• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning. Tepung labu kuning memiliki peran ganda yaitu sebagai pewarna alami pada produk mi glosor instan dan sebagai sumber beta karoten pada produk tersebut. Penggunaannya adalah dengan mensubstitusi tepung sagu aren yang merupakan bahan utama.

Labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning yang tergolong masih mengkal. Usia labu kuning yang digunakan antara 2 sampai 2,5 bulan. Menurut Hendrasty (2003) labu kuning yang masih mengkal adalah labu kuning yang berumur hingga 10 hari sebelum mencapai masa panen. Labu kuning lokal biasanya dipanen pada usia antara 3 sampai 4 bulan (Hendrasty 2003). Selanjutnya, panen labu kuning dilakukan terus menerus dengan interval

2-3 kali perminggu (Kirana et al. 2012). Gambar 7 merupakan bentuk utuh dan

belah dari labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 7 Labu kuning.

Pembuatan tepung labu kuning diawali dengan pengupasan kulit. Labu kuning memiliki kulit luar yang keras. Nurhayati (2005) menyatakan bahwa selama proses pematangan berlangsung, kulit luar labu kuning akan semakin keras. Kulit luar yang keras pada labu kuning disebabkan oleh massa sklerenkima yang berada di bagian luar. Bagian labu kuning yang akan ditepungkan adalah daging buahnya saja. Oleh karena itu, bagian lain selain daging buah, seperti kulit luarnya, biji dan bagian tengah dari labu kuning dibuang.

Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut menjadi irisan-irisan yang lebih kecil. Tujuan dari proses penyawutan adalah untuk mempercepat pada saat proses pengeringan. Semakin banyak permukaan dari labu kuning yang terpanaskan, maka waktu pengeringan akan semakin

singkat. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah labu kuning

ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5).

Berdasarkan Apriyantono (2002) sulfit dapat berperan sebagai antioksidan. Hal ini dibuktikan pada penelitian Widyowati (2007) bahwa penurunan vitamin C pada tepung ubi jalar kuning semakin kecil seiring dengan peningkatan jumlah natrium bisulfit yang digunakan dalam larutan perendaman. Selain itu perlakuan perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit

menghasilkan keripik wortel dengan kandungan karotenoid tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001). Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan natrium metabisulfit dapat menghambat laju kerusakan karotenoid yang di dalamnya termasuk beta karoten. Pada penelitian ini kosentrasi larutan Natrium metabisulfit yang digunakan untuk perendaman adalah 0,25%. Irisan labu kuning direndam selama 20 menit.

Tahapan selanjutnya adalah pengeringan. Irisan labu kuning yang telah tiris kemudian ditempatkan ke dalam trey atau loyang secara merata. Irisan labu

kuning kemudian dimasukkan ke dalam pengering rak (cabinet driyer) untuk

diturunkan kadar airnya. Pengeringan dilakukan pada suhu antara 60 0C sampai

70 0C. Waktu pengeringan dilaksanakan selama ± 8 jam. Irisan labu kuning

dikatakan kering apabila irisan labu kuning sudah memiliki tekstur rapuh dan mudah patah ketika di remas-remas.

Suhu pengeringan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengeringan bahan-bahan pangan yang mengandung beta karoten.

Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa suhu tinggi menyebabkan degradasi

karoten pada irisan wortel yang dikeringkan. Selanjutnya Herastuti et al. (1983)

menyatakan bahwa senyawa karoteniod mudah teroksidasi terutama pada suhu tinggi yang disebabkan oleh adanya sejumlah ikatan rangkap dalam struktur molekulnya. Namun karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya

berkisar dari 130 0C sampai 220 0C (Hendry dan Houghton 1996).

Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menggiling dan mengayak irisan labu kuning hasil proses pengeringan. Penggilingan dilakukan dengan

menggunakan disc mill. Mesin penepungan ini dapat digunakan untuk membuat

tepung dari aneka bahan seperti tepung beras, kedelai, cabe kering, kopi, jagung, bahan-bahan industri, bahan obat-obatan herbal, bumbu kering dan lain sebagainya. Hasil proses penggilingan kemudian diayak untuk mendapatkan

tepung labu kuning dengan ukuran 100 mesh. Tepung labu kuning yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Tepung labu kuning.

Rendemen Tepung Labu Kuning

Penghitungan rendemen dilakukan dengan cara membandingkan tepung labu kuning yang dihasilkan dengan berat labu kuning utuh sebagai bahan pembuatan tepung labu kuning. Labu kuning utuh seberat 11. 799 gram dikupas dan daging buahnya dipisahkan dari kulit, biji dan bagian tengah buah. Setelah dilakukan penggilingan dengan ukuran 100 mesh, diperoleh tepung labu kuning seberat 578 gram tepung labu kuning, sehingga diperoleh rendemen tepung labu kuning sebesar 4,9%. Nilai rendemen tepung labu kuning mendekati dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratama pada tahun 2009. Pratama (2009) memperoleh hasil bahwa rendemen tepung labu kuning yang dalam pembuatannya tidak dikenai perlakuan memiliki rendemen sebesar 5,93%.

Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning

Kandungan gizi dari tepung labu kuning yang disajikan pada Tabel 6 merupakan hasil analisis proksimat dan analisis kadar beta karoten.

Tabel 6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning. Komponen

Kandungan zat gizi Anggraini et al. (2006) Widowati et al. (2001) Air (% bb) 11,94 10,8 11,14 Abu (% bk) 8,11 6,60 5,89 Protein (% bk) 4,83 10,07 5,04 Lemak (% bk) 1,30 0,78 0,08 Karbohidrat (% bk) 85,74 81,52 77,65 Beta karoten µg/100 g 1690 10752 -

Kadar air

Pada penelitian ini labu kuning yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 11,94% (bb). Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) yang bernilai 10,8% bb dan Widowati et al.

(2001) sebesar 11,14% bb. Perbedaan nilai ini diduga disebabkan oleh perbedaan dalam metode pengeringan yang dilakukan. Desrosier (1988) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak.

Pada penelitian ini suhu pemanasan yang digunakan adalah 60 0C

sampai 70 0C. Waktu pemanasan hingga irisan labu di anggap kering adalah

sekitar 8 jam. Sementara itu Anggraini et al. (2006) menyatakan bahwa

pengeringan labu kuning dilakukan pada suhu 60 0C dengan waktu 15 jam.

Winarno (1993) menjelaskan bahwa pengeringan dipengaruhi utamanya oleh luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap udara dan waktu pengeringan.

Kadar Abu

Pada penelitian ini, kadar abu dari tepung labu kuning sebesar 8,11% bk. Hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu dari tepung labu

kuning yang diperoleh pada penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu 6,60% bk dan

Widowati et al. (2001) sebesar 5,89% bk. Penggunaan natrium metabisulfit pada

pembuatan tepung labu kuning diduga mempengaruhi kadar abu yang diperoleh. Rahayu (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan dalam perlakuan perendaman, maka residu natrium metabisulfit pada bahan pangan pun akan semakin tinggi. Residu natrium metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan.

Kadar Protein

Kandungan protein dari tepung labu kuning yang dihasilkan sebesar 4,83% bk. Nilai ini setengah dari kadar protein tepung labu kuning pada

penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu sebesar 10,07% bk. Namun nilai kadar

protein tidak terpaut jauh dari hasil penelitian Widowati et al. (2001) sebesar

Kadar Lemak

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak tepung labu kuning pada penelitian ini sebesar 1,30% bk. Apabila dibandingkan dengan penelitian

Anggraini et al. (2006) nilai ini sedikit lebih besar (0,78% bk). Sementara itu

kandungan lemak tepung labu kuning pada penelitian Widowati et al. (2001)

sangat kecil, yaitu 0,08% bk.

Kadar Total Karbohidrat

Kadar total karbohidrat ditentukan secara kasar dengan menggunakan

metode by difference. Total karbohidrat yang diperoleh dengan metode by

defference merupakan 100% kandungan total zat gizi bahan pangan setelah dikurangi oleh kadar air, abu, protein dan lemak dari bahan yang bersangkutan. Berdasarkan hasil perhitungan, kadar total karbohidrat tepung labu kuning sebesar 85,74% bk. Kandungan karbohidrat berdasarkan basis kering lebih

besar jika dibandingkan dengan hasil pada penelitian Anggraini et al. (2006) dan

Widowati et al. (2001) dimana kandungan karbohidrat sebesar 81,52% bk dan

77,65% bk.

Kadar beta karoten

Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang tinggi akan beta karoten. Labu kuning mengandung 1569 µg beta karoten dalam 100 gram BDDnya. Pembuatan tepung akan membuat bahan lebih awet, lebih praktis dalam penggunaannya, serta lebih mudah dalam pengemasan maupun penyimpanan (Muchtadi 1989). Namun perlakuan pemanasan sangat berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari suatu bahan pangan terutama beta karoten.

Kadar beta karoten dari tepung labu kuning dalam penelitian ini sebesar

1690 µg/100g. Anggraini et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan beta

karoten pada tepung labu kuning sebesar 17,92 RE/g. Jika setiap RE mengandung 6 µg beta karoten, maka kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian tersebut sebesar 10.752 µg/100g. Hal ini berarti kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian ini lebih kecil

dibandingkan dengan Anggraini et al. (2006).

Perbedaan kandungan beta karoten tepung labu kuning pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) diduga disebabkan oleh beberapa hal. Perbedaan varietas dan tingkat kematangan labu kuning yang akan dibuat menjadi tepung berpengaruh terhadap perbedaan kadar beta

karoten pada tepung labu kuning. Selain itu, tempat tumbuh dari labu kuning sangat berpengaruh terhadap kandungan kimia dalam labu kuning. Pada penelitian ini labu kuning diperoleh dari daerah Sukabumi, Jawa Barat.

Sementara itu, Anggraini et al. (2006) memperoleh labu kuning dari daerah

Kopeng, Magelang, Jawa Tengah.

Metode dalam pembuatan tepung labu kuning terutama dalam tahap pemanasan berpengaruh terhadap kadar beta karoten pada tepung labu kuning yang dihasilkan. Pada penelitian ini dilakukan perendaman terhadap irisan labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit sebelum pengeringan. Perlakuan ini

tidak dilakukan pada Anggraini et al. (2006). Berdasarkan Apriyantono (2002)

sulfit dapat berperan sebagai antioksidan. perlakuan ini diharapkan mampu menekan laju oksidasi terhadap beta karoten selama proses pembuatan tepung labu kuning berlangsung. Perlakuan perendaman dalam larutan Na-metabisulfit

menghasilkan keripik wortel dengan kandungan karotenoid tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001).

Irisan labu kuning direndam di dalam larutan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,25% selama 20 menit. Perendaman irisan labu kuning dalam larutan bisulfit ini selain memberi keuntungan juga memberikan kerugian. Proses penyawutan mengakibatkan rusaknya matriks dari setiap sel labu kuning. Sehingga pada saat irisan labu kuning direndam di dalam larutan bisulfit terdapat beta karoten yang terekstrak bersama air karena rusaknya matriks sel. Setelah semua irisan di tiriskan, air bekas rendaman tersebut berwarna kuning. Kehilangan beta karoten pada proses ini diduga cukup besar.

Metode pengeringan yang digunakan dalam penelitian ini dan penelitian

yang dilaksanakan oleh Anggraini et al. (2006) sama, yaitu menggunakan

cabinet drier (pengering rak). Namun suhu yang digunakan relatif berbeda. Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan beta karoten pada

proses pembuatan tepung. Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa pada

suhu tinggi menyebabkan degradasi karoten pada irisan wortel yang dikeringkan.

Anggraini et al. (2006) menjaga suhu pengeringan irisan labu kuning tetap

stabil pada suhu 60 OC. Worker (1957) mengemukakan bahwa karotenoid belum

mengalammi kerusakan karena pemanasan pada suhu 60 OC. Sedangkan pada

penelitian suhu pemanasan dijaga konstan pada suhu antara 60 OC sampai 70

O

C. Suhu pemanasan yang digunakan pada penelitian ini dapat dikatakan lebih tinggi. Sehingga diduga tingkat kerusakan beta karoten pada penelitian ini

cenderung lebih tinggi. Pengaruh metode pengeringan pada beta karoten terlihat bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan beta karoten

semakin besar (Azhariati et al. 2007).

Pembuatan Mi

Metode pembuatan mi glosor instan pada penelitian ini mengikuti metode

pembuatan mi sagu instan pada penelitian Sugiyono et al. (2008). Metode yang

digunakan adalah metode ekstruksi. Ekstruksi adalah suatu proses yang mengombinasikan beberapa proses meliputi pencampuran, pemasakan, pengadonan, penghancuran, pencetakan dan pembentukan (Estiasih & Ahmadi 2011).

Sugiyono et al. (2008) melakukan penelitian berupa pembuatan mi instan

dengan bahan baku sagu. Sagu yang digunakan merupakan sagu yang langsung didatangkan dari Sentani, Papua. Sementara itu, mi glosor instan yang dibuat dalam penelitian ini berbahan dasar tepung sagu aren. Tepung labu kuning digunakan untuk mensubstitusi tepung sagu aren pada pembuatan mi glosor instan. Taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren dimulai dari 0% (F0), 10% (F1), 20% (F2), 30% (F3), 40% (F4).

Penentuan taraf substitusi tepung labu kuning didasarkan atas trial and

error. Berdasarkan trial and error tersebut diperoleh hasil bahwa produk dengan tingkat substitusi tepung labu kuning di atas 40% memiliki kenampakan warna yang sangat gelap. Oleh karena itu, diputuskan batas maksimal tingkat substitusi adalah 40%.

Sagu aren dan tepung labu kuning berperan sebagai bahan baku utama pada pembuatan mi glosor instan. Bahan pendukung lainnya antara lain air,

garam, STPP, guar gum, isolat protein kedelai, dan soda abu. STPP (sodium

tripoly phosphat)merupakan garam alkali. Guar gum berperan sebagai thickener. Sementara itu soda abu merupakan pengatur keasaman.

Pembuatan mi glosor instan terbagai ke dalam tiga tahapan. Tahapan dalam pembuatan mi glosor instan adalah pembuatan binder adonan, pembuatan adonan dan pencetakan.

Pembuatan Binder adonan

Karakteristik pati sagu aren berbeda dengan tepung terigu yang biasa digunakan dalam membuat produk mi. Keterbatasan pati sagu aren adalah tidak terdapatnya gluten di dalamnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap pembentukan adonan. Pembentukan adonan pada produk mi yang berasal dari

tepung non terigu sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi (Ekafitri 2010), sehingga diperlukan metode khusus dalam proses pembuatan adonannya, yaitu dengan pembuatan lem sagu terlebih dahulu.

Binder terbuat dari 40 gram sagu aren yang dicampur air dengan perbandingan 1:2 (b/b). Air yang digunakan dalam pembuatan binder sebelumnya telah dicampur dengan STPP sebesar 0,4 gram. Campuran sagu aren tersebut diaduk rata hingga terbentuk suspensi. Suspensi tersebut kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi. Binder telah terbentuk ditandai dengan kekentalan suspensi yang meningkat dan warna

berubah menjadi transparan (Sugiyono et al. 2008). Lem sagu yang telah

terbentuk nantinya akan digunakan dalam pembuatan adonan mi. Binder adonan yang dimaksudkan seperti Gambar 9.

Gambar 9 Binder adonan.

Pembuatan Adonan

Tepung sagu aren kering dicampur dengan tepung labu kuning dengan proporsi sesuai dengan masing-masing formula, guar gum sebanyak 1% dari total tepung, 0,2 gram soda abu, 10 gram isolate protein kedelai dan garam.

Semua bahan dicampur dengan metode dry mixing. Binder yang telah terbentuk

kemudian dicampurkan ke dalam tepung sagu aren kering yang telah bercampur dengan bahan lain. Campuran antara binder dan tepung sagu aren kering diuleni hingga merata. Proses pengadonan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Fungsi dari binder adalah untuk mengikat bahan-bahan kering lain dalam proses pembuatan adonan.

Pencetakan Mi

Karakteristik sagu aren sangat berbeda dengan tepung terigu. Kandungan gluten dalam terigu menyebabkan adoanan mampu membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis. Namun pembentukan adonan pada tepung non terigu sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi, sehingga teknik yang dianggap paling sesuai dalam pembuatan mi non terigu adalah teknik ekstruksi (Ekafitri 2010).

Adonan mi yang akan dicetak harus dimasukkan ke dalam mesin pencetak dalam keadaan hangat. Oleh karena itu, proses pengadonan harus dilakukan dengan cepat. Apabila adonan mi masuk ke dalam mesin pencetak dalam keadaan dingin, adonan akan lengket dan tidak keluar dengan baik. hal ini akan mempengaruhi terbentuknya untaian mi menjadi kurang kompak.

Alat pencetak mi yang digunakan adalah multifunctional noodle machine.

Mesin ini merupakan mesin yang bekerja dengan menggunakan prinsip ekstruksi. Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan alat ekstrusi (ekstruder) terdiri dari suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan bahan baku sehingga berubah menjadi bahan semipadat. Bahan tersebut ditekan keluar

melalui lubang terbatas (cetakan/ die) pada ujung ulir.

Selama proses ekstruksi berlangsung, putaran ulir yang mendorong adonan akan menimbulkan panas akibat pergesekan antara adonan dengan ulir

dan dinding bagian dalam mesin. Sugiyono et al. (2008) menyatakan bahwa

panas yang timbul akan menyebabkan peningkatan suhu adonan, penurunan kadar air dan terjadinya gelatinasi pada adonan. Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011), pemanasan terhadap bahan baku yang mengalami proses ekstruksi disebut pemasakan ekstruksi. Secara lebih lanjut Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa ekstruksi adalah suatu proses yang mengombinasikan

beberapa proses meliputi pencampuran, pemasakan, pengadonan,

penghancuran, pencetakan dan pembentukan. Gambar 10 adalah Gambar dari

Gambar 10 Multifunctional noodle machine.

Ciri utama dari proses ekstruksi adalah sifatnya yang kontinu. Adonan yang dimasukkan ke dalam mesin ekstruksi akan keluar menjadi untaian mi

melalui lubang yang terletak pada ujung ulir. Untaian yang keluar melalui die

kemudian dimasukkan kembali ke dalam mesin ekstruksi untuk dicetak ulang. Pengulangan ini bertujuan untuk mendapatkan untaian mi yang lebih kuat, tidak mudah putus dan seragam. Proses ekstruksi dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Proses ekstruksi.

Untaian mi selanjutnya dikukus dengan menggunakan mesin steamer

pada suhu ± 95 oC selama tiga kali pengukusan. Untaian mi yang keluar dari

mesin ekstruksi dikukus selama satu menit. Setelah satu menit selesai, untaian mi kemudian dikeluarkan dan dibalik. Untaian kembali dimasukkan ke dalam

mesin steamer untuk dikukus kembali selama satu menit. Untaian mi kemudian

F0 (0%) F1 (10%) F2 (20%)

F3 (30%) F3 (40%)

kembali selama satu menit. Setelah proses pengukusan selesai, mi dikeringkan dalam oven selama satu jam. Mi glosor instan dikemas dalam kemasan plastik.

Menurut Astawan (2000), mi instan berdasarkan pembuatannya dengan proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua. Mi instan goreng yang

pengeringannya dengan cara digoreng (instan fried noodle), dan mi instan kering

(instant dried noodle) yang pengeringannya dengan udara panas. Mi glosor

instan dalam penelitian ini tergolong kedalam instant dried noodle. Seluruh

produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Mi glosor instan.

Kandungan Zat Gizi Mi

Mi glosor merupakan jenis mi yang lebih banyak dikonsumsi oleh penduduk di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur (Djoefrie 1999). Di saat bulan ramadhan tiba, mi glosor menjadi salah satu hidangan favorit untuk berbuka puasa. Namun kandungan gizi dari dapat dikatakan sangat kurang. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000). Sehingga diperlukan suatu tindakan dengan mengkombinasikan tepung sagu aren dengan bahan lain untuk meningkatkan kandungan gizi dari mi glosor.

Penelitian ini melakukan substitusi tepung labu kuning dengan taraf yang dimulai dari 0% hingga 40%. Perlakuan substitusi dengan menggunakan tepung labu kuning diharapkan mampu memperbaiki kandungan zat gizi dari mi glosor yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh sebuah produk mi glosor yang telah mengalami modifikasi yang memiliki kelebihan dalam hal gizi jika dibandingkan dengan produk yang telah ada saat ini.

Analisis kandungan zat gizi dilakukan terhadap seluruh formula. Tindakan ini dilakukan untuk mengetahui apakah perlakuan perbedaan taraf substitusi berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari mi glosor instan. Analisis zat gizi meliputi analisis proksimat dan analisis kandungan beta karoten. Analisis proksimat terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Analisis kandungan beta karoten pada mi glosor instan hanya dilakukan pada 3 formula dengan tingkat substitusi tepung labu kuning terbesar. Kandungan zat gizi dari setiap formula mi glosor instan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kandungan zat gizi mi

Formula

Kandungan Zat Gizi Air (% bb) Abu (% bb) Protein (% bb) Lemak (% bb) Karbohidrat (% bb) β- karoten (µg/100) F0 (0%) 6,43b 1,81a 2,53a 0,06a 89,15b - F1 (10%) 6,04b 2,27b 3,05b 0,09b 88,53ab - F2 (20%) 5,88ab 2,70c 3,15b 0,10bc 88,15ab 303 a F3 (30%) 4,84ab 3,27d 3,71c 0,11bc 88,05ab 408 b F4 (40%) 4,20a 4,17e 4,22d 0,12c 87,26a 461 b Keterangan:

(-) tidak dilakukan analisis

* Nilai dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji Duncan

Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air pada mi cenderung semakin menurun seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning. Namun setelah diuji secara statistik menunjukkan bahwa hingga substitusi sebesar 40% tidak memberikan kontribusi secara nyata terhadap perbedaan kadar air pada mi glosor instan (p>0,05). Kadar air pada suatu bahan pangan sangat bergantung pada metode pengeringan yang digunakan.

Standar nasional mengenai mi instan diatur dalam SNI 01-3551-2000.

Kandungan air dalam mi yang dikeringkan dengan proses penggorengan (instant

fried noodle) maksimal memiliki kadar air 10,0% bb. Mi instan yang

menggunakan proses pengeringan (instan dried noodle) maksimal memiliki kadar

air 14,5% bb. Berdasarkan hasil analisis keseluruhan formula sudah masuk standar yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian Republik Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren, kadar abu pada mi glosor instan cenderung meningkat. Uji secara statistik menunjukkan bahwa substitusi berpengaruh sangat nyata terhadap perbedaan kadar abu mi glosor instan (p<0,01). Labu kuning memiliki kandungan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dengan

tepung sagu aren. Kandungan kalsium, pospor, natrium, dan kalium dalam labu kuning sebesar 40 mg, 180 mg, 220 mg dan 220 mg per 100 g BDD labu kuning (Depkes RI 2001). Hasil analisis proksimat juga menunjukkan bahwa kadar abu pada tepung labu kuning lebih tinggi jika dibandingkan tepung sagu aren. Oleh karena itu semakin meningkatnya subtitusi tepung labu kuning akan semakin meningkatkan kadar abu dari mi glosor instan yang dihasilkan.

Peningkatan taraf substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan kadar protein mi glosor instan. Kadar protein mi glosor instan terendah adalah F0 (0%). Sedangkan mi glosor yang memiliki kadar protein tertinggi adalah F4 (40%).

Dokumen terkait