• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Harga Jagung Di Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembentukan Harga Jagung Di Provinsi Lampung"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

DI PROVINSI LAMPUNG

RATI PURWASIH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Rati Purwasih

(4)

RATI PURWASIH. Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SRI HARTOYO.

Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung, akan tetapi jumlah produksi jagung di provinsi ini terus mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir yaitu dari 2 126 571 ton pada tahun 2010 menjadi 1 719 386 ton pada tahun 2014. Penurunan jumlah produksi tersebut mengikuti

trend penurunan luas panen jagung yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014. Insentif bagi petani untuk berusaha tani jagung yaitu harga. Rata-rata harga jagung yang diterima petani (produsen) dari Januari 2009 sampai Desember 2014 yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per kilogram. Jika dilihat dari rata-rata harga jagung di tingkat produsen dan konsumen tersebut, terdapat disparitas harga yang cukup besar antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung yang mungkin disebabkan oleh panjangnya rantai pemasaran atau penyalahgunaan market power. Selain itu, harga jagung di tingkat konsumen lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan harga jagung di tingkat produsen. Hal ini dapat disebabkan oleh proses transmisi harga yang asimetri artinya saat harga jagung di tingkat konsumen naik akan diteruskan secara perlahan-lahan dan tidak sepenuhnya ke tingkat produsen. Penyebab transmisi harga asimetri di antaranya karena penyalahgunaan market power oleh pedagang.

Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain dalam perdagangan, harga di pasar acuan akan mempengaruhi harga yang terbentuk di pasar pengikut. Harga jagung juga dipengaruhi oleh jumlah produksi karena pola produksi yang mengikuti musim. Selain itu, komoditas jagung memerlukan waktu mulai dari proses pengolahan lahan sampai panen dan pemasaran hasil panen sehingga harga jagung dipengaruhi juga oleh penyesuaian pasar.

Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Data yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen yaitu data time series bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014 (72 bulan). Asymmetric Error Correction Model (AECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen diestimasi dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS).

Hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa harga jagung di tingkat konsumen mempengaruhi harga jagung di tingkat produsen. Selanjutnya dilakukan estimasi

(5)

dalam jangka panjang transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara simetri artinya saat terjadi kenaikan harga jagung di tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan kenaikan harga dan sebaliknya saat terjadi penurunan harga jagung di tingkat konsumen maka produsen akan merespon dengan penurunan harga pada kecepatan yang sama. Setelah dilakukan uji Wald diperoleh hasil bahwa tidak terbukti terjadi transmisi harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pemasaran jagung di Provinsi Lampung efisien dari segi efisiensi harga.

Harga jagung yang terbentuk di tingkat produsen dipengaruhi oleh nilai tukar, jumlah produksi, dan harga jagung di tingkat produsen pada periode sebelumnya, sedangkan harga jagung tingkat konsumen dan harga jagung impor tidak mempengaruhi harga jagung tingkat produsen. Harga jagung di tingkat produsen kurang respon terhadap perubahan jumlah produksi. Hal ini terjadi karena adanya kekuatan oligopsoni.

(6)

RATI PURWASIH. Formation of Corn Prices in Lampung Province. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SRI HARTOYO.

Corn is one of the leading commodities in Lampung Province, but its production in the province has declined over the last 5 years from 2 126 571 tons in 2010 to 1 719 386 tons in 2014. The decrease in production was due to a decline in the corn harvested area from 447 509 hectares in 2010 to 338 885 hectares in 2014. The incentives for corn production for farmers is the price. The average corn price received by farmers (producers) from January 2009 to December 2014 amounted to Rp 1 820 per kilogram, while the average price of corn at the consumer level was at Rp 3 205 per kilogram. If seen from the average price of corn at the producer and the consumer level, there is a fairly large price disparities between producers and consumers in Lampung that may be caused by the length of the marketing chain or abuse of market power. Moreover, corn prices at the consumer level are more volatile when compared with the price of corn at the producer level. It can be caused by asymmetric price transmission meaning that when the price of corn at the consumer level rises, this rise in price will be slowly and not fully transmitted to the producer level. The cause of asymmetric price transmission include the abuse of market power by traders.

In a vertically integrated market, the reference price in the market will affect the prices established in the market follower. The price of corn is also affected by the amount of production and the market adjustments from the time of land management until harvesting and marketing of the crop.

The purpose of this study are to analyze the transmission of corn prices from the consumer level to the producer level and analyze the factors affecting the formation of corn prices at the producer level in Lampung Province. The data used to analyze the corn price transmission from the consumer level to the producer level and the factors that affect the formation of prices at the producer level was a monthly time series data from January 2009 to December 2014 (72 month). Asymmetric Error Correction Model (AECM) developed by von Cramon-Taubadel and Loy (1996) was used to analyze corn price transmission from the consumer level to the producer level. The factors affecting the formation of corn prices at the producer level was estimated using the Ordinary Least Squares (OLS) method.

(7)

The price of corn formed at the producer level are affected by exchange rates, production quantity, and corn prices at the producer level in the previous period, while corn prices at the consumer level and the import corn price has no effect. Corn prices at the producer level is less responsive to changes in production quantities. This occurs because of the strength oligopsony.

(8)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DI PROVINSI LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Pembentukan Harga Jagung di Provinsi Lampung berhasil diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan ilmu pengetahuan yang terkait dengan tesis, ide, koreksi, dan saran dalam penyusunan tesis. Di samping itu, ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr Meti Ekayani, SHut MSc selaku penguji wakil komisi program studi pada ujian tesis yang telah memberikan pertanyaan, koreksi, dan saran untuk perbaikan tesis.

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa BPPDN sehingga penulis dapat menempuh pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga tersayang yaitu Ayahanda A Rais, Ibunda Malwati, nenek, dan adik-adikku atas doa dan kasih sayang yang selalu dicurahkan serta selalu memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2016

(13)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Tinjauan Teoritis 7

Penelitian Terdahulu 16

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis Penelitian 23

3 METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu Penelitian 23

Jenis dan Sumber Data 24

Metode Analisis Data 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Lampung 31 Perkembangan Harga Jagung di Provinsi Lampung 32 Perkembangan Harga Jagung Impor 33 Transmisi Harga Jagung dari Tingkat Konsumen ke Tingkat Produsen

di Provinsi Lampung 34

Faktor Pembentuk Harga Jagung Tingkat Produsen di Provinsi

Lampung 41

5 SIMPULAN DAN SARAN 44

Simpulan 44

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 46

LAMPIRAN 50

(14)

1 Jenis dan sumber data penelitian 24 2 Hasil uji stationeritas data harga jagung tingkat produsen dan konsumen

di Provinsi Lampung 34

3 Hasil uji lagoptimal pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung 35 4 Hasil uji kointegrasi Johansen pada hubungan antara harga jagung

tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung 36 5 Hasil uji kausalitas Granger antara harga jagung tingkat produsen dan

konsumen di Provinsi Lampung 36 6 Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada hubungan

transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi

Lampung 38

7 Hasil uji Wald pada model transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung 40 8 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga

jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung 42

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi produksi di provinsi sentra produksi jagung Indonesia dari

tahun 2009 sampai 2014 2

2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 3 3 Perkembangan harga jagung di Provinsi Lampung dari Januari 2009

sampai Desember 2014 4

4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran 9 5 Transmisi harga asimetri positif dan negatif 10

6 Kerangka pemikiran 22

7 Perkembangan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009

sampai 2014 31

8 Perkembangan harga jagung dan marjin pemasaran di Provinsi Lampung dari Januari 2009 sampai Desember 2014 32 9 Perkembangan harga jagung impor dari Januari 2009 sampai Desember

2014 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada level

dengan kriteriaintercept no trend 51 2 Hasil uji sasioneritas data harga jagung tingkat produsen pada first

(15)

3 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada level

dengan kriteriaintercept no trend 52 4 Hasil uji stasioneritas data harga jagung tingkat konsumen pada first

differencedengan kriteriaintercept no trend 52

5 Hasil uji lag optimal pada model transmisi harga jagung di Provinsi

Lampung 53

6 Hasil uji kointegrasi antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung 54 7 Hasil uji kausalitas antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen

di Provinsi Lampung 54

8 Hasil estimasi Asymmetric Error Correction Model pada model transmisi harga jagung di Provinsi Lampung 55 9 Hasil uji Wald untuk koefisien ECT positif dan ECT negatif pada model

transmisi harga jagung di Provinsi Lampung 56 10 Hasil uji normalitas pada model faktor pembentuk harga jagung tingkat

produsen di Provinsi Lampung 56 11 Hasil uji heteroskedastisitas pada model faktor pembentuk harga jagung

tingkat produsen di Provinsi Lampung 56 12 Hasil uji autokorelasi pada model faktor pembentuk harga jagung

tingkat produsen di Provinsi Lampung 57 13 Hasil uji multikolinieritas pada model faktor pembentuk harga jagung

tingkat produsen di Provinsi Lampung 57 14 Hasil estimasi faktor pembentuk harga jagung tingkat produsen di

(16)
(17)

Latar Belakang

Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija yang memiliki peranan penting di Indonesia. Permintaan pasar dalam negeri terhadap jagung dan peluang ekspor cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan (BPS RI 2015a). Selama tahun 2010 sampai 2014, impor jagung Indonesia terus meningkat baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 28.72 persen dari sisi kuantitas dan 32.49 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti emping jagung, wingko jagung, dan produk olahan jagung lainnya. Tidak hanya itu saja, jagung juga digunakan sebagai bahan baku pakan ternak dan ekspor (BPS RI 2015a). Seperti halnya dengan impor, pada periode yang sama menunjukkan bahwa ekspor jagung Indonesia juga terus meningkat baik dari sisi kuantitas maupun nilai yaitu sebesar 34.21 persen dari sisi kuantitas dan 23 persen dari sisi nilai (Pusdatin Kementan 2015). Oleh sebab itu, jagung dibutuhkan dalam jumlah besar. Kondisi ini memberikan peluang pasar yang potensial bagi petani untuk mengusahakan tanaman jagung dan meningkatkan produksi (BPS RI 2015a).

Jagung yang diekspor dan diimpor oleh Indonesia dalam bentuk segar dan olahan. Berdasarkan data BPS RI, sebagian besar jagung segar yang diekspor selama tahun 2010 sampai 2014 yaitu jagung pipilan dengan kontribusi nilai ekspor sebesar 53.07 persen dari total ekspor jagung segar atau senilai 6.76 juta US$, sedangkan jagung olahan yang banyak diekspor yaitu pati jagung dengan kontribusi nilai ekspor sebesar 82.18 persen dari total ekspor jagung olahan atau senilai 5.81 juta US$. Jagung yang dimpor dalam bentuk segar juga didominasi oleh jagung pipilan dengan kontribusi nilai impor sebesar 98.34 persen dari total impor jagung segar atau senilai 715.67 juta US$, sedangkan jagung yang diimpor dalam bentuk olahan juga didominasi oleh pati jagung dengan kontribusi nilai impor sebesar 65.48 persen dari total impor jagung olahan atau senilai 55.03 juta US$ (Pusdatin Kementan 2015).

(18)

Gambar 1 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia dengan kontribusi produksi jagung sebesar 31 persen dari total produksi jagung nasional. Selanjutnya diikuti dengan Provinsi Jawa Tengah dengan kontribusi produksi sebesar 16 persen dari total produksi jagung nasional. Setelah itu, Provinsi Lampung menempati urutan ke 3 sebagai provinsi sentra produksi jagung di Indonesia yaitu dengan kontribusi produksi sebesar 10 persen dari total produksi jagung nasional. Dengan kata lain, lebih dari 50 persen produksi jagung di Indonesia dihasilkan oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung.

Produksi jagung di daerah sentra produksi sangat mempengaruhi ketersediaan atau pasokan jagung di pasar. Sementara itu, pergerakan pasokan mempengaruhi pergerakan harga jagung di pasar (Pusdatin Kementan 2015). Salah satu provinsi yang merupakan penghasil jagung terbesar di Indonesia selama tahun 2009 sampai 2014 yaitu Provinsi Lampung. Produksi jagung di Provinsi Lampung cenderung menunjukkan trend yang menurun. Selama tahun 2009 sampai 2010, produksi jagung di provinsi ini mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2010 sampai 2014, produksi jagung di provinsi ini cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Selama 6 tahun terakhir yaitu dari tahun 2009 sampai 2014, puncak produksi jagung di provinsi ini terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 2 126 571 ton, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 1 719 386 ton. Penurunan produksi jagung mengikuti perkembangan luas panen jagung yang terus menurun mulai dari tahun 2010 sampai 2014 yaitu dari 447 509 hektar pada tahun 2010 menjadi 338 885 hektar pada tahun 2014 (Gambar 2). Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: BPS RI (2015b), diolah

(19)

Pengembangan jagung masih menghadapi berbagai permasalahan seperti keterbatasan penanganan pascapanen sehingga berpengaruh pada kualitas jagung akibatnya akan berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Selain itu, permasalahan juga terjadi pada pendistribusian jagung akibat rantai pemasaran yang panjang sehingga keuntungan lebih dinikmati oleh pedagang pengumpul dibandingkan dengan petani (Dirjen Tanaman Pangan 2014). Pola distribusi perdagangan jagung saat ini diduga masih bermasalah sehingga perlu dikenali karakteristik pelaku perdagangan seperti produsen dan pedagang, kualitas jagung karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemasaran jagung, disparitas atau perbedaan harga jagung lokal antar wilayah di Indonesia cukup besar dibandingkan dengan disparitas harga jagung impor, marjin usaha, dan peranan setiap wilayah yang menjadi sentra produksi dalam memasok jagung nasional (BPS RI 2015a). Oleh sebab itu, dalam pengembangan jagung perlu menciptakan sistem pemasaran jagung yang efisien sehingga masing-masing pelaku pasar baik petani, pedagang, maupun konsumen dapat memperoleh manfaat atas harga yang berlaku.

Perumusan Masalah

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki harga jagung di tingkat petani yaitu memperbaiki sistem pemasarannya dengan cara meningkatkan efisiensi pemasaran (Asmarantaka 1985). Perlunya sistem pemasaran yang efisien agar produk yang ditawarkan dengan harga yang wajar dan mendorong produsen untuk meningkatkan produksi (Omar et al. 2014). Salah satu ukuran yang digunakan untuk menganalisis efisiensi pemasaran terutama efisiensi harga yaitu transmisi harga. Sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi

Sumber: BPS RI (2015b), diolah

(20)

harga jika transmisi harga berjalan asimetri (Kohls and Uhl 2002). Hal ini karena transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen dapat merugikan keduanya yaitu produsen tidak memperoleh manfaat atas kenaikan harga di tingkat konsumen, sedangkan konsumen tidak memperoleh manfaat atas penurunan harga di tingkat produsen (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Transmisi harga antara produsen dan konsumen dapat berjalan asimetri karena perilaku tidak kompetitif dari pedagang terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Pada pasar yang terkonsentrasi, pedagang akan berusaha mempertahankan kesejahteraan dan keuntungannya dengan tidak meneruskan kenaikan dan penurunan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya. Pedagang lebih mungkin meneruskan penurunan harga dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (petani) dibandingkan dengan kenaikan harga (Vavra and Goodwin 2005).

Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d) diperoleh rata-rata harga jagung tingkat produsen selama periode Januari 2009 sampai Desember 2014 di Provinsi Lampung sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan harga jagung tingkat konsumen sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per kilogram. Menurut Conforti (2004) bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai pemasaran dapat disebabkan oleh rantai pemasaran yang panjang atau penyalahgunaanmarket poweroleh pedagang sehingga menyebabkan marjin yang terbentuk dalam pemasaran dari sektor hulu (produsen) ke sektor hilir (konsumen) menjadi sangat besar akibatnya pemasaran menjadi tidak efisien. Perkembangan harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: BPS RI (2015c) dan BPS RI (2015d), diolah

(21)

Gambar 3 menunjukkan bahwa pergerakan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan pergerakan harga jagung di tingkat produsen. Kondisi ini mengindikasikan harga jagung di tingkat konsumen cenderung lebih cepat berubah dibandingkan dengan harga jagung di tingkat produsen. Menurut Irawan (2007) bahwa fluktuasi harga di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga di tingkat produsen disebabkan oleh adanya proses transmisi harga asimetri dari tingkat konsumen ke tingkat produsen. Artinya saat harga di tingkat konsumen meningkat maka peningkatan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lambat dan tidak sepenuhnya kepada produsen (petani). Sebaliknya jika terjadi penurunan harga di tingkat konsumen maka penurunan harga tersebut akan diteruskan oleh pedagang secara lebih cepat dan sepenuhnya kepada produsen.

Pola pergerakan harga jagung di tingkat produsen cenderung sama dengan pola pergerakan harga jagung di tingkat konsumen mulai dari tahun 2009 sampai tahun 2012, kemudian pada tahun 2013 sampai 2014 pola pergerakannya cenderung berbeda (Gambar 3). Kondisi ini mengindikasikan terdapat kemungkinan transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen berjalan secara asimetri. Akan tetapi untuk memastikan bagaimana transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen perlu dilakukan pengujian secara statistik.

Penelitian mengenai integrasi pasar jagung telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti Sariet al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung antara petani, tengkulak, makelar, dan pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek antara pasar jagung di tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar.

Mandiri et al. (2015) juga menganalisis integrasi pasar jagung antara produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat produsen.

Penelitian mengenai integrasi pasar jagung di Provinsi Lampung pernah dilakukan oleh Asmarantaka (1985) yaitu integrasi antara pasar jagung tingkat petani di Kecamatan Katibung Lampung Selatan dan pasar jagung tingkat konsumen di Bandar Lampung serta antara pasar jagung tingkat petani di Kecamatan Bangun Rejo Kabupaten Lampung Tengah dan pasar jagung tingkat konsumen di Bandar Lampung yang memberikan kesimpulan bahwa pemasaran jagung di Kecamatan Bangun Rejo lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran jagung di Kecamatan Katibung.

(22)

Berdasarkan latar belakang penelitian maka permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung ?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah penelitian maka tujuan penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu:

1. Jagung dalam penelitian ini difokuskan pada jagung pipilan.

2. Data yang digunakan dalam analisis transmisi harga yaitu harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung.

3. Harga jagung di tingkat produsen yaitu harga transaksi yang terjadi antara petani jagung dan pedagang pengumpul (tengkulak).

4. Harga jagung di tingkat konsumen yaitu harga jagung eceran yang merupakan harga transaksi yang terjadi antara pedagang dengan pembeli atau konsumen. 5. Data harga jagung tingkat produsen dan konsumen merupakan data harga

bulanan dari Januari 2009 sampai Desember 2014.

6. Transmisi harga yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu transmisi harga secara vertikal antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen di Provinsi Lampung.

7. Transmisi harga asimetri difokuskan pada transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan penyesuaian terhadap perubahan harga.

8. Data penelitian yang diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul hanya digunakan untuk menjelaskan perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung.

9. Perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan menjelaskan faktor pembentukan harga jagung.

Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu:

1. Transmisi harga dianalisis melalui hubungan harga yaitu antara harga jagung di tingkat produsen dan konsumen dan biaya transaksi dalam pemasaran dianggap konstan.

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teoritis

Konsep Efisiensi Pemasaran, Integrasi Pasar, dan Transmisi Harga

Efisiensi pemasaran produk pangan sering digunakan untuk mengukur kinerja suatu pasar (market performance). Efisiensi pemasaran dibedakan menjadi 2 jenis yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional menunjukkan situasi yaitu biaya pemasaran dikurangi tanpa harus mempengaruhi output dari sisi rasio efisiensi (Kohls and Uhl 2002). Indikator yang sering digunakan untuk menganalisis efisiensi operasional yaitu marjin pemasaran dan

fharmer’s share Asmarantaka (2012). Efisiensi harga menunjukkan kemampuan sistem pasar dalam mengalokasikan sumber daya dengan efisien dan mengkoordinasikan kegiatan mulai dari proses produksi sampai pemasaran ouput sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga tercapai jika: (1) harga sepenuhnya mewakili preferensi konsumen, sumber daya mengalir langsung dari yang bernilai guna rendah ke yang bernilai guna tinggi, (3) mengkoordinasikan kegiatan pembelian dan penjualan dari petani (produsen), lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran, sampai ke konsumen (Kohls and Uhl 2002). Sistem pemasaran dikatakan efisien jika suatu pasar terintegrasi dengan pasar yang lain (Heytens 1986). Hall et al. (1981) menambahkan bahwa pemasaran dikatakan efisien jika perubahan harga dari lembaga pemasaran yang satu segera (langsung) ditransmisikan ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran. Sebaliknya, Kohls and Uhl (2002) menjelaskan bahwa jika perubahan harga di suatu pasar misalnya penurunan harga di tingkat petani ditransmisikan secara lambat dan tidak sepenuhnya ke konsumen maka kondisi ini mengindikasikan kurang efisien dari segi efisiensi harga.

Integrasi pasar menunjukkan hubungan antara suatu pasar dengan pasar yang lain dalam perdagangan yang dilihat melalui hubungan harga. Hubungan harga pada suatu pasar yang terintegrasi dengan pasar yang lain akan berkorelasi positif dari waktu ke waktu. Integrasi pasar digunakan untuk menggambarkan seberapa dekat harga suatu komoditas di suatu pasar dengan pasar yang lain akan bergerak bersama-sama (Heytens 1986). Integrasi pasar terjadi jika pergerakan harga di suatu pasar dengan pergerakan harga di pasar yang lain saling berkorelasi. Antara suatu pasar dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi jika harga komoditas yang homogen di kedua pasar bergerak secara bersama-sama sehingga mengindikasikan penyebaran informasi harga dan sistem pemasaran efisien (Omar

et al. 2014).

Integrasi pasar dikelompokkan menjadi 2 yaitu integrasi pasar horizontal dan integrasi pasar vertikal. Integrasi pasar horizontal (spasial) terjadi jika harga di suatu pasar dengan harga di pasar yang lain pada lokasi yang berbeda memiliki korelasi positif dari waktu ke waktu (Heytens 1986). Suatu pasar yang terpisah secara geografis dengan pasar yang lain dikatakan terintegrasi secara spasial jika produk dan informasi mengalir bebas di antara kedua pasar tersebut sehingga perubahan harga produk di suatu pasar akan ditransfer ke pasar yang lain (Fossati

(24)

transportasi yang dikeluarkan dan harga produk di kedua negara tersebut akan bergerak bersama-sama sehingga dapat dikatakan kedua pasar terintegrasi secara spasial (Ravallion 1986). Perubahan harga produk di negara pengekspor akan menyebabkan perubahan harga produk di negara pengimpor dengan arah yang sama dan dari tingkat yang sama (Fossati et al. 2007). Integrasi pasar vertikal digunakan untuk melihat keterkaitan antara lembaga pemasaran yang satu dengan lembaga pemasaran lainnya yang terlibat dalam satu saluran pemasaran, misalnya antara tingkat produsen (petani) dan tingkat konsumen (Asmarantaka 2012). Integrasi vertikal pada produk pertanian yang kompleks merupakan salah satu faktor yang menentukan struktur pasar dan daya saing produk pertanian (Grega 2003).

Seperti halnya integrasi pasar, transmisi harga juga dibedakan menjadi transmisi harga spasial dan transmisi harga vertikal. Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga spasial terjadi jika perubahan harga produk yang sama pada suatu levelditransmisikan ke level yang sama dalam rantai pemasaran tetapi di lokasi yang berbeda. Selanjutnya, von Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa transmisi harga vertikal yaitu respon harga pada suatu level terhadap perubahan harga di level yang lain (level

yang berbeda) dalam satu rantai pemasaran, baik perubahan berupa kenaikan atau penurunan harga. Vavra and Goodwin (2005) menambahkan bahwa transmisi harga vertikal yaitu respon atau penyesuaian harga di tingkat produsen terhadap perubahan harga di tingkat pedagang besar dan konsumen atau sebaliknya. Penyesuaian terhadap perubahan harga di sepanjang rantai pemasaran dari tingkat produsen ke konsumen atau sebaliknya merupakan karakteristik yang penting dari fungsi pasar. Transmisi harga vertikal ditandai dengan besaran, kecepatan dan sifat penyesuaian melalui rantai pasokan terhadap guncangan pasar yang dihasilkan pada tingkat yang berbeda dalam proses pemasaran. Kecepatan pasar menyesuaikan diri terhadap guncangan ditentukan oleh tindakan pelaku pasar yang terlibat dalam transaksi yang terhubung dalam jaringan pemasaran yaitu pedagang grosir, distributor, dan pedagang pengecer.

Kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya dari tingkat konsumen ke tingkat produsen (bergantung arah transmisi harga) dan tingkat penyesuaian terhadap perubahan harga tersebut merupakan faktor yang penting dalam menggambarkan tindakan pelaku pasar di tingkat pasar yang berbeda. Selain itu, kecepatan perubahan harga ditransmisikan dari tingkat produsen ke tingkat konsumen atau sebaliknya bergantung pada jenis produk. Produk yang mudah rusak dan mengalami pengolahan yang minimal misalnya sayuran dan buah-buahan diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang relatif lebih cepat. Sebaliknya produk yang mengalami pengolahan tertentu dan tidak mudah rusak diduga memiliki kecepatan transmisi harga yang lebih lambat (Reziti and Panagopoulos 2008).

Konsep Transmisi Harga Asimetri

(25)

1. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran

Jika perubahan harga di suatu pasar tidak segera ditransmisikan ke pasar yang lain maka kondisi ini menunjukkan terjadi transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) penyesuaian. Sebaliknya jika perubahan harga di suatu pasar tidak ditransmisikan secara penuh ke pasar yang lain maka kondisi ini menunjukkan bahwa transmisi harga berjalan asimetri dari sisi besaran. Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4(a) menunjukkan bahwa jika dilihat dari sisi besaran penyesuaian, terdapat perbedaan respon oleh pout terhadap perubahan harga di Pin baik

perubahan berupa kenaikan dan penurunan harga. Saat terjadi kenaikan harga di Pin, maka pout akan merespon kenaikan tersebut secara penuh. Artinya kenaikan

harga di pout sama dengan kenaikan harga yang terjadi di pin.. Sebaliknya, saat

terjadi penurunan harga di pin tidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Meyer

and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa besarnya respon terhadap perubahan harga di pin bergantung pada arah perubahan. Transmisi harga asimetri

dari sisi besaran akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dan besarnya kesejahteraan yang hilang bergantung pada perubahan harga dan volume transaksi.

Gambar 4(b) menunjukkan bahwa harga di pin mengalami kenaikan saat t1.

Kemudian, pada saat yang sama pout akan segera merespon kenaikan harga

tersebut. Sebaliknya saat terjadi penurunan harga di pin, penurunan harga tersebut

tidak segera direspon oleh pout melainkan memerlukan waktu untuk melakukan

Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)

(26)

penyesuaian sehingga terdapat lag selama n. Oleh sebab itu, penurunan harga yang terjadi di pin baru akan direspon oleh pout pada saat t1+n. Meyer and von

Cramon-Taubadel (2004) menjelaskan bahwa transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan yang bersifat sementara. Besarnya kesejahteraan yang hilang tersebut bergantung pada panjang interval waktu transmisi antara t1dan t1+n, serta perubahan harga dan volume transaksi.

Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan (waktu) dan besaran penyesuaian pada Gambar 4(c) menunjukkan bahwa kenaikan harga di pin

membutuhkan waktu selama 2 periode untuk ditransmisikan secara penuh ke pout.

Artinya pada waktu t1, kenaikan harga di pintidak ditransmisikan secara penuh ke

pout, setelah t2 kenaikan harga di pin ditransmisikan secara penuh ke pout.

Sebaliknya penurunan harga di pin membutuhkan waktu selama 3 periode untuk

ditransmisikan ke pout. Jika dilihat dari besarannya, penurunan harga yang terjadi

di pintidak ditransmisikan secara penuh ke pout. Transmisi harga asimetri dari sisi

kecepatan dan besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dan permanen. Hilangnya kesejahteraan yang bersifat sementara dalam jumlah besar akan memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hilangnya kesejahteraan yang bersifat permanen dalam jumlah kecil pada saat ini (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).

2. Transmisi harga asimetri positif dan negatif

Peltzman (2000) dalam Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) mengelompokkan transmisi harga asimetri menjadi dua yaitu transmisi harga asimetri positif dan negatif. Transmisi harga asimetri positif dan negatif dapat dilihat pada Gambar 5.

Transmisi haga asimetri positif ditunjukkan pada Gambar 5(a). Transmisi harga asimetri positif terjadi jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih

sempurna terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga di pin.

Sebaliknya jika pout merespon lebih cepat dan/atau lebih sempurna terhadap

penurunan harga dibandingkan dengan kenaikan harga di pin berarti terjadi

transmisi harga asimetri negatif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b).

Sumber: Meyer and von Cramon-Taubadel (2004)

(27)

3. Transmisi harga asimetri vertikal dan spasial

Transmisi harga asimetri vertikal misalnya kenaikan harga di tingkat petani ditransmisikan lebih sempurna dan lebih cepat ke pedagang grosir dan pedagang pengecer dibandingkan dengan penurunan harga di tingkat petani. Transmisi harga asimetri spasial misalnya kenaikan harga di pasar internasional ditransmisikan sepenuhnya dan lebih cepat ke pasar domestik dibandingkan dengan penurunan harga di pasar internasional (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).

Konsep Penyebab Transmisi Harga Asimetri

Transmisi harga dari suatu pasar ke pasar yang lain atau dari lembaga pemasaran yang satu ke lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran dapat berjalan asimetri karena beberapa faktor. Hall et al. (1981) menjelaskan bahwa respon harga suatu lembaga pemasaran terhadap perubahan harga di lembaga pemasaran yang lain dalam satu rantai pemasaran tidak berlagsung seketika disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya penundaan yang disebabkan oleh pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Penyebab lainnya yaitu ketidaksempurnaan pasar seperti kurangnya informasi dan pasar non kompetitif. Misalnya pedagang pengecer menggunakan market power

yang cukup sehingga kenaikan harga ditransmisikan secara lebih cepat ke konsumen dibandingkan dengan penurunan harga. Kemudian Bailey and Brorsen (1989) menyatakan bahwa terdapat 4 kemungkinan penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu adjustment cost yang asimetri, pasar yang terkonsentrasi, informasi yang asimetri, dan laporan harga yang asimetri. Penjelasan mengenai penyebab terjadinya transmisi harga asimetri yaitu:

1. Market power

Transmisi harga asimetri sebagian besar terjadi pada struktur pasar non kompetitif. Transmisi harga asimetri positif atau negatif bergantung pada struktur dan perilaku pasar. Transmisi harga asimetri positif dapat terjadi karena adanya

(28)

2. Adjustment cost

Transmisi harga asimetri dapat terjadi akibat adanya adjustment cost yang sangat tinggi (Karantininis et al. 2011). Adjustment cost muncul saat perusahaan mengubah jumlah output dan/atau harga input dan/atau harga output. Jika biaya ini asimetri sehubungan dengan kenaikan atau penurunan jumlah output dan/atau harga dapat menyebabkan transmisi harga asimetri (Meyer and Cramon-Taubadel 2004). Sejumlah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang untuk menyesuaikan harga sehingga menyebabkan perubahan harga disebut dengan adjustment cost

(Vavra and Goodwin 2005).Adjustment cost mencakup biaya transportasi (Meyer and Cramon-Taubadel 2004). Selain itu, misalnya biaya iklan dan pelabelan (Vavra and Goodwin 2005).

3. Intervensi pemerintah

Intervensi pemerintah juga dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga asimetri. Misalnya pedagang mungkin melihat kenaikan harga produk pertanian bersifat permanen yang mungkin telah diantisipasi sebelumnya. Artinya kenaikan harga tersebut ditransmisikan oleh pedagang dengan lebih cepat dan sempurna (sepenuhnya) ke konsumen. Sebaliknya pedagang melihat penurunan harga hanya bersifat sementara sehingga mengakibatkan penurunan harga tersebut ditransmiskan lebih lambat dan tidak sempurna ke konsumen (Kinnucan and Forker 1987).

Transmisi harga asimetri yang disebabkan oleh adjusment cost dan market power memiliki perbedaan yang mendasar yaitu keduanya sama-sama dapat menyebabkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi harga asimetri yang disebabkan olehmarket powermampu bertahan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini karena market power tidak hanya berpengaruh dari sisi kecepatan tetapi juga dari sisi besaran (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004). Sebaliknya adjustment cost yang sangat tinggi terjadi dalam jangka pendek dan sifatnya hanya menunda penyesuaian harga (Karantininiset al. 2011).

Konsep Metode Analisis Transmisi Harga Asimetri

Menurut Meyer and von Cramon-Taubadel (2004), pengujian transmisi harga asimetri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan pre kointegrasi (berdasarkan first differences), analisis kointegrasi (Error Correction Model dan metode threshold), dan metode miscellaneous. Pengujian transmisi harga asimetri telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli. Orang yang pertama kali memperkenalkan pengujian transmisi harga asimetri yaitu Farrell (1952) yang mengestimasi fungsi permintaan irreversible

(29)

ahli tersebut kemudian dikelompokkan menjadi teknik pengujian transmisi harga asimetri yang disebut dengan pendekatan pre kointegrasi.

Von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1996) dalam von Cramon-Taubadel and Loy (1996) menjelaskan bahwa pengujian transmisi harga asimetri dengan pendekatan Houck tidak cocok untuk data yang memiliki hubungan jangka panjang (terkointegrasi). Akan tetapi bukan berarti pengujian transmisi harga asimetri tidak bisa dilakukan untuk data harga yang terkointegrasi. Oleh sebab itu ada pendekatan lain yang menggabungkan kointegrasi dengan asimetri yang didasarkan pada asumsi yaitu antara variabel Pidan Pjmemiliki hubungan jangka

panjang (terkointegrasi) yaitu dengan menggunakan konsep Error Correction Model.

Meyer and von Cramon-Taubadel (2004) menambahkan bahwa ahli ekonometrika telah mengembangkan uji untuk data yang tidak stationer dan metode yang digunakan untuk menghindari masalah spurious regression yang umumnya dikenal dengan kointegrasi. Metode ini sangat erat kaitannya dengan studi transmisi harga asimetri karena banyak dataseriesharga yang tidak stationer dan rentan terhadap masalah spurious regression. Thomas (1997) menjelaskan bahwa spurious regression menunjukkan kondisi saat hasil regresi menghasilkan koefisien regresi yang sangat signifikan dan nilai koefisien determinasinya (R2)

sangat tinggi padahal kedua variabel sama sekali tidak memiliki hubungan.

Spurious yang sempurna akan memberikan hasil yang tidak autentik dan hubungan kedua variabel tidak memiliki makna atau tidak berarti.

Pengujian transmisi harga asimetri dengan teknik kointegrasi juga telah banyak dikembangkan oleh beberapa ahli seperti von Cramon-Taubadel and Fahlbusch (1994) pertama kali melakukan pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan pendekatan kointegrasi. Kemudian dikembangkan lagi oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996) dan von Cramon-Taubadel (1998). Pengujian transmisi harga asimetri dengan menggunakan teknik kointegrasi ini dikenal dengan Asymmetric Error Correction Model (AECM). Pada model ini terdapaterror correction term(ECT) yang merupakanlagresidual dari persamaan untuk mengukur penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Kemudian ECT dipisahkan menjadi ECT positif dan ECT negatif. Pendekatan Error Correction Model (ECM) mungkin hanya dapat menggambarkan transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan. Akan tetapi transmisi harga asimetri dari sisi besaran menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon secara permanen antara kenaikan dan penurunan harga (terjadi dalam jangka panjang) dan ini hanya terjadi jika data tidak terkointegrasi, sedangkan

Error Correction Modelmerupakan bentuk keseimbangan jangka panjang.

Von Cramon-Taubadel and Loy (1996) serta von Cramon-Taubadel (1998) menjelaskan bahwa jika hubungan antara dua harga misalnya Pi dan Pj

terkointegrasi, berdasarkan teorema Granger (Engle and Granger 1987) maka bentukError Correction Modelyaitu:

 

i,t 1 4

 

j,t 1 t

 

1.1

3 1 t 2 t j, 1 0 t

i, β β ΔP β ECT B LΔP B LΔP ε

ΔP   

 

1.2                       1 t j, 1 0 1 t i, 1

t P α α P

(30)

Keterangan:

Pi = Harga di pasar i

Pj = Harga di pasar j

ECT = Error Correction Term

(L) = Polynomial lags

Kemudian von Cramon-Taubadel and Loy (1996) mengembangkan Error Correction Model pada persamaan (1.1) dengan memisahkan variabel bebas menjadi perubahan yang positif dan negatif serta ECT positif dan negatif sehingga bentuk persamaanerror correctionuntuk pengujian transmisi harga asimetri yaitu: (2)  t 1 t j, 4 1 t i, 3 1 t 2 1 t 2 t j, 1 t j, 1 0 t

i, β β ΔP β P β ECT β ECT B (L)ΔL B (L)ΔL

ΔP              

Keterangan:

Pi = Harga di pasar i

Pj = Harga di pasar j

ECT = Error Correction Term

(L) = Polynomial lags

+ = Kenaikan harga - = Penurunan harga

ɛ = Error

Setelah dilakukan estimasi Asymmetric Error Correction Model, maka langkah selanjutnya yaitu melakukan pengujian secara statistik dengan uji Wald. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan apakah transmisi harga berjalan secara simetri atau asimetri (Reziti and Panagopoulos 2008). Uji hipotesis dalam uji Wald yaitu:

1. Jangka Pendek

 

1 1 0 β H

 

1 1

1:β β

H

Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0berarti dalam jangka pendek

transmisi harga berjalan secara simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka pendek transmisi harga berjalan

secara asimetri. 2. Jangka Panjang

 

2 2 0 β H

 

2 2

1:β β

H

Jika hasil uji Wald menunjukkan tidak tolak H0 berarti dalam jangka

panjang transmisi harga berjalan secara simetri. Sebaliknya jika hasil uji Wald menunjukkan tolak H0 berarti dalam jangka panjang transmisi harga berjalan

secara asimetri.

(31)

Konsep Faktor Pembentukan Harga

Harga merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi keputusan pelaku ekonomi dalam kegiatan pertanian dan pemasaran produk misalnya pangan. Dalam jangka panjang, harga mendorong alokasi sumber daya pertanian dan pemasaran secara efisien. Dalam jangka pendek, harga merupakan sinyal ekonomi dan menjadi insentif bagi produsen dan perusahaan pemasaran untuk mengubah sumber daya dari penggunaan yang bernilai guna rendah ke penggunaan yang bernilai guna tinggi (Khols and Uhl 2002). Harga berperan penting karena mendorong keputusan pelaku ekonomi dalam mengalokasikan sumber daya dan output serta mendorong transmisi harga dan integrasi pasar baik secara vertikal maupun horizontal (Meyer and von Cramon-Taubadel 2004).

Pembentukan harga terjadi melalui 2 cara yaitu secara teori ekonomi (price determination) dan secara operasional (price discovery). Secara teori ekonomi, harga suatu komoditas dalam pasar bersaing terbentuk melalui interaksi antara penawaran dan permintaan. Sistem penentuan harga secara operasional (price discovery) dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu (Khols and Uhl 2002): 1. Negosiasi individu (individual, decentralized negotiations). Pada sistem ini,

harga terbentuk melalui proses tawar menawar atas suatu produk pertanian antara penjual (petani) dan pembeli. Terbentuknya harga yang adil bergantung pada informasi, keterampilan dalam berdagang, daya tawar relatif pembeli dan penjual. Melalui cara ini, harga yang terbentuk cenderung bervariasi untuk setiap transaksi yang berbeda. Akan tetapi, penentuan harga melalui negosiasi individu ini membutuhkan waktu dan biaya yang relatif tinggi dibandingkan dengan sistem penentuan harga secara operasional lainnya.

2. Pasar yang terorganisir (organized, central markets), misalnya pasar sentral yang mewakili seluruh pembeli dan penjual serta permintaan dan penawaran. Contoh lainnya yaitu bursa komoditi dan pasar lelang. Harga transaksi yang diterima setiap individu cenderung lebih seragam. Sistem penentuan harga pada pasar ini lebih transparan dibandingkan dengan sistem penentuan harga secara operasional lainnya karena bersifat publik dan terbuka.

3. Penentuan harga secara formula (formula pricing system). Penentuan harga secara formula disesuaikan dengan biaya transportasi dan kualitas produk yang berbeda-beda.

4. Penentuan harga secara kolektif (bargained prices). Pada sistem ini, petani membentuk kelompok untuk meningkatkanbargaining power.

5. Harga terkelola (administered pricing system). Pada sistem ini, penentuan harga dilakukan oleh pihak ke 3 seperti pemerintah. Misalnya melalui price supports,price ceilings, dansupply control programs.

(32)

oleh suatu tanaman berperan penting dalam mempengaruhi harga produk pertanian (Piot-Lepetit and M’Barek 2011).

Konsep Struktur dan Perilaku Pasar

Struktur pasar atau industri dapat digambarkan oleh karakteristik seperti ukuran perusahaan, produk homogen atau diferensiasi, dan kemudahan perusahaan baru untuk masuk atau keluar industri (Kohls and Uhl 2002). Struktur pasar jagung di Indonesia cenderung bersifat oligopsonistik baik pada saat pedagang besar atau importir melakukan pembelian maupun penjualan jagung (Direktorat Pangan dan Pertanian 2014). Jumlah pedagang yang merupakan pembeli jagung petani sangat terbatas sehingga dapat dikatakan struktur pasar jagung di tingkat petani cenderung lebih mengarah pada pasar oligopsoni. Struktur pasar oligopsoni ini menyebabkan lemahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga jagung (Winarso 2013).

Market conduct atau perilaku pasar dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya hubungan eksploitasi antara produsen dan pembeli dalam suatu pasar. Perilaku pasar mencakup perilaku penetapan harga, praktik penjualan dan pembelian atas suatu produk, sumber produk, ada tidaknya pembentukan kelompok di antara pelaku pemasaran baik formal maupun informal yang dapat mempengaruhi

bargaining power (daya tawar), sifat jual beli, dan saluran pemasaran yang digunakan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis perilaku harga yaitu penentu utama harga (misalnya 1 pembeli atau banyak pembeli), mekanisme penetapan harga (apakah melalui negosiasi individu antara pelaku pemasaran), faktor-faktor yang mempengaruhi harga (permintaan dan penawaran), dasar melakukan diferensiasi harga, dampak lokasi pasar terhadap harga yang berlaku, dan pengaturan pemasaran (Bosena et al. 2011). Market conduct

mengacu pada perilaku pasar dalam menyesuaikan diri di pasar dan mereka melakukan penjualan atau pembelian. Indikator utama market conduct yaitu penetapan harga dan strategi pedagang dalam kegiatan pembelian dan penjualan (Gachena and Kebebew 2014). Kemudian struktur dan perilaku pasar mempengaruhi kinerja suatu pasar (market performance) (Kohls and Uhl 2002).

Penelitian Terdahulu Transmisi Harga

Kariyasa dan Sinaga (2004) menganalisis perilaku pasar jagung di Indonesia berdasarkan perilaku harga. Data yang digunakan yaitu datatime series dari tahun 1980 sampai 2001. Model yang digunakan yaitu model sistem persamaan simultan dengan metode pendugaan 2 SLS. Hasilnya menunjukkan bahwa pasar jagung domestik terintegrasi dengan pasar jagung dunia melalui harga jagung impor yaitu pasar jagung domestik dalam jangka panjang dipengaruhi secara kuat oleh pasar jagung dunia, tetapi tidak sebaliknya. Selain itu, pasar jagung lokal (provinsi) terintegrasi secara kuat dengan pasar jagung domestik sehingga perubahan harga jagung di pasar domestik mampu ditransmisikan dengan baik ke pasar lokal.

(33)

sebaik aksesibilitas pedagang terhadap informasi pasar sehingga terdapat kesenjangan informasi pasar di antara keduanya. Sebaliknya perubahan harga jagung di pasar internasional ditransmisikan dengan baik ke pasar jagung tingkat konsumen di Provinsi Jawa Timur (Salehet al. 2005).

Salah satu tujuan dari penelitian Supriyatna (2007) yaitu menganalisis integrasi pasar jagung dunia dengan pasar jagung domestik dari Januari 2000 sampai Desember 2005. Metode yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar jagung dunia dengan pasar jagung domestik tersebut yaitu Vector Autoregression (VAR). Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan harga jagung di pasar dunia ditransmisikan ke pasar jagung domestik, akan tetapi harga jagung domestik tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga jagung di pasar dunia. Pasar jagung dunia diwakili oleh pasar jagung di Amerika Serikat.

Sari et al. (2012) menganalisis integrasi pasar jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Hasilnya menunjukkan dalam jangka pendek antara pasar jagung di tingkat petani dan pedagang besar terintegrasi secara kuat, sedangkan antara pasar jagung di tingkat petani dengan tengkulak dan makelar memiliki integrasi yang lemah. Sementara itu, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang kuat antara pasar jagung tingkat petani dengan tengkulak, makelar, dan pedagang besar.

Ekaputri (2013) menganalisis kointegrasi antara harga jagung pipil impor dengan harga jagung pipil domestik dengan menggunakan Error Correction Model. Pasar jagung pipil domestik diwakili oleh Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Karo. Data yang digunakan yaitu data harga bulanan dari tahun 2009 sampai 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi integrasi dalam jangka pendek antara pasar jagung internasional dengan pasar jagung domestik artinya dalam jangka pendek perubahan harga jagung di pasar internasional tidak ditransmisikan secara cepat ke pasar jagung di Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Karo. Sebaliknya dalam jangka panjang pasar jagung di Provinsi Sumatera Utara dan pasar jagung di Kabupaten Karo terintegrasi dengan pasar jagung internasional.

Berbeda halnya dengan Aprilia et al. (2014) yang melakukan penelitian berjudul “Threshold Cointegration pada Pasar Jagung di Indonesia”. Data yang digunakan yaitu data harga bulanan di tingkat petani dan retailpada pasar jagung di Indonesia dari tahun 1983 sampai 2011. Hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga di tingkat petani dan pedagang pengecer pada pasar jagung di Indonesia dianalisis dengan uji kointegrasi. Penyesuaian jangka pendek menuju ke hubungan jangka panjang antara harga jagung tingkat petani dan retail di Indonesia dianalisis dengan menggunakan Error Correction Model. Threshold Vector Errror Correction Model digunakan untuk menjelaskan efek biaya transaksi dalam transmisi harga dari petani ke tingkat retail. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh retail sehingga harga jagung di tingkat petani lebih efisien dibandingkan dengan harga jagung di tingkat retail. Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara harga jagung di tingkat petani (produsen) dengan harga jagung di tingkat retail. Peningkatan harga jagung di tingkat retail

(34)

Data yang digunakan dalam penelitian Mandiriet al. (2015) yaitu data time series bulanan mulai dari tahun 2010 sampai 2012 dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) untuk menganalisis integrasi pasar jagung antara tingkat produsen dan konsumen di Kabupaten Grobogan dan derajat integrasi diukur berdasarkan Timmer’s Index of Market Connection (IMC). Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka pendek perubahan harga jagung di tingkat konsumen segera ditransmisikan ke tingkat produsen. Hal ini terjadi karena sebagian petani sudah dapat menggunakan teknologi sehingga tercipta arus komunikasi yang lancar antara produsen dan konsumen. Sebaliknya dalam jangka panjang perubahan harga jagung tingkat konsumen tidak sepenuhnya ditransmisikan ke tingkat produsen.

Kinnucan and Forker (1987) menggunakan pendekatan Houck untuk menguji transmisi harga asimetri antara produsen dan konsumen pada produk susu. Hasilnya menunjukkan bahwa respon harga di tingkat konsumen terhadap kenaikan harga di tingkat produsen lebih besar dibandingkan dengan respon harga di tingkat konsumen terhadap penurunan harga di tingkat produsen sehingga disimpulkan terjadi transmisi harga asimetri.

Capps and Sherwell (2005) serta Acquah and Onumah (2010) menguji transmisi harga asimetri dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan pre kointegrasi dengan menggunakan model Houck dan pendekatan kointegrasi dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel and Loy (1996). Hasil penelitian Acquah and Onumah (2010) menunjukkan terdapat perbedaan yaitu pengujian transmisi harga menggunakan model Houck menunjukkan bahwa respon pedagang pengecer terhadap kenaikan dan penurunan harga di tingkat pedagang grosir terjadi secara simetri. Sebaliknya hasil estimasi dengan menggunakan ECM menunjukkan bahwa transmisi harga dari pedagang grosir ke pedagang pengecer terjadi secara asimetri artinya pedagang pengecer lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga jagung di tingkat pedagang grosir.

Sahara dan Wicaksena (2013) menguji transmisi harga asimetri antara petani dan pedagang pengecer pada komoditas cabe di Indonesia. Hasil uji kausalitasnya menunjukkan hubungan dua arah antara harga cabe tingkat produsen dan tingkat konsumen di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Meskipun hasil uji kausalitasnya menunjukkan hubungan dua arah, pada analisis transmisi harga cabe ini menggunakan pendekatan Houck dan Error Correction Model Engle-Granger (ECM-EG.) Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terjadi transmisi harga asimetri antara tingkat produsen dan konsumen di tiga provinsi sepert Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur baik menggunakan pendekatan Houck maupun ECM-EG.

(35)

Faktor Pembentukan Harga

Pembentukan harga komoditas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Purba (1999) menggunakan sistem persamaan simultan untuk menganalisis keterkaitan pasar jagung dan pakan ternak ayam ras di Indonesia. Analisis yang dilakukan di antaranya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung di pasar domestik. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung di pasar domestik dipengaruhi secara positif oleh penyesuaian pasar atau harga jagung di pasar domestik pada periode sebelumnya, harga jagung impor, dan harga pakan ternak, sedangkan penawaran berpengaruh nyata negatif terhadap harga jagung di pasar domestik.

Kariaya dan Sinaga (2004) menganalisis perilaku pasar jagung di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung lokal seperti di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara dipengaruhi oleh harga jagung domestik. Kemudian, harga jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah respon (elastis) terhadap perubahan jumlah produksi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan jumlah produksi memberikan dampak yang besar terhadap perubahan harga jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebaliknya harga jagung di Provinsi Sulawesi Selatan kurang respon terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek dan jangka panjang, sedangkan produksi jagung di Provinsi Sumatera Utara tidak mempengaruhi harga jagung.

Sayekti (2009) menganalisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa permintaan, penawaran, dan harga jagung di pasar dunia tidak mempengaruhi harga jagung di pasar domestik, sedangkan dummy krisis ekonomi dan harga jagung domestik pada periode sebelumnya mempengaruhi harga jagung domestik. Harga jagung di pasar dunia tidak mempengaruhi pembentukan harga jagung di Indonesia mengindikasikan harga jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh pembentukan harga di dalam negeri sendiri karena jika dilihat dari persentase impor jagung Indonesia memang relatif kecil jika dibandingkan dengan produksi jagung nasional meskipun dari sisi kuantitas dan kenaikannya cukup besar. Pedagang dan importir memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga jagung sehingga transmisi harga jagung dari pasar dunia ke pasar jagung domestik menjadi lambat.

Hanani et al. (2010) menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap harga di tingkat pedagang besar pada komoditas beras, jagung, dan kedelai dengan menggunakan model autoreggresif. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai tukar berpengaruh terhadap harga perdagangan besar pada komoditas jagung di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penggunaan input produksi jagung seperti pupuk anorganik dan pestisida masih menggunakan bahan baku dari impor sehingga pengaruh harga jagung di Indonesia terkait dengan penggunaan input produksi. Jika nilai tukar rupiah terdepresiasi maka akan menyebabkan harga input produksi menjadi semakin mahal sehingga biaya produksi yang dikeluarkan petani menjadi semakin besar akibatnya petani terpaksa akan menaikkan harga jagung untuk menutupi pengeluaran yang meningkat tersebut.

(36)

satu analisis yang dilakukannya yaitu menganalisis perilaku harga. Hasilnya menunjukkan bahwa harga jagung tingkat petani di Indonesia hanya dipengaruhi oleh harga jagung di tingkat pedagang besar dan trend waktu, sedangkan perubahan produksi jagung periode sekarang dengan periode sebelumnya dan harga jagung di tingkat petani pada periode sebelumnya tidak mempengaruhi harga jagung di tingkat petani.

Nugraheni (2014) menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan harga pangan utama Indonesia dengan menggunakan Vector Error Correction Model

(VECM). Hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan harga jagung di Indonesia apabila dilihat dari sisi permintaan yaitu harga jagung di pasar dunia dan nilai tukar. Harga jagung di pasar dunia berpengaruh positif sedangkan nilai tukar berpengaruh negatif terhadap harga jagung di Indonesia. Perubahan harga jagung di Indonesia dari sisi penawaran dipengaruhi oleh iklim yaitu berpengaruh negatif. Rachman (2003) menambahkan bahwa antara harga jagung domestik dan nilai tukar memiliki korelasi negatif. Hal ini menunjukkan jika nilai tukar menguat maka akan menyebabkan harga jagung domestik turun.

Surbakti et al. (2014) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga jagung pipil di tingkat produsen Sumatera Utara dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi jagung, harga riil jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya di Sumatera Utara, harga riil jagung di Indonesia, dan harga riil jagung impor berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung tingkat produsen di Sumatera Utara. Sementara itu, stok jagung periode sebelumnya, volume impor sebelumnya, nilai tukar, dan harga pakan tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung tingkat produsen di Sumatera Utara.

Merujuk pada penelitian sebelumnya maka tujuan ke 2 yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung. Tujuan ke 2 tersebut dianalisis dengan menggunakan model regresi linear berganda dan metode pendugaan yang digunakan untuk penaksiran parameter yaitu Ordinary Least Squares (OLS). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi harga jagung tingkat produsen yaitu harga jagung tingkat konsumen, harga jagung impor, nilai tukar, produksi jagung, dan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya.

Perilaku Pasar

Proses transmisi harga tidak terlepas dari perilaku pedagang. Petani jagung di Indonesia pada umumnya memiliki posisi tawar yang sangat lemah dalam pemasaran terutama dalam penentuan harga jagung. Hal ini menyebabkan pedagang cenderung tidak mentransmisikan informasi harga yang diterimanya ke petani sehingga petani tidak mengetahui dengan pasti apakah harga yang diterimanya telah sesuai dengan posisi harga yang sebenarnya (Yusdja dan Agustian 2003). Penyebab rendahnya harga jual jagung di tingkat petani yaitu adanya perilaku pedagang jagung yang berusaha menekan harga jagung di tingkat petani sehingga menyebabkan harga yang diterima petani menjadi rendah (Direktorat Pangan dan Pertanian 2014).

(37)

petani pada umumnya hanya sebagai penerima harga terutama petani yang terikat dengan pedagang dalam peminjaman modal untuk membiayai usaha taninya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh Sari et al. (2012) dalam penelitiannya yaitu menganalisis perilaku pasar jagung. Perilaku pasar jagung tersebut dianalisis secara kualitatif dengan melihat karakteristik pasar seperti sistem penentuan harga antar lembaga pemasaran, praktek pembelian dan penjualan, serta sistem jaringan kerja sama antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam pendistribusian jagung. Informasi harga yang terjadi di pasar domestik dan internasional dijadikan sebagai dasar dalam penentuan harga jagung. Pedagang besar di Provinsi Nusa Tenggara Barat menentukan harga jagung berdasarkan informasi harga jagung dari pedagang di luar provinsi tersebut yaitu Bali yang merupakan konsumen (industri pakan ternak). Pedagang besar memiliki market power dalam keputusan penentuan harga jagung kepada level (pelaku pasar) di bawahnya, sedangkan petani memiliki posisi yang paling lemah dalam keputusan penentuan harga jagung. Pihak yang paling dominan dalam penentuan harga jagung yaitu pedagang di luar provinsi yang bertindak sebagai konsumen jagung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut maka untuk mempelajari perilaku pasar dalam pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung dianalisis secara deskriptif yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung. Kemudian akan digunakan untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi antara produsen dan konsumen serta faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen.

Kerangka Pemikiran

Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi Lampung. Adanya disparitas atau perbedaan harga jagung yang relatif besar antara harga yang diterima produsen (petani) dan harga yang dibayar oleh konsumen. Berdasarkan data BPS RI (2015c, 2015d), rata-rata harga jagung di tingkat produsen (petani) yaitu sebesar Rp 1 820 per kilogram, sedangkan rata-rata harga jagung di tingkat konsumen yaitu sebesar Rp 3 205 per kilogram sehingga terdapat disparitas atau perbedaan harga jagung antara produsen dan konsumen sebesar Rp 1 385 per kilogram. Selain itu, fluktuasi harga jagung di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi harga jagung di tingkat produsen. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa proses transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen di Provinsi Lampung berjalan secara asimetri. Transmisi harga dapat berjalan asimetri karena adanya perilaku tidak kompetitif yang dilakukan oleh pelaku pasar atau penyalahgunaan market power. Transmisi harga asimetri terjadi jika perubahan harga jagung di tingkat konsumen direspon dengan arah yang berbeda oleh produsen baik saat kenaikan maupun penurunan harga jagung sehingga mengindikasikan sistem pemasaran jagung kurang efisien.

(38)

Suatu sistem pemasaran dikatakan kurang efisien dari segi efisiensi harga jika perubahan harga jagung di tingkat konsumen ditransmisikan secara asimetri ke tingkat produsen. Melalui analisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen akan dapat menggambarkan bagaimana perilaku partisipan pasar dalam merespon perubahan harga sehingga mempengaruhi pembentukan harga jagung.

Penelitian ini menganalisis proses pembentukan harga secara teori ekonomi yaitu dengan menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga jagung di tingkat produsen. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Pada pasar yang terhubung secara vertikal dengan pasar yang lain atau proses transmisi harga berjalan simetri maka perubahan harga di suatu pasar misalnya pasar jagung di tingkat produsen akan dipengaruhi secara positif oleh perubahan harga di pasar acuannya misalnya pasar jagung di tingkat konsumen. Selain itu, faktor lain yang akan berpengaruh terhadap pembentukan harga jagung di tingkat produsen yaitu jumlah produksi (faktor selain harga), harga impor, nilai tukar, dan penyesuaian pasar. Penjelasan di atas dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 6.

(39)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, konsep teori, dan studi terdahulu maka hipotesis penelitian ini yaitu:

1. Diduga transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen berjalan secara asimetri.

2. Faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yaitu:

a. Diduga harga jagung tingkat konsumen berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika harga jagung tingkat konsumen meningkat maka akan mendorong peningkatan harga jagung tingkat produsen.

b. Diduga harga jagung impor berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika harga jagung impor meningkat maka akan menyebabkan harga jagung tingkat produsen meningkat.

c. Diduga nilai tukar berpengaruh nyata negatif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya jika nilai tukar terdepresiasi maka akan mendorong kenaikan harga jagung di tingkat produsen.

d. Diduga jumlah produksi berpengaruh nyata negatif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya semakin besar jumlah produksi jagung maka akan menyebabkan harga jagung tingkat produsen turun.

e. Diduga harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya berpengaruh nyata positif terhadap pembentukan harga jagung tingkat produsen. Artinya harga jagung tingkat produsen pada perode sekarang akan mengikuti perubahan harga jagung tingkat produsen pada periode sebelumnya dengan arah yang sama.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Provinsi Lampung karena provinsi ini memberikan kontribusi produksi terbesar ke 3 terhadap total produksi jagung di Indonesia. Peneliti memilih Provinsi Lampung sebagai lokasi penelitian karena selain sebagai salah satu sentra produksi jagung di Indonesia, juga terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga jagung tingkat produsen dan konsumen. Selain itu, pola pergerakan harga jagung tingkat konsumen cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan pola pergerakan harga jagung tingkat produsen.

(40)

jagung terbesar. Kecamatan yang dipilih yaitu Kecamatan Natar. Selanjutnya dari kecamatan tersebut dipilih 2 desa yang memberikan kontribusi produksi jagung terbesar. Desa yang dipilih yaitu Desa Purwosari dan Krawangsari. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai Juni 2015.

Jenis dan Sumber Data Data Sekunder

Data sekunder digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung dari tingkat konsumen ke tingkat produsen dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga jagung tingkat produsen di Provinsi Lampung yang merupakan data deret waktu (time series) bulanan mulai dari Januari 2009 sampai Desember 2014. Jumlah observasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 72 bulan. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Data Primer dan Teknik Penarikan Sampel

Data primer digunakan untuk menganalisis perilaku pasar yang terkait dengan sistem penentuan harga jagung di Provinsi Lampung yang merupakan data pendukung untuk menjelaskan fenomena transmisi harga yang terjadi dan faktor pembentuk harga. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara berdasarkan daftar kuesioner terhadap sampel yang dianggap mewakili populasi penelitian. Sampel dalam penelitian ini yaitu petani dan pedagang pengumpul jagung. Jumlah petani yang menjadi sampel yaitu sebanyak 8 responden yang terdiri atas 4 orang dari Desa Purwosari dan 4 orang dari Desa Krawangsari dan pedagang pengumpul sebanyak 2 responden. Penarikan sampel petani dilakukan secara purposive. Penarikan sampel pedagang dilakukan dengan snowball samplingyaitu dengan mengikuti alur pemasaran jagung dari petani.

Metode Analisis Data Analisis Transmisi Harga Jagung

Tujuan pertama dalam penelitian ini yaitu menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen di Provinsi Lampung. Model yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga jagung antara produsen dan konsumen yaitu Asymmetric Error Correction Model (AECM). Analisis AECM terdiri atas beberapa tahapan yaitu:

Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian

Jenis data Data Sumber data Sekunder Harga jagung tingkat produsen BPS RI

Harga jagung tingkat konsumen BPS RI

Gambar

Gambar 2 Perkembangan luas panen dan produksi jagung di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai 2014
Gambar 4 Transmisi harga asimetri dari sisi kecepatan dan besaran
Gambar 6 Kerangka pemikiran
Gambar 7 menunjukkan bahwa penghasil jagung di Provinsi Lampung tersebar di seluruh kabupaten yang ada di provinsi tersebut
+4

Referensi

Dokumen terkait

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bank-bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan populasi berjumlah sebanyak 42 bank dan

Banyaknya ikon-ikon yang dimiliki oleh Bandung menjadikan Bandung sangat kaya dengan artefak bersejarah yang mempunyai nilai dan seni yang tinggi Salah satu ikon yang

Hasil dari keputusan uji ini sejalan dengan penelitian Onuka (2007) serta teori.. Kesesuaian hasil penelitian ini dikarenakan selama proses pembelajaran yang menerapkan AfL

adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) mengetahui kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi

Berdasarkan hasil dari perhitungan anava satu jalan didapatkan nilai

Manometer pipa U adalah adalah tabung vertical berbentuk U yang dipasang pada tempat yang mau diukur, manometer pipa U bisa digunakan untuk mengukur tekanan

Berdasarkan hasil penelitian kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I diperoleh nilai rata – rata sebesar 67,777 dengan kriteria baik pada siklus II diperoleh

1) Tersedianya waktu lebih banyak untuk pembelajaran. Materi pelajaran tidak dibatasi oleh jam pelajaran, melainkan dapat dilanjutkan sepanjang hari, mencakup berbagai