• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung

Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi sentra produksi jagung di Indonesia yaitu merupakan penghasil jagung terbesar ke 3 setelah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah (BPS RI 2015b). Rata-rata produksi jagung di Provinsi Lampung selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu sebesar 1 875 354 ton (BPS Provinsi Lampung 2015a, 2015b). Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampa 2014 dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 menunjukkan bahwa penghasil jagung di Provinsi Lampung tersebar di seluruh kabupaten yang ada di provinsi tersebut. Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Lampung di antaranya Kabupaten Lampung Selatan, kemudian diikuti oleh Kabupaten Lampung Timur, dan Lampung Tengah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya kontribusi produksi jagung. Ketiga kabupaten tersebut memberikan kontribusi produksi jagung terhadap Provinsi Lampung yaitu sebesar 80.39 persen dari total produksi sebesar 1 875 354 ton. Dengan kata lain sebagian besar produksi jagung di Provinsi Lampung dihasilkan oleh tiga kabupaten tersebut. Kabupaten yang memberikan kontribusi produksi jagung terbesar di Provinsi Lampung selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Kabupaten Lampung Selatan dengan kontribusi sebesar 29.98 persen atau sebesar 562 313 ton. Hampir

Sumber: BPS Provinsi Lampung (2015a, 2015b), diolah

Gambar 7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014

sepertiga dari produksi jagung di Provinsi Lampung dihasilkan oleh Kabupaten Lampung Selatan. Sementara itu, kabupaten lainnya memberikan kontribusi produksi jagung sangat kecil terhadap total produksi jagung di Provinsi Lampung yaitu kurang dari 5 persen, kecuali Kabupaten Lampung Utara dengan kontribusi produksi jagung sebesar 7 persen.

Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung

Pergerakan harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung cenderung berfluktuasi dari periode ke periode. Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 menunjukkan bahwa selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 pergerakan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan pergerakan harga jagung di tingkat produsen. Jika dilihat pola pergerakannya dari tahun ke tahun, pada tahun 2009 sampai 2012 pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen. Akan tetapi pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakan harga di antara keduanya cenderung tidak sama.

Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d), selama tahun 2009 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 1.59 persen. Setelah itu selama tahun 2010 rata-rata laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami perlambatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 0.06 persen dan selama tahun 2011 kembali mengalami

Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah

Gambar 8 Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014

peningkatan dari tahun sebelumnya dengan rata-rata sebesar 0.95 persen. Kemudian selama tahun 2012 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen mengalami penurunan dari tahun sebelumya yaitu menjadi -0.35 persen dan selama tahun 2013 kembali meningkat sebesar 0.19 persen dari tahun sebelumnya. Sebaliknya laju pertumbuhan harga jagung di tingkat produsen selama tahun 2014 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi sebesar -0.60 persen.

Selain itu, laju pertumbuhan harga jagung di tingkat konsumen juga mengalami peningkatan selama tahun 2009 dengan rata-rata sebesar 0.32 persen, akan tetapi selama tahun 2010 laju pertumbuhannya sedikit melambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan rata-rata sebesar 0.15 persen dan selama tahun 2011 laju pertumbuhannya kembali meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 0.90 persen. Kemudian selama tahun 2012 dan 2013 laju pertumbuhan harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan menjadi sebesar -0.26 persen dan -0.49 persen dan pada tahun 2014 laju pertumbuhannya kembali lagi meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 0.60 persen.

Berdasarkan data harga jagung tingkat produsen dan konsumen tersebut diperoleh rata-rata marjin pemasaran yang terjadi antara produsen dan konsumen dari Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 385 per kilogram. Marjin pemasaran yang terjadi antara produsen dan konsumen dari periode ke periode cenderung berfluktuasi. Marjin pemasaran terendah terjadi selama tahun 2009 yaitu sebesar Rp 1 209 per kilogram, sebaliknya marjin pemasaran tertinggi terjadi selama tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1 569 per kilogram.

Perkembangan Harga Jagung Impor

Berdasarkan data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) bahwa rata-rata kebutuhan impor jagung Indonesia yaitu 9 persen atau 1,4 juta ton per tahun (Permentan 2015). Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan jagung di Indonesia tidak hanya berasal dari jagung lokal tetapi juga dari impor. Meskipun persentase impor jagung Indonesia relatif kecil tetapi harga jagung impor juga dapat mempengaruhi pembentukan harga jagung di dalam negeri.

Gambar 9 menunjukkan bahwa selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014, pergerakan harga jagung impor berfluktuasi. Selama tahun 2009 laju pertumbuhan harga jagung impor mengalami peningkatan yaitu rata-rata sebesar 1.03 persen, kemudian pada tahun 2010 laju pertumbuhannya meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu menjadi 1.66 persen. Laju pertumbuhan harga jagung impor pada tahun 2011 melambat menjadi 0.54 persen dan pada tahun 2012 laju pertumbuhannya meningkat lagi dari tahun sebelumnya menjadi 1.12 persen. Setelah itu, selama tahun 2013 sampai 2014 laju pertumbuhan harga jagung impor mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan harga jagung impor dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 9.

Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen di Provinsi Lampung

Analisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pengujian stationeritas data, penentuan panjang lag optimal, pengujian kointegrasi, pengujian kausalitas, estimasi Asymmetric Error Correction Model, dan uji Wald. Penjelasan masing-masing tahapan analisis yaitu:

a. Uji Stationeritas Data

Tahap pertama dalam menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan kosumen di Provinsi Lampung yaitu melakukan uji stationeritas data. Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa uji stationeritas data dilakukan pada level dan

first difference. Hal ini karena hasil uji stationeritas pada levelmenunjukkan data yang digunakan dalam penelitian yaitu harga jagung di tingkat konsumen tidak stationer, sedangkan harga jagung di tingkat produsen stationer. Hal ini dapat Tabel 2 Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen

di Provinsi Lampung

Variabel Level Nilai ADF First difference Harga produsen

Harga konsumen -3.696*-2.197 -8.918*-6.937*

*stationer pada taraf 5%

Sumber:World Bank(2015), diolah

Gambar 9 Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember 2014

dilihat dari nilaiaugmented Dickey-Fuller (ADF) statistik pada data harga jagung di tingkat konsumen secara aktual lebih dari MacKinnon critical valuespada taraf nyata 5 persen sehingga dapat dikatakan data tersebut tidak stationer pada level

(Lampiran 3). Oleh sebab itu, dilakukan uji stationeritas data lebih lanjut pada

first difference yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai ADF statistik pada data harga jagung tingkat produsen dan konsumen secara aktual kurang dari MacKinnoncritical values pada taraf nyata 5 persen (Lampiran 2 dan 4). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua data stationer padafirst difference.

Berdasarkan hasil uji stationeritas menunjukkan bahwa terdapat data yang tidak stationer padalevel dan setelah dilakukan pengujian stationeritas pada tahap selanjutnya (first difference) menunjukkan data stationer sehingga metode analisis kointegrasi dapat dilanjutkan. Firdaus (2011) menjelaskan bahwa pengujian kointegrasi dilakukan jika data yang digunakan menunjukkan tidak stationer pada

level. Langkah selanjutnya yaitu menentukan panjang lag optimal.

b. Penentuan PanjangLagOptimal

Informasi yang bisa digunakan dalam penentuan panjanglag optimal antara lain Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Hasil uji lag optimal dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa panjang lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung ditentukan dengan menggunakan informasi yaitu Akaike Information Criterion (AIC). Berdasarkan AIC tersebut maka panjang lag optimal yang digunakan dalam model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen yaitu lag 2.

c. Uji Kointegrasi

Hasil uji stationeritas data menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen tidak stationer pada level, sedangkan harga jagung di tingkat produsen stationer pada level. Akan tetapi hasil uji stationeritas data pada first difference

Tabel 3 Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 206.2069 NA 4.72e-06 -6.587318 -6.518701 -6.560377 1 270.4715 122.3101 6.76e-07 -8.531338 -8.325486* -8.450515* 2 276.0599 10.27550* 6.43e-07* -8.582578* -8.239491 -8.447873 3 276.6295 1.010560 7.19e-07 -8.471919 -7.991599 -8.283333 4 277.9006 2.173197 7.87e-07 -8.383891 -7.766336 -8.141423 5 279.6911 2.945611 8.48e-07 -8.312616 -7.557826 -8.016266 6 282.3893 4.264864 8.88e-07 -8.270621 -7.378597 -7.920390 7 285.3201 4.443456 9.26e-07 -8.236131 -7.206872 -7.832018 8 287.5935 3.300212 9.88e-07 -8.180436 -7.013943 -7.722442 9 288.8934 1.803095 1.09e-06 -8.093337 -6.789609 -7.581460 10 291.5284 3.484939 1.16e-06 -8.049303 -6.608341 -7.483545

menunjukkan harga jagung di tingkat produsen dan konsumen stationer. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengujian kointegrasi antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil uji kointegrasi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai trace statistic

dan maximum eigenvalue statistic lebih dari critical value 5 persen pada none

sehingga tolak H0yang berarti terdapat 1 persamaan yang menunjukkan hubungan

kointegrasi di antara variabel. Artinya antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aprilia et al. (2014) bahwa terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga jagung di tingkat petani (produsen) dengan harga jagung di tingkatretail.

Jika harga di suatu pasar berkointegrasi dengan harga di pasar lain maka kedua series harga tersebut cenderung akan bergerak menuju keseimbangan jangka panjang sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasar terintegrasi (Fossati

et al. 2007). Adanya hubungan kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen tidak cukup untuk menunjukkan bahwa pasar jagung di Provinsi Lampung terintegrasi secara sempurna. Oleh sebab itu perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai transmisi harga. Hasil uji kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang (kointegrasi) sehingga tahapan analisis dengan menggunakanError Correction Modeldapat dilanjutkan.

d. Uji Kausalitas

Uji kausalitas Granger dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan antara pasar jagung di tingkat produsen dan konsumen. Dengan kata lain, uji kausalitas Granger dilakukan untuk menentukan arah transmisi harga yaitu apakah pembentukan harga jagung di tingkat produsen dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat konsumen atau sebaliknya pembentukan harga jagung di tingkat konsumen dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat produsen atau terjadi hubungan 2 arah antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen (kedua pasar saling mempengaruhi). Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen dapat dilihat pada Tabel 5.

aTabel 5 Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dankonsumen di Provinsi Lampung Hubungan Obs F-statistic Prob.

Harga konsumen Harga produsen 70 4.043 0.022 Harga produsen Harga konsumen 0.946 0.394 Tabel 4 Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung

tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung Jumlah persamaan

kointegrasi statisticTrace Critical value5% Max-Eigenstaistic Critical value5% None* 26.463 20.262 22.201 15.892 At most 1 4.262 9.165 4.262 9.165

Hasil uji kausalitas Granger pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada hubungan antara konsumen ke produsen memiliki nilai probabilitas yang kurang dari taraf nyata (α = 5%) sehingga tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Sebaliknya, pada hubungan antara produsen ke konsumen menunjukkan nilai probabilitas yang lebih dari taraf nyata (α = 5%) sehingga tidak tolak hipotesis nol yang artinya harga jagung di tingkat produsen tidak mempengaruhi harga jagung di tingkat konsumen. Dengan kata lain, hubungan kausalitas antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen terjadi satu arah. Hasil penelitian ini diperkuat oleh pernyataan Kasryno et al. (2007) dalam Winarso (2013) bahwa perubahan harga jagung lebih terdorong karena permintaan. Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Reziti and Panagopoulos (2008) yaitu pada komoditas pangan, harga di tingkat konsumen mempengaruhi harga di tingkat produsen. Langkah selanjutnya yaitu melakukan estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung.

e. EstimasiAsymmetric Error Correction Model

Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Oleh sebab itu dilakukan estimasi transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Analisis transmisi harga dalam penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung berjalan secara simetri atau asimetri. Model yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung yaituAsymmetric Error Correction Model(AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) seperti pada persamaan (7).

Melalui modelAsymmetric Error Correction Model(AECM), selain dilihat berdasarkan shock positif (kenaikan harga) dan shock negatif (penurunan harga), kondisi asimetri juga dilihat berdasarkan nilai koefisien error correction term

(ECT) positif dan error correction term (ECT) negatif sehinggga pada model ini dipisahkan antara transmisi harga dalam jangka pendek dan jangka panjang. Jika koefisien yang diperoleh dari hasil estimasi menunjukkan keidentikan antara

shock positif dan shock negatif berarti transmisi harga berjalan simetri. Error correction term (ECT) positif menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka panjang yaitu saat harga jagung di tingkat konsumen turun tetapi tidak diikuti dengan penurunan harga jagung di tingkat produsen. Error correction term (ECT) negatif menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang yaitu saat harga jagung di tingkat konsumen naik tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga jagung di tingkat produsen. Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model yang digunakan untuk mengetahui bagaimana transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 6.

Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kenaikan dan penurunan harga jagung di tingkat konsumen pada periode ke-t menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Artinya pada periode ke t, harga jagung di tingkat produsen tidak ikut naik atau turun saat harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan atau penurunan. Dengan kata lain, dalam jangka pendek harga jagung di tingkat produsen tidak respon terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Oleh karena koefisien harga jagung di tingkat konsumen saat kenaikan dan penurunan pada periode ke-t menunjukkan nilai yang tidak signifikan sehingga tidak perlu diilakukan uji Wald seperti yang dijelaskan oleh Reziti (2014). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sari et al. (2012) bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung tingkat petani dengan tengkulak dan makelar di Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki integrasi yang lemah atau pasar tidak efisien. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Mandiri et al. (2015) yang menujukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen di Kabupaten Grobogan.

Tabel 6 Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung

Variable Coefficient t-Statistic Prob.

Intercept -0.003 -0.378 0.707 ∆ HJP 1 t 0.313 1.578 0.120 ∆ HJP 1 t 0.109 0.511 0.612 ∆ HJP 2 t 0.095 0.488 0.628 ∆ HJP 2 t -0.072 -0.337 0.737 ∆ HJK t 0.124 1.347 0.183 ∆ HJK t 0.081 0.541 0.591 ∆ HJK 1 t 0.164 1.754 0.085 ∆ HJK 1 t 0.038 0.255 0.800 ∆ HJK 2 t 0.006 0.060 0.953 ∆ HJK 2 t -0.020 -0.133 0.894 ECT 1 t -0.396 -2.379 0.021 ECT 1 t -0.326 -2.075 0.043 R-squared 0.340 Adjusted R-squared 0.199 F-statistic 2.408 Prob(F-statistic) 0.014 Durbin-Watson stat 1.891

Transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang dilihat berdasarkan nilai error correction term (ECT). Koefisien ECT positif dan ECT negatif memiliki tanda yang sama. Koefisien ECT positif menunjukkan nilai yang signifikan dan koefisiennya bertanda negatif yaitu sebesar -0.396 (Tabel 6). Nilai tersebut menunjukkan saat terjadi penyimpangan harga di atas garis keseimbangan yaitu saat harga jagung di tingkat produsen tidak ikut turun ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan, akan tetapi setelah lebih kurang 5 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen tersebut. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keseimbangan yaitu sekitar lebih kurang 5 bulan sehingga dalam waktu lebih kurang 5 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan turun ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami penurunan.

Kemudian koefisienerror correction term (ECT) negatif juga menunjukkan nilai yang signifikan dan memiliki tanda koefisien yang negatif yaitu sebesar -0.326 (Tabel 6). Nilai tersebut menunjukkan saat terjadi penyimpangan harga di bawah garis keseimbangan yaitu saat harga jagung di tingkat produsen tidak ikut naik ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan, akan tetapi setelah lebih kurang 4 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen tersebut. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke keseimbangan yaitu sekitar lebih kurang 4 bulan sehingga dalam waktu lebih kurang 4 bulan harga jagung di tingkat produsen akan menyesuaikan naik ketika harga jagung di tingkat konsumen mengalami kenaikan.

Koefisien error correction term (ECT) positif dan ECT negatif memiliki tanda yang sama artinya penyimpangan harga direspon dengan arah yang sama sehingga kondisi ini menunjukkan keidentikan dalam jangka panjang. Akan tetapi untuk membuktikan hal ini perlu dilakukan pengujian lagi secara statistik dengan mengunakan uji Wald.

f. Uji Wald

Tahap selanjutnya yaitu melakukan uji Wald untuk membuktikan apakah antara koefisien shock positif dan shock negatif dalam jangka pendek dan jangka panjang identik atau berbeda. Jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata secara statistik (tolak H0) berarti transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat

produsen berjalan asimetri. Uji Wald hanya dilakukan pada koefisien error correction term(ECT) positif danerror correction term(ECT) negatif, sedangkan variabel harga jagung tingkat konsumen positif dan negatif tidak dilakukan uji Wald. Hal ini karena pada hasil estimasi menunjukkan pada periode ke t variabel tersebut memiliki nilai yang tidak signifikan terhadap harga jagung di tingkat produsen sehingga tidak perlu diilakukan uji Wald seperti yang dijelaskan oleh Reziti (2014). Dengan demikian, dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen baik kenaikan maupun penurunan harga tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sesuai dengan pernyataan Reziti and Panagopoulos (2008) bahwa produk yang mengalami pengolahan tertentu dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih lambat.

Transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan asimetri dapat disebabkan oleh kurangnya informasi petani mengenai harga

jagung di pasar lainnya. Rata-rata petani responden hanya memperoleh informasi harga jagung dari sesama petani dan pedagang pengumpul yang melakukan jual beli dengannya dan tidak mencari informasi harga jagung ke sumber lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani terbatas dalam mencari informasi mengenai harga jagung. Sebaliknya, pedagang pengumpul memperoleh informasi mengenai harga jagung dengan lancar. Hal ini didukung oleh pernyataan Saleh et al. (2005) bahwa aksesibilitas petani jagung tidak sebaik aksesibilitas pedagang terhadap informasi pasar sehingga terdapat kesenjangan informasi pasar di antara keduanya sehingga perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak ditransmisikan dengan baik ke produsen. Kemudian Sari (2013) menambahkan bahwa tidak semua petani mengetahui dengan pasti mengenai kondisi jagung yang dijualnya apakah sudah sesuai atau tidak dengan harga yang berlaku di pasar.

Sementara itu, pedagang memiliki market power dalam menentukan harga jagung, sedangkan petani memiliki posisi tawar yang lemah sehingga dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen tidak segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Yusdja dan Agustian (2003). Selain itu, Vavra and Goodwin (2005) menjelaskan bahwa bahwa tidak terjadinya transmisi harga simetri antara produsen dan konsumen disebabkan oleh perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan atau penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya.Transmisi harga asimetri dalam jangka pendek dapat terjadi karena

market power misalnya pada pasar oligopoli, pedagang bereaksi lebih cepat terhadap guncangan berupa kenaikan harga dibandingkan dengan guncangan berupa penurunan harga (von Cramon-Taubadel 1998). Artinya terjadinya transmisi harga asimetri dalam jangka pendek dapat disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power jika perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen ditransmisikan dengan kecepatan yang berbeda oleh pedagang kepada petani.

Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model menunjukkan bahwa koefisien error correction term (ECT) positif dan ECT negatif berpengaruh signifikan terhadap harga jagung di tingkat produsen. Oleh sebab itu, untuk membuktikan apakah transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara simetri atau asimetri maka dilakukan uji Wald pada koefisien ECT positif dan ECT negatif yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Hasil uji Wald pada Tabel 7 menunjukkan bahwa dalam jangka panjang antara shock positif dan shock negatif tidak berbeda secara statistik artinya tidak terdapat perbedaan respon harga produsen terhadap perubahan harga jagung di tingkat konsumen. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji Wald yang menunjukkan nilai yang tidak signifikan. Selain itu, hasil estimasi Asymmetric Error Correction

Dokumen terkait