• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minyak sawit merah (RPO) merupakan produk sediaan berbahan dasar minyak sawit kasar (CPO) dengan pengolahan paling sederhana tetapi sudah aman untuk dikonsumsi (Benade, 2003). Proses pembuatan RPO menggunakan metode yang dipakai oleh Susilawati et.al. Pembuatan RPO dimulai dari fraksinasi untuk mendapatkan fraksi olein dari CPO. Fraksi olein yang didapat dalam penelitian ini mengandung beta karoten sebesar 158 ppm. Kandungan beta karoten fraksi olein ini termasuk sangat rendah. Kandungan beta karoten fraksi olein CPO biasanya berkisar antara 330-550 ppm (Naibaho, 1986 dalam Irawan, 2008). Hal ini disebabkan kondisi fraksi olein yang didapatkan sudah cukup lama. Penyimpanan dalam waktu lama dalam kondisi terekspos oksigen dan juga pH rendah akibat keberadaan asam lemak bebas dapat merusak kandungan beta karoten, sehingga kandungan beta karotennya menurun cukup besar (Muchtadi, 1989).

Proses fraksinasi CPO ini dilanjutkan dengan netralisasi menggunakan Na2CO3 14% sebanyak 24% (v/v), lalu diaduk. Asam lemak tersabunkan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring whatman 0.42 µm secara vakum. Filtrat yang ada kemudian ditampung sebagai RPO.

Selama penyimpanan, RPO dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap yang dibungkus alumunium foil dan diisi dengan gas N2 pada bagian headspace.

Pengisian gas N2 bertujuan untuk menggantikan udara bebas yang ada pada

headspace, sehingga kontak dengan oksigen dapat dikurangi dan kerusakan beta

karoten akibat oksidasi oleh oksigen dapat diminimalisir (Andarwulan, 1989). Tampilan fisik dari fraksi olein CPO dan RPO diperlihatkan pada Gambar 4. Dapat dilihat bahwa intensitas warna dari keduanya hampir sama, hal ini dikarenakan proses dari CPO untuk menjadi RPO tidak banyak mempengaruhi kadar beta karoten dari fraksi olein CPO. Beta karoten sebagai pigmen yang bertanggung jawab terhadap warna merah CPO dan produk pemurniannya menghasilkan produk akhir yang mempunyai intensitas warna hampir sama (Anonymous, 2007).

2

Gambar 4. (a).Fraksi Olein CPO, (b).RPO, (c).Isolat beta karoten

Pembuatan Isolat Beta Karoten

Isolat beta karoten merupakan sediaan beta karoten yang mempunyai kandungan beta karoten cukup tinggi. Bahan dasar isolat beta karoten berasal dari Fraksi olein CPO yang sama dengan yang digunakan untuk pembuatan RPO. Isolat beta karoten dibuat melalui beberapa tahapan proses yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Irawan, 2008).

Pembuatan isolat dimulai dengan fraksinasi CPO untuk mendapatkan fraksi oleinnya. Fraksi olein yang didapat kemudian ditambahkan standar α-tokoferol sampai 500 ppm dan BHT. Tahap selanjutnya ditambahkan absorben (atapulgit) untuk proses absorpsi beta karoten. Fraksi olein dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang terlebih dahulu dilapisi plastik warna hitam agar tidak terekspos cahaya. Atapulgit ditambahkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup untuk kemudian digoyang (shaking) dalam watherbath selama 71 menit dengan laju 120 rpm dengan suhu 55°C. Dalam proses ini, beta karoten yang ada dalam fraksi olein diserap oleh atapulgit. Setelah selesai, didiamkan sampai dingin kemudian disaring untuk mendapatkan atapulgitnya. Proses penyaringan ini menggunakan kertas saring biasa dan dibantu dengan pompa vakum. Selama penyaringan, corong buchner ditutup dengan alumunium foil untuk mengurangi ekspos cahaya. Atapulgit yang telah mengikat beta karoten kemudian didesorpsi menggunakan

2

iso propil alkohol (IPA) untuk mendapatkan kandungan beta karotennya. Atapulgit dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan ke dalam IPA dan digoyang kembali dalam watherbath selama 71 menit dengan laju 180 rpm dalam suhu 55°C. Beta karoten yang terdapat dalam atapulgit selama proses ini akan teresktrak dan akan larut dalam pelarut IPA. Setelah selesai, didinginkan sebentar dan kemudian disaring kembali dengan menggunakan kertas whatman 0.42µm untuk diambil filtratnya.

Filtrat yang dihasilkan merupakan pelarut IPA yang didalamnya sudah terkandung beta karoten terlarut. Filtrat yang didapat kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum evaporator untuk menjadi isolat beta karoten. Hasil dari pemekatan ini adalah beta karoten yang terkandung di dalam beberapa fraksi olein yang bertindak sebagai ikutan sekaligus sebagai pelarut. Kadar beta karoten isolat yang didapat dari penelitian ini sebesar 272 ppm. Kadar beta karoten ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar beta karoten dari fraksi olein yang sebesar 158 ppm atau hampir sekitar dua kali konsentrasi awal. Gambar 4 memperlihatkan intesitas warna yang dihasilkan oleh isolat lebih pekat daripada yang dihasilkan oleh fraksi olein CPO maupun RPO. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar beta karoten, semakin pekat warna merah yang dihasilkan.

Pada pembuatan isolat ini terdapat beberapa kendala, yaitu pada tahap pemisahan atapulgit dengan fraksi olein CPO. Pemisahan yang kurang optimal menyebabkan pada saat desorpsi dan pemekatan, masih terdapat fraksi olein dalam jumlah cukup banyak sebagai ikutan (pelarut). Banyaknya jumlah pelarut menyebabkan kadar beta karoten dalam isolat menjadi rendah.

Intake Ransum Tikus Masa Adaptasi

Intake ransum tikus masing-masing kelompok pada masa adaptasi dapat dilihat pada Gambar 5. Rata-rata intake ransum tikus pada masing-masing kelompok terlihat berbeda-beda, tetapi uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata baik pada kelompok kontrol maupun pemurnian CPO. Secara deskriptif, dapat dilihat intake ransum tikus pada semua kelompok kontrol lebih rendah daripada kelompok perlakuan pemurnian CPO. Secara

2

keseluruhan, rata-rata intake tikus ransum kelompok pemurnian CPO (14.63g) lebih besar dibanding rata-rata intake ransum kontrol (13.23g).

Nilai intake ransum dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Hernawan (2007), yaitu sekitar 13g ransum kering. Intake yang besar ini dapat disebabkan karena jenis pakan yang diberikan berupa pelet kering (ransum kering). Pelet kering, biasanya digunakan oleh banyak pembiak, sehingga tikus lebih terbiasa untuk mengkonsumsinya. Selain itu, pelet kering mempunyai daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan ransum basah.

Pemberian ransum pada tikus memang harus dipertimbangkan sebaik mungkin, yaitu berkaitan dengan jenis ransum dan waktu pemberian makan. Tikus merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), sehingga memang lebih tepat bila ransum diberikan pada waktu sore menjelang malam, sehingga bisa lebih selaras dengan pola aktivitasnya. Jenis ransum dan waktu pemberian ransum pada penelitian ini memang mempertimbangkan dengan kegiatan penelitian yang lain, sehingga didapatkan pada pagi hari dengan jenis ransum basah. Akibatnya rentang waktu konsumsi ransum tidak begitu panjang, dan sisa ransum basah menjadi lebih mudah busuk pada waktu malam hari. Ransum yang sudah busuk ini akan mengurangi selera makan tikus.

Gambar 5.Intake ransum tiap kelompok selama pemeliharaan

2

Masa Deplesi

Periode deplesi dalam penelitian ini dicapai dalam waktu 91 hari. Selama masa deplesi, tikus mendapatkan ransum yang tidak mengandung vitamin A didalamnya, kecuali sub kelompok kontrol standar (KS). Intake ransum tikus masing-masing kelompok pada masa deplesi dapat dilihat pada Gambar 5.

Intake ransum kedua kelompok utama pada masa deplesi mengarah ke pola yang berbeda. Intake ransum pada kelompok standar semakin menurun, sedangkan pada kelompok pemurnian CPO semakin meningkat. Uji beda terhadap intake ransum tikus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada kelompok besar kontrol dan pemurnian CPO. Secara deskriptif intake ransum kelompok besar pemurnian CPO (17.16g) lebih besar dibanding intake ransum kelompok besar kontrol (10.35g).

Faktor yang memungkinkan rendahnya intake ransum kelompok standar adalah kondisi fisik tikus. Selama pengamatan, terutama dua minggu sebelum deplesi berakhir, terjadi penurunan kondisi fisik tikus-tikus kelompok besar kontrol. Kulit tikus mulai terluka dan aktivitasnya menurun. Seperti pada manusia, terganggunya kondisi fisik akan menyebabkan penurunan selera makan yang ditandai dengan intake makanan yang lebih sedikit dibanding pada waktu kondisi sehat (Azwar, 2004).

Masa Replesi

Tikus diberi ransum sampai pada masa replesi. Masa ini merupakan masa akhir pemeliharaan tikus, setelah itu tikus dibedah untuk keperluan analisis selanjutnya. Ransum yang diberikan sudah mengandung kandungan vitamin A. Masing-masing kelompok tikus kembali diberi asupan vitamin A dari sumber yang sesuai dengan prosedur di awal.

Jumlah ransum yang dikonsumsi oleh masing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 5. Setelah memasuki masa replesi, intake ransum pada semua kelompok menunjukkan penurunan. Dari keseluruhan masa pemeliharaan, terlihat bahwa intake ransum kelompok standar selalu lebih lebih kecil daripada kelompok pemurnian CPO.

Uji beda terhadap intake ransum pada masa replesi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok besar kontrol maupun

2

kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, rata-rata intake ransum kelompok besar perlakuan (14.86g) lebih besar dibanding kelompok besar standar (9.56g).

Pertumbuhan Tikus Awal Pemeliharaan

Kondisi tikus pada awal pemeliharaan terlihat normal, baik dari fisik maupun perilakunya. Tikus menunjukkan perilaku yang normal dan tidak terlihat stres. Berat badan rata-rata kelompok tikus pada awal pemeliharaan cukup beragam. Rata-rata berat badan awal tiap-tiap kelompok sepanjang masa adaptasi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Berat badan tikus awal pemeliharaan

Uji beda terhadap variabel berat badan tikus pada awal pemeliharaan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata di dalam tiap kelompok besar. Data berat badan awal tikus bila dilihat secara deskriptif, menunjukkan bahwa rata-rata berat badan awal kelompok standar lebih tinggi dibanding dengan kelompok pemurnian CPO. Perbedaan berat badan yang besar ini dikarenakan oleh perbedaan umur yang cukup banyak, yaitu sekitar 36 hari, tetapi pada masa adaptasi ini kedua kelompok besar masih dalam masa pertumbuhan. Secara keseluruhan, berat badan rata-rata pada awal pemeliharaan adalah 136.3g untuk kelompok besar control dan 66.9g untuk kelomok besar pemurnian CPO.

2

Masa Adaptasi

Berat badan tikus semua kelompok terus meningkat selama masa adaptasi. Berat badan dari semua kelompok pada masa adaptasi menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin meningkat dengan kecepatan pertumbuhan yang relatif sama sampai hari ke-11 masa adaptasi. Ditunjukkan dengan slope yang positif dan kemiringan yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa tikus dari kedua kelompok utama memang masih dalam masa pertumbuhan. Dapat dilihat pada Gambar 7, grafik berat badan yang mengarah kepada pertumbuhan.

Gambar 7. Berat badan tikus selama masa adaptasi

Masa Deplesi

Berat badan tikus saat memasuki masa deplesi ditunjukkan oleh Gambar 8 dan terlihat mulai berbeda pada kedua kelompok utama. Berat badan kelompok kontrol cenderung konstan dan mulai menurun sekitar hari ke-66 masa deplesi sedangkan pada kelompok pemurnian CPO terus meningkat. Peningkatan berat badan kelompok pemurnian CPO terus terjadi pada masa deplesi secara cepat dan bahkan melebihi kelompok besar kontrol. Berat badan kelompok besar pemurnian CPO baru menurun pada saat memasuk hari ke-69 masa deplesi. Faktor yang dapat mempengaruhi pola perubahan berat badan tikus selama masa deplesi ini adalah cadangan vitamin A dalam tubuh tikus. Tikus kelompok pemurnian CPO merupakan tikus yang mulai dipelihara dari kondisi lepas sapih (24 hari). Sehingga kemungkinan besar cadangan vitamin Anya didapat dari proses menyusu dari induk yang status vitamin A baik, sehingga masih cukup untuk

2

pertumbuhannya saat memasuki masa deplesi (Benade, 2003). Ditambah juga intake ransum standar (mengandung vitamin A) pada masa adaptasi yang melebihi kelompok standar sehingga menyebabkan masa pertumbuhan yang lebih panjang pada masa deplesi walaupun sudah tidak diberi asupan vitamin A.

Keberadaan cadangan vitamin A yang cukup dalam tubuh diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan, salah satunya adalah pertumbuhan tulang. Vitamin A penting untuk aktifitas sel-sel dalam tulang rawan epifise. Pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa tikus tidak hanya bertambah massa ototnya saja, tetapi juga ukuran (panjang tulang) yang menunjukkan pertumbuhan pada tulang (Linder, 1992). Setelah itu, penurunan yang terjadi pada masa deplesi hanya pada berkurangnya massa otot saja, bukan pada ukuran tulangnya.

Gambar 8. Berat badan tikus selama masa deplesi

Masa Replesi

Memasuki masa replesi, berat badan kedua kelompok utama mengalami peningkatan. Dapat dilihat pada Gambar 9, berat badan kelompok standar yang pada masa deplesi menurun, saat memasuki masa replesi kembali meningkat. Begitu juga pada kelompok pemurnian CPO, menurun pada akhir deplesi, dan meningkat kembali pada masa replesi. Peningkatan ini kemungkinan besar diakibatkan karena asupan vitamin A yang telah didapatkan kembali pada masa replesi.

Beberapa penelitian yang sudah ada juga mengemukakan bahwa vitamin A berperan langsung terhadap pertumbuhan. IGF (Insulin-like Gowth Factor), sebagai hormon yang berperan dalam pembelahan sel, diferensiasi jaringan, dan perangsang pertumbuhan, keberadaanya dipengaruhi salah satunya oleh status gizi

2

individu (Fu, et al., 2001). Penurunan status gizi seperti salah satunya karena pembatasan makanan dapat mempengaruhi konsentrasi IGF. Oleh karena itu, pada masa replesi, setelah tikus mendapat asupan vitamin A kembali. Kemungkinan besar dapat mensimulus produksi IGF, sehingga pertumbuhan tikus terjadi kembali (Fu, et al., 2001).

Vitamin A juga berperan secara tidak langsung terhadap pertumbuhan dengan menjaga integritas sel-sel epitel usus. Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel kolumnar epitel dengan lapisan tebal, bertanduk di mukosa intestin. Pada mukosa usus terjadi penurunan yang drastis pada jumlah sel goblet dalam kript intestin dan permukaan vili (Linder, 1992). Kondisi sel-sel epitel yang tidak normal tentunya mempengaruhi fungsinya sebagai tempat masuknya zat-zat gizi ke dalam tubuh dan produksi mucus dan enzim pencernaan. Hal ini menyebabkan zat-zat gizi yang ada di dalam usus tidak dapat diserap secara optimal. Dengan adanya asupan vitamin A pada masa replesi, sel-sel epitel tersebut dapat beregenerasi lebih baik lagi sehingga zat gizi dapat diserap optimal dan digunakan untuk pembentukan massa otot dan pertumbuhan (Linder, 1992).

Gambar 9. Berat badan tikus selama masa replesi

2

Perubahan Berat Badan Tikus per Hari

Dengan adanya perbedaan rentang waktu di setiap masa adaptasi (11 hari), deplesi (92 hari), dan replesi (14 hari), dibutuhkan data perubahan berat badan tikus per hari sehingga dapat menunjukkan perbedaan kecepatan pertumbuhan atau penurunan yang terjadi di setiap masa. Dapat dilihat pada Gambar 10, bahwa semua kelompok dari kedua kelompok besar mempunyai pola yang sama, yaitu menurun pada masa deplesi, dan meningkat kembali pada masa replesi.

Selama masa adaptasi, perubahan berat badan tikus per hari pada semua kelompok bernilai positif. Uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok pada masing-masing kelompok besar. Secara deskriptif didapatkan bahwa rata-rata perubahan berat badan kelompok pemurnian CPO (2.30g/hr) lebih besar dibanding kelompok kontrol (1.92g/hr).

Gambar 10. Perubahan berat badan tikus per hari selama perlakuan

Masa deplesi merupakan waktu terpanjang selama pemeliharaan. Selama masa deplesi, besar perubahan berat badan tikus per hari berfluktuasi. Secara deskriptif mulai terlihat perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok standar. Dari keseluruhan masa deplesi, perubahan berat badan kelompok standar bernilai negatif, sedangkan pada kelompok pemurnian CPO, walaupun menurun, tetapi masih bernilai positif, yang berarti menunjukkan masih terdapat pertumbuhan. Uji beda menunjukkan bahwa perubahan berat badan tikus pada

2

kelompok standar tidak berbeda nyata, begitu pula dengan kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok pemurnian CPO (1.05 g/hr) lebih besar dibanding kelompok kontrol (-0.11 g/hr).

Masa deplesi dibagi menjadi rentang yang lebih kecil (per 10 hari) agar terlihat lebih jelas nilai perubahan berat badan selama masa deplesi di tiap-tiap kelompok. Dapat dilihat pada Tabel 7, perubahan berat badan kelompok standar cenderung ke arah negatif sejak hari ke-40 masa deplesi, sedangkan pada kelompok perlakuan, pertumbuhan mulai cenderung ke arah negatif pada hari ke-60. Umur tikus pada rentang waktu tersebut sekitar 100 hari (kelompok standar) dan 84 hari (kelompok pemurnian CPO).

Tabel 7 Perubahan berat badan tikus per 10 hari masa deplesi

Kelompok Rentang per 10 hari masa deplesi

ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 KS 2.55 1.72 2.30 1.40 1.02 -0.22 0.28 0.22 -0.30 KPva 2.18 1.90 2.20 1.10 1.08 0.16 -0.34 -0.08 0.32 KPbk 0.82 0.20 -0.05 -0.87 -0.43 0.23 -0.20 0.63 -0.53 RPO -1.20 1.30 0.55 1.55 0.05 -0.65 -0.50 -0.55 -0.20 Isolat 0.78 0.55 0.09 -0.25 -0.35 -0.05 -0.80 -0.80 -1.10 Masa Replesi

Perubahan berat badan tikus terus diamati sampai akhir masa replesi. Pada masa replesi, terjadi peningkatan berat badan per hari di seluruh kelompok yang ditunjukkan oleh Gambar 10 dengan nilai yang positif. Semua kelompok kontrol yang pada masa deplesi perubahan berat badannya bernilai negatif, menjadi positif pada masa replesi. Begitu juga pada kelompok pemurnian CPO, perubahan berat badan tikus per hari semakin besar.

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kontrol dan kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, didapatkan bahwa perubahan berat badan tikus per hari kelompok pemurnian CPO (1.53g/hr) lebih besar dibandingkan kelompok standar (0.57g/hr).

Berat Badan Akhir

Berat badan tikus pada setiap akhir masa ditunjukkan oleh Gambar 11 dan menunjukkan adanya perbedaan diantara kedua kelompok besar. Berat badan kelompok standar menurun pada masa deplesi, dan meningkat kembali pada masa

2

replesi. Sedangkan berat badan kelompok pemurnian CPO terus meningkat pada masa deplesi dan replesi.

Hasil uji beda terhadap berat badan akhir pada masa adaptasi menunjukkan bahwa berat badan pada masing-masing kelompok utama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Di antara kelompok utama, secara deskriptif didapatkan bahwa berat badan kelompok kontrol (155.5g) lebih besar daripada kelompok pemurnian CPO (92.2g).

Hasil uji beda terhadap berat badan akhir tikus pada masa deplesi menunjukkan bahwa berat badan pada masing-masing kelompok utama tidak berbeda yang nyata. Tetapi secara deskriptif menunjukkan bahwa berat badan kelompok pemurnian CPO (186.7g) lebih besar daripada kelompok kontrol (145.6g).

Berdasarkan hasil penimbangan pada akhir replesi, didapat rata-rata berat badan tikus kelompok seperti yang ditampilkan pada Gambar 11. Hasil uji beda terhadap berat badan pada akhir replesi menunjukkan, baik pada kelompok kontrol maupun pemurnian CPO, tidak ada perbedaan yang nyata. Secara deskriptif, dapat dilihat kondisi yang berbeda dengan pada waktu awal adaptasi. Berat badan kelompok pemurnian CPO (208.1g) pada masa replesi lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol (153.6g).

Gambar 11. Berat badan tikus pada akhir masa adaptasi, deplesi, dan replesi

2

Efisiensi Ransum

Tingkat konsumsi ransum setiap hari berubah-ubah, sehingga intake energi tidak selalu konstan. Energi yang didapatkan dari ransum, dalam kondisi normal biasanya lebih diutamakan untuk proses pertumbuhannya. Tetapi dalam beberapa kondisi tertentu, energi diperlukan untuk menjaga agar proses metabolisme lainnya yang ada dalam tubuh dapat berjalan normal. Gambar 12 memperlihatkan nilai rasio antara pertumbuhan dan intake kalori pada masing-masing kelompok. Nilai rasio ini menjelaskan tentang hubungan antara penambahan dan penambahan berat badan dimana terjadi penambahan berat badan sebesar x g setiap terjadi peningkatan intake ransum sebesar 1 gram (Bjorntorp, 1982). Efisensi ransum dapat melihat lebih jelas pengaruh vitamin A dari berbagai sediaan karena perubahan berat badan dibagi berdasarkan intake ransum dalam gram yang sama.

Efisiensi ransum semua kelompok selama pemeliharaan diperlihatkan pada Gambar 12. Dari Gambar 12, dapat dilihat bahwa efisiensi ransum semua kelompok mempunyai pola yang sama, yaitu menurun pada masa deplesi dan meningkat pada masa replesi. Peningkatan nilai dari efisiensi ransum ini disebabkan karena pengaruh pemberian vitamin A kembali lewat ransum yang dikonsumsi. Vitamin A yang dikonsumsi akan dipergunakan untuk memperbaiki sel-sel epitel yang salah satunya ada di saluran cerna. Produksi hormon IGF juga meningkat setelah tubuh mendapatkan asupan vitamin A kembali, sehingga ransum-ransum yang dikonsumsi benar-benar dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh untuk pertumbuhan berat badan tikus.

Idealnya bioavailabilitas vitamin A diukur dengan kadar retinol plasma darah atau hati. Dalam penelitian ini bioavailabilitas vitamin A diukur dengan menggunakan berat badan sebagai indikator. Hal ini dipilih dikarenakan adanya keterbatasan dalam penelitian ini akibat tidak tersedianya data kadar vitamin A semua plasma darah tikus untuk kelompok kontrol.

2

Gambar 12. Efisiensi ransum semua kelompok selama perlakuan

Dari masing-masing kelompok utama, Gambar 12 memperlihatkan bahwa efisiensi ransum tikus kelompok KPva yang diberikan intake vitamin A dari vitamin A murni lebih besar daripada kelompok beta karoten. Pada kelompok pemurnian CPO, kelompok RPO menunjukkan efisiensi ransum yang lebih besar daripada kelompok isolat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, bioavailabilitas vitamin A murni lebih baik dibandingkan beta karoten, dan RPO mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik daripada isolat.

Dokumen terkait