• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

Dalam dokumen PENELITIAN TAHUN 2020 (Halaman 19-36)

Pada penelitian tentang ketepatan sasaran dan nilai kemanfaatan bantuan sosial sembako di Jabodetabek ada dua karakteristik responden yaitu penerima manfaat dan RT/RW penanggungjawab titik bagi.

Penerima Manfaat

Responden dalam penelitian ini adalah Keluarga Penerima Manfaat dari Program Bantuan Sosial Pangan di Wilayah Jabodetabek. Jenis kelamin responden yang di wawancarai terdiri dari 72,6 persen laki-laki dan 27,4 persen perempuan. Tingkat pendidikan terakhir responden mayoritas adalah SMA yaitu sebanyak 46,6 persen dan SD sebanyak 20,5 persen. Dari tingkat pendidikan, sebagian besar adalah berpendidikan rendah dan hanya 5,2 persen yang berpendidikan tinggi (Diploma dan Sarjana). Umur responden mayoritas berusia antara 40 sampai dengan 49

tahun yaitu sebanyak 32,7 persen dan yang tergolong lanjut usia atau lebih dari 60 tahun sebanyak 15 persen.

Jumlah anggota keluarga bervariasi antara 1 sampai lebih dari 8 orang dalam satu keluarga, namun mayoritas keluarga mempunyai anggota 4 orang yaitu sebesar 34,2 persen dan yang mempunyai anggota keluarga 3 orang sebanyak 23,2 persen. Pekerjaan utama keluarga sebagian besar adalah ibu rumahtangga sebanyak 20,9 selanjutnya buruh serabutan sebanyak 19 persen, karyawan swasta sebanyak 15,9 persen dan wiraswasta sebesar 14,1 persen.

Ketua RT/RW

Responden kedua adalah ketua RT/RW atau yang ditunjuk sebagai penanggung jawab titik bagi bantuan sosial sembako. Berdasarkan jenis kelaminnya sebagai responden adalah laki-laki sebanyak 84,11 persen dan 15,89 persen. Berdasarkan jabatannya, responden dalam penelitian ini adalah ketua RT sebanyak 53,27 persen, ketua RW sebanyak 38,32 persen, sekretaris RW sebanyak 3,74 persen, sekretaris RT sebanyak 2,80 persen dan lainnya yang ditunjuk untuk bertanggungjawab dalam titik bagi sembako sebesar 1,87 persen. Ketua RT/RW atau penanggung jawab dalam titik bagi lebih banyak memberikan informasi tentang ketepatan sasaran dalam pemberian bantuan sembako dari proses pendataan sampai dengan pembagiannya.

Ketepatan Sasaran Bantuan Sembako

Situasi saat pemberlakuan Pembatasaan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi keluarga kelas menengah keatas mungkin tidak ada masalah karena masih punya cadangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan terutama makan sehari-hari.

Namun untuk keluarga menengah kebawah yang tidak punya cadangan penghasilan atau yang dalam kehidupan bekerja hanya cukup memenuhi kebutuhan harian akan menjadi masalah ketika tidak bisa bekerja lagi. Situasi yang demikian yang menuntut pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Sosial RI untuk secepat mungkin menyalurkan bantuan sosial sembako.

Dua hal yang harus ditempuh Kementerian Sosial yang terkadang menimbulkan dilema yaitu bantuan harus cepat dan tepat. Penelitian ini akan menggambarkan kondisi lapangan tentang ketepatan sasaran bantuan sosial sembako di wilayah Jabodetabek. Seluk beluk tentang ketepatan sasaran ini ditanyakan kepada ketua RT/RW atau seseorang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam hal titik bagi yang dianggap mengetahui dari mulai pendataan sampai distribusi bantuan sosial sembako. Responden RT/RW atau yang bertanggung jawab terhadap titik bagi sebanyak 107 orang.

Kuota dan Ketepatan Sasaran

Kuota penerima bantuan dan ketepatan sasaran bantuan sama-sama menunjukkan tren kontras, dimana nyaris terdapat perimbangan, seimbang antara responden yang menjawab adanya kekurangan kuota dan ketidaktepatan sasaran dengan kondisi sebaliknya. Khusus pada persoalan kuota penerima manfaat, presentasenya lebih besar, mendekati setengah dengan 47,66 persen, dibandingkan presentase ketidaktepatan sasaran yang sedikit lebih kecil pada angka 44,86 persen.

Tren 50:50 atau perimbangan ini merupakan angka yang besar untuk mewakili populasi, tetapi ia tidak dominan.

Temuan ini dapat dikatakan menyelisihi asumsi yang mendominasi ruang publik melalui banyaknya pemberitaan akan adanya ketidaktepatan sasaran yang signifikan pada pendistribusian Bantuan Sosial Sembako dalam merespon PSBB di masa Pandemi COVID-19 ini. Akan tetapi kemiripan presentase antara ketidaksesuaian kuota dan ketepatan sasaran menunjukkan aspek lain yang penting digaris-bawahi, yaitu adanya konsistensi antara ketidaksesuaian kuota dengan ketidaktepatan sasaran. Hal ini mengonfirmasi hubungan kausalitas antara kecilnya kuota bantuan dengan kemungkinan adanya ketidaktepatan sasaran penerima bantuan.

Temuan tentang ketidaksesuaian kuota penerima yang diberikan pemerintah dengan banyaknya masyarakat yang seharusnya menerima menunjukkan pentingnya isu kuota disandingkan dengan ketepatan sasaran. Jika pemerintah menaikkan level kuota penerima bantuan sampai mencapai 2/3 dari populasi pada tingkat lokal saja misalnya, akan secara gradual mengikis persoalan kisruh bantuan sosial yang diakibatkan banyaknya warga membutuhkan yang tidak mendapat bantuan. Lebih jauh lagi, temuan ini juga berpotensi membuka percakapan baru tentang pendistribusian bantuan sosial, baik di masa pandemi maupun tidak, yaitu mengenai dimensi inklusivitas. Secara prinsip keadilan sosial, bantuan sosial harus bisa menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan, tidak boleh ada yang ditinggalkan (no one left behind). Mewujudkan prinsip ini menjadi problematik ketika esensi perlindungan sosial yang digunakan masih menggunakan pendekatan perlindungan sosial bersasaran. Dalam hal ini bahwa selama isu ketepatan sasaran melulu dibingkai ke dalam diskusi tentang siapa yang berhak dan tidak berhak

menerima bantuan dan bukan memulai menelusuri hulu persoalan yaitu tidak inklusifnya kategorisasi “berhak dan tidak berhak”, selama itu pula distribusi bantuan sosial akan selalu kisruh dan berpolemik serta jauh dari dukungan masyarakat kelas menengah. Melihat pendistribusian bantuan sosial melalui kerangka kebijakan menyediakan kuota penerima yang sedapat mungkin mendekati kebutuhan masyarakat akan mengizinkan ruang bagi kebijakan bantuan sosial inklusif yang dapat merespons prinsip no one left behind dengan lebih baik, terlebih di situasi luar biasa seperti masa Pandemi COVID-19 ini.

Kriteria Sasaran

Cara menentukan kriteria calon keluarga penerima manfaat bantuan sosial sembako di tingkat RT/RW masih beragam dan masih perlu ditingkatkan partisipasi warganya. Berbagai model yang berkembang di masyarakat Jabodetabek dalam menentukan sasaran penerima manfaat bantuan sembako antara lain: Pertama, mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan oleh pemerintah, Kedua, melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang ketua dan aparatur RT/RW untuk menentukan warga miskin.

Ketiga, melakukan pemutakhiran ulang secara mandiri

sesuai dengan 14 kriteria dari BPS. Keempat, melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang tokoh dan warga yang aktif untuk menentukan warga miskin dan rentan.

Kelima, melakukan musyawarah RT/RW untuk menntukan

warga kaya/ mampu, lalu bantuan diberikan kepada semua warga diluar daftar warga kaya/mampu. Keenam, melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang seluruh warga untuk menentukan warga miskin dan rentan. Adapun cara menentukan kriteria calon keluarga penerima bantuan

sosial sembako dampak covid-19 menurut RT/RW adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Menentukan Kriterian Calon Keluarga Penerima Manfaat Bantuan Sosial Sembako

Mayoritas atau lebih dari 40% (41.12%) aparatur politik lokal menyatakan bahwa kriteria sasaran Bansos Sembako ‘mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan pemerintah/Kementerian Sosial’, kemudian berturut-turut diikuti oleh ‘musyawarah RW/RT mengundang ketua dan aparatur RW/RT untuk menentukan warga miskin dan rentan’ (22.43%) dan ‘pemutakhiran ulang mandiri di tingkat aparatur RW/RT sesuai 14 kriteria kemiskinan pemerintah/BPS’ (19.63%). Ketiga jawaban teratas ini kurang-lebihnya menunjukkan kecenderungan mekanisme kriteria penentuan sasaran yang masih belum partisipatif.

Selain itu, jawaban terbanyak responden RW/RT yang kriteria sasarannya ‘mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan pemerintah/Kementerian Sosial’ menunjukkan adanya kepatuhan terhadap protokol standar data dengan

mengambil apa adanya dari Kemensos. Akan tetapi temuan ini juga berpotensi kurang inklusif jika dihubungkan dengan temuan setengah populasi adanya kekurangan kuota dan ketidaktepatan sasaran. Dalam artian, menerima data secara langsung dari pusat tanpa mekanisme pemutakhiran lain dapat berakibat buruk dengan semakin jauhnya warga yang membutuhkan namun tidak mendapat dari akses terhadap perbaikan data penerima bantuan.

Kemudian dari pilihan jawaban bentuk musyawarah RW/RT dalam penentuan warga miskin dan rentan yang bermaksud menangkap tendensi partisipasi yang dilakukan di tingkat RT/RW terungkap bahwa mekanisme yang paling partisipatif (dengan mengundang seluruh warga ke musyawarah RW/RT) justru paling sedikit dilakukan (1.87%) dan yang paling kurang partisipatif (dengan mengundang ketua dan aparatur RT/RW) dilakukan paling banyak (22.43%). Hal ini menunjukkan perlunya memperhatikan mekanisme penentuan kriteria sasaran di tingkat lokal agar setiap pendataan dan perbaikan data tidak justru menimbulkan ketimpangan baru bagi warga yang tereksklusi dari bantuan. Temuan ini juga sekaligus mengonfirmasi studi-studi lainnya yang mengungkap keterbatasan penargetan berbasis-komunitas sebagai mekanisme penentuan kriteria sasaran bantuan sosial. Dalam aspek ini juga terdapat keterbatasan penelitian dalam hal mentriangulasi temuan persoalan data di tingkat RT/RW dengan di tingkat Dinas Sosial kabupaten/kota.

Penyebab Ketidak Sesuaian Data

Karena ketidak sesuaian data, sebagian Ketua RT/RW menolak untuk mengambil dan mendistribusikan paket

Bansos ke warganya, lantaran khawatir akan terjadi konflik sosial. RT/RW yang sudah mengambil juga ada yang belum berani mendistribusikan ke warga karena dikhawatirkan dengan mendistribusikan ke orang yang tidak tepat akan menjadi preseden buat mereka, kemudian menjadi timbul konflik sosial. Permasalahan itu karena data yang tertera sebagai penerima Bansos saat ini tidak sesuai dengan update pendataan yang telah dilakukannya bersama pihak terkait.

Berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial sembako sebagian besar RT/RW menerima aduan/keluhan warga yaitu sebanyak 85,05 persen dan sisanya sebanyak 14,95 persen tidak menerima aduan/keluhan warga. Dari 85,5 persen yang menjawab ada pengaduan selanjutnya jalur mekanisme menampung keluhan warga terkait bantuan sosial sembako sebanyak 51,65 persen melapor langsung. Yang lainnya adalah terintegrasi dalam sistem offline yang berjenjang (15,38%), terintegrasi dalam jaringan sistem online yang berjenjang (8,7%), menyarankan warga menyampaikan keluhan secara mandiri melalui sistem/

hotline kementerian sosial dan yang lainnya sebanyak 4,4

persen. Sedangkan alasan RT/RW yang tidak menerima aduan adalah sebanyak 75 persen warganya tidak ada yang mengadu, sebanyak 12,5 persen beralasan sudah pernah dibuat tetapi tidak dilanjutkan karena tidak ada respon dari pemerintah pusat atau daerah dan sebanyak 12,5 persen beralasan merepotkan.

Beberapa kasus ini muncul menurut ketua RT/RW ada beberapa penyebab ketidak sesuaian data penerima manfaat dengan kebutuhan warga. Penyebab ketidak sesuaian data dapat kita lihat dalam gambar berikut:

Gambar 3 . Penyebab Ketidak Sesuaian Data

Lebih dari setengah responden 55.14 persen menjawab ‘kurangnya koordinasi pusat dan daerah’ sebagai penyebab ketidaksesuaian data. Mirip dengan jawaban ini adalah respon ‘tumpang-tindih peraturan dan lembaga pemerintah’ sebesar 11.21 persen. Ini menunjukkan bahwa mayoritas aparatur RT/RW sebagai penanggungjawab titik bagi menganggap masih ada celah komunikasi dan kelembagaan antara pusat dan daerah. Temuan ini berkonsekuensi bahwa setiap perbaikan data yang dilakukan harus diikuti dengan urgensi peningkatan intensitas koordinasi pusat-daerah. Meskipun koordinasi penting, jika disandingkan dengan temuan kriteria penentuan sasaran dalam hal keterbatasan penargetan berbasis-komunitas, maka perbaikan koordinasi pusat-daerah akan menjadi tidak efektif jika hanya berbentuk pemutakhiran data oleh aparatur lokal (penargetan berbasis-komunitas).

Dari data tersebut yang menarik adalah, di peringkat kedua sebanyak 16,82 persen, responden menjawab bahwa ketidaksesuaian data menjadi wajar sebab pendapatan warga

miskin selalu berubah/dinamis. Serupa dengan jawaban ini, adanya kekhawatiran ‘penyusunan data kemiskinan akan menyulut tensi dan solidaritas warga’ sebesar 11.21 persen. Kedua respon ini menunjukkan adanya pengakuan akan problematiknya pemeringkatan kemiskinan sebagai instrumen penentuan penerima bantuan. Bantuan sosial

‘new normal’ berarti bukan hanya bantuan yang lebih baik

memberikan manfaat tetapi juga yang dapat merespon kekeliruan yang mendasari asumsi kebijakan perlindungan sosial bersasaran tentang berhak dan tidak berhak yang ternyata mempengaruhi implementasi ketepatan sasaran menjadi kurang inklusif.

Pemberlakuan aturan larangan bagi keluarga penerima manfaat PKH dan BPNT/Sembako untuk menerima Bansos Sembako dengan asumsi aturan larangan bantuan ganda/ double tersebut sudah benar, sebanyak 76,64 persen ketua RT/RW setuju, sebanyak 22,43 persen menjawab tidak setuju dan 0,93 persen menyatakan tidak tahu. Menyikapi hal tersebut maka kebijakan di lingkungan RT/RW I/B/S terhadap keluarga miskin penerima PKH dan BPNT/ Sembako Reguler yang tidak mendapatkan Bantuan Sosial Sembako COVID-19 disebabkan adanya larangan menerima bantuan ganda/double adalah pertama, sebanyak 54,17 persen RT/RW tetap menerapkan aturan larangan ganda dan memberikan penjelasan/ pengertian bagi warga penerima PKH-BPNT/Sembako reguler. Kedua, memberikan bantuan pengganti jika ada penerima bantuan sosial sembako yang mengundurkan diri (tidak layak/pindah). Ketiga, mencarikan bantuan pemerintah daerah atau bantuan / donasi non – pemerintah. Sebanyak 8,33 persen ketua RT/ RW menjawab lainnya.

Respons terhadap Keluhan dan Kepuasan Proses Penyaluran

Mayoritas responden sebanyak 63,55 persen menjawab respons kebijakan ‘memberikan penjelasan bagi warga yang tidak mendapatkan’ terhadap keluhan mengenai daftar penerima Bantuan Sosial Sembako. Respon kebijakan lokal kedua adalah ‘dibagi rata’ sebanyak 19,63 persen. Sisanya, ‘digilir’ sebanyak 11,21 persen dan ‘langsung diganti’ sebanyak 3,74 persen. Temuan ini menunjukkan bahwa kebanyakan elit politik lokal lebih memilih untuk mengompensasi melalui persuasi langsung kepada warganya yang tidak menerima bantuan karena exclusion

error. Pilihan ini walaupun mungkin rasional untuk jangka

pendek (sambil menanti perbaikan data), namun akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan sosial dan mental jika warga tereksklusi benar-benar tidak mendapat bantuan jangka menengah ke panjang.

Temuan tentang respons kebijakan lokal ‘bagi rata’ yang tidak signifikan juga menarik jika dikontraskan dengan persepsi publik populer yang menganggap pembagian rata bantuan sebagai fenomena yang lazim. Meskipun data tersebut mungkin masih memiliki potensi bias karena dijawab langsung oleh aparatur RT/RW setempat. Dalam konteks masa pandemi saat ini yang mengakibatkan sorotan publik yang cenderung lebih ketat terhadap akuntabilitas program bantuan sosial pemerintah, potensi bias elit politik lokal level desa/kelurahan/RW/RT ini akan lebih rasional jika dibingkai dalam narasi kepentingan moral ketimbang melulu menjaga kepentingan politiknya (seperti membagi rata agar sanak-familinya mendapat bantuan). Dalam salah satu wawancara yang dilakukan enumerator, ditemukan

bahwa RT/RW yang melakukan bagi rata mengaku terpaksa karena kasihan dan tidak tega dengan warga yang tereksklusi yang mendatanginya karena mengaku sudah tidak makan selama beberapa hari. Tidak diragukan lagi bahwa praktik bagi rata tidak ideal, tetapi di sisi lain, dalam observasi di sebagian lokasi, penelitian ini menunjukkan bahwa justru bagi rata dapat membantu merelaksasi gesekan sosial yang lebih besar sebagai akibat exclusion error, terlebih pada masa krisis yang menyuburkan orang miskin baru.

Selama terlibat menjadi unjung tombak dalam penyaluran penyaluran bantuan sembako, penilaian dari RT/RW tentang perasaan kepuasannya sangat beragam. Selama terlibat dalam penyaluran bantuan sosial sembako, ada yang merasa puas dan sangat puas. Namun masih ada juga yang merasa tidak puas dan tidak tahu. Perasaan RT/ RW dapat dilihat dalam gambar berikut:

Gambar 4. Respons Terhadap Proses Penyaluran Bantuan Sosial Sembako

Dalam kaitan dengan pandangan subyektif aparatur RT/ RW akan kepuasan proses penyaluran, mayoritas responden menjawab puas (61,68%), diikuti oleh tidak puas (24.30%), dan sangat puas (10.28%). Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya pada masa-masa awal ini, penyaluran Bantuan Sosial Sembako sudah berjalan dengan relatif baik. Jawaban ketidakpuasan-yang berada di angka lebih dari 20%, meskipun tidak besar namun jika dikaitkan dengan beberapa temuan lain cukup menjadi peringatan dini yang mengisyaratkan perlunya perbaikan pada sejumlah asumsi kebijakan yang mendasari dan praktik implementasi yang terjadi pada Program Bantuan Sosial Sembako ini.

Nilai Kemanfaatan Bantuan Sembako Kondisi Keluarga Saat Diberlakukan PSBB

Pembatasaan Sosial Berskala Besar (PSBB) mempunyai dampak dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja naik dua kali lipat dari 10,3 persen menjadi 21,5 pesen. Begitu juga yang masih bekerja pun mengalami penurunan pendapatan karena geraknya untuk bekerja dibatasi.

Gambar berikut memperlihatkan bahwa keluarga yang berpenghasilan kurang dari satu juta rupiah jumlahnya menjadi naik saat diberlakukan PSBB. Sebelum diberlakukan PSBB, keluarga yang berpenghasilan kurang dari saatu juta sebanyak 27,1 persen. Namun setelah diberlakukan PSBB jumlah keluarga yang berpenghasilan kurang dari saatu juta sebanyak 58,08 persen. Sedangkan keluarga yang berpenghasilan antara satu hingga dua juta dan keuarga

yang berpenghasilan 2 - 4 juta jumlahnya menurun karena penghasilannya menurun.

Gambar berikut adalah memperlihatkan penurunan penghasilan setelah diberlakukannya PSBB.

Gambar 5. Penghasilan Keluarga Sebelum dan Sesudah PSBB

Kondisi keluarga tersebut tidak banyak yang mempunyai tabungan yaitu sebanyak 20,7 persen saja yang mempunyai tabungan, sedangkan yang 79,3 persen tidak mempunyai tabungan. Sementara itu kebutuhan makan harus terus berjalan setiap harinya. Kebutuhan makan keluarga setiap harinya bervariasi, mayoritas kebutuhan makan dalam sehari keluarga tersebut antara Rp. 51.000 - Rp.100.000. Melihat kondisi pekerjaan, penghasilan, tabungan dan kebutuhan makan maka sebagian besar atau 39,9 persen keluarga kebutuhan pokoknya akan bisa dipenuhi dalam waktu seminggu. Selanjutnya 37,54 persen akan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dalam waktu dua minggu ke depan dan bahkan 14,48 persen keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya selama kurang dari satu minggu. Kondisi yang demikian maka menuntut keluarga untuk tetap dapat

memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Gambar berikut adalah upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokoknya selama diberlakukan PSBB.

Gambar 6. Upaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah mata pencaharian hidup saat diberlakukan PSBB

Sebagian besar besar atau 71,8 persen keluarga memilih untuk tetap bekerja meskipun penghasilannya sangat kurang. Kedua, sebanyak 56,4 persen keluarga memilih untuk mengubah pola dan menu konsumsi dengan cara mengurangi kuantitas maupun mengurangi kualitas makan. Ketiga, adalah sejumlah 29,1 persen mereka beralih pekerjaan atau mengubah jenis usahanya. Keluarga lainnya untuk mengatasi mata pencaharian hidup yang berkurang dengan cara meminjam uang ke saudara atau tetangga, tidak melakukan apa-apa, berhutang di warung, mengambil tabungan, menjual atau menggadaikan barang, memulung dan meminta-minta. Ketika responden ditanya dalam kondisi sulit seperti ini apakah ada pikiran negatif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (misal mengambil barang milik orang lain) ternyata ada 0,7 persen yang menjawab mempunyai

pikiran negatif. Ini berarti dalam kondisi sulit mempunyai potensi munculnya kejahatan.

Nilai Manfaat Bantuan Sosial

Bantuan sosial pangan yang diterima berupa beras, minyak goreng, kecap manis, sambal, mie instan, ikan dalam kemasan, kornet sapi, teh celup, Susu UHT dan sabun batang. Nilai bantuan sosial pangan tersebut sebesar Rp.600.000 setiap bulan yang diberikan dua kali, sehingga setiap keluarga menerima bantuan sosial senilai Rp. 300.000,- setiap dua minggu sekali. Program tersebut mendapat tanggapan yang bervariasi dari keluarga penerima manfaat. Gambar berikut membandingkan antara nilai yang diterima dengan bantuan yang diharapkan dari keluarga penerima manfaat:

Gambar 7. Perbandingan Persepsi Nilai Bantuan yang Diterima dengan yang Ideal Harapan Keluarga Penerima Manfaat Setiap

Dua Minggu Sekali

Data tersebut memperlihatkan bahwa menurut persepsi keluarga penerima manfaat, bantuan yang diberikan dalam kisaran antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 500.000,-. Namun berdasarkan kebutuhan pangan yang dibutuhkan setiap hari maka harapan mereka adalah antara Rp. 501.000,-

sampai dengan Rp. 750.000,-. Bervariasinya harapan mereka didasarkan pada bervariasinya jumlah anggota keluarga.

Berdasarkan nilai bantuan yang diberikan dengan kebutuhan pangan setiap hari yang mayoritas kebutuhan makan dalam sehari keluarga berkisar antara Rp. 51.000,- sampai dengan Rp.100.000,-, maka bantuan tersebut sangat berarti sekali dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sebagian besar responden atau sebanyak 48,32 persen menyatakan bahwa bantuan yang diberikan dapat membantu antara 26 sampai dengan 50 persen dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selanjutnya ada 45,79 persen keluarga menyatakan dapat terbantu antar 10 sampai dengan 25 persen dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Responden lainnya menyatakan bahwa bantuan tersebut membantu 51 sampai 75 persen sebanyak 4,55 persen keluarga dan 1,35 persen keluarga terbantu antara 76 sampai 100 persen kebutuhannya.

Tabel 1. Lama Kemanfaatan Bansos Sembako berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

1-3 hari 4-6 hari 7-9 hari 10 – 12 hari 12 – 14 hari > 14 hari 1 0,0% 17,6% 70,6% 0,0% 0,0% 11,8% 2 3,4% 37,3% 22,0% 15,3% 8,5% 13,6% 3 2,9% 35,5% 30,4% 14,5% 12,3% 4,3% 4 3,9% 42,9% 25,6% 12,8% 13,3% 1,5% 5 8,0% 45,5% 28,6% 7,1% 9,8% 0,9% 6 2,5% 57,5% 20,0% 5,0% 15,0% 0,0% 7 23,1% 46,2% 15,4% 0,0% 15,4% 0,0% 8 0,0% 57,1% 28,6% 0,0% 14,3% 0,0%

Tabel satu menunjukan bahwa mayoritas bantuan mampu dimanfaatkan oleh keluarga penerima manfaat selama 4 sampai dengan 6 hari. Meskipun tidak ada pola yang jelas, namun dari data tersebut menunjukan bahwa ada kecenderungan semakin banyak jumlah anggota keluarga maka bantuan yang diberikan sedikit jumlah hari dalam memanfaatkan bantuan sosial pangan.

5. KESIMPULAN

Dalam dokumen PENELITIAN TAHUN 2020 (Halaman 19-36)

Dokumen terkait