• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU

AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI

ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN

AGUS SETYABUDI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRACT

AGUS SETYABUDI. Development of instant noodle “Mi Glosor” from Sagoo Flour Substituted by Pumpkin Flour as Alternative for Food Diversification.

Supervised byAHMAD SULAEMAN.

“Mi Glosor” is quite attractive to community in the area of Cianjur, Sukabumi and Bogor. Mi Glosor is a kind of noodle made from sagoo flour and therefore it is high in carbohydrates but very low in protein, fat and other nutrients contents. Mi Glosor is usually sold in wet conditions which make its shelf life very limited. Pumpkin is a potential food resources with high production capacity in Indonesia. It’s use in the manufacturing of mi glosor may function as a natural coloring and may increase nutritional content, especially beta-carotene. The purpose of this study was to develop instant noodle “mi glosor” using pumpkin flour as coloring agent and beta-caroten source. Pumpkin flour was used to substitute basic ingredients in the manufacturing of instant noodle “mi glosor”. Substitution levels were applied from 0% to 40%. To increase it’s protein content in order to meet the instant noodle standard, 5% of soy protein isolates was added to each formula.

Substitution of pumpkin flour significantly (p<0.01) affected ash, protein, fat and beta caroten content, but there was no effect on water and carbohydrate content of the product. Physical analysis showed that substitution of pumpkin flour tended to cause the value of Luminant and Hue of the product declined. Substitution of pumpkin flour also shortened the cooking time of the product.

The result of sensory analysis showed that the formula with 30% substitution of pumpkin flour was the most acceptable product. This formula had medium yellownes color, caramel and pumpkin flavour and medium elasticity. This formula also contained 408 µg/100mg betacaroten, 4,84 % water, 3,27 % ash, 3,71 % protein, 0,11 % lipid and 88,05 % charbohydrat.

(3)

RINGKASAN

AGUS SETYABUDI. Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren

dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi

Pangan. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN.

Mi glosor merupakan salah satu makanan tradisional masyarakat Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2007). Selain dari segi gizi yang kurang, mi glosor juga memiliki kelemahan dalam hal usia simpan. Mi glosor diperjualbelikan sebagai mi basah. Kandungan air yang tinggi pada produk ini menjadikan mi ini cepat rusak dan tidak tahan lama.

Penggunaan labu kuning dalam pembuatan makanan dapat menambah wana makanan menjadi menarik. Tepung labu kuning masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi tepung. Penggunaan tepung labu kuning sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan mi glosor diharapkan mampu sedikit mengurangi kelemahan gizi dari mi glosor. Selain itu untuk meningkatkan daya simpan, mi glosor dibuat dalam bentuk mi instan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan pembuatan mi glosor instan yang menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal dari tepung labu kuning sebagai alternatif diversifikasi pangan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap kandungan gizi, karakteristik fisik dan organoleptik dari produk yang dihasilkan.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning, kemudian dilanjutkan dengan formulasi dan pembuatan produk. Formulasi produk didasarkan pada tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren sebagai bahan utama pembuatan mi glosor. Tingkat substitusi tepung labu kuning sebesar 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Isolat Protein kedelai sebanyak 5% dari tepung yang digunakan ditambahkan pada formulasi untuk memenuhi standar kadar protein mi instan menurut SNI, yaitu sebesar 4%. Uji organoleptik melibatkan 30 orang panelis. Selain itu, dilakukan analisis karakteristik kimia yang terdiri dari analisis proksimat dan analisis kandungan beta karoten. Analisis lain yang juga dilakukan adalah analisis karakteristik fisik yang meliputi elongasi, warna, waktu masak optimum dan daya serap air.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap sagu aren. Keseluruhan data diolah

dengan menggunakan Microsoft Excel 2010S dan PSS 16.0 for Windows.

Labu kuning dengan umur 2-2,5 bulan dikupas dan dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah

labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dengan konsentrasi

0,25% selama 20 menit. Irisan labu kuning kemudian dikeringkan dengan cabinet

driyer pada suhu 60 - 700C selama ± 8 jam. Labu kuning setelah kering

kemudian dihaluskan dengan disc mill. Hasil proses penggilingan kemudian

(4)

Pembuatan produk terdiri dari tiga tahapan yaitu: pembuatan binder, pembuatan adonan, dan pencetakan mi. Binder dibuat dengan menggelatinkan 40 gram tepung sagu aren dan air dengan perbandingan 1:2 b/b. Binder dikatakan siap apabila suspensi telah mengental dan berwarna transparan. Tepung sagu aren kering dicampur dengan tepung labu kuning dengan jumlah sesuai formula, guar gum sebanyak 1 % dari total tepung, 0,2 g soda abu, 10 gram isolate protein kedelai dan garam. Semua bahan dicampur dengan metode

dry mixing hingga dirasa homogen. Binder dimasukkan ke dalam bahan kering kemudian diuleni secara manual hingga adonan tercampur rata. Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder untuk dicetak. Pencetakan dilakukan dua kali agar terbentuk untaian mi yang lebih kompak dan homogen. Mi kemudian dikukus tiga kali masing-masing selama 1 menit. Mi kemudian di keringkan

dengan cabinet driyer pada suhu 60-700C hingga mi terlepas dari loyang.

Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air mi semakin menurun. Uji secara statistik menunjukkan bahwa hingga substitusi sebesar 40% tidak memberikan kontribusi secara nyata terhadap perbedaan kadar air pada mi glosor instan (p>0,05). Seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, kadar abu pada mi glosor instan cenderung meningkat. Uji secara statistik menunjukkan bahwa substitus berpengaruh sangat nyata terhadap perbedaan kadar abu mi glosor instan (p<0,01). Labu kuning memiliki kandungan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tepung sagu aren. Residu natrium metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan.

Peningkatan persentase substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan kadar protein mi glosor instan. Semakin meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning, kadar protein mi glosor instan yang dihasilkan semakin tinggi. Kandungan lemak pada mi glosor instan meningkat seiring dengan meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan persentase subtitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat signifikan (p<0,01) terhadap perbedaan kandungan lemak pada mi glosor instan yang dihasilkan.

Kandungan karbohidrat pada mi glosor instan ditentukan dengan

menggunakan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis, semakin tinggi

persentase tepung labu kuning, kandungan karbohidrat pada mi glosor semakin sedikit. Namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat substitusi tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan kandungan karbohidrat mi glosor instan

(p>0,05). Analisis betakaroten dikenakan terhadap tiga formula dengan

tingkat substitusi terbesar. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning, kandungan betakaroten memiliki kecenderungan yang semakin meningkat pula. Hasil ini didukung oleh sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan substitusi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan kandungan betakaroten dari tiga formula tersebut.

Sidik ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung labu kuning memberikan perbedaan yang sangat nyata pada nilai L produk (P<0,01). Pada substitusi tepung labu kuning 10%, nilai meningkat dibandingkan F0. Namun seiring dengan meningkatnya substitusi nilai L cenderung terus turun. Substitusi

tepung labu kuning sebesar 10% menyebabkan nilai Hueo meningkat. Namun

seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, nilai Hueo produk

(5)

menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan daya serap air. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, daya serap air F0 berbeda dengan daya serap air dari formula tersubstitusi tepung labu kuning.

(6)

PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU

AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI

ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN

Oleh:

Agus Setyabudi

I14080081

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan

Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk

Diversifikasi Pangan

Nama : Agus Setyabudi

NIM : I14080081

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD

NIP. 19620331 199811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

NIP. 19621218 198703 1 001

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,

rahmat dan kemudahan sehingga skripsi yang berjudul “Pengembangan Mi

Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning

sebagai Alternatif untuk Diversifikasi pangan” dapat terselesaikan. Shalawat

serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW juga atas keluarga, sahabat

dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman kelak. Keberhasilan

penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis

sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen penguji skripsi atas berbagai

kritik dan saran yang sangat membangun untuk memperbaiki penulisan

skripsi ini.

3. Hanto Suwito dan Saminem selaku orang tua yang tak pernah lelah

mendidik dan memberi semangat dengan cinta dan kasih sayang yang

tiada tara.

4. Teman-teman anggota kelompok PKMP Saepul Rahman, Dessi Amelia

dan Ade Cucu Wahyudin atas semangat dan kerjasamanya selama

pelaksanaan penelitian.

5. Teknisi laboratorium departemen gizi masyarakat (Pak Mas, Bu Nina, Bu

TIti, Bu Risqy) yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.

6. Sahabat-sahabat saya J’Co (Jawa Comunity) di Departemen Gizi

Masyarakat yang senantiasa bisa menjadi tempat berbagi.

7. Teman-teman satu jurusan yang selalu memberikan semangat dan

dukungan.

8. Kakak kelas dan adik kelas yang banyak membantu pelaksanaan skripsi

ini saya ucapkan terima kasih.

Kritik dan saran sangat diharapkan penulis agar dapat memperbaiki dan

menambah wawasan penulis.

Bogor, Februari 2013

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1990.

Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Hanto Suwito dan Saminem.

Pendidikan penulis diawali dengan taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita

Pundungrejo. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 1 Pundungrejo

dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan

oleh penulis di SLTPN 1 Tawangsari. Penulis menyelesaikan pendidikan

menengah tingkat atas di SMAN Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dengan jurusan Ilmu Gizi,

Departemen Gizi Masyarakat melalui jalur USMI.

Selama melaksanakan pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif

dalam keanggotaan Ecogrifarma selama dua masa kepengurusan yaitu tahun

2010 dan 2011. Penulis juga pernah ikut serta dalam kepanitian MPF (Masa

Perkenalan Fakultas) dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) pada tahun

2009, panitia Seminar Gizi 45 “Senzational 2” tahun 2011 dan kepanitian

Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012. Selain itu penulis melaksanakan

KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Limbangan, Kecamatan Karanganyar,

Kabupaten Pekalongan pada tahun 2011 serta Internship bidang Dietetika di

RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor.

Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

pada Departemen Gizi Masyarakat dengan melakukan penelitian yang berjudul

“Pengembangan Mi Glosor Instan dengan Substitusi Tepung Labu Kuning

sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan” yang merupakan Program

Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian (PKMP) yang didanai oleh DIKTI pada

(10)

DAFTAR ISI

Pembuatan Mi Instan ... 11

Isolat Protein Kedelai ... 13

METODE Waktu dan Tempat ... 15

Bahan dan Alat... 15

Metode ... 15

Rancangan Percobaan ... 20

Pengolahan dan Analisis data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Labu Kuning ... 22

RendemenTepung Labu Kuning ... 24

Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning ... 24

Pembuatan Mi ... 28

Kandungan Zat Gizi Mi ... 32

Karakteristik Fisik Mi ... 35

Karakteristik Organoleptik Mi ... 42

Hubungan Karakteristik Produk dengan Tingkat Kesukaan Produk ... 55

Formula Terbaik ... 55

Kontribusi terhadap Angka Kecukupan Gizi ... 55

Analisis Biaya Pembuatan Mi ... 56

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 58

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g) ... 6

2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g)... 7

3 Kandungan gizi tepung labu kuning ... 8

4 Syarat Mutu mi instan ... 10

5 Formulasi produk ... 17

6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning ... 24

7 Kandungan zat gizi mi ... 33

8 Hasil analisis warna produk ... 36

9 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi ... 39

10 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi ... 39

11 Hasil uji hedonik produk ... 49

12 Kontribusi terhadap AKG ... 56

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor ... 5

2 Struktur kimia beta karoten ... 9

3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning ... 16

6 Diagram alir pembuatan binder adonan ... 18

5 Diagram Alir pembuatan adonan mi ... 18

6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan ... 19

7 Labu kuning ... 22

8 Tepung labu kuning ... 24

9 Binder adonan ... 29

10 Multifunctional noodle machine ... 31

11 Proses ekstruksi ... 31

12 Mi glosor instan ... 32

13 Nilai rata-rata mutu hedonik produk ... 48

14 Persentase panelis yang menerima warna mi ... 50

15 Persentase panelis yang menerima aroma mi ... 51

16 Persen penerimaan panelis terhadap tekstur mi ... 52

17 Persentase penerimaan panelis terhadap rasa produk ... 53

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lembar uji organoleptik mutu inderawi produk ... 65

2 Lembar uji hedonik mutu inderawi produk ... 66

3 Uji statistik mutu inderawi ... 67

4 Uji statistik data hedonik ... 70

5 Hasil analisis proksimat produk ... 73

6 Uji statistik analisis proksimat produk ... 78

7 Hasil analisis betakaroten ... 80

8 Uji statistik analisis beta karoten ... 80

9 Nilai warna produk ... 81

10 Uji Statistik warna produk ... 82

11 Hasil uji elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ... 85

12 Uji Statistik elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ... 86

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Melimpahnya sumber daya pangan yang ada di Indonesia merupakan

pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang sepatutnya kita syukuri. Keadaan ini

memungkinkan terjadinya diversifisikasi atau variasi pangan dari satu daerah

dengan daerah yang lainnya. Ketika belajar di bangku Sekolah Dasar, kita

mendapatkan pengetahuan bahwa berbagai daerah di Indonesia memiliki

makanan pokok yang berbeda dari daerah lainnya. Sebagai contoh adalah

masyarakat Gunung Kidul, Jogjakarta yang memiliki makanan pokok thiwul yang

berasal dari gaplek (singkong kering), masyarakat Madura yang terkenal dengan

makanan pokok jagung, dan masyarakat Maluku serta Papua yang biasa

mengkonsumsi sagu.

Revolusi hijau yang mulai dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde

Baru menyebabkan perubahan pola komsumsi masyarakat. Revolusi hijau

mengutamakan penanaman tanaman pangan serealia. Jenis serealia yang

diutamakan ditanam di Indonesia dalam program revolusi hijau adalah padi.

Pergeseran kebiasaan konsumsi masyarakat tidak terhindarkan. Masyarakat

lebih cenderung menyukai mengkonsumsi nasi dari pada pangan lokal yang

sebelumnya biasa mereka konsumsi. Keadaan ini jelas berdampak besar

terhadap ketahanan pangan dan diversifikasi pangan.

Salah satu produk serealia selain padi yang juga banyak dikonsumsi

masyarakat Indonesia adalah gandum. Gandum biasanya digiling menjadi

tepung terigu yang merupakan bahan baku produk seperti roti, kue, mi dan

lain-lain. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa

pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak 5 juta ton gandum diimpor dari luar

negeri. Nilai tersebut terus bertambah pada tahun 2012. Indonesia tercatat

sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia. United State

Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2012, memperkirakan bahwa

impor gandum indonesia pada tahun 2012 meningkat sebanyak 12% menjadi 7,4

juta ton.

Produk hilir industri terigu yang sangat diminati oleh masyarakat adalah

mi. Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat mulai mencari pensubstitusi nasi

dengan mi yang berbahan baku terigu. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa

harga beras premium lebih mahal dari pada harga terigu (Kemendag RI 2011).

(15)

praktis dan ekonomis menjadi alasan masyarakat dalam memilih produk ini untuk

menjadi pilihan menu makanan. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap

orang Indonesia mengkonsumsi mi 73 bungkus/ tahun dan terus meningkat

sebesar 6%. Ini menjadikan Indonesia merupakan negara terbesar ketiga

pengkonsumsi mi di dunia (BPPT 2011).

Kondisi tersebut di atas tidak dapat dibiarkan terus menerus karena akan

berdampak kurang baik. Pemerintah harus mengimpor terigu dari luar negeri

dalam jumlah yang sangat besar. Trend peningkatan konsumsi terigu dari tahun

ke tahun menyebabkan peningkatan jumlah terigu yang harus diimpor. Oleh

karena itu, pemberdayaan sumber daya lokal sebagai tepung alternatif sangat

mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu.

Sagu aren merupakan sumber daya lokal yang bisa menjadi alternatif

substitusi tepung terigu sebagai bahan baku dalam pembuatan mi. Salah satu

produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor atau mi berbasis pati sagu aren,

yang merupakan makanan tradisional. Jenis mi seperti ini lebih banyak

dikonsumsi oleh penduduk di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur

(Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam mi basah. Mi glosor dikenal juga

dengan sebutan mi gleser, mi aci, mi leor, atau mi sruput.

Mi glosor diperjualbelikan dalam bentuk mi basah, sehingga terkendala

dalam usia simpan produk. Pembuatan mi glosor dalam bentuk instan

merupakan salah satu cara dalam mengatasi masalah masa simpan produk ini.

Kandungan air yang sedikit di dalam mi instan menjadi faktor yang sangat

berpengaruh terhadap peningkatan daya simpannya dibandingkan dengan mi

basah. Selain itu, kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat

rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000). Oleh

karena itu diperlukan adanya tindakan untuk meningkatkan nilai kandungan gizi

dalam produk mi glosor. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan

mengkombinasikan bahan dasar pembuatan mi glosor dengan bahan lain untuk

menambah nilai kandungan gizi.

Salah satu bahan pangan yang memiliki potensi untuk meningkatkan

kandungan gizi pada produk mi glosor adalah labu kuning (Cucurbita moschata

Durch). Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki

kandungan gizi yang sangat potensial terutama provitamin A. Labu kuning

mengandung 1596 µg beta karoten per 100 gramnya (Persagi 2009). Selain itu,

(16)

Produksi Labu kuning di Indonesia sebesar 107.000 ton/tahun pada tahun 2003

dan sebesar 114.000 ton/tahun pada tahun 2004 (http://www.hortikultura.go.id).

Labu kuning di negara-negara maju telah diolah dalam skala industri seperti

produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan serta bahan pengisi untuk

produk-produk tersebut. Di Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi

dengan cara diolah menjadi kolak, manisan dan dodol (Atika 2003).

Tepung labu kuning dapat dimanfaatkan untuk bahan campuran pada

pembuatan berbagai aneka makanan, seperti Lee et al. (2002) yang

menggunakan tepung labu kuning untuk ditambahkan dalam pembuatan mi

instan yang digoreng (instant fried noodles). Semakin bertambahnya tingkat

penambahan tepung labu kuning, kandungan beta karoten dari mi semakin

meningkat. Mi dengan 5,0% tepung labu kuning memiliki penampilan, rasa,

tekstur dan penerimaan yang paling baik. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) penambahan tepung labu kuning pada mi

berbahan dasar tepung ubi kayu mampu meningkatkan kadar zat gizi selain

karbohidrat seperti kandungan abu, protein dan lemak.

Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi mi glosor terutama di

kota Bogor menjadi salah satu potensi. Selama ini mi glosor diperjual belikan

dalam keadaan basah, sehingga tidak akan bertahan lama untuk penyimpanan.

Menjadikan mi glosor menjadi mi instan adalah suatu terobosan yang kreatif.

Namun untuk membuat mi glosor instan terutama yang memiliki nilai gizi lebih

(mengandung provitamin A) membutuhkan penelitian yang lebih dalam. Oleh

karena itu perlu diadakan studi laboratorium mengenai potensi pembuatan mi

glosor instan dengan substitusi tepung labu kuning.

Tujuan

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan mi glosor instan yang

menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal

dari tepung labu kuning sebagai pangan alternatif.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari cara pembuatan tepung labu kuning.

2. Menentukan formula substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu

aren dalam pembuatan mi glosor instan.

(17)

4. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap

kandungan zat gizi dan beta karoten mi glosor instan.

5. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap

karakteristik fisik (warna, elongasi, waktu masak optimum dan daya

serap air) mi glosor instan.

6. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap

karakteristik organoleptik mi glosor instan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai adanya pangan alternatif non terigu yang sudah cukup

familiar di masyarakat, tetapi sudah mengalami modifikasi berupa penggunaan

tepung labu kuning sebagai sumber beta karoten dan pewarna alami sehingga

lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat dan dalam bentuk yang lebih tahan

lama dan mudah penyiapannya (instan). Hasil penelitian ini juga diharapkan

bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan bidang pangan dan gizi

masyarakat terutama dalam pemanfaatan sumber daya lokal dalam memenuhi

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Mi Glosor

Salah satu produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor. Mi ini banyak

dikonsumsi oleh masyarakat di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur

(Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam produk basah. Mi glosor dikenal

juga dengan sebutan mi aci, mi leor, atau mi sruput.

Mi yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat terbuat dari tepung

terigu yang harganya cukup mahal bila dibandingkan dengan mi glosor yang

terbuat dari sagu aren. Jika dilihat sekilas dari bentuk fisiknya, mi glosor tidak

berbeda jauh dengan mi yang terbuat dari tepung terigu, tetapi jika dilihat secara

seksama mi glosor memiliki warna yang lebih mengkilap dan lebih keras (Taufiq

2005). Proses pengolahan pati sagu menjadi mi dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (2004).

Gambar 1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor.

Mi glosor memiliki sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mi yang

terbuat dari terigu yaitu memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis

dan licin waktu dimakan. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi

sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000).

Tabel 1 menyajikan kandungan energi dan zat gizi yang terkandung di dalam mi

glosor yang dijual di pasar.

Gelatinasi

Suspensi pati sagu air

Gel/ binder Pati sagu

Pengadukan

Pencetakan

Pemasakan

Perendaman

Penirisan Minyak

(19)

Tabel 1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g)

Komposisi Kandungan

Air (%) 82,9

Energi (kkal) 71

Protein (g) 0,2

Lemak (g) 0,8

Karbohidrat (g) 15,9

Serat (g) 0,1

Kalsium (mg) 117

Pospor (mg) 5

Natrium (mg) -

Kalium (mg) -

Β- karoten (µg) -

Vitamin C (mg) 0

Sumber: Persagi (2009)

Mi glosor dipasarkan dalam keadaan basah dan dijual dalam keadaan

curah atau dibungkus kantong plastik. Mi glosor biasanya berwarna kuning

transparan tetapi sebagian ada yang berwarna kuning kemerahan. Harga mi

glosor sangatlah murah, tidak lebih dari 1500/kg. Berdasarkan gambaran

tersebut, terlihat jelas bahwa segmen pasar mi glosor adalah kalangan

menengah ke bawah. Pada bulan puasa makanan ini merupakan salah satu

hidangan favorit untuk berbuka puasa.

Sagu Aren

Sagu aren merupakan pati yang diekstrak dari batang aren. Aren (Arenga

pinnata Merr.) termasuk suku Aracaceae (pinang-pinangan), merupakan

tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus oleh

daging buah. Tanaman aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah

Nusantara (Iswanto 2009). Aren memiliki beberapa nama di berbagai negara.

Aren dikenal dengan sebutan lain yaitu enau dan kawung (Sunda). Sementara itu

di Inggris, aren disebut sugar palm dan disebut kaong di Philipina.

Firdayati dan Handajani (2005) menyebutkan bahwa pembuatan sagu

aren dilakukan terlebih dahulu dengan menebang batang pohon aren kemudian

dipotong-potong sepanjang 1,25 – 2 meter. Tepung dan ampas pohon aren di

pisahkan dengan cara diinjak-injak.

Selain dimanfaatkan sebagai bahan dasar dalam pembuatan mi glosor,

sagu aren juga digunakan dalam pembuatan makanan lain. Sagu aren dapat

(20)

sudah dikenal luas di masyarakat, yaitu soun, cendol, bakmi, dan hun kwe. Tabel

2 menyajikan data mengenai komposisi dan kandungan gizi sagu aren.

Tabel 2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g)

Komposisi Kandungan

Air (%) 11,9

Energi (kkal) 355

Protein (g) 0,6

Lemak (g) 1,1

Karbohidrat (g) 85,6

Serat (g) 0,3

Kalsium (mg) 91

Pospor (mg) 167

Natrium (mg) -

Kalium (mg) -

Β- karoten (µg) -

Vitamin C (mg) 0

Sumber: Persagi (2009)

Tepung Labu kuning

Labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diperkirakan berasal dari Peru

dan Meksiko, Amerika Tengah. Awal penyebarannya tidak diketahui secara pasti.

Tanaman ini banyak ditanam di daerah tropis seperti Asia Tenggara termasuk

Indonesia), Afrika, Amerika Tengah dan Karibia (Setiawan & Trisnawati 1993).

Setiawan dan Trisnawati (1993) menambahkan bahwa labu kuning memiliki daya

adaptasi yang tinggi. Tanaman ini dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan

iklim yang berlainan atau tahan terhadap suhu dan curah hujan tinggi, sehingga

labu kuning dapat ditanam di tempat yang berhawa panas dan dingin.

Saat ini di beberapa negara maju labu kuning telah diolah dalam skala

industri seperti produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan. Sedangkan di

Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi dengan cara diolah menjadi

kolak, manisan dan dodol (Atika 2003). Tepung labu kuning merupakan salah

satu produk lanjut dari pengolahan labu kuning. Namun tepung labu kuning

masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi

tepung. Tepung labu tersebut telah diperdagangkan dengan menggunakan

pengemas berbentuk kantung-kantung kecil (Cruess 1958).

Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60

mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning, kadar air ± 3%.

(21)

dan suhu pengeringan yang digunakan. Semakin tua labu kuning, semakin tinggi

kandungan gulanya. Oleh karena kandungan gula labu kuning yang tinggi ini,

apabila suhu yang digunakan pada proses pengeringan terlalu tinggi, tepung

yang dihasilkan akan bergumpal dan berbau karamel (Hendrasty 2003).

Kualitas tepung labu kuning ditentukan oleh komponen penyusunnya

yang menentukan sifat fungsional adonan maupun produk tepung yang

dihasilkan serta suspensinya dalam air. Protein tepung labu kuning mengandung

protein jenis gluten yang cukup tinggi sehingga mampu membentuk jaringan tiga

dimensi yang kohesif dan elastis (Hendrasty 2003). Sifat ini akan berfungsi pada

pengembangan volume roti dan produk makanan lain yang memerlukan

pengembangan volume.

Tepung labu kuning mempunyai kualitas tepung yang baik karena

mempunyai sifat gelatinisasi yang baik, sehingga akan dapat membentuk adonan

dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas maupun elastisitas yang baik,

sehingga roti yang dihasilkan akan berkualitas baik pula. Karbohidrat tepung labu

kuning juga cukup tinggi. Karbohidrat ini sangat berperan dalam pembuatan

adonan pati. Granula pati akan melekat pada protein selama pembentukan

adonan. Kelekatan antara granula pati dan protein akan menimbulkan kontinuitas

struktur adonan (Hendrasty 2003).

Tepung labu kuning sudah cukup banyak digunakan dalam beberapa

penelitian mengenai pengembangan produk. Tabel 3 menyajikan kandungan gizi

tepung labu kuning yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh

Pongjanta et al. 2006.

Tabel 3 Kandungan gizi tepung labu kuning

Komposisi zat gizi Kandungan

Air % 6,01

Protein (g) 3,74

Lemak (g) 1,34

Karbohidrat (g) 78,77

Serat (g) 2,9

Betakaroten µg 7290

Sumber: Pongjanta et al. (2006)

Beta Karoten

Beta karoten merupakan karotenoid, salah satu pigmen tanaman yang

dikenal memiliki sifat antioksidan dan efek lainnya. Zat ini cepat dikonversi oleh

tubuh menjadi vitamin A (Harnowo 2011). Menurut Fennema (1996), sekitar 25 %

(22)

sedangkan 75 % sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol dengan bantuan

enzim 15, 15’ β-karoten dioksigenase. Beta karoten dengan dua cincin β-ionon merupakan provitamin A dengan aktivitas paling tinggi. Sedangkan karotenoid

provitamin A lainnya yang mempunyai satu cincin β-ionon seperti alpha karoten

dan gamma karoten, memiliki aktivitas yang lebih rendah (Gross 1991).Struktur

kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Struktur kimia beta karoten.

Beta karoten populer dengan sifat antioksidannya, sehingga dapat

melindungi sel tubuh dari kerusakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa

orang yang banyak mengkonsumsi buah dan sayuran kaya beta karoten dan

mineral lainnya menurunkan risiko mengidap beberapa jenis penyakit kanker dan

penyakit jantung (Harnowo 2011). Penyerapan dan penggunaan beta karoten di

dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah, tipe dan bentuk fisik karotenoid dalam

makanan. Selain itu dipengaruhi juga oleh asupan lemak, vitamin E, serat,

kecukupan protein dan zinc (Rodriguez-Amaya 1997). Beta karoten memiliki

Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2.5 mg/Kg berat badan (Kitts 1996).

Mi instant

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3551-2000,

yang dimaksud dengan mi instan adalah adonan terigu atau tepung beras atau

tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan

lainnya. Mi instan dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses

pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan

atau proses dehidrasi lainnya. Mi instan memilki sebutan nama lain yaitu ramen.

Setelah diperoleh mi segar, beberapa proses dapat ditambahkan untuk membuat

mi instan. Proses tambahan itu seperti pengukusan, pembentukan, dan

pengeringan. Kadar air mi instan umumnya sekitar 5-8% sehingga memilki daya

simpan yang lama (Astawan 2000).

Astawan (2000) menyatakan bahwa mi instan berdasarkan

pembuatannya dengan proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua. Mi instan

(23)

instan kering (instant dried noodle) yang pengeringannya dengan udara panas. Daya serap minyak mi instan goreng dapat mencapai hingga 20% selama

penggorengan (dalam proses pembuatan mi) sehingga mi instan goreng memiliki

keunggulan rasa dibandingkan mi jenis lain. Syarat dari mi instan goreng adalah

pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya

mi harus cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.

Dalam perkembangannya, mi instan yang beredar di pasaran sangat

banyak dan diproduksi oleh banyak perusahaan industri makanan. Sehingga

pemerintah melalui Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan peraturan

mengenai mi instan yang diperbolehkan untuk dipasarkan ke konsumen di tanah

air. SNI yang mengatur mengenai mi instan adalah SNI 01-3551-2000 yang

merupakan revisi dari SNI sebelumnya yaitu SNI 01-3551-1996. Ruang lingkup

dari SNI ini meliputi definisi, komposisi dan syarat mutu, cara pengambilan

contoh, cara uji, higiene, cara pengemasan dan syarat penandaan mi instan.

Suatu produsen pangan yang hendak meluncurkan produk berupa mi

instan ke pasaran harus memenuhi beberapa syarat mutu menurut SNI

01-3551-2000. Tabel 4 menyajikan syarat mutu yang harus dipenuhi dalam suatu produk

mi instan.

Tabel 4 Syarat Mutu mi instan

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan 2)

1.1 Tekstur - Normal/dapat diterima

1.2 Aroma - Normal/dapat diterima

1.3 Rasa - Normal/dapat diterima

1.4 Warna - Normal/dapat diterima

2. Benda asing 1) - Tidak boleh ada

3. Keutuhan 1) %b/b Min. 90

4. Kadar air 1)

4.1 Proses penggorengan %b/b Maks. 10,0

4.2 Proses pengeringan %b/b Maks. 14,5

5. Kadar protein 1)

5.1 Mi dari terigu %b/b Min. 8,0

5.2 Mi dari bukan terigu %b/b Min. 4,0

6. Bilangan asam 1) Mg KOH/g minyak Maks. 2

7. Cemaran logam 2)

7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0

(24)

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

8. Arsen (As) 2) mg/kg Maks. 0,5

9. Cemaran mikroba 2)

9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1,0 x 106

9.2 E. coli APM/g <3

9.3 Salmonela - Negatif per 25g

9.4 Kapang Koloni/g Maks. 1,0 x 103

1)

Berlaku untuk kepingan mi 2)

Berlaku untuk kepingan mi dan bumbunya

Pembuatan Mi Instan

Tahapan dalam pembuatan mi instan terbadi atas beberapa langkah.

Berikut adalah tahapan pembuatan mi instan menurut Astawan (2000):

a. Pengadukan adonan

Tahapan awal dalam pembuatan mi instan adalah pencampuran zat

warna (umumnya tartrazine) dengan air, kemudian dimasukkan ke mesin

pengaduk material yang di dalamnya telah terdapat tepung terigu. Campuran di

aduk sampai menjadi adonan yang merata, lama proses ini kira-kira lima belas

menit. Adonan yang terbentuk diharapakan, lunak, lembut, halus, dan kompak.

b. Pelempengan mi

Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke

dalam mesin pelempeng. Dalam mesin pelempeng (roll press), adonan akan

dibentuk menjadi lempengan-lempengan, dimana pada proses ini serat-serat

gluten akan menjadi halus.

Pada awalnya, adonan yang keluar dari mesin pelempeng bersifat rapuh

dan kasar dengan ketebalan sekitar 1,5 cm. Dengan melalui lima pasang

silinder yang berbeda ketebalannya, akhirnya adonan akan membentuk

lempengan yang halus, homogen, tidak terputus, serta mempunyai ketebalan

sekitar 1,5 mm. Pembentukan lempengan yang baik tersebut tertunjang oleh

panas yang ditimbulkan mesin.

c. Pencetakan mi

Lempengan adonan yang telah terbentuk, kemudian dimasukkan ke

mesin pencetak mi. Lempengan tersebut akan dipotong menjadi pilinan-pilinan

mi dengan lebar 1-2 mm dan berombak-ombak. Pada proses ini pula, pilinan mi

dibagi menjadi lima bagian yang memanjang.

Mi dibuat dalam bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki

(25)

penggorengan karena adanya konduksi panas dan sirkulasi panas dari minyak

di dalamnya.

d. Pemasakan mi

Pilinan mi hasil dari pencetakan kemudian dikukus selama 135 detik.

Panas yang digunakan berasal dari uap sehingga pilinan mi yang keluar sudah

masak, kadar air menurun dan padat. Pada waktu pengukusan tersebut terjadi

gelatinasi pati dan koagulasi gluten sehingga ikatan menjadi keras dan kuat, mi

menjadi kenyal, serta mi tidak menyerap minyak terlalu banyak dan lembut.

e. Pemotongan awal

Setelah melalui pemasakan awal, mi dikeringkan dengan kipas supaya

agak kering. Selanjutnya dipotong-potong sekitar 12 cm dan bobot sekitar 80

gram.

f. Penggorengan

Mi yang telah dipotong-potong dengan ukuran dan berat tertentu

kemudian diangkut menuju penggorengan. Dalam proses penggorengan ini,

digunakan minyak dengan suhu 150 0C selama 109 detik sehingga kadar air

menurun dan mi menjadi kering serta padat. Suhu minyak yang tinggi akan

menyebabkan air menguap dengan cepat dan membentuk pori-pori halus yang

dapat mempercepat proses rehidrasi (penyerapan air pada saat mi dimasak).

g. Pendinginan

Mi yang telah digoreng didinginkan dengan menggunakan kipas angin

dalam mesin pendingin. Proses ini akan menyebabkan pengerasan minyak

yang terserap dan menempel pada mi sehingga mi pun menjadi keras. Apabila

proses pendinginan tidak sempurna, uap air yang tersisa akan mengembun dan

menempel pada permukaan mi sehingga akan memicu tumbulnya jamur.

Dalam perkembanganya, teknik yang dipaparkan oleh Astawan (2000)

lebih dikenal dengan teknik kalendering. Pembuatan mi dengan teknik

kalendering, secara garis besar terdiri dari empat tahapan yaitu pencampuran

bahan-bahan, pengukusan, pencetakan (pressing, sheeting dan slitting) dan

perebusan. Teknik ini sangat cocok untuk mi yang berbahan dasar tepung

terigu. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan tepung terigu dalam mebentuk

adonan yang kohesif, ekstensibel dan elastis (Ekafitri 2010).

Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, mulailah dicoba

pembuatan mi dengan berbahan dasar non terigu. Berbagai macam tepung non

(26)

jagung, tepung beras dan tepung sagu. Perbedaan karakteristik tepung terigu

dan tepung non terigu mengakibatkan sulit dilakukannya teknik calendering

dalam pembuatan mi berbahan dasar non terigu. Pengggunaan teknik

calendering pada produk mi non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis.

Pembentukan adonan sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi,

sehingga teknik yang dianggap paling sesuai dalam pembuatan mi non terigu

adalah teknik ekstruksi (Ekafitri 2010).

Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa teknik ekstruksi dapat

berupa pengolahan suhu rendah seperti pasta, atau pengolahan suhu tinggi

seperti pada pengolahan makanan ringan. Tekanan yang digunakan dalam

ekstruder berfungsi mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang

sangat panas, dan meningkatkan pengadukan. Tekanan yang digunakan

bervariasi antara 15 sampai lebih dari 200 atm. Tujuan utama ekstruksi adalah

untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai bentuk,

tekstur, warna dan cita rasa. Pemasakan ekstruksi dengan proses suhu tinggi

waktu pendek (HTST, high temperature short time) dapat mencegah kontaminasi

dan inaktivasi enzim.

Secara lebih lanjut di dalam Estiasih dan Ahmadi (2011) dijelaskan alat

ekstrusi (ekstruder) terdiri suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan

bahan baku sehingga berubah menjadi bahan semi padat. Bahan tersebut

ditekan keluar melalui lubang terbatas (cetakan/ die) pada ujung ulir. Jika bahan

baku tersebut mengalami pemanasan maka proses ini disebut pemasakan

ekstruksi.

Ciri utama proses eksruksi adalah sifatnya yang kontinu. Alat ekstruder

dioperasikan dalam kondisi kesetimbangan dinamis, yaitu input setara dengan

output, atau bahan yang masuk setara dengan produk yang dihasilkan. Untuk

mendapatkan karakteristik ekstrudat tertentu, bahan yang masuk dan kondisi

pengoperasian harus diatur sedemikian rupa sehingga perubahan kimia yang

terjadi pada barel (tabung dalam ekstruder) sesuai dengan yang diinginkan

(Estiasih dan Ahmadi 2011).

Isolat Protein Kedelai

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling

murni, karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini

(27)

kauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai. Isolate

protein kedelai biasanya digunakan sebgai bahan campuran dalam makanan

olahan daging dan susu (Santoso 2005).

Dari pembuatan minyak kedelai dihasilkan bungkil kedelai tanpa kulir

dengan kadar protein 40 – 50 persen. Bungkil ini dapat dibuat tepung, isolat dan

konstrat protein kedelai. Konsentrat dan isolat protein kedelai adalah produk dari

protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (untuk isolat dapat juga dari

kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya

tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada konsentrat kedelai adalah

minimum 70 %, sedangkan isolat minimum 95 % . Kedua produk ini sangat

dibutuhkan dalam insustri pangan karena banyak sekali digunakan dalam

formulasi berbagai jenis makanan (Santoso 2005).

Isolat protein digunakan dalam industri pangan untuk beberapa alasan,

diantaranya gizi (meningkatkan kandungan protein), faktor inderawi (rasa yang

lebih enak) dan alasan fungsional (kebutuhan akan emulsifier, penyerapan air

dan minyak dan sifat adhesive). Isolat protein kedelai biasanya digunakan dalam

produk-produk seperti: makanan ringan, cereal untuk sarapan, bar tinggi energi

dan protein, ice crea, yogurt, produk peternakan seperti daging, unggas dan ikan

(www.soya.be). Isolate protein juga sering digunakan dalam penelitian

pengembangan produk dalam skala lab. Christina (1996) menggunakan isolat

(28)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai dengan

bulan September 2012. Tempat pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa

tempat. Pembuatan tepung labu kuning dan pembuatan produk dilaksanakan di

SEAFAST CENTER, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan

di dua laboratorium Departemen Gizi Masyarakat yaitu Laboratorium Uji

Sensoris untuk uji organoleptik dan Laboratorium Analisis Kimia Makanan dan

Zat Gizi untuk analisis kandungan zat gizi produk. Tempat terakhir adalah

Laboratorium Balai Besar Industri Agro Bogor untuk analisis kandungan beta

karoten.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari

bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan dan bahan-bahan-bahan-bahan

untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi glosor

instan atara lain: pati sagu aren yang diperoleh dari Kecamatan Sagaranten,

Kabupaten Sukabumi, labu kuning umur 2-2,5 bulan yang diperoleh dari

Kabupaten Sukabumi, isolat protein kedelai, air, STPP (sodium tripoly phospat),

guar gum, dan soda abu. Sementara itu bahan-bahan pendukung antara lain

asam sulfat pekat, asam klorida 0,1 N, selenium mix, natrium hidroksida,

indikator bromkresol hijau dan metil merah, asam borat, aquades, n-heksan.

Alat-alat yang akan digunakan untuk penelitian ini terdiri atas peralatan

pembuatan tepung labu kuning, peralatan pembuatan mi dan peralatan analisis

kimia. Peralatan yang digunakan untuk membuat tepung labu kuning antara lain:

pisau, talenan, mesin penyawut, pengering rak (cabinet drier), discmill dan alat

pengayak. Sementara itu alat untuk membuat mi antara lain: timbangan digital,

kompor, panci, baskom, alat pencetak mi (ekstruder), pengering rak (cabinet

drier).

Metode

1. Persiapan Bahan Baku

Salah satu bahan baku dalam pembuatan mi glosor instan adalah

tepung labu kuning. Karena tidak adanya tepung labu kuning yang dijual secara

komersial, maka tepung labu kuning harus dibuat sendiri. Proses awal dari

(29)

Tepung labu kuning dibuat dari labu kuning yang berumur 2-2,5 bulan

setelah masa tanam. Labu kuning kemudian dikupas kulitnya. Tindakan

selanjutnya adalah pemisahan antara daging buah dan biji serta bagian hati dari

labu kuning. Potongan dari labu kuning kemudian di sawut untuk menghasilkan

irisan yang lebih kecil lagi. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses

pengeringan. Hasil sawutan kemudian direndam ke dalam larutan natrium

metabislufit 0,25% selama 20 menit dan ditiriskan. Labu kemudian dimasukkan

ke dalam cabinet drier untuk dikeringkan pada suhu sekitar 60-70 oC selama

kurang lebih 8 jam. Proses penepungan labu kuning disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning.

2. Formulasi Mi Glosor Instan

Formulasi mi didasarkan pada perbandingan antara bahan baku utama,

yaitu tepung sagu aren dengan bahan pensubstitusinya, tepung labu kuning dan

bahan lain. Detail mengenai formulasi produk mi glosor instan disajikan pada

Tabel 5.

Labu kuning

Pengupasan dan pemotongan

Pemisahan biji

penyawutan

Perendaman larutan Na-metabisulfit selama 20 menit

Penirisan

Pengovenan suhu 600– 700 C ±

selama 8 jam

Penggilingan dan pengayakan 100 mesh

(30)

Tabel 5 Formulasi produk.

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan

substitusi tepung labu kuning terdiri atas tepung sagu aren, tepung labu kuning,

isolate protein kedelai, garam, STPP (sodium tripoly phospat), guar gum dan air.

Sebanyak 40 gram tepung sagu aren dari setiap formula akan berperan sebagai

binder adonan. Sementara itu, sisanya akan dicampurkan menjadi adonan

dalam bentuk kering. Tepung labu kuning yang digunakan untuk mensubstitusi

tepung sagu aren meningkat dengan interval 20 gram (10%).

Mi yang diperoleh dari sagu alami tanpa penambahan bahan tambahan

pangan masih memiliki berbagai kelemahan. Oleh karena itu diperlukan bahan

tambahan untuk memperbaiki karakteristiknya (Sugiyono 2008). Jenis bahan

tambahan pangan yang digunakan untuk adonan adalah garam alkali berupa

sodium tripoliphospat (STPP), thickner berupa guar gum, dan pengatur keasaman berupa soda abu.

Penambahan STTP ditentukan berdasakan standar CODEX untuk mi

instan, yaitu CODEX STAN 249-2006. Jumlah maksimum STPP yang dapat

ditambahkan sebesar 2000 mg/kg. Penambahan guar gum sebanyak 1% dari

total tepung yang digunakan. Soda abu yang dicampurkan sebanyak 0,2 gram

untuk setiap formula. Berdasarkan astawan (2000), jumlah garam yang

diberikan dalam pembuatan mi instan sebesar 0,2% dari adonan.

3. Pembuatan Produk

3.1 Pembuatan binder adonan

Tahap pertama pembuatan mi sagu adalah pembuatan binder adonan.

Sugiyono et al. (2008) menyatakan bahwa binder adonan mi terbaik dibuat dari

perbandingan tepung sagu aren dan air sebesar 1:2. Binder adonan yang baik

(31)

binder t. sagu aren + t. Labu kuning + soda abu + guar gum

mi yang diharapkan adalah yang tidak hancur jika ditekan, tidak mudah putus

jika ditarik dan tidak lengket antar untaian.

Tepung sagu sebanyak 40 gram dicampurkan dengan air seberat 80

gram. Suspensi yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinasi.

Binder yang telah terbentuk ditandai dengan kekentalan suspensi yang

meningkat dan warna yang berubah menjadi transparan. Diagram alir

pembuatan binder adonan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir pembuatan binder adonan.

3.2 Pembuatan adonan

Binder adonan yang telah terbentuk kemudian dicampurkan dengan

tepung sagu dan tepung labu kuning yang telah ditambahkan guar gum, soda

abu dan garam sesuai dengan komposisi masing-masing pada setiap formula

Binder diuleni bersama dengan campuran tepung sagu aren dan tepung labu

kuning hingga merata. Gambar 5 menunjukkan prosedur pencampuran adonan

dalam pembuatan mi glosor instan dalam penelitian ini.

Gambar 5 Diagram alir pembuatan adonan mi.

40 g tepung sagu aren

+

0,4 g STTP + 80 gram air

Dicampur rata

Dipanaskan sambil diaduk-aduk

Binder

dicampur rata

+

diuleni

(32)

3.3 Pencetakan

Adonan diekstruksi dengan menggunakan multifunctional noodle

machine. Untaian mi yang keluar dari ekstruder dikukus pada suhu ± 950C selama tiga kali pengukusan. Pengukusan pertama dilakukan selama 1 menit.

Untaian mi kemudian dikeluarkan dan dibalik. Untaian mi yang telah dibalik

kemudian di kukus lagi selama 1 menit. Setelah itu untaian mi dicetak dan di

kukus kembali selama 1 menit. Selanjutnya untaian mi dikeringkan di dalam

oven udara pada suhu 60-70 0C selama 1 jam. Diagram alir dalam pembuatan

mi glosor instan substitusi tepung labu kuning disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan.

4. Analisis Karakteristik Sensori, Tingkat Kesukaan dan Persen Penerimaan Produk

Karakteristik sensori, tingkat kesukaan dan persen penerimaan produk

diketahui dengan menggunakan uji organoleptik. Uji organoleptik produk

meliputi parameter rasa, warna, aroma dan tekstur. Uji organoleptik terhadap

produk terdiri atas uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik

merupakan uji yang dipergunakan untuk mengetahui karakteristik sensori

produk menurut panelis. Pengukuran skala mutu hedonik dilakukan dengan

menggunakan skala garis dari mulai bernilai satu (amat sangat lemah) sampai

sembilan (amat sangat kuat). Sementara itu uji hedonik dipergunakan untuk

mengetahui tingkat kesukaan dan persen penerimaan panelis terhadap produk.

Skala yang digunakan dalam uji hedonik dimulai dari satu (amat sangat tidak dimasukkan ke ekstruder

untaian mi

dimasukkan ke ekstruder

dikukus 3 menit

dioven; 600 C; 1 jam

(33)

suka) sampai sembilan (amat sangat suka). Panelis yang dilibatkan dalam uji

organoleptik ini sebanyak 30 orang yang merupakan mahasiswa yang sudah

cukup sering dilibatkan dalam uji organoleptik berbagai produk penelitian

mahasiswa.

5. Analisis Karakteristik Kimia Produk

Analisis karakteristik kimia produk terdiri atas analisis proksimat dan

analisis kadar beta karoten. Analisis proksimat digunakan untuk mengetahui

kandungan zat gizi makro produk seperti air, abu, protein, lemak dan

karbohidrat. Kadar air dan abu produk ditentukan secara gravimetri. Kadar

lemak produk ditentukan dengan menggunakan metode soxhletasi. Metode

mikro-kjedahl digunakan untuk mengetahui kandungan protein pada produk.

Sementara itu kandungan karbohidrat produk ditentukan secara by-difference,

yaitu dengan mengurangi 100% dengan (% air + % abu + % lemak + % protein).

Kadar beta karoten pada produk dihitung dengan menggunakan metode HPLC.

6. Analisis Karakteristik Fisik Produk

Analisis karakteristik fisik produk meliputi analisis warna dan elongasi.

Analisis warna produk dilakukan dengan menggunakan kromameter. Sementara

itu analisis elongasi dilakukan dengan menggunakan alat Tensile Strenght

tester. Hasil dari analisis ini dipergunakan untuk mengetahui derajat warna dan daya rentang mi secara objektif.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancang Acak Lengkap (RAL).

Model yang digunakan adalah

Yij = µ + Ti + εij

Keterangan:

Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i : Banyaknya perlakuan (i=5)

j : Banyanyaknya ulangan (j=2)

µ : Rataan umum

Ti : Rasio antara tepung sagu aren dan tepung labu kuning

(34)

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil uji organoleptik dan analisis fisik dan kimia diolah dengan

menggunakan MS. Excel 2010. Program SPSS 16.0 for Windows digunakan

untuk analisis data secara statistik meliputi uji ragam (Anova), uji lanjut Duncan

dan uji crosstab. Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif

menggunakan nilai rata-rata dan persentase penerimaan panelis terhadap

formula mi. Data hasil uji organoleptik dianalisis statistik dengan Analysis of

Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara

perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparation Test. Uji

mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan analisis Korelasi Spearman untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan antara hasil uji mutu hedonik dan hedonik.

Nilai kandungan gizi mi glosor instan dianalisis statistik dengan Analysis of

Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Tepung Labu Kuning

Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning. Tepung labu

kuning memiliki peran ganda yaitu sebagai pewarna alami pada produk mi glosor

instan dan sebagai sumber beta karoten pada produk tersebut. Penggunaannya

adalah dengan mensubstitusi tepung sagu aren yang merupakan bahan utama.

Labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning yang

tergolong masih mengkal. Usia labu kuning yang digunakan antara 2 sampai 2,5

bulan. Menurut Hendrasty (2003) labu kuning yang masih mengkal adalah labu

kuning yang berumur hingga 10 hari sebelum mencapai masa panen. Labu

kuning lokal biasanya dipanen pada usia antara 3 sampai 4 bulan (Hendrasty

2003). Selanjutnya, panen labu kuning dilakukan terus menerus dengan interval

2-3 kali perminggu (Kirana et al. 2012). Gambar 7 merupakan bentuk utuh dan

belah dari labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 7 Labu kuning.

Pembuatan tepung labu kuning diawali dengan pengupasan kulit. Labu

kuning memiliki kulit luar yang keras. Nurhayati (2005) menyatakan bahwa

selama proses pematangan berlangsung, kulit luar labu kuning akan semakin

keras. Kulit luar yang keras pada labu kuning disebabkan oleh massa

sklerenkima yang berada di bagian luar. Bagian labu kuning yang akan

ditepungkan adalah daging buahnya saja. Oleh karena itu, bagian lain selain

daging buah, seperti kulit luarnya, biji dan bagian tengah dari labu kuning

dibuang.

Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut

menjadi irisan-irisan yang lebih kecil. Tujuan dari proses penyawutan adalah

untuk mempercepat pada saat proses pengeringan. Semakin banyak permukaan

(36)

singkat. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah labu kuning

ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5).

Berdasarkan Apriyantono (2002) sulfit dapat berperan sebagai

antioksidan. Hal ini dibuktikan pada penelitian Widyowati (2007) bahwa

penurunan vitamin C pada tepung ubi jalar kuning semakin kecil seiring dengan

peningkatan jumlah natrium bisulfit yang digunakan dalam larutan perendaman.

Selain itu perlakuan perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit

menghasilkan keripik wortel dengan kandungan karotenoid tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001). Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan natrium metabisulfit dapat menghambat laju

kerusakan karotenoid yang di dalamnya termasuk beta karoten. Pada penelitian

ini kosentrasi larutan Natrium metabisulfit yang digunakan untuk perendaman

adalah 0,25%. Irisan labu kuning direndam selama 20 menit.

Tahapan selanjutnya adalah pengeringan. Irisan labu kuning yang telah

tiris kemudian ditempatkan ke dalam trey atau loyang secara merata. Irisan labu

kuning kemudian dimasukkan ke dalam pengering rak (cabinet driyer) untuk

diturunkan kadar airnya. Pengeringan dilakukan pada suhu antara 60 0C sampai

70 0C. Waktu pengeringan dilaksanakan selama ± 8 jam. Irisan labu kuning

dikatakan kering apabila irisan labu kuning sudah memiliki tekstur rapuh dan

mudah patah ketika di remas-remas.

Suhu pengeringan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam

proses pengeringan bahan-bahan pangan yang mengandung beta karoten.

Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa suhu tinggi menyebabkan degradasi

karoten pada irisan wortel yang dikeringkan. Selanjutnya Herastuti et al. (1983)

menyatakan bahwa senyawa karoteniod mudah teroksidasi terutama pada suhu

tinggi yang disebabkan oleh adanya sejumlah ikatan rangkap dalam struktur

molekulnya. Namun karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya

berkisar dari 130 0C sampai 220 0C (Hendry dan Houghton 1996).

Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menggiling dan mengayak

irisan labu kuning hasil proses pengeringan. Penggilingan dilakukan dengan

menggunakan disc mill. Mesin penepungan ini dapat digunakan untuk membuat

tepung dari aneka bahan seperti tepung beras, kedelai, cabe kering, kopi,

jagung, bahan-bahan industri, bahan obat-obatan herbal, bumbu kering dan lain

(37)

tepung labu kuning dengan ukuran 100 mesh. Tepung labu kuning yang

dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Tepung labu kuning.

Rendemen Tepung Labu Kuning

Penghitungan rendemen dilakukan dengan cara membandingkan tepung

labu kuning yang dihasilkan dengan berat labu kuning utuh sebagai bahan

pembuatan tepung labu kuning. Labu kuning utuh seberat 11. 799 gram dikupas

dan daging buahnya dipisahkan dari kulit, biji dan bagian tengah buah. Setelah

dilakukan penggilingan dengan ukuran 100 mesh, diperoleh tepung labu kuning

seberat 578 gram tepung labu kuning, sehingga diperoleh rendemen tepung labu

kuning sebesar 4,9%. Nilai rendemen tepung labu kuning mendekati dengan

penelitian yang dilakukan oleh Pratama pada tahun 2009. Pratama (2009)

memperoleh hasil bahwa rendemen tepung labu kuning yang dalam

pembuatannya tidak dikenai perlakuan memiliki rendemen sebesar 5,93%.

Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning

Kandungan gizi dari tepung labu kuning yang disajikan pada Tabel 6

merupakan hasil analisis proksimat dan analisis kadar beta karoten.

Tabel 6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning.

Komponen

Kandungan zat gizi Anggraini et al.

(2006)

Widowati et al.

(2001)

Air (% bb) 11,94 10,8 11,14

Abu (% bk) 8,11 6,60 5,89

Protein (% bk) 4,83 10,07 5,04

Lemak (% bk) 1,30 0,78 0,08

Karbohidrat (% bk) 85,74 81,52 77,65

(38)

Kadar air

Pada penelitian ini labu kuning yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar

11,94% (bb). Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) yang bernilai 10,8% bb dan Widowati et al.

(2001) sebesar 11,14% bb. Perbedaan nilai ini diduga disebabkan oleh

perbedaan dalam metode pengeringan yang dilakukan. Desrosier (1988)

menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan

yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari

bahan akan semakin banyak.

Pada penelitian ini suhu pemanasan yang digunakan adalah 60 0C

sampai 70 0C. Waktu pemanasan hingga irisan labu di anggap kering adalah

sekitar 8 jam. Sementara itu Anggraini et al. (2006) menyatakan bahwa

pengeringan labu kuning dilakukan pada suhu 60 0C dengan waktu 15 jam.

Winarno (1993) menjelaskan bahwa pengeringan dipengaruhi utamanya oleh

luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap udara dan

waktu pengeringan.

Kadar Abu

Pada penelitian ini, kadar abu dari tepung labu kuning sebesar 8,11% bk.

Hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu dari tepung labu

kuning yang diperoleh pada penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu 6,60% bk dan

Widowati et al. (2001) sebesar 5,89% bk. Penggunaan natrium metabisulfit pada

pembuatan tepung labu kuning diduga mempengaruhi kadar abu yang diperoleh.

Rahayu (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan dalam perlakuan perendaman, maka residu natrium

metabisulfit pada bahan pangan pun akan semakin tinggi. Residu natrium

metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat

pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan.

Kadar Protein

Kandungan protein dari tepung labu kuning yang dihasilkan sebesar

4,83% bk. Nilai ini setengah dari kadar protein tepung labu kuning pada

penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu sebesar 10,07% bk. Namun nilai kadar

protein tidak terpaut jauh dari hasil penelitian Widowati et al. (2001) sebesar

(39)

Kadar Lemak

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak tepung labu kuning pada

penelitian ini sebesar 1,30% bk. Apabila dibandingkan dengan penelitian

Anggraini et al. (2006) nilai ini sedikit lebih besar (0,78% bk). Sementara itu

kandungan lemak tepung labu kuning pada penelitian Widowati et al. (2001)

sangat kecil, yaitu 0,08% bk.

Kadar Total Karbohidrat

Kadar total karbohidrat ditentukan secara kasar dengan menggunakan

metode by difference. Total karbohidrat yang diperoleh dengan metode by

defference merupakan 100% kandungan total zat gizi bahan pangan setelah dikurangi oleh kadar air, abu, protein dan lemak dari bahan yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil perhitungan, kadar total karbohidrat tepung labu kuning

sebesar 85,74% bk. Kandungan karbohidrat berdasarkan basis kering lebih

besar jika dibandingkan dengan hasil pada penelitian Anggraini et al. (2006) dan

Widowati et al. (2001) dimana kandungan karbohidrat sebesar 81,52% bk dan

77,65% bk.

Kadar beta karoten

Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang tinggi akan beta

karoten. Labu kuning mengandung 1569 µg beta karoten dalam 100 gram

BDDnya. Pembuatan tepung akan membuat bahan lebih awet, lebih praktis

dalam penggunaannya, serta lebih mudah dalam pengemasan maupun

penyimpanan (Muchtadi 1989). Namun perlakuan pemanasan sangat

berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari suatu bahan pangan terutama

beta karoten.

Kadar beta karoten dari tepung labu kuning dalam penelitian ini sebesar

1690 µg/100g. Anggraini et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan beta

karoten pada tepung labu kuning sebesar 17,92 RE/g. Jika setiap RE

mengandung 6 µg beta karoten, maka kandungan beta karoten tepung labu

kuning dalam penelitian tersebut sebesar 10.752 µg/100g. Hal ini berarti

kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian ini lebih kecil

dibandingkan dengan Anggraini et al. (2006).

Perbedaan kandungan beta karoten tepung labu kuning pada penelitian

ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) diduga disebabkan

oleh beberapa hal. Perbedaan varietas dan tingkat kematangan labu kuning yang

Gambar

Gambar 1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor.
Tabel 1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g)
Tabel 4 Syarat Mutu mi instan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lampu Ruang Otomatis ini terdiri dari beberapa Blok rangkaian yaitu : Blok Input, Blok Pengatur Waktu, Blok Pemicu tegangan dan Blok Output. Inputan berupa catu daya dari trafo 12

4.19 Pengujian Akurasi dan Waktu Komputasi Berdasarkan Dimensi Piksel Template

Namun dalam hal ini GKJ sebagai Sinode tidak mempunyai sebuah aturan yang baku. untuk mengatur tentang persembahan perpuluhan di Gereja-Gereja di bawah naungan

Hal ini pun terjadi pada kebudayaan masyarakat Kuantan Mudik yaitu upacara tradisional perahu begandung, sebelum masyarakat Kuantan Mudik dipengaruhi oleh

Selain itu, penyakit lainnya untuk mendeskripsikan pola sebaran spesies tikus disebabkan oleh virus, rickettsia , bakteri, protozoa, habitat pasar berdasarkan

Ketentuan mana dapat ditelusuri dalam Pasal 24 ayat 2 Perubahan UUD 1945 : ” Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

Sistem akuntansi keuangan daerah menurut definisi Darise (2008:41) adalah serangkaian proses atau prosedur, yang dimulai dari pencatatan, penggolongan dan

Mesin ini terdiri dari 5 tudung masing- masing dengan tombol, sebuah tombol besar di bawah, slider dengan 8 slot (posisi awal slider pada slot 0), dan sebuah roda pemilih warna..