PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU
AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI
ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
AGUS SETYABUDI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRACT
AGUS SETYABUDI. Development of instant noodle “Mi Glosor” from Sagoo Flour Substituted by Pumpkin Flour as Alternative for Food Diversification.
Supervised byAHMAD SULAEMAN.
“Mi Glosor” is quite attractive to community in the area of Cianjur, Sukabumi and Bogor. Mi Glosor is a kind of noodle made from sagoo flour and therefore it is high in carbohydrates but very low in protein, fat and other nutrients contents. Mi Glosor is usually sold in wet conditions which make its shelf life very limited. Pumpkin is a potential food resources with high production capacity in Indonesia. It’s use in the manufacturing of mi glosor may function as a natural coloring and may increase nutritional content, especially beta-carotene. The purpose of this study was to develop instant noodle “mi glosor” using pumpkin flour as coloring agent and beta-caroten source. Pumpkin flour was used to substitute basic ingredients in the manufacturing of instant noodle “mi glosor”. Substitution levels were applied from 0% to 40%. To increase it’s protein content in order to meet the instant noodle standard, 5% of soy protein isolates was added to each formula.
Substitution of pumpkin flour significantly (p<0.01) affected ash, protein, fat and beta caroten content, but there was no effect on water and carbohydrate content of the product. Physical analysis showed that substitution of pumpkin flour tended to cause the value of Luminant and Hue of the product declined. Substitution of pumpkin flour also shortened the cooking time of the product.
The result of sensory analysis showed that the formula with 30% substitution of pumpkin flour was the most acceptable product. This formula had medium yellownes color, caramel and pumpkin flavour and medium elasticity. This formula also contained 408 µg/100mg betacaroten, 4,84 % water, 3,27 % ash, 3,71 % protein, 0,11 % lipid and 88,05 % charbohydrat.
RINGKASAN
AGUS SETYABUDI. Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren
dengan Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk Diversifikasi
Pangan. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN.
Mi glosor merupakan salah satu makanan tradisional masyarakat Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2007). Selain dari segi gizi yang kurang, mi glosor juga memiliki kelemahan dalam hal usia simpan. Mi glosor diperjualbelikan sebagai mi basah. Kandungan air yang tinggi pada produk ini menjadikan mi ini cepat rusak dan tidak tahan lama.
Penggunaan labu kuning dalam pembuatan makanan dapat menambah wana makanan menjadi menarik. Tepung labu kuning masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi tepung. Penggunaan tepung labu kuning sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan mi glosor diharapkan mampu sedikit mengurangi kelemahan gizi dari mi glosor. Selain itu untuk meningkatkan daya simpan, mi glosor dibuat dalam bentuk mi instan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan pembuatan mi glosor instan yang menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal dari tepung labu kuning sebagai alternatif diversifikasi pangan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap kandungan gizi, karakteristik fisik dan organoleptik dari produk yang dihasilkan.
Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning, kemudian dilanjutkan dengan formulasi dan pembuatan produk. Formulasi produk didasarkan pada tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu aren sebagai bahan utama pembuatan mi glosor. Tingkat substitusi tepung labu kuning sebesar 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Isolat Protein kedelai sebanyak 5% dari tepung yang digunakan ditambahkan pada formulasi untuk memenuhi standar kadar protein mi instan menurut SNI, yaitu sebesar 4%. Uji organoleptik melibatkan 30 orang panelis. Selain itu, dilakukan analisis karakteristik kimia yang terdiri dari analisis proksimat dan analisis kandungan beta karoten. Analisis lain yang juga dilakukan adalah analisis karakteristik fisik yang meliputi elongasi, warna, waktu masak optimum dan daya serap air.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu tingkat substitusi tepung labu kuning terhadap sagu aren. Keseluruhan data diolah
dengan menggunakan Microsoft Excel 2010S dan PSS 16.0 for Windows.
Labu kuning dengan umur 2-2,5 bulan dikupas dan dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah
labu kuning ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) dengan konsentrasi
0,25% selama 20 menit. Irisan labu kuning kemudian dikeringkan dengan cabinet
driyer pada suhu 60 - 700C selama ± 8 jam. Labu kuning setelah kering
kemudian dihaluskan dengan disc mill. Hasil proses penggilingan kemudian
Pembuatan produk terdiri dari tiga tahapan yaitu: pembuatan binder, pembuatan adonan, dan pencetakan mi. Binder dibuat dengan menggelatinkan 40 gram tepung sagu aren dan air dengan perbandingan 1:2 b/b. Binder dikatakan siap apabila suspensi telah mengental dan berwarna transparan. Tepung sagu aren kering dicampur dengan tepung labu kuning dengan jumlah sesuai formula, guar gum sebanyak 1 % dari total tepung, 0,2 g soda abu, 10 gram isolate protein kedelai dan garam. Semua bahan dicampur dengan metode
dry mixing hingga dirasa homogen. Binder dimasukkan ke dalam bahan kering kemudian diuleni secara manual hingga adonan tercampur rata. Adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder untuk dicetak. Pencetakan dilakukan dua kali agar terbentuk untaian mi yang lebih kompak dan homogen. Mi kemudian dikukus tiga kali masing-masing selama 1 menit. Mi kemudian di keringkan
dengan cabinet driyer pada suhu 60-700C hingga mi terlepas dari loyang.
Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air mi semakin menurun. Uji secara statistik menunjukkan bahwa hingga substitusi sebesar 40% tidak memberikan kontribusi secara nyata terhadap perbedaan kadar air pada mi glosor instan (p>0,05). Seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, kadar abu pada mi glosor instan cenderung meningkat. Uji secara statistik menunjukkan bahwa substitus berpengaruh sangat nyata terhadap perbedaan kadar abu mi glosor instan (p<0,01). Labu kuning memiliki kandungan mineral yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tepung sagu aren. Residu natrium metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan.
Peningkatan persentase substitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap perbedaan kadar protein mi glosor instan. Semakin meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning, kadar protein mi glosor instan yang dihasilkan semakin tinggi. Kandungan lemak pada mi glosor instan meningkat seiring dengan meningkatnya persentase substitusi tepung labu kuning. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan persentase subtitusi tepung labu kuning berpengaruh sangat signifikan (p<0,01) terhadap perbedaan kandungan lemak pada mi glosor instan yang dihasilkan.
Kandungan karbohidrat pada mi glosor instan ditentukan dengan
menggunakan metode by difference. Berdasarkan hasil analisis, semakin tinggi
persentase tepung labu kuning, kandungan karbohidrat pada mi glosor semakin sedikit. Namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat substitusi tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan kandungan karbohidrat mi glosor instan
(p>0,05). Analisis betakaroten dikenakan terhadap tiga formula dengan
tingkat substitusi terbesar. Seiring dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung labu kuning, kandungan betakaroten memiliki kecenderungan yang semakin meningkat pula. Hasil ini didukung oleh sidik ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan substitusi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan kandungan betakaroten dari tiga formula tersebut.
Sidik ragam menunjukkan bahwa substitusi tepung labu kuning memberikan perbedaan yang sangat nyata pada nilai L produk (P<0,01). Pada substitusi tepung labu kuning 10%, nilai meningkat dibandingkan F0. Namun seiring dengan meningkatnya substitusi nilai L cenderung terus turun. Substitusi
tepung labu kuning sebesar 10% menyebabkan nilai Hueo meningkat. Namun
seiring dengan meningkatnya substitusi tepung labu kuning, nilai Hueo produk
menunjukkan bahwa perlakuan tingkat substitusi tepung labu kuning berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perbedaan daya serap air. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, daya serap air F0 berbeda dengan daya serap air dari formula tersubstitusi tepung labu kuning.
PENGEMBANGAN MI GLOSOR INSTAN DARI TEPUNG SAGU
AREN DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG LABU KUNING SEBAGAI
ALTERNATIF UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN
Oleh:
Agus Setyabudi
I14080081
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Pengembangan Mi Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan
Substitusi Tepung Labu Kuning sebagai Alternatif untuk
Diversifikasi Pangan
Nama : Agus Setyabudi
NIM : I14080081
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD
NIP. 19620331 199811 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP. 19621218 198703 1 001
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia,
rahmat dan kemudahan sehingga skripsi yang berjudul “Pengembangan Mi
Glosor Instan dari Tepung Sagu Aren dengan Substitusi Tepung Labu Kuning
sebagai Alternatif untuk Diversifikasi pangan” dapat terselesaikan. Shalawat
serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW juga atas keluarga, sahabat
dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman kelak. Keberhasilan
penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis
sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen penguji skripsi atas berbagai
kritik dan saran yang sangat membangun untuk memperbaiki penulisan
skripsi ini.
3. Hanto Suwito dan Saminem selaku orang tua yang tak pernah lelah
mendidik dan memberi semangat dengan cinta dan kasih sayang yang
tiada tara.
4. Teman-teman anggota kelompok PKMP Saepul Rahman, Dessi Amelia
dan Ade Cucu Wahyudin atas semangat dan kerjasamanya selama
pelaksanaan penelitian.
5. Teknisi laboratorium departemen gizi masyarakat (Pak Mas, Bu Nina, Bu
TIti, Bu Risqy) yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian.
6. Sahabat-sahabat saya J’Co (Jawa Comunity) di Departemen Gizi
Masyarakat yang senantiasa bisa menjadi tempat berbagi.
7. Teman-teman satu jurusan yang selalu memberikan semangat dan
dukungan.
8. Kakak kelas dan adik kelas yang banyak membantu pelaksanaan skripsi
ini saya ucapkan terima kasih.
Kritik dan saran sangat diharapkan penulis agar dapat memperbaiki dan
menambah wawasan penulis.
Bogor, Februari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1990.
Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Hanto Suwito dan Saminem.
Pendidikan penulis diawali dengan taman kanak-kanak di TK Dharma Wanita
Pundungrejo. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SDN 1 Pundungrejo
dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan
oleh penulis di SLTPN 1 Tawangsari. Penulis menyelesaikan pendidikan
menengah tingkat atas di SMAN Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dengan jurusan Ilmu Gizi,
Departemen Gizi Masyarakat melalui jalur USMI.
Selama melaksanakan pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif
dalam keanggotaan Ecogrifarma selama dua masa kepengurusan yaitu tahun
2010 dan 2011. Penulis juga pernah ikut serta dalam kepanitian MPF (Masa
Perkenalan Fakultas) dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) pada tahun
2009, panitia Seminar Gizi 45 “Senzational 2” tahun 2011 dan kepanitian
Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012. Selain itu penulis melaksanakan
KKP (Kuliah Kerja Profesi) di Desa Limbangan, Kecamatan Karanganyar,
Kabupaten Pekalongan pada tahun 2011 serta Internship bidang Dietetika di
RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor.
Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
pada Departemen Gizi Masyarakat dengan melakukan penelitian yang berjudul
“Pengembangan Mi Glosor Instan dengan Substitusi Tepung Labu Kuning
sebagai Alternatif untuk Diversifikasi Pangan” yang merupakan Program
Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian (PKMP) yang didanai oleh DIKTI pada
DAFTAR ISI
Pembuatan Mi Instan ... 11
Isolat Protein Kedelai ... 13
METODE Waktu dan Tempat ... 15
Bahan dan Alat... 15
Metode ... 15
Rancangan Percobaan ... 20
Pengolahan dan Analisis data ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Labu Kuning ... 22
RendemenTepung Labu Kuning ... 24
Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning ... 24
Pembuatan Mi ... 28
Kandungan Zat Gizi Mi ... 32
Karakteristik Fisik Mi ... 35
Karakteristik Organoleptik Mi ... 42
Hubungan Karakteristik Produk dengan Tingkat Kesukaan Produk ... 55
Formula Terbaik ... 55
Kontribusi terhadap Angka Kecukupan Gizi ... 55
Analisis Biaya Pembuatan Mi ... 56
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 58
Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g) ... 6
2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g)... 7
3 Kandungan gizi tepung labu kuning ... 8
4 Syarat Mutu mi instan ... 10
5 Formulasi produk ... 17
6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning ... 24
7 Kandungan zat gizi mi ... 33
8 Hasil analisis warna produk ... 36
9 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi ... 39
10 Nilai elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air mi ... 39
11 Hasil uji hedonik produk ... 49
12 Kontribusi terhadap AKG ... 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor ... 5
2 Struktur kimia beta karoten ... 9
3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning ... 16
6 Diagram alir pembuatan binder adonan ... 18
5 Diagram Alir pembuatan adonan mi ... 18
6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan ... 19
7 Labu kuning ... 22
8 Tepung labu kuning ... 24
9 Binder adonan ... 29
10 Multifunctional noodle machine ... 31
11 Proses ekstruksi ... 31
12 Mi glosor instan ... 32
13 Nilai rata-rata mutu hedonik produk ... 48
14 Persentase panelis yang menerima warna mi ... 50
15 Persentase panelis yang menerima aroma mi ... 51
16 Persen penerimaan panelis terhadap tekstur mi ... 52
17 Persentase penerimaan panelis terhadap rasa produk ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lembar uji organoleptik mutu inderawi produk ... 65
2 Lembar uji hedonik mutu inderawi produk ... 66
3 Uji statistik mutu inderawi ... 67
4 Uji statistik data hedonik ... 70
5 Hasil analisis proksimat produk ... 73
6 Uji statistik analisis proksimat produk ... 78
7 Hasil analisis betakaroten ... 80
8 Uji statistik analisis beta karoten ... 80
9 Nilai warna produk ... 81
10 Uji Statistik warna produk ... 82
11 Hasil uji elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ... 85
12 Uji Statistik elongasi, waktu masak optimum dan daya serap air produk ... 86
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Melimpahnya sumber daya pangan yang ada di Indonesia merupakan
pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang sepatutnya kita syukuri. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya diversifisikasi atau variasi pangan dari satu daerah
dengan daerah yang lainnya. Ketika belajar di bangku Sekolah Dasar, kita
mendapatkan pengetahuan bahwa berbagai daerah di Indonesia memiliki
makanan pokok yang berbeda dari daerah lainnya. Sebagai contoh adalah
masyarakat Gunung Kidul, Jogjakarta yang memiliki makanan pokok thiwul yang
berasal dari gaplek (singkong kering), masyarakat Madura yang terkenal dengan
makanan pokok jagung, dan masyarakat Maluku serta Papua yang biasa
mengkonsumsi sagu.
Revolusi hijau yang mulai dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde
Baru menyebabkan perubahan pola komsumsi masyarakat. Revolusi hijau
mengutamakan penanaman tanaman pangan serealia. Jenis serealia yang
diutamakan ditanam di Indonesia dalam program revolusi hijau adalah padi.
Pergeseran kebiasaan konsumsi masyarakat tidak terhindarkan. Masyarakat
lebih cenderung menyukai mengkonsumsi nasi dari pada pangan lokal yang
sebelumnya biasa mereka konsumsi. Keadaan ini jelas berdampak besar
terhadap ketahanan pangan dan diversifikasi pangan.
Salah satu produk serealia selain padi yang juga banyak dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah gandum. Gandum biasanya digiling menjadi
tepung terigu yang merupakan bahan baku produk seperti roti, kue, mi dan
lain-lain. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa
pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak 5 juta ton gandum diimpor dari luar
negeri. Nilai tersebut terus bertambah pada tahun 2012. Indonesia tercatat
sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia. United State
Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2012, memperkirakan bahwa
impor gandum indonesia pada tahun 2012 meningkat sebanyak 12% menjadi 7,4
juta ton.
Produk hilir industri terigu yang sangat diminati oleh masyarakat adalah
mi. Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat mulai mencari pensubstitusi nasi
dengan mi yang berbahan baku terigu. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa
harga beras premium lebih mahal dari pada harga terigu (Kemendag RI 2011).
praktis dan ekonomis menjadi alasan masyarakat dalam memilih produk ini untuk
menjadi pilihan menu makanan. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap
orang Indonesia mengkonsumsi mi 73 bungkus/ tahun dan terus meningkat
sebesar 6%. Ini menjadikan Indonesia merupakan negara terbesar ketiga
pengkonsumsi mi di dunia (BPPT 2011).
Kondisi tersebut di atas tidak dapat dibiarkan terus menerus karena akan
berdampak kurang baik. Pemerintah harus mengimpor terigu dari luar negeri
dalam jumlah yang sangat besar. Trend peningkatan konsumsi terigu dari tahun
ke tahun menyebabkan peningkatan jumlah terigu yang harus diimpor. Oleh
karena itu, pemberdayaan sumber daya lokal sebagai tepung alternatif sangat
mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu.
Sagu aren merupakan sumber daya lokal yang bisa menjadi alternatif
substitusi tepung terigu sebagai bahan baku dalam pembuatan mi. Salah satu
produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor atau mi berbasis pati sagu aren,
yang merupakan makanan tradisional. Jenis mi seperti ini lebih banyak
dikonsumsi oleh penduduk di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur
(Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam mi basah. Mi glosor dikenal juga
dengan sebutan mi gleser, mi aci, mi leor, atau mi sruput.
Mi glosor diperjualbelikan dalam bentuk mi basah, sehingga terkendala
dalam usia simpan produk. Pembuatan mi glosor dalam bentuk instan
merupakan salah satu cara dalam mengatasi masalah masa simpan produk ini.
Kandungan air yang sedikit di dalam mi instan menjadi faktor yang sangat
berpengaruh terhadap peningkatan daya simpannya dibandingkan dengan mi
basah. Selain itu, kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi sangat
rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000). Oleh
karena itu diperlukan adanya tindakan untuk meningkatkan nilai kandungan gizi
dalam produk mi glosor. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengkombinasikan bahan dasar pembuatan mi glosor dengan bahan lain untuk
menambah nilai kandungan gizi.
Salah satu bahan pangan yang memiliki potensi untuk meningkatkan
kandungan gizi pada produk mi glosor adalah labu kuning (Cucurbita moschata
Durch). Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki
kandungan gizi yang sangat potensial terutama provitamin A. Labu kuning
mengandung 1596 µg beta karoten per 100 gramnya (Persagi 2009). Selain itu,
Produksi Labu kuning di Indonesia sebesar 107.000 ton/tahun pada tahun 2003
dan sebesar 114.000 ton/tahun pada tahun 2004 (http://www.hortikultura.go.id).
Labu kuning di negara-negara maju telah diolah dalam skala industri seperti
produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan serta bahan pengisi untuk
produk-produk tersebut. Di Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi
dengan cara diolah menjadi kolak, manisan dan dodol (Atika 2003).
Tepung labu kuning dapat dimanfaatkan untuk bahan campuran pada
pembuatan berbagai aneka makanan, seperti Lee et al. (2002) yang
menggunakan tepung labu kuning untuk ditambahkan dalam pembuatan mi
instan yang digoreng (instant fried noodles). Semakin bertambahnya tingkat
penambahan tepung labu kuning, kandungan beta karoten dari mi semakin
meningkat. Mi dengan 5,0% tepung labu kuning memiliki penampilan, rasa,
tekstur dan penerimaan yang paling baik. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) penambahan tepung labu kuning pada mi
berbahan dasar tepung ubi kayu mampu meningkatkan kadar zat gizi selain
karbohidrat seperti kandungan abu, protein dan lemak.
Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi mi glosor terutama di
kota Bogor menjadi salah satu potensi. Selama ini mi glosor diperjual belikan
dalam keadaan basah, sehingga tidak akan bertahan lama untuk penyimpanan.
Menjadikan mi glosor menjadi mi instan adalah suatu terobosan yang kreatif.
Namun untuk membuat mi glosor instan terutama yang memiliki nilai gizi lebih
(mengandung provitamin A) membutuhkan penelitian yang lebih dalam. Oleh
karena itu perlu diadakan studi laboratorium mengenai potensi pembuatan mi
glosor instan dengan substitusi tepung labu kuning.
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan mi glosor instan yang
menggunakan pewarna alami dan memiliki kandungan beta karoten yang berasal
dari tepung labu kuning sebagai pangan alternatif.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mempelajari cara pembuatan tepung labu kuning.
2. Menentukan formula substitusi tepung labu kuning terhadap tepung sagu
aren dalam pembuatan mi glosor instan.
4. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap
kandungan zat gizi dan beta karoten mi glosor instan.
5. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap
karakteristik fisik (warna, elongasi, waktu masak optimum dan daya
serap air) mi glosor instan.
6. Mempelajari pengaruh substitusi tepung labu kuning terhadap
karakteristik organoleptik mi glosor instan.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai adanya pangan alternatif non terigu yang sudah cukup
familiar di masyarakat, tetapi sudah mengalami modifikasi berupa penggunaan
tepung labu kuning sebagai sumber beta karoten dan pewarna alami sehingga
lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat dan dalam bentuk yang lebih tahan
lama dan mudah penyiapannya (instan). Hasil penelitian ini juga diharapkan
bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan bidang pangan dan gizi
masyarakat terutama dalam pemanfaatan sumber daya lokal dalam memenuhi
TINJAUAN PUSTAKA
Mi GlosorSalah satu produk lanjutan dari sagu aren adalah mi glosor. Mi ini banyak
dikonsumsi oleh masyarakat di daerah sekitar kota Bogor, Sukabumi, dan Cianjur
(Djoefrie 1999). Mi glosor termasuk ke dalam produk basah. Mi glosor dikenal
juga dengan sebutan mi aci, mi leor, atau mi sruput.
Mi yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat terbuat dari tepung
terigu yang harganya cukup mahal bila dibandingkan dengan mi glosor yang
terbuat dari sagu aren. Jika dilihat sekilas dari bentuk fisiknya, mi glosor tidak
berbeda jauh dengan mi yang terbuat dari tepung terigu, tetapi jika dilihat secara
seksama mi glosor memiliki warna yang lebih mengkilap dan lebih keras (Taufiq
2005). Proses pengolahan pati sagu menjadi mi dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (2004).
Gambar 1 Diagram proses pengolahan pati sagu menjadi mi glosor.
Mi glosor memiliki sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mi yang
terbuat dari terigu yaitu memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis
dan licin waktu dimakan. Kandungan karbohidrat mi glosor cukup tinggi, tetapi
sangat rendah kadar protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Hendrasari 2000).
Tabel 1 menyajikan kandungan energi dan zat gizi yang terkandung di dalam mi
glosor yang dijual di pasar.
Gelatinasi
Suspensi pati sagu air
Gel/ binder Pati sagu
Pengadukan
Pencetakan
Pemasakan
Perendaman
Penirisan Minyak
Tabel 1 Kandungan energi dan zat gizi mi glosor (per 100 g)
Komposisi Kandungan
Air (%) 82,9
Energi (kkal) 71
Protein (g) 0,2
Lemak (g) 0,8
Karbohidrat (g) 15,9
Serat (g) 0,1
Kalsium (mg) 117
Pospor (mg) 5
Natrium (mg) -
Kalium (mg) -
Β- karoten (µg) -
Vitamin C (mg) 0
Sumber: Persagi (2009)
Mi glosor dipasarkan dalam keadaan basah dan dijual dalam keadaan
curah atau dibungkus kantong plastik. Mi glosor biasanya berwarna kuning
transparan tetapi sebagian ada yang berwarna kuning kemerahan. Harga mi
glosor sangatlah murah, tidak lebih dari 1500/kg. Berdasarkan gambaran
tersebut, terlihat jelas bahwa segmen pasar mi glosor adalah kalangan
menengah ke bawah. Pada bulan puasa makanan ini merupakan salah satu
hidangan favorit untuk berbuka puasa.
Sagu Aren
Sagu aren merupakan pati yang diekstrak dari batang aren. Aren (Arenga
pinnata Merr.) termasuk suku Aracaceae (pinang-pinangan), merupakan
tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus oleh
daging buah. Tanaman aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah
Nusantara (Iswanto 2009). Aren memiliki beberapa nama di berbagai negara.
Aren dikenal dengan sebutan lain yaitu enau dan kawung (Sunda). Sementara itu
di Inggris, aren disebut sugar palm dan disebut kaong di Philipina.
Firdayati dan Handajani (2005) menyebutkan bahwa pembuatan sagu
aren dilakukan terlebih dahulu dengan menebang batang pohon aren kemudian
dipotong-potong sepanjang 1,25 – 2 meter. Tepung dan ampas pohon aren di
pisahkan dengan cara diinjak-injak.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan dasar dalam pembuatan mi glosor,
sagu aren juga digunakan dalam pembuatan makanan lain. Sagu aren dapat
sudah dikenal luas di masyarakat, yaitu soun, cendol, bakmi, dan hun kwe. Tabel
2 menyajikan data mengenai komposisi dan kandungan gizi sagu aren.
Tabel 2 Komposisi dan kandungan gizi sagu aren (per 100 g)
Komposisi Kandungan
Air (%) 11,9
Energi (kkal) 355
Protein (g) 0,6
Lemak (g) 1,1
Karbohidrat (g) 85,6
Serat (g) 0,3
Kalsium (mg) 91
Pospor (mg) 167
Natrium (mg) -
Kalium (mg) -
Β- karoten (µg) -
Vitamin C (mg) 0
Sumber: Persagi (2009)
Tepung Labu kuning
Labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diperkirakan berasal dari Peru
dan Meksiko, Amerika Tengah. Awal penyebarannya tidak diketahui secara pasti.
Tanaman ini banyak ditanam di daerah tropis seperti Asia Tenggara termasuk
Indonesia), Afrika, Amerika Tengah dan Karibia (Setiawan & Trisnawati 1993).
Setiawan dan Trisnawati (1993) menambahkan bahwa labu kuning memiliki daya
adaptasi yang tinggi. Tanaman ini dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan
iklim yang berlainan atau tahan terhadap suhu dan curah hujan tinggi, sehingga
labu kuning dapat ditanam di tempat yang berhawa panas dan dingin.
Saat ini di beberapa negara maju labu kuning telah diolah dalam skala
industri seperti produk-produk jam, jelly, kue, produk kalengan. Sedangkan di
Indonesia, buah Labu kuning masih dikonsumsi dengan cara diolah menjadi
kolak, manisan dan dodol (Atika 2003). Tepung labu kuning merupakan salah
satu produk lanjut dari pengolahan labu kuning. Namun tepung labu kuning
masih jarang di Indonesia, tetapi di Amerika labu sudah dimanfaatkan menjadi
tepung. Tepung labu tersebut telah diperdagangkan dengan menggunakan
pengemas berbentuk kantung-kantung kecil (Cruess 1958).
Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60
mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning, kadar air ± 3%.
dan suhu pengeringan yang digunakan. Semakin tua labu kuning, semakin tinggi
kandungan gulanya. Oleh karena kandungan gula labu kuning yang tinggi ini,
apabila suhu yang digunakan pada proses pengeringan terlalu tinggi, tepung
yang dihasilkan akan bergumpal dan berbau karamel (Hendrasty 2003).
Kualitas tepung labu kuning ditentukan oleh komponen penyusunnya
yang menentukan sifat fungsional adonan maupun produk tepung yang
dihasilkan serta suspensinya dalam air. Protein tepung labu kuning mengandung
protein jenis gluten yang cukup tinggi sehingga mampu membentuk jaringan tiga
dimensi yang kohesif dan elastis (Hendrasty 2003). Sifat ini akan berfungsi pada
pengembangan volume roti dan produk makanan lain yang memerlukan
pengembangan volume.
Tepung labu kuning mempunyai kualitas tepung yang baik karena
mempunyai sifat gelatinisasi yang baik, sehingga akan dapat membentuk adonan
dengan konsistensi, kekenyalan, viskositas maupun elastisitas yang baik,
sehingga roti yang dihasilkan akan berkualitas baik pula. Karbohidrat tepung labu
kuning juga cukup tinggi. Karbohidrat ini sangat berperan dalam pembuatan
adonan pati. Granula pati akan melekat pada protein selama pembentukan
adonan. Kelekatan antara granula pati dan protein akan menimbulkan kontinuitas
struktur adonan (Hendrasty 2003).
Tepung labu kuning sudah cukup banyak digunakan dalam beberapa
penelitian mengenai pengembangan produk. Tabel 3 menyajikan kandungan gizi
tepung labu kuning yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Pongjanta et al. 2006.
Tabel 3 Kandungan gizi tepung labu kuning
Komposisi zat gizi Kandungan
Air % 6,01
Protein (g) 3,74
Lemak (g) 1,34
Karbohidrat (g) 78,77
Serat (g) 2,9
Betakaroten µg 7290
Sumber: Pongjanta et al. (2006)
Beta Karoten
Beta karoten merupakan karotenoid, salah satu pigmen tanaman yang
dikenal memiliki sifat antioksidan dan efek lainnya. Zat ini cepat dikonversi oleh
tubuh menjadi vitamin A (Harnowo 2011). Menurut Fennema (1996), sekitar 25 %
sedangkan 75 % sisanya diubah menjadi vitamin A (retinol dengan bantuan
enzim 15, 15’ β-karoten dioksigenase. Beta karoten dengan dua cincin β-ionon merupakan provitamin A dengan aktivitas paling tinggi. Sedangkan karotenoid
provitamin A lainnya yang mempunyai satu cincin β-ionon seperti alpha karoten
dan gamma karoten, memiliki aktivitas yang lebih rendah (Gross 1991).Struktur
kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Struktur kimia beta karoten.
Beta karoten populer dengan sifat antioksidannya, sehingga dapat
melindungi sel tubuh dari kerusakan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
orang yang banyak mengkonsumsi buah dan sayuran kaya beta karoten dan
mineral lainnya menurunkan risiko mengidap beberapa jenis penyakit kanker dan
penyakit jantung (Harnowo 2011). Penyerapan dan penggunaan beta karoten di
dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah, tipe dan bentuk fisik karotenoid dalam
makanan. Selain itu dipengaruhi juga oleh asupan lemak, vitamin E, serat,
kecukupan protein dan zinc (Rodriguez-Amaya 1997). Beta karoten memiliki
Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2.5 mg/Kg berat badan (Kitts 1996).
Mi instant
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3551-2000,
yang dimaksud dengan mi instan adalah adonan terigu atau tepung beras atau
tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan
lainnya. Mi instan dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses
pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan
atau proses dehidrasi lainnya. Mi instan memilki sebutan nama lain yaitu ramen.
Setelah diperoleh mi segar, beberapa proses dapat ditambahkan untuk membuat
mi instan. Proses tambahan itu seperti pengukusan, pembentukan, dan
pengeringan. Kadar air mi instan umumnya sekitar 5-8% sehingga memilki daya
simpan yang lama (Astawan 2000).
Astawan (2000) menyatakan bahwa mi instan berdasarkan
pembuatannya dengan proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua. Mi instan
instan kering (instant dried noodle) yang pengeringannya dengan udara panas. Daya serap minyak mi instan goreng dapat mencapai hingga 20% selama
penggorengan (dalam proses pembuatan mi) sehingga mi instan goreng memiliki
keunggulan rasa dibandingkan mi jenis lain. Syarat dari mi instan goreng adalah
pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya
mi harus cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.
Dalam perkembangannya, mi instan yang beredar di pasaran sangat
banyak dan diproduksi oleh banyak perusahaan industri makanan. Sehingga
pemerintah melalui Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan peraturan
mengenai mi instan yang diperbolehkan untuk dipasarkan ke konsumen di tanah
air. SNI yang mengatur mengenai mi instan adalah SNI 01-3551-2000 yang
merupakan revisi dari SNI sebelumnya yaitu SNI 01-3551-1996. Ruang lingkup
dari SNI ini meliputi definisi, komposisi dan syarat mutu, cara pengambilan
contoh, cara uji, higiene, cara pengemasan dan syarat penandaan mi instan.
Suatu produsen pangan yang hendak meluncurkan produk berupa mi
instan ke pasaran harus memenuhi beberapa syarat mutu menurut SNI
01-3551-2000. Tabel 4 menyajikan syarat mutu yang harus dipenuhi dalam suatu produk
mi instan.
Tabel 4 Syarat Mutu mi instan
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan 2)
1.1 Tekstur - Normal/dapat diterima
1.2 Aroma - Normal/dapat diterima
1.3 Rasa - Normal/dapat diterima
1.4 Warna - Normal/dapat diterima
2. Benda asing 1) - Tidak boleh ada
3. Keutuhan 1) %b/b Min. 90
4. Kadar air 1)
4.1 Proses penggorengan %b/b Maks. 10,0
4.2 Proses pengeringan %b/b Maks. 14,5
5. Kadar protein 1)
5.1 Mi dari terigu %b/b Min. 8,0
5.2 Mi dari bukan terigu %b/b Min. 4,0
6. Bilangan asam 1) Mg KOH/g minyak Maks. 2
7. Cemaran logam 2)
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
8. Arsen (As) 2) mg/kg Maks. 0,5
9. Cemaran mikroba 2)
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1,0 x 106
9.2 E. coli APM/g <3
9.3 Salmonela - Negatif per 25g
9.4 Kapang Koloni/g Maks. 1,0 x 103
1)
Berlaku untuk kepingan mi 2)
Berlaku untuk kepingan mi dan bumbunya
Pembuatan Mi Instan
Tahapan dalam pembuatan mi instan terbadi atas beberapa langkah.
Berikut adalah tahapan pembuatan mi instan menurut Astawan (2000):
a. Pengadukan adonan
Tahapan awal dalam pembuatan mi instan adalah pencampuran zat
warna (umumnya tartrazine) dengan air, kemudian dimasukkan ke mesin
pengaduk material yang di dalamnya telah terdapat tepung terigu. Campuran di
aduk sampai menjadi adonan yang merata, lama proses ini kira-kira lima belas
menit. Adonan yang terbentuk diharapakan, lunak, lembut, halus, dan kompak.
b. Pelempengan mi
Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke
dalam mesin pelempeng. Dalam mesin pelempeng (roll press), adonan akan
dibentuk menjadi lempengan-lempengan, dimana pada proses ini serat-serat
gluten akan menjadi halus.
Pada awalnya, adonan yang keluar dari mesin pelempeng bersifat rapuh
dan kasar dengan ketebalan sekitar 1,5 cm. Dengan melalui lima pasang
silinder yang berbeda ketebalannya, akhirnya adonan akan membentuk
lempengan yang halus, homogen, tidak terputus, serta mempunyai ketebalan
sekitar 1,5 mm. Pembentukan lempengan yang baik tersebut tertunjang oleh
panas yang ditimbulkan mesin.
c. Pencetakan mi
Lempengan adonan yang telah terbentuk, kemudian dimasukkan ke
mesin pencetak mi. Lempengan tersebut akan dipotong menjadi pilinan-pilinan
mi dengan lebar 1-2 mm dan berombak-ombak. Pada proses ini pula, pilinan mi
dibagi menjadi lima bagian yang memanjang.
Mi dibuat dalam bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki
penggorengan karena adanya konduksi panas dan sirkulasi panas dari minyak
di dalamnya.
d. Pemasakan mi
Pilinan mi hasil dari pencetakan kemudian dikukus selama 135 detik.
Panas yang digunakan berasal dari uap sehingga pilinan mi yang keluar sudah
masak, kadar air menurun dan padat. Pada waktu pengukusan tersebut terjadi
gelatinasi pati dan koagulasi gluten sehingga ikatan menjadi keras dan kuat, mi
menjadi kenyal, serta mi tidak menyerap minyak terlalu banyak dan lembut.
e. Pemotongan awal
Setelah melalui pemasakan awal, mi dikeringkan dengan kipas supaya
agak kering. Selanjutnya dipotong-potong sekitar 12 cm dan bobot sekitar 80
gram.
f. Penggorengan
Mi yang telah dipotong-potong dengan ukuran dan berat tertentu
kemudian diangkut menuju penggorengan. Dalam proses penggorengan ini,
digunakan minyak dengan suhu 150 0C selama 109 detik sehingga kadar air
menurun dan mi menjadi kering serta padat. Suhu minyak yang tinggi akan
menyebabkan air menguap dengan cepat dan membentuk pori-pori halus yang
dapat mempercepat proses rehidrasi (penyerapan air pada saat mi dimasak).
g. Pendinginan
Mi yang telah digoreng didinginkan dengan menggunakan kipas angin
dalam mesin pendingin. Proses ini akan menyebabkan pengerasan minyak
yang terserap dan menempel pada mi sehingga mi pun menjadi keras. Apabila
proses pendinginan tidak sempurna, uap air yang tersisa akan mengembun dan
menempel pada permukaan mi sehingga akan memicu tumbulnya jamur.
Dalam perkembanganya, teknik yang dipaparkan oleh Astawan (2000)
lebih dikenal dengan teknik kalendering. Pembuatan mi dengan teknik
kalendering, secara garis besar terdiri dari empat tahapan yaitu pencampuran
bahan-bahan, pengukusan, pencetakan (pressing, sheeting dan slitting) dan
perebusan. Teknik ini sangat cocok untuk mi yang berbahan dasar tepung
terigu. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan tepung terigu dalam mebentuk
adonan yang kohesif, ekstensibel dan elastis (Ekafitri 2010).
Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, mulailah dicoba
pembuatan mi dengan berbahan dasar non terigu. Berbagai macam tepung non
jagung, tepung beras dan tepung sagu. Perbedaan karakteristik tepung terigu
dan tepung non terigu mengakibatkan sulit dilakukannya teknik calendering
dalam pembuatan mi berbahan dasar non terigu. Pengggunaan teknik
calendering pada produk mi non terigu sulit dilakukan karena adonan tidak dapat membentuk lembaran yang kohesif, ekstensibel dan elastis.
Pembentukan adonan sangat mengandalkan terjadinya proses gelatinasi,
sehingga teknik yang dianggap paling sesuai dalam pembuatan mi non terigu
adalah teknik ekstruksi (Ekafitri 2010).
Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa teknik ekstruksi dapat
berupa pengolahan suhu rendah seperti pasta, atau pengolahan suhu tinggi
seperti pada pengolahan makanan ringan. Tekanan yang digunakan dalam
ekstruder berfungsi mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang
sangat panas, dan meningkatkan pengadukan. Tekanan yang digunakan
bervariasi antara 15 sampai lebih dari 200 atm. Tujuan utama ekstruksi adalah
untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai bentuk,
tekstur, warna dan cita rasa. Pemasakan ekstruksi dengan proses suhu tinggi
waktu pendek (HTST, high temperature short time) dapat mencegah kontaminasi
dan inaktivasi enzim.
Secara lebih lanjut di dalam Estiasih dan Ahmadi (2011) dijelaskan alat
ekstrusi (ekstruder) terdiri suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan
bahan baku sehingga berubah menjadi bahan semi padat. Bahan tersebut
ditekan keluar melalui lubang terbatas (cetakan/ die) pada ujung ulir. Jika bahan
baku tersebut mengalami pemanasan maka proses ini disebut pemasakan
ekstruksi.
Ciri utama proses eksruksi adalah sifatnya yang kontinu. Alat ekstruder
dioperasikan dalam kondisi kesetimbangan dinamis, yaitu input setara dengan
output, atau bahan yang masuk setara dengan produk yang dihasilkan. Untuk
mendapatkan karakteristik ekstrudat tertentu, bahan yang masuk dan kondisi
pengoperasian harus diatur sedemikian rupa sehingga perubahan kimia yang
terjadi pada barel (tabung dalam ekstruder) sesuai dengan yang diinginkan
(Estiasih dan Ahmadi 2011).
Isolat Protein Kedelai
Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling
murni, karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini
kauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai. Isolate
protein kedelai biasanya digunakan sebgai bahan campuran dalam makanan
olahan daging dan susu (Santoso 2005).
Dari pembuatan minyak kedelai dihasilkan bungkil kedelai tanpa kulir
dengan kadar protein 40 – 50 persen. Bungkil ini dapat dibuat tepung, isolat dan
konstrat protein kedelai. Konsentrat dan isolat protein kedelai adalah produk dari
protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah (untuk isolat dapat juga dari
kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa sehingga kandungan proteinnya
tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein pada konsentrat kedelai adalah
minimum 70 %, sedangkan isolat minimum 95 % . Kedua produk ini sangat
dibutuhkan dalam insustri pangan karena banyak sekali digunakan dalam
formulasi berbagai jenis makanan (Santoso 2005).
Isolat protein digunakan dalam industri pangan untuk beberapa alasan,
diantaranya gizi (meningkatkan kandungan protein), faktor inderawi (rasa yang
lebih enak) dan alasan fungsional (kebutuhan akan emulsifier, penyerapan air
dan minyak dan sifat adhesive). Isolat protein kedelai biasanya digunakan dalam
produk-produk seperti: makanan ringan, cereal untuk sarapan, bar tinggi energi
dan protein, ice crea, yogurt, produk peternakan seperti daging, unggas dan ikan
(www.soya.be). Isolate protein juga sering digunakan dalam penelitian
pengembangan produk dalam skala lab. Christina (1996) menggunakan isolat
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai dengan
bulan September 2012. Tempat pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa
tempat. Pembuatan tepung labu kuning dan pembuatan produk dilaksanakan di
SEAFAST CENTER, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan
di dua laboratorium Departemen Gizi Masyarakat yaitu Laboratorium Uji
Sensoris untuk uji organoleptik dan Laboratorium Analisis Kimia Makanan dan
Zat Gizi untuk analisis kandungan zat gizi produk. Tempat terakhir adalah
Laboratorium Balai Besar Industri Agro Bogor untuk analisis kandungan beta
karoten.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari
bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan dan bahan-bahan-bahan-bahan
untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat mi glosor
instan atara lain: pati sagu aren yang diperoleh dari Kecamatan Sagaranten,
Kabupaten Sukabumi, labu kuning umur 2-2,5 bulan yang diperoleh dari
Kabupaten Sukabumi, isolat protein kedelai, air, STPP (sodium tripoly phospat),
guar gum, dan soda abu. Sementara itu bahan-bahan pendukung antara lain
asam sulfat pekat, asam klorida 0,1 N, selenium mix, natrium hidroksida,
indikator bromkresol hijau dan metil merah, asam borat, aquades, n-heksan.
Alat-alat yang akan digunakan untuk penelitian ini terdiri atas peralatan
pembuatan tepung labu kuning, peralatan pembuatan mi dan peralatan analisis
kimia. Peralatan yang digunakan untuk membuat tepung labu kuning antara lain:
pisau, talenan, mesin penyawut, pengering rak (cabinet drier), discmill dan alat
pengayak. Sementara itu alat untuk membuat mi antara lain: timbangan digital,
kompor, panci, baskom, alat pencetak mi (ekstruder), pengering rak (cabinet
drier).
Metode
1. Persiapan Bahan Baku
Salah satu bahan baku dalam pembuatan mi glosor instan adalah
tepung labu kuning. Karena tidak adanya tepung labu kuning yang dijual secara
komersial, maka tepung labu kuning harus dibuat sendiri. Proses awal dari
Tepung labu kuning dibuat dari labu kuning yang berumur 2-2,5 bulan
setelah masa tanam. Labu kuning kemudian dikupas kulitnya. Tindakan
selanjutnya adalah pemisahan antara daging buah dan biji serta bagian hati dari
labu kuning. Potongan dari labu kuning kemudian di sawut untuk menghasilkan
irisan yang lebih kecil lagi. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses
pengeringan. Hasil sawutan kemudian direndam ke dalam larutan natrium
metabislufit 0,25% selama 20 menit dan ditiriskan. Labu kemudian dimasukkan
ke dalam cabinet drier untuk dikeringkan pada suhu sekitar 60-70 oC selama
kurang lebih 8 jam. Proses penepungan labu kuning disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung labu kuning.
2. Formulasi Mi Glosor Instan
Formulasi mi didasarkan pada perbandingan antara bahan baku utama,
yaitu tepung sagu aren dengan bahan pensubstitusinya, tepung labu kuning dan
bahan lain. Detail mengenai formulasi produk mi glosor instan disajikan pada
Tabel 5.
Labu kuning
Pengupasan dan pemotongan
Pemisahan biji
penyawutan
Perendaman larutan Na-metabisulfit selama 20 menit
Penirisan
Pengovenan suhu 600– 700 C ±
selama 8 jam
Penggilingan dan pengayakan 100 mesh
Tabel 5 Formulasi produk.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan mi glosor instan
substitusi tepung labu kuning terdiri atas tepung sagu aren, tepung labu kuning,
isolate protein kedelai, garam, STPP (sodium tripoly phospat), guar gum dan air.
Sebanyak 40 gram tepung sagu aren dari setiap formula akan berperan sebagai
binder adonan. Sementara itu, sisanya akan dicampurkan menjadi adonan
dalam bentuk kering. Tepung labu kuning yang digunakan untuk mensubstitusi
tepung sagu aren meningkat dengan interval 20 gram (10%).
Mi yang diperoleh dari sagu alami tanpa penambahan bahan tambahan
pangan masih memiliki berbagai kelemahan. Oleh karena itu diperlukan bahan
tambahan untuk memperbaiki karakteristiknya (Sugiyono 2008). Jenis bahan
tambahan pangan yang digunakan untuk adonan adalah garam alkali berupa
sodium tripoliphospat (STPP), thickner berupa guar gum, dan pengatur keasaman berupa soda abu.
Penambahan STTP ditentukan berdasakan standar CODEX untuk mi
instan, yaitu CODEX STAN 249-2006. Jumlah maksimum STPP yang dapat
ditambahkan sebesar 2000 mg/kg. Penambahan guar gum sebanyak 1% dari
total tepung yang digunakan. Soda abu yang dicampurkan sebanyak 0,2 gram
untuk setiap formula. Berdasarkan astawan (2000), jumlah garam yang
diberikan dalam pembuatan mi instan sebesar 0,2% dari adonan.
3. Pembuatan Produk
3.1 Pembuatan binder adonan
Tahap pertama pembuatan mi sagu adalah pembuatan binder adonan.
Sugiyono et al. (2008) menyatakan bahwa binder adonan mi terbaik dibuat dari
perbandingan tepung sagu aren dan air sebesar 1:2. Binder adonan yang baik
binder t. sagu aren + t. Labu kuning + soda abu + guar gum
mi yang diharapkan adalah yang tidak hancur jika ditekan, tidak mudah putus
jika ditarik dan tidak lengket antar untaian.
Tepung sagu sebanyak 40 gram dicampurkan dengan air seberat 80
gram. Suspensi yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinasi.
Binder yang telah terbentuk ditandai dengan kekentalan suspensi yang
meningkat dan warna yang berubah menjadi transparan. Diagram alir
pembuatan binder adonan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Diagram alir pembuatan binder adonan.
3.2 Pembuatan adonan
Binder adonan yang telah terbentuk kemudian dicampurkan dengan
tepung sagu dan tepung labu kuning yang telah ditambahkan guar gum, soda
abu dan garam sesuai dengan komposisi masing-masing pada setiap formula
Binder diuleni bersama dengan campuran tepung sagu aren dan tepung labu
kuning hingga merata. Gambar 5 menunjukkan prosedur pencampuran adonan
dalam pembuatan mi glosor instan dalam penelitian ini.
Gambar 5 Diagram alir pembuatan adonan mi.
40 g tepung sagu aren
+
0,4 g STTP + 80 gram airDicampur rata
Dipanaskan sambil diaduk-aduk
Binder
dicampur rata
+
diuleni
3.3 Pencetakan
Adonan diekstruksi dengan menggunakan multifunctional noodle
machine. Untaian mi yang keluar dari ekstruder dikukus pada suhu ± 950C selama tiga kali pengukusan. Pengukusan pertama dilakukan selama 1 menit.
Untaian mi kemudian dikeluarkan dan dibalik. Untaian mi yang telah dibalik
kemudian di kukus lagi selama 1 menit. Setelah itu untaian mi dicetak dan di
kukus kembali selama 1 menit. Selanjutnya untaian mi dikeringkan di dalam
oven udara pada suhu 60-70 0C selama 1 jam. Diagram alir dalam pembuatan
mi glosor instan substitusi tepung labu kuning disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir pencetakan mi glosor instan.
4. Analisis Karakteristik Sensori, Tingkat Kesukaan dan Persen Penerimaan Produk
Karakteristik sensori, tingkat kesukaan dan persen penerimaan produk
diketahui dengan menggunakan uji organoleptik. Uji organoleptik produk
meliputi parameter rasa, warna, aroma dan tekstur. Uji organoleptik terhadap
produk terdiri atas uji mutu hedonik dan uji hedonik. Uji mutu hedonik
merupakan uji yang dipergunakan untuk mengetahui karakteristik sensori
produk menurut panelis. Pengukuran skala mutu hedonik dilakukan dengan
menggunakan skala garis dari mulai bernilai satu (amat sangat lemah) sampai
sembilan (amat sangat kuat). Sementara itu uji hedonik dipergunakan untuk
mengetahui tingkat kesukaan dan persen penerimaan panelis terhadap produk.
Skala yang digunakan dalam uji hedonik dimulai dari satu (amat sangat tidak dimasukkan ke ekstruder
untaian mi
dimasukkan ke ekstruder
dikukus 3 menit
dioven; 600 C; 1 jam
suka) sampai sembilan (amat sangat suka). Panelis yang dilibatkan dalam uji
organoleptik ini sebanyak 30 orang yang merupakan mahasiswa yang sudah
cukup sering dilibatkan dalam uji organoleptik berbagai produk penelitian
mahasiswa.
5. Analisis Karakteristik Kimia Produk
Analisis karakteristik kimia produk terdiri atas analisis proksimat dan
analisis kadar beta karoten. Analisis proksimat digunakan untuk mengetahui
kandungan zat gizi makro produk seperti air, abu, protein, lemak dan
karbohidrat. Kadar air dan abu produk ditentukan secara gravimetri. Kadar
lemak produk ditentukan dengan menggunakan metode soxhletasi. Metode
mikro-kjedahl digunakan untuk mengetahui kandungan protein pada produk.
Sementara itu kandungan karbohidrat produk ditentukan secara by-difference,
yaitu dengan mengurangi 100% dengan (% air + % abu + % lemak + % protein).
Kadar beta karoten pada produk dihitung dengan menggunakan metode HPLC.
6. Analisis Karakteristik Fisik Produk
Analisis karakteristik fisik produk meliputi analisis warna dan elongasi.
Analisis warna produk dilakukan dengan menggunakan kromameter. Sementara
itu analisis elongasi dilakukan dengan menggunakan alat Tensile Strenght
tester. Hasil dari analisis ini dipergunakan untuk mengetahui derajat warna dan daya rentang mi secara objektif.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancang Acak Lengkap (RAL).
Model yang digunakan adalah
Yij = µ + Ti + εij
Keterangan:
Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i : Banyaknya perlakuan (i=5)
j : Banyanyaknya ulangan (j=2)
µ : Rataan umum
Ti : Rasio antara tepung sagu aren dan tepung labu kuning
Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil uji organoleptik dan analisis fisik dan kimia diolah dengan
menggunakan MS. Excel 2010. Program SPSS 16.0 for Windows digunakan
untuk analisis data secara statistik meliputi uji ragam (Anova), uji lanjut Duncan
dan uji crosstab. Data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif
menggunakan nilai rata-rata dan persentase penerimaan panelis terhadap
formula mi. Data hasil uji organoleptik dianalisis statistik dengan Analysis of
Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara
perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparation Test. Uji
mutu hedonik dan uji hedonik dilakukan analisis Korelasi Spearman untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara hasil uji mutu hedonik dan hedonik.
Nilai kandungan gizi mi glosor instan dianalisis statistik dengan Analysis of
Variance (ANOVA), apabila hasil ini menunjukkan adanya perbedaan diantara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Tepung Labu Kuning
Penelitian ini diawali dengan pembuatan tepung labu kuning. Tepung labu
kuning memiliki peran ganda yaitu sebagai pewarna alami pada produk mi glosor
instan dan sebagai sumber beta karoten pada produk tersebut. Penggunaannya
adalah dengan mensubstitusi tepung sagu aren yang merupakan bahan utama.
Labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning yang
tergolong masih mengkal. Usia labu kuning yang digunakan antara 2 sampai 2,5
bulan. Menurut Hendrasty (2003) labu kuning yang masih mengkal adalah labu
kuning yang berumur hingga 10 hari sebelum mencapai masa panen. Labu
kuning lokal biasanya dipanen pada usia antara 3 sampai 4 bulan (Hendrasty
2003). Selanjutnya, panen labu kuning dilakukan terus menerus dengan interval
2-3 kali perminggu (Kirana et al. 2012). Gambar 7 merupakan bentuk utuh dan
belah dari labu kuning yang digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 7 Labu kuning.
Pembuatan tepung labu kuning diawali dengan pengupasan kulit. Labu
kuning memiliki kulit luar yang keras. Nurhayati (2005) menyatakan bahwa
selama proses pematangan berlangsung, kulit luar labu kuning akan semakin
keras. Kulit luar yang keras pada labu kuning disebabkan oleh massa
sklerenkima yang berada di bagian luar. Bagian labu kuning yang akan
ditepungkan adalah daging buahnya saja. Oleh karena itu, bagian lain selain
daging buah, seperti kulit luarnya, biji dan bagian tengah dari labu kuning
dibuang.
Daging buah labu kuning yang telah dipotong-potong kemudian disawut
menjadi irisan-irisan yang lebih kecil. Tujuan dari proses penyawutan adalah
untuk mempercepat pada saat proses pengeringan. Semakin banyak permukaan
singkat. Tahapan selanjutnya adalah perendaman irisan daging buah labu kuning
ke dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5).
Berdasarkan Apriyantono (2002) sulfit dapat berperan sebagai
antioksidan. Hal ini dibuktikan pada penelitian Widyowati (2007) bahwa
penurunan vitamin C pada tepung ubi jalar kuning semakin kecil seiring dengan
peningkatan jumlah natrium bisulfit yang digunakan dalam larutan perendaman.
Selain itu perlakuan perendaman dalam larutan Natrium metabisulfit
menghasilkan keripik wortel dengan kandungan karotenoid tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sulaeman et al. 2001). Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan natrium metabisulfit dapat menghambat laju
kerusakan karotenoid yang di dalamnya termasuk beta karoten. Pada penelitian
ini kosentrasi larutan Natrium metabisulfit yang digunakan untuk perendaman
adalah 0,25%. Irisan labu kuning direndam selama 20 menit.
Tahapan selanjutnya adalah pengeringan. Irisan labu kuning yang telah
tiris kemudian ditempatkan ke dalam trey atau loyang secara merata. Irisan labu
kuning kemudian dimasukkan ke dalam pengering rak (cabinet driyer) untuk
diturunkan kadar airnya. Pengeringan dilakukan pada suhu antara 60 0C sampai
70 0C. Waktu pengeringan dilaksanakan selama ± 8 jam. Irisan labu kuning
dikatakan kering apabila irisan labu kuning sudah memiliki tekstur rapuh dan
mudah patah ketika di remas-remas.
Suhu pengeringan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam
proses pengeringan bahan-bahan pangan yang mengandung beta karoten.
Histifarina et al. (2004) menyatakan bahwa suhu tinggi menyebabkan degradasi
karoten pada irisan wortel yang dikeringkan. Selanjutnya Herastuti et al. (1983)
menyatakan bahwa senyawa karoteniod mudah teroksidasi terutama pada suhu
tinggi yang disebabkan oleh adanya sejumlah ikatan rangkap dalam struktur
molekulnya. Namun karotenoid memiliki melting point yang tinggi, biasanya
berkisar dari 130 0C sampai 220 0C (Hendry dan Houghton 1996).
Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah menggiling dan mengayak
irisan labu kuning hasil proses pengeringan. Penggilingan dilakukan dengan
menggunakan disc mill. Mesin penepungan ini dapat digunakan untuk membuat
tepung dari aneka bahan seperti tepung beras, kedelai, cabe kering, kopi,
jagung, bahan-bahan industri, bahan obat-obatan herbal, bumbu kering dan lain
tepung labu kuning dengan ukuran 100 mesh. Tepung labu kuning yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Tepung labu kuning.
Rendemen Tepung Labu Kuning
Penghitungan rendemen dilakukan dengan cara membandingkan tepung
labu kuning yang dihasilkan dengan berat labu kuning utuh sebagai bahan
pembuatan tepung labu kuning. Labu kuning utuh seberat 11. 799 gram dikupas
dan daging buahnya dipisahkan dari kulit, biji dan bagian tengah buah. Setelah
dilakukan penggilingan dengan ukuran 100 mesh, diperoleh tepung labu kuning
seberat 578 gram tepung labu kuning, sehingga diperoleh rendemen tepung labu
kuning sebesar 4,9%. Nilai rendemen tepung labu kuning mendekati dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pratama pada tahun 2009. Pratama (2009)
memperoleh hasil bahwa rendemen tepung labu kuning yang dalam
pembuatannya tidak dikenai perlakuan memiliki rendemen sebesar 5,93%.
Kandungan Gizi Tepung Labu Kuning
Kandungan gizi dari tepung labu kuning yang disajikan pada Tabel 6
merupakan hasil analisis proksimat dan analisis kadar beta karoten.
Tabel 6 Kandungan zat gizi tepung labu kuning.
Komponen
Kandungan zat gizi Anggraini et al.
(2006)
Widowati et al.
(2001)
Air (% bb) 11,94 10,8 11,14
Abu (% bk) 8,11 6,60 5,89
Protein (% bk) 4,83 10,07 5,04
Lemak (% bk) 1,30 0,78 0,08
Karbohidrat (% bk) 85,74 81,52 77,65
Kadar air
Pada penelitian ini labu kuning yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar
11,94% (bb). Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Anggraini et al. (2006) yang bernilai 10,8% bb dan Widowati et al.
(2001) sebesar 11,14% bb. Perbedaan nilai ini diduga disebabkan oleh
perbedaan dalam metode pengeringan yang dilakukan. Desrosier (1988)
menyatakan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan
yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari
bahan akan semakin banyak.
Pada penelitian ini suhu pemanasan yang digunakan adalah 60 0C
sampai 70 0C. Waktu pemanasan hingga irisan labu di anggap kering adalah
sekitar 8 jam. Sementara itu Anggraini et al. (2006) menyatakan bahwa
pengeringan labu kuning dilakukan pada suhu 60 0C dengan waktu 15 jam.
Winarno (1993) menjelaskan bahwa pengeringan dipengaruhi utamanya oleh
luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap udara dan
waktu pengeringan.
Kadar Abu
Pada penelitian ini, kadar abu dari tepung labu kuning sebesar 8,11% bk.
Hasil tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu dari tepung labu
kuning yang diperoleh pada penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu 6,60% bk dan
Widowati et al. (2001) sebesar 5,89% bk. Penggunaan natrium metabisulfit pada
pembuatan tepung labu kuning diduga mempengaruhi kadar abu yang diperoleh.
Rahayu (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium
metabisulfit yang digunakan dalam perlakuan perendaman, maka residu natrium
metabisulfit pada bahan pangan pun akan semakin tinggi. Residu natrium
metabisulfit merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar pada saat
pengabuan sehingga terhitung sebagai kadar abu dari pangan.
Kadar Protein
Kandungan protein dari tepung labu kuning yang dihasilkan sebesar
4,83% bk. Nilai ini setengah dari kadar protein tepung labu kuning pada
penelitian Anggraini et al. (2006), yaitu sebesar 10,07% bk. Namun nilai kadar
protein tidak terpaut jauh dari hasil penelitian Widowati et al. (2001) sebesar
Kadar Lemak
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar lemak tepung labu kuning pada
penelitian ini sebesar 1,30% bk. Apabila dibandingkan dengan penelitian
Anggraini et al. (2006) nilai ini sedikit lebih besar (0,78% bk). Sementara itu
kandungan lemak tepung labu kuning pada penelitian Widowati et al. (2001)
sangat kecil, yaitu 0,08% bk.
Kadar Total Karbohidrat
Kadar total karbohidrat ditentukan secara kasar dengan menggunakan
metode by difference. Total karbohidrat yang diperoleh dengan metode by
defference merupakan 100% kandungan total zat gizi bahan pangan setelah dikurangi oleh kadar air, abu, protein dan lemak dari bahan yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil perhitungan, kadar total karbohidrat tepung labu kuning
sebesar 85,74% bk. Kandungan karbohidrat berdasarkan basis kering lebih
besar jika dibandingkan dengan hasil pada penelitian Anggraini et al. (2006) dan
Widowati et al. (2001) dimana kandungan karbohidrat sebesar 81,52% bk dan
77,65% bk.
Kadar beta karoten
Labu kuning merupakan salah satu bahan pangan yang tinggi akan beta
karoten. Labu kuning mengandung 1569 µg beta karoten dalam 100 gram
BDDnya. Pembuatan tepung akan membuat bahan lebih awet, lebih praktis
dalam penggunaannya, serta lebih mudah dalam pengemasan maupun
penyimpanan (Muchtadi 1989). Namun perlakuan pemanasan sangat
berpengaruh terhadap kandungan zat gizi dari suatu bahan pangan terutama
beta karoten.
Kadar beta karoten dari tepung labu kuning dalam penelitian ini sebesar
1690 µg/100g. Anggraini et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan beta
karoten pada tepung labu kuning sebesar 17,92 RE/g. Jika setiap RE
mengandung 6 µg beta karoten, maka kandungan beta karoten tepung labu
kuning dalam penelitian tersebut sebesar 10.752 µg/100g. Hal ini berarti
kandungan beta karoten tepung labu kuning dalam penelitian ini lebih kecil
dibandingkan dengan Anggraini et al. (2006).
Perbedaan kandungan beta karoten tepung labu kuning pada penelitian
ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) diduga disebabkan
oleh beberapa hal. Perbedaan varietas dan tingkat kematangan labu kuning yang