• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL

PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK

RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO

Oleh:

DARMANING BEKTI NOVIANTO

A54103078

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

RINGKASAN

DARMANING BEKTI NOVIANTO. A54103078. Bioavailabilitas Beta Karoten dari Hasil Pemurnian CPO (Crude Palm Oil) dalam Bentuk RPO (Red Palm Oil) dan Isolat Secara in vivo. Dibawah bimbingan Rimbawan, Yekti Hartati Effendi, dan Prayoga Suryadarma.

Defisiensi vitamin A merupakan masalah gizi utama yang ada di negara berkembang. Kondisi defisiensi ini dapat berpengaruh terjadap kesehatan dan potensi individu terutama anak-anak. Oleh karena itu dibutuhkan sumber alternatif vitamin A dalam jumlah yang besar. Vitamin A dalam bentuk beta karoten (provitamin A) yang ada pada minyak sawit kasar merupakan salah satu yang paling potensial. Beta karoten ini dicoba untuk diisolasi agar nantinya dapat digunakan sebagai sumber vitamin A sehingga dapat menurunkan kejadian defisiensi pada anak-anak. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui bioavailabilitas vitamin A yang bersumber dari vitamin A murni, beta karoten, RPO, isolat, dan dengan menggunakan model hewan percobaan yaitu tikus. Adapun tujuan khususnya adalah: mengetahui proses pembuatan RPO dari bahan dasar CPO dan isolat; mengetahui intake ransum tikus per hari diberikan diet mengandung vitamin A yang berasal dari RPO, isolat, dan mikrokapsul menggunakan vitamin A murni dan beta karoten sebagai kontrol; serta mengetahui bioavailabilitas beta karoten dengan mengamati perubahan berat badan tikus yang diberikan berbagai macam jenis diet sumber vitamin A.

Metode penelitian ini dimulai dengan proses pembuatan RPO dan isolat beta karoten. Tahap selanjutnya adalah mengaplikasikan produk pemurnian CPO (RPO dan Isolat) yang sudah ada dengan menggunakan hewan coba, yaitu tikus jenis Sprague Dawley jantan berjumlah 30 ekor. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok besar kontrol dan pemurnian CPO. Kelompok besar kontrol terdiri dari kelompok kontrol standar, kelompok kontrol positif vitamin A, dan kelompok kontrol positif beta karoten. Kelompok besar pemurnian CPO terdiri dari kelompok RPO dan isolat. Setiap kelompok tikus terdiri dari 6 ekor.Umur tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 golongan umur, yaitu 60 hari untuk kelompok standar vitamin A dan beta karoten, dan 24 hari untuk kelompok pemurnian CPO.

Tikus dipelihara dalam kandang terpisah. Seluruh tikus dipelihara selama 117 hari yang dibagi dalam 3 masa, yaitu adaptasi (11 hari), deplesi (92 hari), dan replesi (14 hari). Adaptasi dilakukan untuk penyesuaian tikus dengan lingkungan baru, deplesi digunakan untuk meminimalkan cadangan vitamin A dalam hati dan replesi digunakan untuk mengembalikan cadangan vitamin A dalam hati.

Tikus diberi makan dalam bentuk ransum semi basah secara pair feeding, sedangkan pemberian minum dilakukan secara ad libitum. Data yang diambil dari penelitian ini adalah intake ransum dan berat badan tikus. Intake ransum tikus didapat dari selisih pakan yang diberikan dan sisa ransum setiap hari. Data berat badan diambil dengan menimbang tikus per dua hari sekali.

RPO merupakan produk pemurnian yang paling sederhana dari CPO yang sudah aman untuk dikonsumsi. RPO merupakan CPO yang sudah dipisahkan fraksi stearinnya dan dihilangkan asam lemak bebas serta pengotor seperti gum. Secara keseluruhan, pemrosesan CPO (fraksi olein) menjadi RPO tidak terlalu

(3)

iii

mempengaruhi kandungan beta karoten. RPO yang didapat kemudian diproses lebih lanjut menjadi isolat beta karoten.

Pembuatan isolat dilakukan dengan melalui beberapa tahapan proses adsorbsi, desorpsi, dan pemekatan dengan menggunakan alat penguapan vakum. Hasil proses isolasi ini adalah isolat beta karoten dengan kandungan beta karoten yang lebih tinggi dari fraksi olein CPO. Kandungan yang didapat yaitu hampir dua kali lipat dari kandungan awalnya yang sekitar 158 ppm menjadi 272 ppm.

Intake ransum tikus masa adaptasi cenderung bervariasi pada setiap kelompok besar, tetapi tidak berbeda nyata. Secara deskriptif, rata-rata intake ransum tikus kelompok besar kontrol pada masa adaptasi (13.23g) lebih kecil daripada kelompok besar pemurnian CPO (14.63g). Intake ransum tikus antar kelompok besar pada masa deplesi mengarah ke pola yang berbeda. Intake ransum kelompok besar kontrol semakin menurun, sedangkan pada kelompok besar pemurnian CPO semakin meningkat. Secara deskriptif, didapatkan bahwa rata-rata intake ransum tikus kelompok besar pemurnian CPO (17.16g) lebih besar dibanding kelompok besar kontrol (10.35g). Hal ini disebabkan karena kondisi fisik kelompok standar yang terganggu, sehingga menurunkan nafsu makan. Pada masa replesi, intake ransum semua kelompok menurun. Secara deskriptif didapatkan bahwa rata-rata intake ransum tikus kelompok besar pemurnian CPO (14.86g) lebih besar dibanding kelompok besar standar (9.56g).

Pertumbuhan tikus selama masa adaptasi antara kedua kelompok mempunyai pola dan perubahan berat badan tikus per hari yang relatif sama. Pada masa deplesi, perubahan berat badan tikus pada kedua kelompok utama mengalami penurunan, bahkan bernilai negatif pada kelompok standar. Nilai negatif menunjukkan bahwa selama masa deplesi, berat badan tikus semakin kecil. Pada masa replesi, terjadi peningkatan berat badan tikus, ditunjukkan dengan perubahan berat badan tikus yang bernilai positif.

Efisiensi ransum merupakan nilai rasio antara pertumbuhan tikus dan intake ransum pada masing-masing kelompok. Nilai rasio ini menjelaskan tentang hubungan antara penambahan berat badan tikus sebesar x g setiap terjadi peningkatan intake ransum sebesar 1 gram. Efisiensi ransum dapat menunjukkan secara lebih baik variabel perubahan berat badan karena dinilai berdasarkan intake ransum yang sama. Efisiensi ransum semua kelompok mempunyai nilai yang beragam, tetapi mempunyai pola yang sama, yaitu menurun pada masa deplesi dan naik pada masa replesi. Peningkatan nilai dari efisiensi ransum ini kemungkinan besar disebabkan karena pengaruh pemberian vitamin A kembali lewat ransum yang dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini, asupan vitamin A berperan dalam pertumbuhan tikus yang dapat ditunjukkan dengan peningkatan nilai dari efisiensi ransum. Efisiensi ransum tikus kelompok KPva yang diberikan intake vitamin A dari vitamin A murni lebih besar daripada kelompok KPbk yang diberikan beta karoten. Pada kelompok pemurnian CPO, kelompok RPO menunjukkan efisiensi ransum yang lebih besar daripada kelompok isolat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, bioavailabilitas vitamin A murni lebih baik dibandingkan beta karoten, dan RPO mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik daripada isolat.

(4)

BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL

PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK

RPO (RED PALM OIL) DAN ISOLAT SECARA IN VIVO

Oleh:

DARMANING BEKTI NOVIANTO

A54103078

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Bioavailabilitas Beta Karoten dari Hasil Pemurnian CPO (Crude

Palm Oil) Dalam Bentuk RPO (Red Palm Oil) dan Isolat Secara In Vivo.

NAMA : Darmaning Bekti Novianto

NRP : A54103078 Disetujui Komisi Pembimbing Dosen Pembimbing I Dr. Rimbawan NIP. 19620406 198603 1 002 Dosen Pembimbing II

dr. Yekti H. Effendi, S.Ked NIP. 19471029 197901 2 001

Mengetahui

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batu-Malang pada tanggal 18 November 1985 sebagai anak keempat dari 4 bersaudara pasangan Bapak Darmaning Adji S. dan Ibu Sukanti. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Imannuel dan lulus pada tahun 1997. Sekolah menengah tingkat pertama dilalui penulis di SMPN 1 Batu dan lulus pada tahun 2000. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMUN 1 Batu dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama pula penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi HIMAGITA. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Manusia pada program mayor dan ekstensi.

Selain itu, penulis pernah memperoleh beberapa prestasi yaitu:

a. Memperoleh dana pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan tahun 2006

b. Finalis Pada Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XIX oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2006

c. Memperoleh dana pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat tahun 2007

d. Memperoleh dana pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan tahun 2007

e. Pemenang Setara Perak Dalam Presentasi Program Kreativitas Mahasiswa Pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XX oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2007

f. Pemenang Setara Perak Dalam Pameran Poster Pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XX oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2007.

(7)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkat Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian. Penulis juga sangat berterima kasih kepada Dosen Dr. Rimbawan, dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked, dan Prayoga Suryadarma STP. MT. yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “BIOAVAILABILITAS BETA KAROTEN DARI HASIL PEMURNIAN CPO (CRUDE PALM OIL) DALAM BENTUK RPO (RED PALM OIL), DAN ISOLAT SECARA IN VIVO”.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk penulis. Penulis juga mengharapkan masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan penulis di masa mendatang.

Bogor, Februari 2010

(8)

PRAKATA

Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapaku, Tuhan Yesus Kristus. Terima kasih telah memberikan sepaket kehidupan yang penuh dengan kasih karunia, berkat, pemulihan dan pengampunan. Segalanya hanya untuk kemuliaan namaMu. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Rimbawan selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan kebijaksanaan, dukungan spiritual, kesempatan yang tak terhingga, dan teladan dengan sabar kepada penulis selama dalam masa pembimbingan. 2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, kebijaksanaan, kesempatan, dan teladan dengan sabar kepada penulis selama dalam masa pembimbingan.

3. Prayoga Suryadarma, STP. MT. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kebijaksanaan, teladan dengan sabar kepada penulis selama dalam masa pembimbingan. Terima kasih telah memberikan banyak sekali kesempatan dan pembekalan dari disiplin ilmu yang berbeda, sehingga penulis merasa lebih siap dalam dunia kerja.

4. Katrin Roosita SP. MSi. Selaku pembimbing akademik dan penguji, penulis mengucapkan terima kasih untuk bantuannya dalam penyusunan tugas akhir, bantuan, pembelajaran, dan segala teladan tentang nilai-nilai hidup, dan kesempatan berkerja bersama. Terima Kasih Ibu Guru.

5. Terima kasih kepada Yuges Saputri, Dina Nikmatina Ritonga, dan Dias Permata Sari atas kesediannya menjadi pembahas pada seminar penulis. Pak Mashudi dan Guntari. Penulis merasa sangat banyak terbantu selama penulis menjalankan penelitian.

6. Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk dukungannya selama hidup penulis, terlebih selama penulis menempuh masa studi. Semua yang penulis lakukan penulis persembahkan untuk Bapaku yang baik, dan juga untuk kalian. Semoga penulis diberi banyak waktu untuk membalas semua yang telah kalian beri, Amin.

7. Mas Wawan, Mbak Didit, Mbak Riris, Mbak Anik, Putri, Abel, Gigih, dan Gagah. Terima kasih untuk saudara-saudaraku yang telah mendukung penulis

(9)

xi

sampai tahap ini. Penulis sangat bersyukur mempunyai keluarga seperti kalian. Berharap dapat membalas segala yang telah kalian berikan untuk penulis. Terima kasih untuk Nanien. Terima kasih atas semua tenaganya untuk membantu selama penulis menyelesaikan penelitian dari awal sampai akhir. Penulis bersyukur atas semua waktu kebersamaannya. Terima kasih banyak.

8. Dan yang terakhir kepada pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Penulis mohon maaf, semoga teman-teman berkenan dan saya ucapkan terima kasih banyak.

(10)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

I. PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan... 3

Kegunaan Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA Vitamin A...4

Fungsi Vitamin A...4

Metabolisme β karoten dan Vitamin A...5

Unit dan Standar Vitamin A... 7

Beta Karoten... 7

StabilitasBeta Karoten... 8

Bioavailabilitas Beta Karoten... 9

Crude Palm Oil (CPO)...9

Komponer Minor CPO...9

Red Palm Oil (RPO)... 10

In Vivo... 11

Tikus Sprague Dawley...11

III. METODE Waktu dan Tempat...12

Alat dan Bahan...12

Prosedur... 13

1. Proses Pembuatan RPO dari CPO...13

2. Proses Pembuatan Isolat Beta Karoten dari CPO... 13

3. Penelitian Menggunakan Hewan Percobaan Tikus...13

4. Rancangan Percobaan... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Minyak Sawit Merah (RPO)... 18

Pembuatan Isolat Beta Karoten...19

Intake Ransum Tikus... 20

Pertumbuhan Tikus... 23

Perubahan Berat Badan Tikus per Hari... 27

Berat Badan Akhir... 28

(11)

xi

V. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan... 32

Saran ...32

VI. DAFTAR PUSTAKA... 33

VI. LAMPIRAN 1. Kadar Air ransum dan sisa ransum... 35

2. Persiapan standar Retinol...35

3. Prosedur Pembedahan dan Pengambilan Darah Tikus... 36

4. Metode Ekstraksi Pada Plasma Darah... 36

5. Uji deskriptif rata-rata intake ransum kelompok kontrol...37

6. Uji beda rata-rata intake ransum kelompok kontrol... 37

7. Uji deskriptif rata-rata intake ransum kelompok pemurnian CPO... 37

8. Uji beda rata-rata intake ransum kelompok pemurnian CPO... 38

9. Uji deskriptif rata-rata berat badan tikus pada awal pemeliharaan, akhir masa adaptasi, akhir masa deplesi, dan akhir masa replesi kelompok kontrol... 38

10. Uji beda rata-rata berat badan tikus pada awal pemeliharaan, akhir masa adaptasi, akhir masa deplesi, dan akhir masa replesi kelompok kontrol... 38

11. Uji deskriptif rata-rata berat badan tikus pada awal pemeliharaan, akhir masa adaptasi, akhir masa deplesi, dan akhir masa replesi kelompok pemurnian CPO ...39

12. Uji deskriptif rata-rata berat badan tikus pada awal pemeliharaan, akhir masa adaptasi, akhir masa deplesi, dan akhir masa replesi kelompok pemurnian CPO ...39

13. Uji beda rata-rata berat badan tikus pada awal pemeliharaan, akhir masa adaptasi, akhir masa deplesi, dan akhir masa replesi kelompok pemurnian CPO ...39

14. Uji deskriptif rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok kontrol... 39

15. Uji beda rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok kontrol... 40

16. Uji deskriptif rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok pemurnian CPO ...40

17. Uji beda rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok pemurnian CPO...40

18. Uji deskriptif rata-rata efisiensi ransum kelompok kontrol... 40

19. Uji beda rata-rata efisiensi ransum kelompok kontrol... 41

20. Uji deskriptif rata-rata efisiensi ransum kelompok pemurnian CPO...41

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Daftar aktivitas beberapa antioksidan... 8

2. Komposisi asam lemak penyusun minyak sawit kasar...9

3. Komponen-komponen Minor dalam Minyak Kelapa Sawit... 10

4. Komposisi zat gizi diet standar tikus... 15

5. Komposisi untuk 1 gram vitamin campuran... 15

6. Jenis diet per kelompok tikus...16

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Degradasi beta karoten...8

2. Diagram alir pembuatan RPO...13

3. Diagram alir pembuatan isolat beta karoten... 13

4. Fraksi olein CPO, RPO, dan isolat...19

5. Intake ransum tiap kelompok selama pemeliharaan... 21

6. Berat badan tikus awal pemeliharaan... 23

7. Berat badan tikus selama masa adaptasi... 24

8. Berat badan tikus selama masa deplesi...25

9. Berat badan tikus selama masa replesi...26

10. Perubahan berat badan tikus per hari selama perlakuan... 27

11. Berat badan tikus pada akhir masa adaptasi, deplesi, dan replesi...29

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan penduduknya yang mempunyai angka kelahiran tinggi, sekitar 1.35% per tahun, sehingga setiap tahun jumlah balita yang ada bertambah secara cepat (BPS, 2001). Beberapa permasalahan yang biasanya timbul di negara berkembang akibat tingginya pertumbuhan penduduk adalah menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Masalah kesehatan ini mempunyai jangkauan yang luas, karena mengena tidak hanya pada orang dewasa saja, tetapi juga pada anak-anak dan balita.

Tahun 2004, pada pertemuan Program Advokasi Perbaikan Gizi menuju Keluarga Sadar Gizi, Azwar mengemukakan bahwa balita merupakan golongan yang rawan terkena gangguan kesehatan, baik karena masalah gizi dan penyakit (patologi). Salah satu permasalahan gizi yang sering terjadi pada balita adalah defisiensi vitamin A (You et.al, 2002), oleh karena itu pemerintah mempunyai program untuk masyarakat melalui posyandu dengan memberikan kapsul vitamin A dosis tinggi setiap enam bulan sekali. Pemberian kapsul vitamin A dibagi menurut dua kelompok umur, yaitu umur 0-1 tahun sebesar 100.000 IU dan 1-5 tahun sebesar 200.000 IU (Depkes, 2000).

Seiring pertambahan umur, balita-balita ini akan bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang juga merupakan golongan umur rawan terkena masalah gizi yang berkaitan dengan defisiensi vitamin A. Rawannya kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, pertama adalah permasalahan kesulitan makan. Golongan umur anak-anak cenderung masih memilih-milih makanan (picky eaters) (Judarwanto, 2007). Kesulitan makan ini memungkinkan tubuh kurang mendapat asupan gizi yang cukup. Selain itu, kurang cukupnya pengetahuan orang tua tentang gizi menyebabkan penyediaan makanan yang sarat dengan gizi lengkap tidak selalu terpenuhi. Terlebih lagi pelayanan pemberian kapsul vitamin A yang sudah tidak didapatkan lagi oleh beberapa anak dari posyandu. Keadaan ini menyebabkan banyak anak yang mengalami defisiensi vitamin A (Azwar, 2004). Anak-anak yang mengalami defisiensi vitamin A tidak hanya terkena masalah gizi, tetapi juga masalah imunitas jika defisiensi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan, penurunan

(15)

kekebalan sehingga lebih mudah terserang oleh penyakit (Depkes, 2000).

Kondisi tubuh yang tidak mampu mensintesis vitamin A sendiri menjadikan vitamin A mutlak harus dipenuhi dari makanan. Dengan jumlah balita dan anak-anak di Indonesia yang cukup besar, perlu diupayakan sumber alternatif vitamin A dalam jumlah besar yang dapat membantu mengatasi kebutuhan vitamin A. Salah satu sumber alternatif vitamin A yang berpotensi adalah beta karoten dari Industri minyak goreng.

Pada industri minyak goreng, pengolahan bahan baku yaitu Minyak Sawit Kasar/ Crude Palm Oil (CPO) menjadi minyak goreng melalui salah satu proses yang dinamakan bleaching (pemutihan). CPO yang bewarna merah, setelah mengalami

bleaching akan menjadi lebih terang (kuning keemasan). Bleaching ini dengan

sengaja dilakukan agar dapat mencapai syarat mutu produk minyak goreng dan juga memenuhi keinginan konsumen. Padahal, warna merah tersebut adalah warna yang dihasilkan oleh pigmen karotenoid yang sebagian besar adalah beta karoten. Beta karoten yang sudah melalui tahap bleaching akan kehilangan potensinya sebagai provitamin A.

Potensi beta karoten yang dapat rusak karena proses bleaching ini diupayakan untuk tetap dipertahankan dengan cara mengisolasi beta karoten dari CPO terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar hasil dari isolasi ini dapat dijadikan sebagai sediaan vitamin A. Sediaan vitamin A yang dapat diperoleh dari beberapa tahapan pemurnian CPO antara lain adalah RPO dan isolat. Dari produk pemurnian CPO ini, selanjutnya dilihat potensi biologisnya sebagai provitamin A sehingga diharapkan dapat menjadi sumber vitamin A yang setara dengan sumber-sumber vitamin A yang sudah ada.

(16)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui bioavailabilitas vitamin A yang bersumber dari vitamin A murni, beta karoten, RPO, isolat, dan mikrokapsul dengan menggunakan model hewan percobaan yaitu tikus

Tujuan khusus

1. Mengetahui proses pembuatan RPO dari bahan dasar CPO, Isolat, dan mikrokapsul

2. Mengetahui intake ransum tikus per hari diberikan diet mengandung vitamin A yang berasal dari RPO, isolat, dan mikrokapsul menggunakan vitamin A murni dan beta karoten sebagai kontrol

3. Mengetahui bioavailabilitas beta karoten dengan mengamati perubahan berat

badan tikus yang diberikan berbagai macam jenis diet sumber vitamin A.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keragaman sumber-sumber beta karoten dan bentuk sediaan beta karoten yang potensial agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya anak-anak sehingga dapat menurunkan resiko kejadian defisiensi vitamin A pada anak-anak.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Vitamin A

Vitamin A adalah senyawa organik yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah relatif kecil tetapi sangat penting untuk menjaga kesehatan. Sekitar tahun 1909, pada awalnya vitamin A diduga hanya sebagai zat larut lemak yang esensial bagi kehidupan. Tahun 1919, Mccollum memberi nama A dan menganggapnya hanya seperti halnya ekstrak lemak, tetapi pada tahun 1920 oleh Drummond dinamakan vitamin A. Vitamin A bisa ditemukan dalam tiga bentuk yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehida), dan bentuk asamnya yaitu asam retinoat (Linder, 1992).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena tidak dapat diproduksi sendiri dalam tubuh. Umumnya, tubuh mendapat asupan vitamin A dari bahan makanan alami (hati, kuning telur, dan juga ASI), bahan makanan yang diperkaya dengan vitamin A, dan kapsul vitamin A dosis tinggi (Depkes, 2000). Vitamin A dalam makanan biasanya dalam bentuk beta karoten dan retinal, masing-masing berasal dari bahan nabati dan hewani. Bahan makanan juga banyak mengandung banyak karotenoid lain hanya saja sedikit yang mempunyai aktivitas provitamin. Kebutuhan vitamin A setiap individu berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti halnya umur, jenis kelamin dan juga kondisi fisiologis.

Fungsi Vitamin A

Manfaat vitamin A sudah banyak dipelajari secara intensif dalam beberapa tahun terakhir ini dan banyak memberi keterangan tentang aktivitasnya. Empat fungsi utama dari vitamin A yaitu untuk penglihatan, diferensiasi sel-sel epitel, pertumbuhan dan reproduksi. Peranan utama vitamin A dalam penglihatan adalah membentuk rodopsin. Rodopsin ini berfungsi sebagai penerima langsung energi cahaya selama melihat dalam cahaya redup atau tidak berwarna. Fungsi vitamin A dalam diferensiasi sel dengan memelihara fungsi sel dan juga menjaga perkembangannya. Defisiensi vitamin A sudah lama diketahui menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel kolumnar epitel dengan lapisan tebal, bertanduk di banyak bagian tubuh. Lapisan epitelium ini termasuk keratinisasi lapisan kornea, paru-paru, kulit, dan mukosa intestin. Pada mukosa

(18)

2

usus terjadi penurunan yang drastis pada jumlah sel goblet dalam kript intestin dan permukaan vili (Linder, 1992).

Pertumbuhan tulang dipengaruhi oleh vitamin A, yaitu dengan menyesuaikannya melalui proses remodeling. Vitamin A esensial untuk aktifitas sel-sel dalam tulang rawan epifise untuk menjaga siklus pertumbuhan yang normal, maturasi (pematangan), dan degenerasi. Resorpsi tulang akan berhenti pada saat keadaan defisiensi, walaupun tidak ada kerusakan dalam proses kalsifikasi (Linder, 1992). Vitamin A juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas). Anak-anak yang cukup mendapat asupan vitamin A, bila terkena diare, campak, atau penyakit infeksi lainnya tidak akan cepat menjadi parah, sehingga tidak sampai membahayakan jiwa anak (Depkes, 2000).

Penelitian yang sudah ada juga mengemukakan bahwa Vitamin A berperan langsung terhadap pertumbuhan. IGF (Insulin-like Gowth Factor), sebagai hormon yang berperan dalam pembelahan sel, diferensiasi jaringan, dan perangsang pertumbuhan, keberadaanya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keberadaan hormon insulin, tahapan diferensiasi, dan status gizi (Fu, et al., 2001). Penurunan status gizi seperti salah satunya karena pembatasan makanan dapat mempengaruhi konsentrasi IGF. Pemberian diet non vitamin A selama 14 hari tidak mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pada burung puyuh, tetapi menurunkan konsentrasi IGF (Insulin-like Gowth Factor) dalam serum. Bila diet non vitamin A ini dilanjutkan sampai 21 hari, maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada burung puyuh (Fu, et al., 2001). Penelitian pengaruh vitamin A terhadap pertumbuhan juga telah dilakukan pada manusia. Pemberian vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan linier pada anak-anak usia batita dan balita (Hadi et al., 2010).

Metabolisme Beta Karoten dan Vitamin A

Vitamin A dari makanan, terutama yang masih dalam bentuk beta karoten diserap ke dalam tubuh melalui dinding usus halus. Penyerapan beta karoten yang efisien membutuhkan pembebasan dari endogen protein atau deesterfikasi serta adanya lemak makanan lainnya dan asam empedu yang terekskresi. Di dalam usus halus, juga sedikit di dalam hati, sebagian beta karoten dipecah menjadi unit retinal (mungkin juga menjadi retinoid dengan rantai cabang lebih panjang) dan

(19)

2

semua diinkorporasikan menjadi kilomikron untuk diangkut ke hati dan organ lain, melalui limfe dan darah (Linder, 1992).

Konsumsi karoten yang berlebihan tidak mempunyai konsekuensi berlebihan seperti halnya konsumsi retinal yang sangat beracun. Kadar konsentrasi serum sangat bervariasi dan biasanya menggambarkan konsumsi, sedangkan konsentrasi retinol ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan levelnya dipertahankan sangat konstan, kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan. Vitamin A yang terserap berlebih akan disimpan sebagai palmitit atau ester-ester asam lemak lainnya dari retinol dalam hati, sedangkan karoten yang berlebih disimpan dalam jaringan lemak (Linder, 1992).

Retinol dan retinoid lainnya yang disekresi hati ke dalam plasma darah, bersatu dengan Retinol Binding Protein (RBP). Konsumsi seng (Zn) dan protein yang cukup dibutuhkan untuk produksi RBP secara normal. Oleh karena itu, defisiensi Zn dan malnutrisi protein akan mengganggu fungsi vitamin A dengan jalan mencegah tingkat pembebasannya secara normal dari penyimpannya di hati. Pada waktu di dalam plasma, vitamin A-RBP membentuk kompleks dengan prealbumin dalam plasma dengan rasio (1:1), hal ini bertujuan untuk mencegah hilangnya vitamin tersebut saat melalui filtrasi pada glomerula ginjal. Kompleks tersebut membawa vitamin A ke berbagai target sel-sel dimana reseptor yang berada di permukaan sel dapat menjadi perantara dalam pengambilannya dan pemindahan Retinol Binding Protein interseluler (CRBP) (Goodman, 1981 dalam Linder, 1992).

Oksidasi retinol menjadi retinaldehida membutuhkan NAD+ dan bersifat reversibel (bolak-balik), sedangkan perubahan menjadi asam retinoik tidak bersifat reversibel dalam jaringan hewan. Kondisi ini menyebabkan hanya konsumsi retinol, retinal dan perkusornya saja yang dapat menyebabkan penyimpanan vitamin A, hal ini tidak berlaku untuk asam retinoik. (DeLuca dan Shapiro 1981; Roberts, 1981 dalam Linder, 1992). Beta karoten yang berlebihan tidak dikonversi menjadi retinol dan mempunyai pola akumulasi dalam jaringan dan keracunan yang berbeda dengan vitamin A dimana sebagian besar disimpan dalam jaringan lemak di seluruh tubuh. Pada manusia, hal ini akan menyebabkan warna kekuningan pada lapisan jaringan lemak.

(20)

2

Unit dan Standar Vitamin A

Andarwulan dan Sutrisno (1992) menyatakan bahwa beta karoten di dalam tubuh diubah menjadi vitamin A. Dalam sistem RE, pengukuran dilakukan terhadap jumlah karoten yang diserap, sehingga menunjukkan derajat konversi beta karoten menjadi vitamin A. Konversi beta karoten bila dihubungkan dengan sistem IU (berdasarkan berat), mempunyai aktivitas vitamin A (retinol) 50%, sedangkan provitamin lainnya mempunyai aktifitas 25% retinol. Retinol diserap secara sempurna dalam usus halus, sedangkan hanya 1/3 dari karotenoid yang dikonsumsi diserap tubuh. Sejumlah karoten yang diserap tersebut, hanya ½ dari beta karoten dan ¼ dari provitamin lainnya dikonversi menjadi retinol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa beta karoten mempunyai 1/6 aktivitas retinol dan karotenoid lainnya hanya mempunyai 1/12 aktivitas retinol.

Nilai vitamin A dapat dikonversi menjadi retinol ekuivalen sebagai berikut : 1 RE vitamin A = 1 µg retinol

= 6 µg beta karoten

= 12 µg provitamin A karotenoid lain = 3.33 IU retinol

= 10 IU beta karoten

Beta Karoten

Beta karoten merupakan senyawa organik yang tidak larut dalam air dan pelarut organik yang bersifat polar seperti metanol dan etanol. Beta karoten masuk dalam golongan pigmen karotenoid yang mempunyai aktifitas biologis sebagai provitamin A. Beta karoten merupakan provitamin A yang paling potensial, beta karoten ekuivalen dengan 2 buah molekul vitamin A (Andarwulan, 1989). Pemecahan terjadi terutama di dalam usus halus pada saat penyerapannya (Linder, 1992). Sumber-sumber beta karoten umunya terdapat pada produk nabati. Sayuran serta buah-buahan yang berwarna hijau, kuning dan merah merupakan mensyaratkan adanya kandungan beta karoten. Beberapa minyak nabati juga mempunyai kandungan beta karoten yang tinggi, terutama minyak kelapa sawit.

(21)

2

Dalam golongan karotenoid, hanya sebagian yang mempunyai aktifitas biologi seperti beta karoten (Andarwulan, 1989). Tabel 1 memperlihatkan aktivitas beberapa provitamin A relatif terhadap beta karoten, sedangkan rasio beta karoten sendiri terhadap bentuk aktif vitamin A ditetapkan dengan rasio 1:6. Tabel 1 Daftar aktivitas beberapa antioksidan

No Zat-zat karoten Aktivitas provitamin A relatif (%)

1 Beta karoten 100

2 Alfa karoten 50-54

3 Gamma karoten 42-50

4 β Zeakaroten 20-40

5 Beta karoten -5-6-mono-epoksi 21

6 3,4 Dehidro beta karoten 75

7 Lutein 0

Sumber : Linder (1992)

Stabilitas Beta Karoten

Beta karoten merupakan senyawa organik yang tidak stabil, tetapi cenderung lebih stabil bila dibandingkan dalam bentuk vitamin A nya. Hal ini dikarenakan kondisi beta karoten di alam yang berikatan dengan senyawa lain membentuk dispersi koloid dalam lemak atau membentuk kompleks dengan protein sehingga lebih terjaga dari oksigen. Beta karoten mudah rusak dalam kondisi terekspos cahaya, suhu tinggi, dan akan lebih banyak lagi kerusakannya bila terdapat oksigen (Andarwulan, 1989). Golongan senyawa karotenoid yang paling tinggi aktifitas provitamin A nya adalah isomer trans beta karoten yaitu 100%. Kerusakan beta karoten lebih kepada perubahan struktur trans beta karoten menjadi isomer yang berbeda-beda tergantung faktor yang mempengaruhi (kondisi reaksinya), hal ini menyebabkan aktifitas provitaminnya berkurang, bahkan bisa menjadi tidak ada lagi. Dalam Gambar 1 diperlihatkan perubahan struktur trans beta karoten.

Gambar 1 Degradasi beta karoten (Andarwulan,1989)

(22)

2

Bioavailabiltas Beta Karoten

Bioavailabilitas dapat diartikan sebagai proporsi dari zat gizi yang dapat digunakan oleh tubuh untuk proses metabolisme dari sejumlah zat gizi yang telah dicerna. Dari pengertian ini, bioavailabilitas beta karoten dapat dijelaskan sebagai kecepatan dari beta karoten untuk diserap sehingga tersedia dalam tubuh dan mempunyai fungsi biologis sebagai provitamin A dari sejumlah beta karoten yang dikonsumsi oleh makhluk hidup (You, 2002).

Crude Palm Oil (CPO)

Crude Palm Oil atau Minyak Sawit Kasar (MSK) dalam istilah lain adalah

salah satu bentuk dari hasil ekstraksi dari buah kelapa sawit bagian mesokarp (Kang, 2007). Minyak Sawit Kasar merupakan hasil ekstraksi paling awal yang masih mengandung berbagai komponen seperti trigliserida, mono dan digliserida, asam lemak bebas, air, kotoran dan komponen minor. Minyak Sawit Kasar juga terdiri dari beberapa asam lemak penyusun yang komposisinya dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi asam lemak penyusun minyak sawit kasar Asam lemak ∑ rantai karbon

utama Komposisi (%) Laurat C12:0 0.2% Miristat C14:0 1.1% Palmitat C16:0 44.0% Stearat C18:0 4.5% Oleat C18:1 39.2% Linoleat C18:2 10.1% Lainnya - 0.9% Sumber : Kang (2007)

Komponen Minor CPO

Komponen minor merupakan golongan non gliserida dalam minyak sawit kasar yang larut dalam lemak, termasuk di dalamnya adalah asam lemak bebas, fosfolipid, logam, sterol dan produk hasil oksidasi. Beberapa senyawa ini selama proses menjadi minyak goreng akan dibuang melalui beberapa tahapan pengolahan, kecuali vitamin E karena dapat mencegah oksidasi (Kang, 2007).

Beberapa komponen minor yang mempunyai manfaat bagi kesehatan adalah golongan karotenoid dan tokol (tokoferol dan tokotrienol), karena dapat bertindak sebagai anti oksidan yang kuat. Keberadaan karotenoid dan tokotrienol

(23)

2

inilah yang membedakan minyak sawit dengan minyak konsumsi yang lain, terutama dari kelompok minyak nabati (Rao, 2007). Dalam Tabel 3 diperlihatkan kandungan beberapa komponen minor dalam minyak kelapa sawit.

Tabel 3 Komponen-komponen Minor dalam Minyak Kelapa Sawit

Minor komponen ug/g

Total karotenoid 700 Karoten 500 Tokol 1.172 Tokoferol 642 Tokotrienol 530 sterol 491 Sumber: Rao (2007)

Red Palm Oil (RPO)

Red Palm Oil (RPO) atau bisa disebut juga minyak sawit merah adalah

minyak fraksi olein yang merupakan hasil fraksinasi minyak kelapa sawit dan aman untuk dikonsumsi oleh manusia serta tidak menyebabkan hipervitaminosis A (Benade, 2003). RPO berwarna kuning sampai jingga. Minyak kelapa sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5°-7°C dapat terpisah menjadi dua bagian (fraksi), yaitu fraksi cair yang disebut olein dan fraksi padat yang disebut stearin. Secara keseluruhan, proses pemurnian minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) dan 0.5% buangan (www.bbj-jfx.com dalam Wulandari 2006).

Minyak sawit merah diperoleh dari buah kelapa sawit. Warna merah pada minyak sawit merah diakibatkan oleh kandungan senyawa yang ada juga pada tomat, yaitu karotenoid. Minyak sawit merah mempunyai beberapa kandungan zat gizi yaitu: beta karoten, alfa karoten, vitamin E (tokotrienol), likopen, dan karotenoid lainnya (anonymous, 2007). RPO merupakan sumber provitamin A terbesar (karotenoid) dari tanaman dan yang aman untuk dikonsumsi secara langsung. RPO sudah digunakan di berbagai negara untuk mengatasi masalah defisiensi vitamin A terutama golongan wanita dan anak-anak (Zeba et al., 2006).

Minyak sawit merah mempunyai kandungan karoten antara 600-1000 ppm yang terdiri dari 36.2% alfa karoten, 54.4% beta karoten, 3.3% gama karoten, sehingga kadar dari dari beta karoten sendiri adalah sekitar 330-550 ppm (Naibaho, 1986 dalam Irawan 2008).

(24)

2

“In vivo”

Penentuan bioavailabilitas beta karoten dapat dilakukan secara “in vivo”. In vivo berasal bahasa latin yang artinya “di dalam kehidupan”. Keunggulan menggunakan metode in vivo adalah lebih sesuai untuk mengobservasi pengaruh secara keseluruhan dari percobaan yang menggunakan subyek makhluk hidup; misalnya hewan percobaan. Hewan percobaan yang biasa digunakan dengan metode in vivo antara lain adalah tikus dan mencit (Wikipedia, 2010).

Tikus Sprague Dawley

Tikus Sprague Dawley (SD) merupakan tikus albino berukuran besar, sifatnya yang sangat jinak menjadikan tikus SD ini mudah untuk ditangani. Tikus SD biasanya digunakan untuk uji toksikologi (Harlan, 2009). Tikus Sprague

Dawley umumnya dapat hidup sampai 25 bulan (Cameron et al, 1982 dalam

Harlan, 2009).

Umumnya penelitian menggunakan tikus Sprague Dawley jantan. Tikus

Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina jarang digunakan karena kondisi

hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005).

Beberapa karakteristik yang dimiliki tikus Sprague Dawley antara lain adalah sifatnya yang aktif pada malam hari dan tidur pada siang hari (Nocturnal), tidak mempunyai kandung empedu (gall bladder), tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah), dan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus juga hampir sama dengan manusia, yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin (Muchtadi 1989).

(25)

2

METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Oktober 2008 sampai Maret 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Analisis Zat Gizi, Laboratorium Biokimia dan Hewan Coba, Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Instrumen, Laboratorium Bio Industri, Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Pengemasan, Departemen Industri pertanian, Laboratorium Hewan Coba SEAFAST, Laboratorium Mikrobiologi PAU Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan RPO antara lain adalah labu ukur, pengaduk kaca, pompa vakum, kertas saring, corong Buchner, dan timbangan analitik. Bahan-bahan yang digunakan adalah fraksi olein CPO yang didapat dari PT Asian Agri Jakarta Pusat, Na2CO3.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan isolat antara lain gelas piala, erlenmeyer, corong Buchner, kertas saring biasa, kertas saring Whatman 40μm, alumunium foil, plastik hitam, pompa vakum, vacuum evaporator, timbangan analitik. Bahan-bahan yang digunakan adalah fraksi olein CPO, absorban (atapulgit), isopropil alkohol (IPA).

Alat yang digunakan untuk analisis vitamin A dengan metode HPLC (High

Performance Liquid Chromatography) terdiri dari pompa HPLC, UV monitor,

integrator Chromatopac, kolom C-18, siring mikro 100 μl, siring HPLC, saringan milipore 0.45 μm, kertas saring nilon 0.45 μm, corong Buchner, pompa vakum, alat sentrifuse, tabung sentrifuse 1.5 ml, pipet tetes, tabung pengencer bertutup, alumunium foil, sonikator, vortex, spektrofotometer UV/Vis. Bahan-bahan yang digunakan adalah plasma darah tikus, heksana, etanol, asetonitril, asam askorbat, gas N2, etanol absolut, fase gerak untuk retinol yang merupakan gabungan dari asetonitril : THF : metanol : air bebas ion dengan perbandingan (65:25:6:4).

Alat pemeliharaan tikus terdiri dari kandang, botol minum, tempat makan tikus, timbangan, baskom plastik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain ransum (tepung tapioka, kasein, minyak goreng, vitamin B kompleks (B1, B3, B5, B6, B9, B12), tablet vitamin D, mineral mix, standar retinol asetat, standar beta karoten, CMC, air). Alat untuk pembedahan tikus adalah gunting, pinset,

(26)

2

jarum suntik, kotak plastik bertutup (Anestheizing Chamber), papan pembedahan dari gabus, termos es, tabung sentrifuge 2 ml, vacotainer, klorofom.

Prosedur

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap-tahapan yang dilakukan meliputi :

1. Proses pembuatan RPO dari CPO

Gambar 2 memperlihatkan tahapan yang dalam pembuatan RPO dari bahan dasar berupa CPO.

Gambar 2 Diagram alir pembuatan RPO

2. Proses pembuatan isolat beta karoten dari CPO

Gambar 3 Diagram alir pembuatan isolat beta karoten

3. Penelitian menggunakan hewan percobaan tikus

Tahap selanjutnya adalah mengaplikasikan produk pemurnian CPO (RPO dan isolat) yang sudah ada dengan menggunakan hewan coba, yaitu tikus jenis

Sprague Dawley jantan berjumlah 36 ekor. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok

besar, dan setiap kelompok utama terdiri dari beberapa kelompok. Kelompok

CPO Fraksinasi Netralisasi fraksi olein Filtrasi RPO

Na 2CO3

Stearin

Isopropanol dan vit A Isopropanol Desorpsi Palmitat Adsorben Adsorben Olein CPO Kristalisasi Adsorbsi Pemisahan Provitamin A Pemekatan Retentat (Vit E) Permeat (Vit A) Konsentrat (Vit E) Konsentrat

(Vit A) Isolat Vit A

(27)

2

besar pertama adalah Kelompok Kontrol, terdiri dari Kontrol Standar, Kontrol Positif Vitamin A, Kontrol Positif Beta Karoten dan Kelompok besar kedua adalah Kelompok Pemurnian CPO, terdiri dari RPO dan isolat.

Umur tikus yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 golongan umur, yaitu 60 hari untuk kelompok kontrol, dan 22 hari (lepas sapih) untuk kelompok pemurnian CPO. Tikus dipelihara dalam kandang metabolik secara terpisah. Ransum diletakkan dalam wadah almunium kecil dalam kondisi semi basah, sedangkan tempat minumnya dari botol. Pemberian makan diberikan secara pair feeding pada pagi hari (jam 10), sedangkan minuman diberikan secara

ad libitum.

Seluruh tikus dipelihara selama 117 hari yang dibagi dalam 3 masa, yaitu adaptasi (11 hari), deplesi (92 hari), dan replesi (14 hari). Adaptasi dilakukan untuk penyesuaian tikus dengan lingkungan dan ransum baru, deplesi digunakan untuk meminimalkan cadangan vitamin A dalam hati, dan replesi digunakan untuk mengembalikan cadangan vitamin A dalam hati. Setelah masa replesi, seluruh tikus dibedah dan diambil darahnya. Pembedahan dan pengambilan darah harus dilakukan secara hati-hati dan dalam keadaan jantung masih berdetak agar darah terpusat di jantung sehingga memudahkan dalam pengambilan darah.

Selama pengambilan darah sampai disentrifuse, diusahakan tidak terjadi hemolisis agar memudahkan pengambilan plasma. Plasma yang didapat kemudian disimpan dalam suhu -20ºC sampai pada waktu dianalisis. Prosedur analisis yang digunakan adalah metode yang ditemukan oleh Neirenberg dan Nann ( 2007). Data yang juga diambil dari penelitian percobaan hewan ini adalah intake ransum dan berat badan tikus. Intake ransum didapat dari selisih jumlah pakan yang diberikan dan sisa ransum setiap hari. Data berat badan didapat dengan menimbang tikus per dua hari sekali.

Deskripsi masing-masing kelompok dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini:

a. Kontrol Standar (KS)

Kelompok ini terdiri dari tikus berumur 60 hari yang dari masa adaptasi sampai akhir masa replesi mendapatkan ransum standar. Ransum standar adalah ransum yang dapat mencukupi kebutuhan zat gizi tikus dan sumber

(28)

2

vitamin A nya didapat dari vitamin A murni dengan jumlah yang dikonsumsi untuk setiap tikus adalah sekitar 100 IU vitamin A/hari (Moore 1969 dalam Meridian 2000). Komposisi zat gizi dalam ransum dapat dilihat dari Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Komposisi zat gizi diet standar tikus

Komponen Jumlah (%) Protein 10 Lemak 8 Mineral 5 Vitamin 1 Selulosa 1 Air 5 Pati s.d 100 Sumber: AOAC (1990)

Tabel 5 Komposisi untuk 1 gram vitamin campuran

Jenis vitamin Jumlah

Vitamin D 200 IU Asam nikotinamid 4 mg Ca-pantotenat 4 mg Thiamine, HCl 0.5 mg Piridoksin, HCl 0.5 mg Asam folat 0.2 mg Vitamin B12 0.003 mg

Glukosa Sampai 1 gram

Sumber: Modifikasi AOAC (1990)

b. Kontrol Positif Vitamin A (KPva)

Kelompok ini terdiri dari tikus berumur 60 hari yang mengalami masa deplesi dan pada masa replesi diberikan diet standar yang sumber vitamin A nya hanya dari vitamin A murni. Kelompok ini bertindak sebagai pembanding.

c. Kelompok Kontrol Positif Beta Karoten (KPbk)

Kelompok ini terdiri dari tikus berumur 60 hari yang mengalami masa deplesi dan pada masa replesi diberikan diet yang sumber vitamin A nya berasal dari beta karoten murni. Kelompok ini bertindak sebagai pembanding. d. Kelompok RPO

Kelompok ini terdiri dari tikus lepas sapih berumur 22 hari yang menjalani masa deplesi dan pada masa replesi mendapatkan asupan vitamin A yang berasal dari RPO. Pemberian RPO dilakukan dengan ditambahkan pada ransum yang jumlahnya sama seperti pada ransum standar.

(29)

2

e. Kelompok Isolat Beta Karoten (Isolat)

Kelompok ini terdiri dari tikus lepas sapih berumur 22 hari yang menjalani masa deplesi. Pada masa replesi mendapatkan asupan vitamin A yang berasal dari isolat beta karoten. Pemberian isolat sama dilakukan dengan ditambahkan pada ransum yang jumlahnya sama seperti pada ransum standar. Masa perlakuan dan jenis diet yang diberikan kepada setiap kelompok secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis diet per kelompok tikus

Masa

Kelompok Kelompok kontrol Vitamin A

dan Beta Karoten (Kontrol)

Kelompok Pemurnian CPO

KS KPva KPbk RPO Isolat

Masa adaptasi

(11 hr) StandarDiet standarDiet standarDiet standarDiet standarDiet Masa deplesi (92 hr) standarDiet Diet non Vit A Diet non

Vit A Diet nonVit A Diet nonVit A Masa replesi

(14 hr) standarDiet Vit ADiet

Diet beta karoten

Diet

RPO IsolatDiet Rancangan Percobaan

Rancangan perrcobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu factor (jenis pengolahan). Analisa data menggunakan software SPSS 13.0 for Windows secara deskriptif dan dengan uji anova dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan untuk mengetahui pengaruh faktor pengolahan terhadap bioavailabilitas beta karoten. Serta menggunakan uji-t saling bebas untuk mengetahui perbandingan nilai tengah yang menyatakan perbedaan bioavailabilitas beta karoten pada tiap bentuk sediaan beta karoten.

Untuk rancangan acak lengkap, model umum yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij Dimana :

Yij : Nilai bioavailabilitas beta karoten pada uji ke-i ulangan ke-j

µ : Nilai rata-rata bioavailabilitas beta karoten berdasarkan perubahan berat badan

τi : Pengaruh pengolahan ke-i terhadap bioavailabilitas beta karoten

(30)

2

εij : Galat satuan percobaan pada uji ke-i ulangan ke-j Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

Bioavailabilitas beta karoten beberapa pengolahan yang diuji melalui pemberian dalam ransum menghasilkan bioavailabilitas yang berbeda pada tikus.

H0 : τi = 0, artinya bahwa tidak ada perbedaan bioavailabilitas beta karoten antar bentuk pengolahan

H : τi ≠ 0, artinya bahwa paling tidak terdapat satu pasang bentuk pengolahan yang berbeda bioavailabilitas beta karotennya.

Untuk Uji-T, hipotesis yang diuji adalah :

H0 : μi = μi, artinya bahwa tidak terdapat perbedaan bioavailabilitas setelah mengalami pengolahan

H1 : μi ≠ μi, artinya bahwa terdapat perbedaan bioavailabilitas setelah mengalami pengolahan

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Minyak Sawit Merah (RPO)

Minyak sawit merah (RPO) merupakan produk sediaan berbahan dasar minyak sawit kasar (CPO) dengan pengolahan paling sederhana tetapi sudah aman untuk dikonsumsi (Benade, 2003). Proses pembuatan RPO menggunakan metode yang dipakai oleh Susilawati et.al. Pembuatan RPO dimulai dari fraksinasi untuk mendapatkan fraksi olein dari CPO. Fraksi olein yang didapat dalam penelitian ini mengandung beta karoten sebesar 158 ppm. Kandungan beta karoten fraksi olein ini termasuk sangat rendah. Kandungan beta karoten fraksi olein CPO biasanya berkisar antara 330-550 ppm (Naibaho, 1986 dalam Irawan, 2008). Hal ini disebabkan kondisi fraksi olein yang didapatkan sudah cukup lama. Penyimpanan dalam waktu lama dalam kondisi terekspos oksigen dan juga pH rendah akibat keberadaan asam lemak bebas dapat merusak kandungan beta karoten, sehingga kandungan beta karotennya menurun cukup besar (Muchtadi, 1989).

Proses fraksinasi CPO ini dilanjutkan dengan netralisasi menggunakan Na2CO3 14% sebanyak 24% (v/v), lalu diaduk. Asam lemak tersabunkan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring whatman 0.42 µm secara vakum. Filtrat yang ada kemudian ditampung sebagai RPO.

Selama penyimpanan, RPO dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap yang dibungkus alumunium foil dan diisi dengan gas N2 pada bagian headspace.

Pengisian gas N2 bertujuan untuk menggantikan udara bebas yang ada pada

headspace, sehingga kontak dengan oksigen dapat dikurangi dan kerusakan beta

karoten akibat oksidasi oleh oksigen dapat diminimalisir (Andarwulan, 1989). Tampilan fisik dari fraksi olein CPO dan RPO diperlihatkan pada Gambar 4. Dapat dilihat bahwa intensitas warna dari keduanya hampir sama, hal ini dikarenakan proses dari CPO untuk menjadi RPO tidak banyak mempengaruhi kadar beta karoten dari fraksi olein CPO. Beta karoten sebagai pigmen yang bertanggung jawab terhadap warna merah CPO dan produk pemurniannya menghasilkan produk akhir yang mempunyai intensitas warna hampir sama (Anonymous, 2007).

(32)

2

Gambar 4. (a).Fraksi Olein CPO, (b).RPO, (c).Isolat beta karoten

Pembuatan Isolat Beta Karoten

Isolat beta karoten merupakan sediaan beta karoten yang mempunyai kandungan beta karoten cukup tinggi. Bahan dasar isolat beta karoten berasal dari Fraksi olein CPO yang sama dengan yang digunakan untuk pembuatan RPO. Isolat beta karoten dibuat melalui beberapa tahapan proses yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Irawan, 2008).

Pembuatan isolat dimulai dengan fraksinasi CPO untuk mendapatkan fraksi oleinnya. Fraksi olein yang didapat kemudian ditambahkan standar α-tokoferol sampai 500 ppm dan BHT. Tahap selanjutnya ditambahkan absorben (atapulgit) untuk proses absorpsi beta karoten. Fraksi olein dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang terlebih dahulu dilapisi plastik warna hitam agar tidak terekspos cahaya. Atapulgit ditambahkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup untuk kemudian digoyang (shaking) dalam watherbath selama 71 menit dengan laju 120 rpm dengan suhu 55°C. Dalam proses ini, beta karoten yang ada dalam fraksi olein diserap oleh atapulgit. Setelah selesai, didiamkan sampai dingin kemudian disaring untuk mendapatkan atapulgitnya. Proses penyaringan ini menggunakan kertas saring biasa dan dibantu dengan pompa vakum. Selama penyaringan, corong buchner ditutup dengan alumunium foil untuk mengurangi ekspos cahaya. Atapulgit yang telah mengikat beta karoten kemudian didesorpsi menggunakan

(33)

2

iso propil alkohol (IPA) untuk mendapatkan kandungan beta karotennya. Atapulgit dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian dilarutkan ke dalam IPA dan digoyang kembali dalam watherbath selama 71 menit dengan laju 180 rpm dalam suhu 55°C. Beta karoten yang terdapat dalam atapulgit selama proses ini akan teresktrak dan akan larut dalam pelarut IPA. Setelah selesai, didinginkan sebentar dan kemudian disaring kembali dengan menggunakan kertas whatman 0.42µm untuk diambil filtratnya.

Filtrat yang dihasilkan merupakan pelarut IPA yang didalamnya sudah terkandung beta karoten terlarut. Filtrat yang didapat kemudian dipekatkan dengan menggunakan vacuum evaporator untuk menjadi isolat beta karoten. Hasil dari pemekatan ini adalah beta karoten yang terkandung di dalam beberapa fraksi olein yang bertindak sebagai ikutan sekaligus sebagai pelarut. Kadar beta karoten isolat yang didapat dari penelitian ini sebesar 272 ppm. Kadar beta karoten ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar beta karoten dari fraksi olein yang sebesar 158 ppm atau hampir sekitar dua kali konsentrasi awal. Gambar 4 memperlihatkan intesitas warna yang dihasilkan oleh isolat lebih pekat daripada yang dihasilkan oleh fraksi olein CPO maupun RPO. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar beta karoten, semakin pekat warna merah yang dihasilkan.

Pada pembuatan isolat ini terdapat beberapa kendala, yaitu pada tahap pemisahan atapulgit dengan fraksi olein CPO. Pemisahan yang kurang optimal menyebabkan pada saat desorpsi dan pemekatan, masih terdapat fraksi olein dalam jumlah cukup banyak sebagai ikutan (pelarut). Banyaknya jumlah pelarut menyebabkan kadar beta karoten dalam isolat menjadi rendah.

Intake Ransum Tikus Masa Adaptasi

Intake ransum tikus masing-masing kelompok pada masa adaptasi dapat dilihat pada Gambar 5. Rata-rata intake ransum tikus pada masing-masing kelompok terlihat berbeda-beda, tetapi uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata baik pada kelompok kontrol maupun pemurnian CPO. Secara deskriptif, dapat dilihat intake ransum tikus pada semua kelompok kontrol lebih rendah daripada kelompok perlakuan pemurnian CPO. Secara

(34)

2

keseluruhan, rata-rata intake tikus ransum kelompok pemurnian CPO (14.63g) lebih besar dibanding rata-rata intake ransum kontrol (13.23g).

Nilai intake ransum dalam penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Hernawan (2007), yaitu sekitar 13g ransum kering. Intake yang besar ini dapat disebabkan karena jenis pakan yang diberikan berupa pelet kering (ransum kering). Pelet kering, biasanya digunakan oleh banyak pembiak, sehingga tikus lebih terbiasa untuk mengkonsumsinya. Selain itu, pelet kering mempunyai daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan ransum basah.

Pemberian ransum pada tikus memang harus dipertimbangkan sebaik mungkin, yaitu berkaitan dengan jenis ransum dan waktu pemberian makan. Tikus merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), sehingga memang lebih tepat bila ransum diberikan pada waktu sore menjelang malam, sehingga bisa lebih selaras dengan pola aktivitasnya. Jenis ransum dan waktu pemberian ransum pada penelitian ini memang mempertimbangkan dengan kegiatan penelitian yang lain, sehingga didapatkan pada pagi hari dengan jenis ransum basah. Akibatnya rentang waktu konsumsi ransum tidak begitu panjang, dan sisa ransum basah menjadi lebih mudah busuk pada waktu malam hari. Ransum yang sudah busuk ini akan mengurangi selera makan tikus.

Gambar 5.Intake ransum tiap kelompok selama pemeliharaan

(35)

2

Masa Deplesi

Periode deplesi dalam penelitian ini dicapai dalam waktu 91 hari. Selama masa deplesi, tikus mendapatkan ransum yang tidak mengandung vitamin A didalamnya, kecuali sub kelompok kontrol standar (KS). Intake ransum tikus masing-masing kelompok pada masa deplesi dapat dilihat pada Gambar 5.

Intake ransum kedua kelompok utama pada masa deplesi mengarah ke pola yang berbeda. Intake ransum pada kelompok standar semakin menurun, sedangkan pada kelompok pemurnian CPO semakin meningkat. Uji beda terhadap intake ransum tikus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada kelompok besar kontrol dan pemurnian CPO. Secara deskriptif intake ransum kelompok besar pemurnian CPO (17.16g) lebih besar dibanding intake ransum kelompok besar kontrol (10.35g).

Faktor yang memungkinkan rendahnya intake ransum kelompok standar adalah kondisi fisik tikus. Selama pengamatan, terutama dua minggu sebelum deplesi berakhir, terjadi penurunan kondisi fisik tikus-tikus kelompok besar kontrol. Kulit tikus mulai terluka dan aktivitasnya menurun. Seperti pada manusia, terganggunya kondisi fisik akan menyebabkan penurunan selera makan yang ditandai dengan intake makanan yang lebih sedikit dibanding pada waktu kondisi sehat (Azwar, 2004).

Masa Replesi

Tikus diberi ransum sampai pada masa replesi. Masa ini merupakan masa akhir pemeliharaan tikus, setelah itu tikus dibedah untuk keperluan analisis selanjutnya. Ransum yang diberikan sudah mengandung kandungan vitamin A. Masing-masing kelompok tikus kembali diberi asupan vitamin A dari sumber yang sesuai dengan prosedur di awal.

Jumlah ransum yang dikonsumsi oleh masing-masing kelompok dapat dilihat pada Gambar 5. Setelah memasuki masa replesi, intake ransum pada semua kelompok menunjukkan penurunan. Dari keseluruhan masa pemeliharaan, terlihat bahwa intake ransum kelompok standar selalu lebih lebih kecil daripada kelompok pemurnian CPO.

Uji beda terhadap intake ransum pada masa replesi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok besar kontrol maupun

(36)

2

kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, rata-rata intake ransum kelompok besar perlakuan (14.86g) lebih besar dibanding kelompok besar standar (9.56g).

Pertumbuhan Tikus Awal Pemeliharaan

Kondisi tikus pada awal pemeliharaan terlihat normal, baik dari fisik maupun perilakunya. Tikus menunjukkan perilaku yang normal dan tidak terlihat stres. Berat badan rata-rata kelompok tikus pada awal pemeliharaan cukup beragam. Rata-rata berat badan awal tiap-tiap kelompok sepanjang masa adaptasi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Berat badan tikus awal pemeliharaan

Uji beda terhadap variabel berat badan tikus pada awal pemeliharaan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata di dalam tiap kelompok besar. Data berat badan awal tikus bila dilihat secara deskriptif, menunjukkan bahwa rata-rata berat badan awal kelompok standar lebih tinggi dibanding dengan kelompok pemurnian CPO. Perbedaan berat badan yang besar ini dikarenakan oleh perbedaan umur yang cukup banyak, yaitu sekitar 36 hari, tetapi pada masa adaptasi ini kedua kelompok besar masih dalam masa pertumbuhan. Secara keseluruhan, berat badan rata-rata pada awal pemeliharaan adalah 136.3g untuk kelompok besar control dan 66.9g untuk kelomok besar pemurnian CPO.

(37)

2

Masa Adaptasi

Berat badan tikus semua kelompok terus meningkat selama masa adaptasi. Berat badan dari semua kelompok pada masa adaptasi menunjukkan pola yang sama, yaitu semakin meningkat dengan kecepatan pertumbuhan yang relatif sama sampai hari ke-11 masa adaptasi. Ditunjukkan dengan slope yang positif dan kemiringan yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa tikus dari kedua kelompok utama memang masih dalam masa pertumbuhan. Dapat dilihat pada Gambar 7, grafik berat badan yang mengarah kepada pertumbuhan.

Gambar 7. Berat badan tikus selama masa adaptasi

Masa Deplesi

Berat badan tikus saat memasuki masa deplesi ditunjukkan oleh Gambar 8 dan terlihat mulai berbeda pada kedua kelompok utama. Berat badan kelompok kontrol cenderung konstan dan mulai menurun sekitar hari ke-66 masa deplesi sedangkan pada kelompok pemurnian CPO terus meningkat. Peningkatan berat badan kelompok pemurnian CPO terus terjadi pada masa deplesi secara cepat dan bahkan melebihi kelompok besar kontrol. Berat badan kelompok besar pemurnian CPO baru menurun pada saat memasuk hari ke-69 masa deplesi. Faktor yang dapat mempengaruhi pola perubahan berat badan tikus selama masa deplesi ini adalah cadangan vitamin A dalam tubuh tikus. Tikus kelompok pemurnian CPO merupakan tikus yang mulai dipelihara dari kondisi lepas sapih (24 hari). Sehingga kemungkinan besar cadangan vitamin Anya didapat dari proses menyusu dari induk yang status vitamin A baik, sehingga masih cukup untuk

(38)

2

pertumbuhannya saat memasuki masa deplesi (Benade, 2003). Ditambah juga intake ransum standar (mengandung vitamin A) pada masa adaptasi yang melebihi kelompok standar sehingga menyebabkan masa pertumbuhan yang lebih panjang pada masa deplesi walaupun sudah tidak diberi asupan vitamin A.

Keberadaan cadangan vitamin A yang cukup dalam tubuh diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan, salah satunya adalah pertumbuhan tulang. Vitamin A penting untuk aktifitas sel-sel dalam tulang rawan epifise. Pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa tikus tidak hanya bertambah massa ototnya saja, tetapi juga ukuran (panjang tulang) yang menunjukkan pertumbuhan pada tulang (Linder, 1992). Setelah itu, penurunan yang terjadi pada masa deplesi hanya pada berkurangnya massa otot saja, bukan pada ukuran tulangnya.

Gambar 8. Berat badan tikus selama masa deplesi

Masa Replesi

Memasuki masa replesi, berat badan kedua kelompok utama mengalami peningkatan. Dapat dilihat pada Gambar 9, berat badan kelompok standar yang pada masa deplesi menurun, saat memasuki masa replesi kembali meningkat. Begitu juga pada kelompok pemurnian CPO, menurun pada akhir deplesi, dan meningkat kembali pada masa replesi. Peningkatan ini kemungkinan besar diakibatkan karena asupan vitamin A yang telah didapatkan kembali pada masa replesi.

Beberapa penelitian yang sudah ada juga mengemukakan bahwa vitamin A berperan langsung terhadap pertumbuhan. IGF (Insulin-like Gowth Factor), sebagai hormon yang berperan dalam pembelahan sel, diferensiasi jaringan, dan perangsang pertumbuhan, keberadaanya dipengaruhi salah satunya oleh status gizi

(39)

2

individu (Fu, et al., 2001). Penurunan status gizi seperti salah satunya karena pembatasan makanan dapat mempengaruhi konsentrasi IGF. Oleh karena itu, pada masa replesi, setelah tikus mendapat asupan vitamin A kembali. Kemungkinan besar dapat mensimulus produksi IGF, sehingga pertumbuhan tikus terjadi kembali (Fu, et al., 2001).

Vitamin A juga berperan secara tidak langsung terhadap pertumbuhan dengan menjaga integritas sel-sel epitel usus. Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel kolumnar epitel dengan lapisan tebal, bertanduk di mukosa intestin. Pada mukosa usus terjadi penurunan yang drastis pada jumlah sel goblet dalam kript intestin dan permukaan vili (Linder, 1992). Kondisi sel-sel epitel yang tidak normal tentunya mempengaruhi fungsinya sebagai tempat masuknya zat-zat gizi ke dalam tubuh dan produksi mucus dan enzim pencernaan. Hal ini menyebabkan zat-zat gizi yang ada di dalam usus tidak dapat diserap secara optimal. Dengan adanya asupan vitamin A pada masa replesi, sel-sel epitel tersebut dapat beregenerasi lebih baik lagi sehingga zat gizi dapat diserap optimal dan digunakan untuk pembentukan massa otot dan pertumbuhan (Linder, 1992).

Gambar 9. Berat badan tikus selama masa replesi

(40)

2

Perubahan Berat Badan Tikus per Hari

Dengan adanya perbedaan rentang waktu di setiap masa adaptasi (11 hari), deplesi (92 hari), dan replesi (14 hari), dibutuhkan data perubahan berat badan tikus per hari sehingga dapat menunjukkan perbedaan kecepatan pertumbuhan atau penurunan yang terjadi di setiap masa. Dapat dilihat pada Gambar 10, bahwa semua kelompok dari kedua kelompok besar mempunyai pola yang sama, yaitu menurun pada masa deplesi, dan meningkat kembali pada masa replesi.

Selama masa adaptasi, perubahan berat badan tikus per hari pada semua kelompok bernilai positif. Uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok pada masing-masing kelompok besar. Secara deskriptif didapatkan bahwa rata-rata perubahan berat badan kelompok pemurnian CPO (2.30g/hr) lebih besar dibanding kelompok kontrol (1.92g/hr).

Gambar 10. Perubahan berat badan tikus per hari selama perlakuan

Masa deplesi merupakan waktu terpanjang selama pemeliharaan. Selama masa deplesi, besar perubahan berat badan tikus per hari berfluktuasi. Secara deskriptif mulai terlihat perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok standar. Dari keseluruhan masa deplesi, perubahan berat badan kelompok standar bernilai negatif, sedangkan pada kelompok pemurnian CPO, walaupun menurun, tetapi masih bernilai positif, yang berarti menunjukkan masih terdapat pertumbuhan. Uji beda menunjukkan bahwa perubahan berat badan tikus pada

(41)

2

kelompok standar tidak berbeda nyata, begitu pula dengan kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, rata-rata perubahan berat badan tikus kelompok pemurnian CPO (1.05 g/hr) lebih besar dibanding kelompok kontrol (-0.11 g/hr).

Masa deplesi dibagi menjadi rentang yang lebih kecil (per 10 hari) agar terlihat lebih jelas nilai perubahan berat badan selama masa deplesi di tiap-tiap kelompok. Dapat dilihat pada Tabel 7, perubahan berat badan kelompok standar cenderung ke arah negatif sejak hari ke-40 masa deplesi, sedangkan pada kelompok perlakuan, pertumbuhan mulai cenderung ke arah negatif pada hari ke-60. Umur tikus pada rentang waktu tersebut sekitar 100 hari (kelompok standar) dan 84 hari (kelompok pemurnian CPO).

Tabel 7 Perubahan berat badan tikus per 10 hari masa deplesi

Kelompok Rentang per 10 hari masa deplesi

ke-1 2 3 4 5 6 7 8 9 KS 2.55 1.72 2.30 1.40 1.02 -0.22 0.28 0.22 -0.30 KPva 2.18 1.90 2.20 1.10 1.08 0.16 -0.34 -0.08 0.32 KPbk 0.82 0.20 -0.05 -0.87 -0.43 0.23 -0.20 0.63 -0.53 RPO -1.20 1.30 0.55 1.55 0.05 -0.65 -0.50 -0.55 -0.20 Isolat 0.78 0.55 0.09 -0.25 -0.35 -0.05 -0.80 -0.80 -1.10 Masa Replesi

Perubahan berat badan tikus terus diamati sampai akhir masa replesi. Pada masa replesi, terjadi peningkatan berat badan per hari di seluruh kelompok yang ditunjukkan oleh Gambar 10 dengan nilai yang positif. Semua kelompok kontrol yang pada masa deplesi perubahan berat badannya bernilai negatif, menjadi positif pada masa replesi. Begitu juga pada kelompok pemurnian CPO, perubahan berat badan tikus per hari semakin besar.

Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kontrol dan kelompok pemurnian CPO. Secara deskriptif, didapatkan bahwa perubahan berat badan tikus per hari kelompok pemurnian CPO (1.53g/hr) lebih besar dibandingkan kelompok standar (0.57g/hr).

Berat Badan Akhir

Berat badan tikus pada setiap akhir masa ditunjukkan oleh Gambar 11 dan menunjukkan adanya perbedaan diantara kedua kelompok besar. Berat badan kelompok standar menurun pada masa deplesi, dan meningkat kembali pada masa

(42)

2

replesi. Sedangkan berat badan kelompok pemurnian CPO terus meningkat pada masa deplesi dan replesi.

Hasil uji beda terhadap berat badan akhir pada masa adaptasi menunjukkan bahwa berat badan pada masing-masing kelompok utama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Di antara kelompok utama, secara deskriptif didapatkan bahwa berat badan kelompok kontrol (155.5g) lebih besar daripada kelompok pemurnian CPO (92.2g).

Hasil uji beda terhadap berat badan akhir tikus pada masa deplesi menunjukkan bahwa berat badan pada masing-masing kelompok utama tidak berbeda yang nyata. Tetapi secara deskriptif menunjukkan bahwa berat badan kelompok pemurnian CPO (186.7g) lebih besar daripada kelompok kontrol (145.6g).

Berdasarkan hasil penimbangan pada akhir replesi, didapat rata-rata berat badan tikus kelompok seperti yang ditampilkan pada Gambar 11. Hasil uji beda terhadap berat badan pada akhir replesi menunjukkan, baik pada kelompok kontrol maupun pemurnian CPO, tidak ada perbedaan yang nyata. Secara deskriptif, dapat dilihat kondisi yang berbeda dengan pada waktu awal adaptasi. Berat badan kelompok pemurnian CPO (208.1g) pada masa replesi lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol (153.6g).

Gambar 11. Berat badan tikus pada akhir masa adaptasi, deplesi, dan replesi

Gambar

Tabel 1 Daftar aktivitas beberapa antioksidan
Tabel 2 Komposisi asam lemak penyusun minyak sawit kasar Asam lemak ∑ rantai karbon
Gambar   2   memperlihatkan   tahapan   yang   dalam   pembuatan   RPO   dari  bahan dasar berupa CPO.
Tabel 4 Komposisi zat gizi diet standar tikus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Veninda Oktaviana N, 2020, Media Youtube Sebagai Arena Reproduksi Budaya pada Komunitas Creator Surabaya, Skripsi, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Sehingga, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perilaku konsumtif pada produk fashion, khususnya pada remaja yang bersekolah di SMA IIBS

Apabila kita mendapat tunai yang lebih, kita dapat membeli hartanah yang baru, bukan hanya fikir untuk mengurangkan baki pinjaman atau memendekkan tempoh pinjaman tetapi

Auliani Saraya Perum Green Residence A 4-5 RT 004/005 Kel.Bojong Rawalumbu-Rawalumbu.Kota Bekasi.. Jl.Mirah Delima Raya No 215 RT 004/038

Sebaliknya masyarakat bertato yang menghayati dirinya tidak tidak mampu memengaruhi orang lain, memiliki kemandirian dan assertivitas yang tinggi dalam area keluarga, diri

Retribusi Izin Trayek, yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas pelayanan pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan untuk menyediakan pelayanan

Jumpstart Coalition for Personal Financial Literacy (2005) conducted a survey on the financial literacy of high school students in the United States about the

Purpose: To determine the physicochemical properties and in vitro dissolution profile of quercetin- malonic acid co-crystals prepared using solvent-drop grinding