a 29.83±8.82a 48.87±2.29a 13.33±5.50a 31.23±4.44A tntntn Puncak demam29.83±15.64a 17.77±6.72a 22.21±5.64a 34.91±6.05a 25.07±8.80a 25.96±3.87A Rataan±SE 33.00±9.50A 22.85±4.82A 26.02±4.98A 41.89±4.26A 19.20±5.33A SGOT

Awal demam35.54±19.21a 30.46±19.17a 69.18±19.43a 37.45±19.24a 13.33±1.10a 37.19±8.12A tntntn Puncak demam34.27±11.63a 66.64±8.10a 58.71±17.40a 58.07±17.82a 65.69±18.37a 56.68±6.57A Rataan±SE 34.91±10.04A 48.55±12.45A 63.94±11.90A 47.76±12.60A 39.51±14.31A Ureum

Awal demam41.61±3.20a 35.02±5.80a 44.57±8.40a 39.99±3.54a 58.56±9.18a 43.95±3.24A tntntn Puncak demam44.33±1.31a 39.85±1.78a 46.34±3.78a 36.07±4.09a 45.19±2.53a 42.35±1.50A Rataan±SE 42.97±1.66A 37.43±2.90A 45.45±4.12A 38.03±2.57A 51.87±5.20A BUNAwal demam19.56±1.50a 16.46±2.71a 20.95±3.95a 18.79±0.12a 27.52±4.31a 20.66±1.52A tntntn Puncak demam20.84±0.61a 19.35±1.34a 21.78±1.18a 16.95±1.92a 21.24±1.19a 20.03±0.72A

22

23 Rataan±SE 20.20±0.78A 17.91±1.50A 21.36±1.95A 17.87±1.21A 24.38±2.45A Kreatinin

Awal demam0.30±0.07a 0.15±0.04a 0.31±0.18a 0.31±0.12a 0.25±0.00a 0.26±0.04A tntntn Puncak demam0.24±0.13a 0.21±0.02a 0.25±0.13a 0.11±0.05a 0.27±0.06a 0.21±0.04A Rataan±SE 0.26±0.07A 0.18±0.02A 0.28±0.10A 0.21±0.07A 0.26±0.03A Keterangan : *p<0.05. **p<0.01. JP merupakan jenis perlakuan, WP merupakan waktu perlakuan, tn menunjukkan rataan tidak berbeda nyata.ABHuruf superscript berbeda pada rataan baris (jenis perlakuan) dan rataan kolom (waktu perlakuan) perbedaan sangat nyata (p<0.01). abHuruf superscript berbeda pada kombinasi jenis perlakuan dan waktu perlakuan menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05).

23

24

Pembahasan

Demam merupakan respons fisiologis yang terjadi akibat adanya stimulasi sintesis prostaglandin di dalam tubuh. Agen utama yang menginduksi sintesis prostaglandin sebagai salah satu mediator demam ialah pirogen (Anochie dan Ifesinachi 2013). Salah satu agen pirogen yang dapat menimbulkan demam ialah bakteri. Bakteri memiliki lipopolisakarida (LPS) endotoksin pada dinding selnya sehingga menginisiasi sekresi prostaglandin E2 (PGE2) (Steiner et al. 2006).

Induksi demam pada penelitian menggunakan vaksin DTP-HB-Hib. Vaksin DTP HB-Hib merupakan suspensi homogen yang kandungan utamanya berupa Bordotella pertussis inaktif (Biofarma 2015). Pascapenyuntikkan vaksin DTP HB-Hib menunjukkan tikus percobaan pada penelitian mengalami peningkatan suhu rektal (Tabel 3). Tikus percobaan diidentifikasi demam jika suhu rektalnya meningkat melebihi 0.1ºC di atas suhu normal tikus tersebut (Jansen et al. 2015).

Suhu rektal tikus normal yang berkisar antara 35.8-37.6ºC (Baker et al. 2013). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vaksin DTP-HB-Hib efektif menstimulasi demam pada tikus percobaan. Pemberian vaksin DTP HB-Hib diketahui mampu meningkatkan suhu rektal awal pada menit ke-30 (Gambar 4). Laporan penelitian Andriyanto et al. (2017) menunjukkan bahwa demam dengan induksi vaksin DTP mengalami peningkatan awal suhu rektal pada menit ke-30.

Pemberian EEDK terbukti dapat menurunkan suhu rektal tikus percobaan yang kemungkinan besar diakibatkan oleh senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak daun tanaman kipahit. Hasil kandungan senyawa aktif tersebut sesuai dengan analisis fitokimia EEDK yang dilakukan, yaitu flavonoid, steroid, tanin, dan saponin yang positif kuat (Tabel 1). Kandungan flavonoid, steroid, tanin, dan saponin pada EEDK diduga bekerja sinergi dalam mekanisme penurunan suhu rektal pada tikus percobaan yang diinduksi demam. Daun tanaman kipahit secara kuantitatif pada uji fitokimia mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tannins, terpenoid, dan phenolic (Olayinka et al.

2015). Laporan penelitian Andriyanto et al. (2013) menunjukkan bahwa tanaman berkhasiat sebagai antipiretik, yakni ekstrak etanol belimbing wuluh memiliki kandungan flavonoid, alkaloid, dan saponin. Senyawa aktif saponin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan kerja enzim COX-2 dan i-NOS yang berdampak pada penurunan sintesis mediator peradangan (Gambar 9) (Moses et al. 2014). Penelitian melaporkan bahwa aktivitas antipiretik disebabkan oleh beberapa senyawa aktif, seperti flavonoid, tanin, steroid, dan triterpenoid, dapat menghambat sintesis prostaglandin (PGE2) (Akapa et al. 2014; Saptarini dan Deswati 2015).

24

25

Gambar 9. Aktivitas senyawa aktif saponin dan triterpenoid (Moses et al. 2014) Mekanisme demam juga menimbulkan aktivasi sintesis sitokin IL-1β, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF-α) melalui induksi LPS yang dihasilkan oleh bakteri. Selanjutnya, sitokin menginduksi sisntesis mediator peradangan berupa prostaglandin. Keberadaan prostaglandin yang meningkat akan memberikan respons demam dalam tubuh serta aktivasi sel-sel imun sebagai sistem kekebalan tubuh (Gambar 10) (Fabricio et al. 2006; Sharon et al. 2015). Sitokin IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF) mampu menstimulasi mekanisme terjadinya demam melalui aktivasi faktor transkripsi seperti Nuclear factor-kappa B (NF-κB), signal transducer, dan aktivasi transkripsi STAT-3 (Aronoff dan Neilson 2001; Inoue et al. 2008).

Gambar 10. Mekanisme sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6, dan tumor necrosis factor atau TNF-α) dalam induksi demam (Fabricio et al. 2006).

Faktor transkripsi nuclear factor-kappa B (NF-κB) pada kasus demam menurut Roth dan Blatteis (2014) manjadi faktor transkripsi untuk sintesis sitokin proinflamasi seperti TNF α, IL-6 dan IL-1 (Gambar 11). Penelitian menunjukkan bahwa kadar sitokin proinflamasi pada kelompok yang diinduksi demam lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sehat (K0) dan kelompok demam yang diberi perlakuan. Pemberian EEDK mampu menurunkan sitokin proinflamasi

26

seperti IL-6 dan TNFα (Tabel 4). Pirogen eksogen seperti bakteri akan mengaktifkan mediator proinflamasi di dalam tubuh. Sitokin TNF-α menjadi sitokin proinflamasi yang dikeluarkan pertama kali oleh sel dendritik ketika terdapat paparan bakteri. Sitokin TNF-α dan IL-6 berperan dalam melakukan aktivasi COX-2 di hipotalamus. Aktivasi enzim COX-2 menstimulasi sintesis PGE2 sebagai mediator reaksi inflamasi dan demam (Sharon et al. 2015).

Gambar 11. Sintesis sitokin proinflamasi pada demam (Roth dan Blatteis 2014) Sistem kerja obat antipiretik melalui 2 mekanisme yakni mekanisme penghambatan enzim cyclooxygenase dan faktor transkripsi yang menghasilkan mediator peradangan. Penghambatan enzim cyclooxygenase dapat mencegah pembentukan mediator proinflamasi, seperti prostaglandin yang menyebabkan nyeri, demam, edema, dan mediasi inflamasi lainnya (Chagas-Paula et al. 2015b).

Enzim cyclooxygenase berfungsi sebagai enzim aktivasi PGE2 melalui metabolisme arachnoid acid (Kozak et al. 2000). Senyawa flavonoid sebelumnya menyebutkan bahwa senyawa ini memiliki peranan dalam menghambat aktivasi Nuclear factor-kappa B (NF-κB) sehingga sitokin proinflamasi (seperti Interleukin 6 atau IL-6 dan Tumor necrosis factor-a atau TNF-a) dalam tubuh akan menurun (Yamamoto dan Gainor 2001). Penurunan sitokin proinflamasi ini akan menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin sebagai mediator demam dan peradangan (Sharon et al. 2015). Berdasarkan laporan penelitian diketahui senyawa flavonoid, saponin, dan tanin sebagai antioksidan yang mampu menekan keberadaan radikal bebas serta sebagai antipiretik (Kumar et al. 2012). Selain itu, penelitian Alhusayni et al. (2014) melaporkan bahwa flavanoid dapat berefek sebagai hepatoseluler melalui penghambatan alterasi untuk menurunkan efek DNA damage pada sel-sel hati.

Keamanan penggunaan EEDK ditinjau dari pemeriksaan serum darah terhadap enzim SGOT, SGPT, Ureum, BUN, dan Kreatinin. Laporan penelitian Edrington et al. (1995) menunjukkan bahwa hewan coba yang mengalami gangguan fungsi hati dan ginjal akan terjadi peningkatan kadar SGOT, SGPT, Ureum, BUN, dan Kreatinin didalam tubuh. Gangguan fungsi ginjal dapat digambarkan dari kadar Ureum, BUN, dan Kreatinin (Schwartz et al. 1987).

27

Ureum dan kreatinin merupakan hasil dari metabolisme protein di ginjal (Mitch et al. 1980), sedangkan fungsi hati dapat dilihat dari kadar SGOT dan SGPT.

Indikator kerusakan hati diketahui dari parameter enzim SGOT dan SGPT.

Penelitian Guo et al. (2003) melaporkan bahwa peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT diindikasikan adanya gangguan pada hati. Kerusakan membran sel hati menyebabkan enzim SGOT dan SGPT keluar dari sitoplasma sel dan beredar di dalam darah dengan jumlah yang berlebih (Moss dan Butterworth 1974). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok yang diberi EEDK dengan kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian EEDK aman terhadap fungsi hati dan ginjal.

Dalam dokumen POTENSI EKSTRAK ETANOL DAUN KIPAHIT (Halaman 30-46)

Dokumen terkait