PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI TAHUN 2020
Executive Summary
@Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit
Cetakan Pertama : 2020 Dicetak oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI. Gedung Cawang Kencana Lt. 2
Jl. Mayjen Sutoyo Kav. 22, Kramat Jati, Jakarta Timur 13630 E-mail: [email protected]; Website: puslit.kemsos.go.id
EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN TAHUN 2020,- Jakarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan
Pendidikan, Penelitian, dan Penyuluhan Sosial, Kementerian Sosial RI. 2020 49 hlm. 14,8 cm x 21 cm.
Executive Summary
KETEPATAN SASARAN DAN NILAI KEMANFAATAN
BANTUAN SOSIAL SEMBAKO DI JABODETABEK
Peneliti :
Muslim Sabarisman, Hari Harjanto Setiawan, Muhammad Belanawane Sulubere, Bambang Pudjianto, Delfirman
DAFTAR ISI
• KETEPATAN SASARAN DAN NILAI KEMANFAATAN
BANTUAN SOSIAL SEMBAKO DI JABODETABEK ... 1
• ABSTRAK ... 3
1. Pendahuluan ... 5
2. Tinjauan Pustaka ... 7
3. Metode Penelitian ... 14
4. Hasil dan Pembahasan ... 16
5. Kesimpulan ... 33
6. Daftar Pustaka ... 35
• PEMBELAJARAN DARI COVID-19 TENTANG MASA DEPAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) ... 37
• ABSTRAK ... 38
A. Pendahuluan ... 40
B. Aktivitas Kube di Masa Pandemi ... 42
C. Strategi Kube untuk Bertahan ... 44
D. Kesimpulan ... 46
E. Rekomendasi ... 46
ABSTRAK
Hasil Penelitian ini meggambarkan Ketepatan Sasaran dan nilai kemanfaatan Bantuan Sosial Sembako pada saat diberlakukan pembatasan sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menghadapi wabah Virus Corona (Covid-19) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Tujuan penelitian adalah menjawab dua permasalahan utama yaitu implementasi ketepatan sasaran dalam pemberian bantuan dan nilai kemanfaaran Bantuan Sosial Sembako di
Jabodetabek. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yang dijelaskan melalui distibusi frequensi. Respondennya adalah penerima manfaat program Bantuan Sosial Sembako yang diberikan setiap dua minggu sekali dalam waktu tiga bulan terhitung dari bulan Mei, Juni dan Juli tahun 2020. Selain penerima manfaat bantuan, yang menjadi responden adalah ketua RT/RW yang bertanggungjawab pada titik bagi bantuan. Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara yang dibantu oleh 40 enumerator lokal yang sudah dilatih melalui zoom meeting dengan memperhatikan protokol sosial distancing. Hasil penelitian menunjukan bahwa bantuan diberikan kepada keluarga terdampak Covid-19 saat diberlakukan PSBB dengan kondisi yang susah untuk bekerja dan pendapatan keluarga yang menurun. Bantuan yang diberikan pemerintah dapat membatu meringankan kondisi tersebut yang mayoritas atau 48,32 persen keluarga penerima manfaat merasa terbantu antara 26 sampai dengan 50 persen dari kebutuhan keluarga. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan untuk memperbaiki program pemberian bantuan tahap selanjutnya, mengingat penelitian ini dilakukan saat digulirkan bantuan tahap kedua.
Keywords: Bantuan Sosial Pangan; Ketepatan sasaran, Nilai manfaat, Covid-19
1. PENDAHULUAN
Wabah Virus Corona (Covid-19) menjadi perhatian dunia karena sebagian besar negara terguncang akibat dari virus ini. Pada 29 Mei 2020, terdapat 216 negara yang terinfesi Covid-19 sedangkan data terkonfirmasi sebanyak 5.657.529 dan yang meninggal sebanyak 356.254. Di Indonesia ada 25.216 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, sejumlah 1.520 kematian terkait dengan penyakit ini dan yang sembuh sebesar 6.492 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020).
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus secara resmi mengumumkan virus Corona (COVID-19) sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020 (Friana, 2020). Mempertimbangkan bahwa bencana non-alam yang disebabkan oleh penyebaran
Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) telah berdampak meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia. Wabah covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Presiden Republik Indonesia (Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2020).
Di seluruh dunia saat ini, terdapat terdapat lebih dari 1 miliar penduduk terdampak Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang secara khusus telah ataupun akan menjadi penerima manfaat melalui pengenalan, perluasan, dan adaptasi program-program perlindungan sosial. Penerima manfaat tersebut mencakup individu dan rumah tangga. Perkiraan ini sebagian besar didorong oleh India (440 juta orang), tetapi tingkat yang cukup besar dapat diamati di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara khususnya
negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Gentilini, Almenfi, Dale, Demarc, & Santos, 2020).
Di Indonesia mengakumulasi sekitar 99 juta penduduk yang terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dan estimasi 30% kelas menengah yang terdampak, akan didapat angka 140.85 juta penduduk Indonesia yang sedikit-banyaknya terdampak secara ekonomi oleh Pandemi COVID-19 (Kementerian Sosial RI, 2020). Secara umum, perkiraan ini bahkan masih terbilang konservatif mengingat jenis mata pencaharian informal yang dominan di Indonesia membuat sulit menghitung dampak ekonominya. Bahkan memperhitungkan dampak dari sektor ekonomi formal pun menjadi sulit berhubung laporan pemutusan hubungan kerja tidak seragam pada setiap sektor dan terus melonjak intensitasnya dengan semakin diperpanjangnya mekanisme
social distancing.
Perkiraan baru tentang dampak COVID-19 terhadap kemiskinan global dan nasional dalam jangka pendek karena guncangan konsumsi langsung menggaris-bawahi urgensi jaring pengaman sosial yang diberlakukan banyak pemerintahan, termasuk Indonesia, yang banyak mengerecut pada jenis bantuan tunai dan barang/non-tunai. Dalam kaitan bantuan Sosial pangan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) dimaksudkan untuk menahan arus mudik yang disebabkan karena masalah pekerjaan dan pendapatan. Penelitian ini akan mendalami nilai kemanfaatan bantuan dalam bentuk pangan dengan 10 macam yang terdiri dari mie instan, sambal, sarden, susu, beras, teh celup, minyak goreng, kecap manis, kornet, sabun mandi. Ketepatan manfaat nilai bantuan pangan ini lebih jauh akan menjelaskan ketahanan
keluarga dalam situasi krisis yang diakibatkan pandemi Covid-19. Sehingga diperlukan sebuah studi yang dapat memperhitungkan bagaimana implementasi ketepatan sasaran dan implementasi kemanfaatan nilai bantuan sosial pangan sebagai bentuk implementasi jaring pengaman sosial di masa Pandemi Covid-19.
Mempertimbangkan sudut pandang permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan: Pertama, menjelaskan implementasi ketepatan sasaran yaitu menerangkan celah atau gap dalam mekanisme penyaluran dan persoalan pendataan penerima yang sesuai kriteria penerima Bantuan Sosial Sembako. Kedua, menjelaskan implementasi kemanfaatan bantuan yaitu menerangkan celah atau gap
dalam kesesuaian antara jenis dan nilai bantuan yang diterima dengan kebutuhan, dan sejauh mana memberi manfaat bagi masyarakat penerima Bantuan Sosial Sembako.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Situasi Pandemic Covid-19 di Indonesia
Awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan wabah virus corona (Covid-19) yang telah menular di seluruh dunia. Mensikapi kondisi tersebut maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan status darurat bencana mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020. Pemerintah telah mengambil langkah untuk menerapkan Social Distancing
untuk menyelesaikan kasus bencana non-alam ini. Program ini dimaksudkan untuk mengurangi dan bahkan memutuskan penyebaran Covid-19. Seseorang harus menjaga jarak aman, tidak melakukan kontak langsung dengan orang lain dan menghindari pertemuan masal. Social distancing measures
include instructions that individuals maintain a distance from one another when in public, limitations on gatherings, limitations on the operation of businesses, and instructions to remain at home (Mohler, et al., 2020).
Fasilitas kesehatan Indonesia belum siap menghadapi COVID-19. Kesiapsiagaan harus disiapkan dengan memastikan pasokan obat-obatan, alat pelindung diri (APD) serta sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menghadapi wabah global. Pada akhir Maret 2020, presiden Indonesia akhirnya memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kota dan provinsi, bukan regional karantina. Karantina regional adalah satu dari empat jenis karantina kesehatan menurut Undang-Undang Karantina Kesehatan 2018. Pemerintah juga menekankan perlunya tinggal di rumah untuk semua warga negara Indonesia. Skenario Pembatasan Bersekala besar ini awalnya dilaksanakan di DKI Jakarta yang akhirnya diperluas di Bodetabek. Karena penularan sangat cepat dan hampir semua provinsi di Indonesia sudah terkena wabah ini maka Pembatasan Berskala besar ini diikuti hampir semua wilayah Indonesia.
Ketahanan keluarga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam menghadapi situasi pandemi ini. The term resiliency has been used to describe the process by which people manage not only to endure hardship but also to create and sustain lived that have meaning and contribute to those around them (Hook, 2008, hal. 3). Three related aspects of resilience: 1) overcoming the odds-being successful despite exposure to high risk, 2) Sustaining competence under pressure-adapting successfuly to high risk, 3) recovering from trauma-Adjusting succsescfuly to negatife live event (Fraser, Galinsky, & Richman, 1999, hal. 136). A reciliency perspective help look
beyond the family to incorporate the social, economic, and phisical context of the family that can be source a resourch as well as challenges (Siahaan, 2012, hal. 82).
Dampak Sosial-Ekonomi Pandemi COVID-19
Dampak ekonomi Pandemi COVID-19 di negara-negara berkembang dan miskin mulai terasa. Majalah The Economist menyebutnya sebagai ‘next calamity’ atau Musibah besar di depan mata, terutama memperhitungkan potensi dampak resesi ekonomi yang berkepanjangan dan betapa diabaikannya dampak terhadap negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah-rendah. Dalam studinya tentang estimasi dampak Covid-19 terhadap kemiskinan global (Sumner, Hoy, & Ortiz-Juarez, 2020). Penelitian itu menunjukkan bahwa, apapun skenarionya, kemiskinan global dapat meningkat untuk pertama kalinya sejak 1990 dan, tergantung pada garis kemiskinan, peningkatan tersebut dapat mewakili pembalikan sekitar 10 tahun dalam kemajuan dunia mengurangi kemiskinan. Di beberapa kawasan dunia, terutama negara dengan fundamen ekonomi yang lemah dan bergantung pada sektor ekspor, dampak negatifnya dapat menyebabkan tingkat kemiskinan serupa dengan yang terjadi 30 tahun lalu.
Karantina dan gangguan terhadap dunia usaha, larangan bepergian, penutupan sekolah dan langkah penutupan lainnya membawa dampak yang bersifat mendadak dan drastis terhadap pekerja dan perusahaan. Seringkali yang pertama kehilangan pekerjaan adalah mereka yang pekerjaannya sudah rentan, seperti misalnya pekerja toko, pramusaji, pekerja dapur, petugas penanganan bagasi dan petugas kebersihan. Di dunia di mana hanya satu dari
lima orang yang memenuhi syarat untuk mendapatkan tunjangan pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan malapetaka bagi jutaan keluarga. Pekerja informal, yang menyumbang sekitar 61 persen dari tenaga kerja global sangat rentan selama pandemi karena mereka harus menghadapi risiko K3 yang lebih tinggi dan kurangnya perlindungan yang memadai. Bekerja dengan tidak adanya perlindungan, seperti cuti sakit atau tunjangan pengangguran, membuat para pekerja ini mungkin perlu memilih antara kesehatan dan pendapatan, yang berisiko terhadap kesehatan mereka, kesehatan orang lain serta kesejahteraan ekonomi mereka (International Labour Organization, 2020).
Secara spesifik terkait perkiraan dampak kemiskinan COVID-19 di negara-negara berkembang di seluruh dunia telah dilakukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Lembaga Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI). Perkiraan ILO (2020) difokuskan pada populasi pekerja dan menyarankan bahwa akan ada antara 9 dan 35 juta pekerja miskin baru (pada garis kemiskinan Bank Dunia yang lebih tinggi yaitu US $ 3,20 per hari) di negara-negara berkembang pada tahun 2020. Sebagian besar mereka tinggal di negara berkembang berpenghasilan menengah seperti Indonesia. Sementara itu IFPRI menggunakan sekitar 30 survei rumah tangga terutama dari Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan, memperkirakan bahwa penurunan PDB global sebesar 1 persen saja (pada garis kemiskinan Bank Dunia yang lebih rendah US $ 1,90 per hari) akan menimbulkan 14-22 juta orang miskin baru. Meskipun dampak bencana non-alam Covid-19 pada umumnya berpusat di perkotaan, estimasi IFPRI justru menyebutkan bahwa sebagian besar
(dua pertiga) dampaknya adalah pada penduduk pedesaan (Vos, Martin, & Laborde, 2020).
Bantuan Sosial Menangani Covid-19
Secara global strategi penanganan Pandemi Covid-19 dalam konteks bantuan sosial diadaptasi dalam tiga cara: memperluas cakupan, meningkatkan nilai/indeks manfaat, dan membuat persyaratan administrasi lebih sederhana dan lebih ramah pengguna. Adaptasi-adaptasi dalam bantuan sosial ini memberi manfaat kepada lebih dari 1,48 miliar orang. Secara khusus, untuk adaptasi administratif transfer tunai terjadi di 27 negara, sedangkan untuk adaptasi perluasan cakupan berlangsung di 87 negara. Jika digabung, adaptasi pada administrasi, nilai bantuan, dan cakupan dalam transfer tunai menguntungkan lebih dari 1,06 miliar orang. Jika hanya mempertimbangkan cakupan ekspansi horisontal dari skema transfer tunai baru dan yang sudah ada, ini mencakup sekitar 566,5 juta orang (Gentilini, Almenfi, Dale, Demarc, & Santos, 2020).
Pada 1 Mei 2020, total 159 negara telah merencanakan, memperbarui atau mengadaptasi 752 langkah perlindungan sosial sebagai respon kebijakan jaring pengaman sosial dalam menghadapi dampak ekonomi COVID-19. Jumlah ini merupakan peningkatan sepuluh kali lipat sejak pertengahan Maret 2020, dimana pemberlakuan perlindungan sosial paling awal tercatat sejak awal masa pandemi.
Gambar 1. Jumlah Negara Dengan Skema Perlindungan Sosial yang Merespon Covid-19
Sampai dengan 1 Mei 2020
Bantuan sosial transfer tunai adalah jenis intervensi jaring pengaman sosial yang paling banyak digunakan oleh pemerintahan di seluruh dunia. Menurut Gentilini, et al. (2020), transfer tunai ini cakupannya mencapai 60% secara global, atau 455 program. Selain intervensi dari sisi demand, intervensi dari sisi supply juga dilakukan dalam bentuk asuransi sosial dan bantuan terkait pasar tenaga kerja. Secara keseluruhan, transfer tunai mencakup 244 program penanganan Covid-19, atau mewakili sepertiga (32,4%) dari total program perlindungan sosial terkait COVID.
Di Indonesia, Kementerian Sosial sebagai instansi yang dimandatkan untuk mengelola bantuan sosial memiliki tiga jenis bantuan Jaring Pengaman Sosial bagi keluarga miskin dan rentan miskin yang terdampak COVID-19, yaitu bantuan sosial reguler, bantuan sosial khusus, dan bantuan tanggap darurat. Rincian program bantuan sosial tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Bantuan sosial reguler, terdiri dari dua program yaitu; a) Program Keluarga Harapan (PKH) yang nilai anggarannya sebesar Rp.37,4 triliun dengan target sasaran semula 9,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) menjadi 10 juta KPM dan waktu penyaluran yang semula 3 bulan sekali menjadi setiap bulan dekali dari April sampai dengan Desember 2020. b) Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang nilai anggarannya sebesar Rp. 43,6 triliun dengan target sasaran diperluas dari 15,2 juta KPM menjadi 20 juta KPM dan nilai bantuan ditingkatkan dari Rp. 150.000 menjadi Rp. 200.000,-.
2. Bantuan Sosial Khusus yaitu a) bantuan sosial pangan (sembako) untuk wilayah DKI Jakarta yang nilai bantuannya Rp. 2,3 triliyun dengan target sasaran 1,3 juta kepala keluarga bagi warga terdampak Covid-19 dengan nilai bantuan Rp.600.000,- per keluarga perbulan selama 3 bulan yaitu bulan April, Mei dan Juni 2020 disalurkan setiap 2 minggu sekali. b) bantuan sosial pangan (sembako) untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang nilai bantuannya Rp. 1,08 triliyun dengan target sasaran 600.000 kepala keluarga bagi warga terdampak Covid-19 dengan nilai bantuan Rp.600.000,- per keluarga perbulan selama 3 bulan yaitu bulan April, Mei dan Juni 2020 disalurkan setiap 2 minggu sekali. c) bantuan sosial tunai untuk luar Jabodetabek yang nilai anggarannya sebesar Rp. 16,2 triliun dengan target sasaran 9 juta kepala keluarga yang terdampak Covid-19 yang tidak menerima bantuan PKH dan Sembako dengan nilai bantuan sebesar Rp. 600.000,- per keluarga per bulan disalurkan selama tiga bulan.
3. Bantuan Tanggap Darurat Kementerian Sosial yaitu a) bantuan sosial sembako dan makanan siap saji bagi warga DKI yang nilai anggaraannya sebesar Rp. 45 miliar yang penyalurannya berupa 300 ribu paket sembako bagi warga terdampak dengan nilai Rp. 200.000,- per paket disalurkan sejak 7 April 2020. b) Bantuan santunan kematian yang nilai anggarannya sebesar Rp. 15 miliar diberikan kepada keluarga ahli waris yang meninggal karena Covid-19 dengan indeks bantuan sebesar Rp. 15.000.000,- per jiwa.
Pada penelitian ini membatasi pada program bantuan sosial pangan (sembako) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dimana program ini dimaksudkan untuk membantu keluarga dengan tujuan keluarga tersebut untuk tetap bertahan di Jakarta dan tidak pulang ke kampung halaman. Karena kita tahu bahwa sebagian besar warga DKI Jakarta berasal dari luar kota. Dengan demikian diharapkan dapat menekan penyebaran Covid-19 di daerah lain.
3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif yang dijelaskan dengan distibusi frequensi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner daring berbasis Website (Survey Monkey) yang dilakukan secara langsung oleh 40 enumerator dan 10 pendamping dari Dinas Sosial. Enumerator dilatih dahulu sebelum melakukan wawancara melalui zoom meeting. Pada proses wawancara, enumerator menerapkan protokol social distancing dengan responden. Responden ditentukan dari jumlah populasi penerima manfaat sebanyak 1.500.422 KPM keluarga ditarik sample
menggunakan Sample Size Calculator dengan tingkat kepercayaan 95%, proporsi sample 60% dan margin of error
3,94 % maka samplenya berjumlah 594 KPM yang dipilih secara acak. Sedangkan populasi Ketua RT/RW ditentukan dari penanggung jawab titik bagi Bantuan Sosial Sembako dimana wilayah sample berada sebanyak 107 orang.
Wilayah penelitian ini ada di tiga provinsi yang diberikan bantuan sosial pangan yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Wilayah Provinsi DKI terdiri dari Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Provinsi Jawa Barat terdiri dari Kota Bekasi, Bogor, dan Kota Depok. Sedangkan Provinsi Banten terdiri dari Kota Tangerang dan Tangerang Selatan. Jumlah sampel pada masing-masing wilayah ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah bantuan yang diberikan di wilayah tersebut.
Teknik pengolahan data menggunakan perhitungan komputasi program SPSS yaitu suatu program komputer statistik yang mampu memproses data statistik secara tepat dan cepat, menjadi berbagai output yang dikehendaki para pengambil keputusan. Analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh dengan menggunakan rumus atau dengan aturan yang ada sesuai dengan pendekatan penelitian. Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk penarikan simpulan. Pada penelitian ini adalah metode analisisnya adalah Analisis Statistik Deskriptif.
Metode ini digunakan untuk mengkaji variabel yang ada pada penelitian. Analisis statistik deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah persentase, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membuat tabel distribusi jawaban angket. 2) Menentukan skor jawaban
responden dengan ketentuan skor yang telah ditetapkan. 3) Menjumlahkan skor jawaban yang diperoleh dari tiap-tiap responden. 4) Memasukkan skor tersebut ke dalam rumus bahwaa Deskripsi presentase diperoleh dari jumlah skor yang diharapkan (n) dibagi dengan nilai presentasi atau hasil (N) dikalikan 100%.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian cepat (quick
research) yang dilakukan selama 2 minggu dengan
pengumpulan data selama 3 hari dari tanggal 15 sampai dengan 18 mei 2020. Sumber pendanaan penelitian berasal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Demografi Responden
Pada penelitian tentang ketepatan sasaran dan nilai kemanfaatan bantuan sosial sembako di Jabodetabek ada dua karakteristik responden yaitu penerima manfaat dan RT/RW penanggungjawab titik bagi.
Penerima Manfaat
Responden dalam penelitian ini adalah Keluarga Penerima Manfaat dari Program Bantuan Sosial Pangan di Wilayah Jabodetabek. Jenis kelamin responden yang di wawancarai terdiri dari 72,6 persen laki-laki dan 27,4 persen perempuan. Tingkat pendidikan terakhir responden mayoritas adalah SMA yaitu sebanyak 46,6 persen dan SD sebanyak 20,5 persen. Dari tingkat pendidikan, sebagian besar adalah berpendidikan rendah dan hanya 5,2 persen yang berpendidikan tinggi (Diploma dan Sarjana). Umur responden mayoritas berusia antara 40 sampai dengan 49
tahun yaitu sebanyak 32,7 persen dan yang tergolong lanjut usia atau lebih dari 60 tahun sebanyak 15 persen.
Jumlah anggota keluarga bervariasi antara 1 sampai lebih dari 8 orang dalam satu keluarga, namun mayoritas keluarga mempunyai anggota 4 orang yaitu sebesar 34,2 persen dan yang mempunyai anggota keluarga 3 orang sebanyak 23,2 persen. Pekerjaan utama keluarga sebagian besar adalah ibu rumahtangga sebanyak 20,9 selanjutnya buruh serabutan sebanyak 19 persen, karyawan swasta sebanyak 15,9 persen dan wiraswasta sebesar 14,1 persen.
Ketua RT/RW
Responden kedua adalah ketua RT/RW atau yang ditunjuk sebagai penanggung jawab titik bagi bantuan sosial sembako. Berdasarkan jenis kelaminnya sebagai responden adalah laki-laki sebanyak 84,11 persen dan 15,89 persen. Berdasarkan jabatannya, responden dalam penelitian ini adalah ketua RT sebanyak 53,27 persen, ketua RW sebanyak 38,32 persen, sekretaris RW sebanyak 3,74 persen, sekretaris RT sebanyak 2,80 persen dan lainnya yang ditunjuk untuk bertanggungjawab dalam titik bagi sembako sebesar 1,87 persen. Ketua RT/RW atau penanggung jawab dalam titik bagi lebih banyak memberikan informasi tentang ketepatan sasaran dalam pemberian bantuan sembako dari proses pendataan sampai dengan pembagiannya.
Ketepatan Sasaran Bantuan Sembako
Situasi saat pemberlakuan Pembatasaan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi keluarga kelas menengah keatas mungkin tidak ada masalah karena masih punya cadangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan terutama makan sehari-hari.
Namun untuk keluarga menengah kebawah yang tidak punya cadangan penghasilan atau yang dalam kehidupan bekerja hanya cukup memenuhi kebutuhan harian akan menjadi masalah ketika tidak bisa bekerja lagi. Situasi yang demikian yang menuntut pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Sosial RI untuk secepat mungkin menyalurkan bantuan sosial sembako.
Dua hal yang harus ditempuh Kementerian Sosial yang terkadang menimbulkan dilema yaitu bantuan harus cepat dan tepat. Penelitian ini akan menggambarkan kondisi lapangan tentang ketepatan sasaran bantuan sosial sembako di wilayah Jabodetabek. Seluk beluk tentang ketepatan sasaran ini ditanyakan kepada ketua RT/RW atau seseorang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab dalam hal titik bagi yang dianggap mengetahui dari mulai pendataan sampai distribusi bantuan sosial sembako. Responden RT/RW atau yang bertanggung jawab terhadap titik bagi sebanyak 107 orang.
Kuota dan Ketepatan Sasaran
Kuota penerima bantuan dan ketepatan sasaran bantuan sama-sama menunjukkan tren kontras, dimana nyaris terdapat perimbangan, seimbang antara responden yang menjawab adanya kekurangan kuota dan ketidaktepatan sasaran dengan kondisi sebaliknya. Khusus pada persoalan kuota penerima manfaat, presentasenya lebih besar, mendekati setengah dengan 47,66 persen, dibandingkan presentase ketidaktepatan sasaran yang sedikit lebih kecil pada angka 44,86 persen.
Tren 50:50 atau perimbangan ini merupakan angka yang besar untuk mewakili populasi, tetapi ia tidak dominan.
Temuan ini dapat dikatakan menyelisihi asumsi yang mendominasi ruang publik melalui banyaknya pemberitaan akan adanya ketidaktepatan sasaran yang signifikan pada pendistribusian Bantuan Sosial Sembako dalam merespon PSBB di masa Pandemi COVID-19 ini. Akan tetapi kemiripan presentase antara ketidaksesuaian kuota dan ketepatan sasaran menunjukkan aspek lain yang penting digaris-bawahi, yaitu adanya konsistensi antara ketidaksesuaian kuota dengan ketidaktepatan sasaran. Hal ini mengonfirmasi hubungan kausalitas antara kecilnya kuota bantuan dengan kemungkinan adanya ketidaktepatan sasaran penerima bantuan.
Temuan tentang ketidaksesuaian kuota penerima yang diberikan pemerintah dengan banyaknya masyarakat yang seharusnya menerima menunjukkan pentingnya isu kuota disandingkan dengan ketepatan sasaran. Jika pemerintah menaikkan level kuota penerima bantuan sampai mencapai 2/3 dari populasi pada tingkat lokal saja misalnya, akan secara gradual mengikis persoalan kisruh bantuan sosial yang diakibatkan banyaknya warga membutuhkan yang tidak mendapat bantuan. Lebih jauh lagi, temuan ini juga berpotensi membuka percakapan baru tentang pendistribusian bantuan sosial, baik di masa pandemi maupun tidak, yaitu mengenai dimensi inklusivitas. Secara prinsip keadilan sosial, bantuan sosial harus bisa menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan, tidak boleh ada yang ditinggalkan (no one left behind). Mewujudkan prinsip ini menjadi problematik ketika esensi perlindungan sosial yang digunakan masih menggunakan pendekatan perlindungan sosial bersasaran. Dalam hal ini bahwa selama isu ketepatan sasaran melulu dibingkai ke dalam diskusi tentang siapa yang berhak dan tidak berhak
menerima bantuan dan bukan memulai menelusuri hulu persoalan yaitu tidak inklusifnya kategorisasi “berhak dan tidak berhak”, selama itu pula distribusi bantuan sosial akan selalu kisruh dan berpolemik serta jauh dari dukungan masyarakat kelas menengah. Melihat pendistribusian bantuan sosial melalui kerangka kebijakan menyediakan kuota penerima yang sedapat mungkin mendekati kebutuhan masyarakat akan mengizinkan ruang bagi kebijakan bantuan sosial inklusif yang dapat merespons prinsip no one left behind
dengan lebih baik, terlebih di situasi luar biasa seperti masa Pandemi COVID-19 ini.
Kriteria Sasaran
Cara menentukan kriteria calon keluarga penerima manfaat bantuan sosial sembako di tingkat RT/RW masih beragam dan masih perlu ditingkatkan partisipasi warganya. Berbagai model yang berkembang di masyarakat Jabodetabek dalam menentukan sasaran penerima manfaat bantuan sembako antara lain: Pertama, mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan oleh pemerintah, Kedua,
melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang ketua dan aparatur RT/RW untuk menentukan warga miskin.
Ketiga, melakukan pemutakhiran ulang secara mandiri sesuai dengan 14 kriteria dari BPS. Keempat, melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang tokoh dan warga yang aktif untuk menentukan warga miskin dan rentan.
Kelima, melakukan musyawarah RT/RW untuk menntukan warga kaya/ mampu, lalu bantuan diberikan kepada semua warga diluar daftar warga kaya/mampu. Keenam, melakukan musyawarah RT/RW dengan mengundang seluruh warga untuk menentukan warga miskin dan rentan. Adapun cara menentukan kriteria calon keluarga penerima bantuan
sosial sembako dampak covid-19 menurut RT/RW adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Menentukan Kriterian Calon Keluarga Penerima Manfaat Bantuan Sosial Sembako
Mayoritas atau lebih dari 40% (41.12%) aparatur politik lokal menyatakan bahwa kriteria sasaran Bansos Sembako ‘mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan pemerintah/Kementerian Sosial’, kemudian berturut-turut diikuti oleh ‘musyawarah RW/RT mengundang ketua dan aparatur RW/RT untuk menentukan warga miskin dan rentan’ (22.43%) dan ‘pemutakhiran ulang mandiri di tingkat aparatur RW/RT sesuai 14 kriteria kemiskinan pemerintah/BPS’ (19.63%). Ketiga jawaban teratas ini kurang-lebihnya menunjukkan kecenderungan mekanisme kriteria penentuan sasaran yang masih belum partisipatif.
Selain itu, jawaban terbanyak responden RW/RT yang kriteria sasarannya ‘mengikuti daftar penerima manfaat yang dikeluarkan pemerintah/Kementerian Sosial’ menunjukkan adanya kepatuhan terhadap protokol standar data dengan
mengambil apa adanya dari Kemensos. Akan tetapi temuan ini juga berpotensi kurang inklusif jika dihubungkan dengan temuan setengah populasi adanya kekurangan kuota dan ketidaktepatan sasaran. Dalam artian, menerima data secara langsung dari pusat tanpa mekanisme pemutakhiran lain dapat berakibat buruk dengan semakin jauhnya warga yang membutuhkan namun tidak mendapat dari akses terhadap perbaikan data penerima bantuan.
Kemudian dari pilihan jawaban bentuk musyawarah RW/RT dalam penentuan warga miskin dan rentan yang bermaksud menangkap tendensi partisipasi yang dilakukan di tingkat RT/RW terungkap bahwa mekanisme yang paling partisipatif (dengan mengundang seluruh warga ke musyawarah RW/RT) justru paling sedikit dilakukan (1.87%) dan yang paling kurang partisipatif (dengan mengundang ketua dan aparatur RT/RW) dilakukan paling banyak (22.43%). Hal ini menunjukkan perlunya memperhatikan mekanisme penentuan kriteria sasaran di tingkat lokal agar setiap pendataan dan perbaikan data tidak justru menimbulkan ketimpangan baru bagi warga yang tereksklusi dari bantuan. Temuan ini juga sekaligus mengonfirmasi studi-studi lainnya yang mengungkap keterbatasan penargetan berbasis-komunitas sebagai mekanisme penentuan kriteria sasaran bantuan sosial. Dalam aspek ini juga terdapat keterbatasan penelitian dalam hal mentriangulasi temuan persoalan data di tingkat RT/RW dengan di tingkat Dinas Sosial kabupaten/kota.
Penyebab Ketidak Sesuaian Data
Karena ketidak sesuaian data, sebagian Ketua RT/RW menolak untuk mengambil dan mendistribusikan paket
Bansos ke warganya, lantaran khawatir akan terjadi konflik sosial. RT/RW yang sudah mengambil juga ada yang belum berani mendistribusikan ke warga karena dikhawatirkan dengan mendistribusikan ke orang yang tidak tepat akan menjadi preseden buat mereka, kemudian menjadi timbul konflik sosial. Permasalahan itu karena data yang tertera sebagai penerima Bansos saat ini tidak sesuai dengan update
pendataan yang telah dilakukannya bersama pihak terkait. Berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial sembako sebagian besar RT/RW menerima aduan/keluhan warga yaitu sebanyak 85,05 persen dan sisanya sebanyak 14,95 persen tidak menerima aduan/keluhan warga. Dari 85,5 persen yang menjawab ada pengaduan selanjutnya jalur mekanisme menampung keluhan warga terkait bantuan sosial sembako sebanyak 51,65 persen melapor langsung. Yang lainnya adalah terintegrasi dalam sistem offline yang berjenjang (15,38%), terintegrasi dalam jaringan sistem online yang berjenjang (8,7%), menyarankan warga menyampaikan keluhan secara mandiri melalui sistem/
hotline kementerian sosial dan yang lainnya sebanyak 4,4 persen. Sedangkan alasan RT/RW yang tidak menerima aduan adalah sebanyak 75 persen warganya tidak ada yang mengadu, sebanyak 12,5 persen beralasan sudah pernah dibuat tetapi tidak dilanjutkan karena tidak ada respon dari pemerintah pusat atau daerah dan sebanyak 12,5 persen beralasan merepotkan.
Beberapa kasus ini muncul menurut ketua RT/RW ada beberapa penyebab ketidak sesuaian data penerima manfaat dengan kebutuhan warga. Penyebab ketidak sesuaian data dapat kita lihat dalam gambar berikut:
Gambar 3 . Penyebab Ketidak Sesuaian Data
Lebih dari setengah responden 55.14 persen menjawab ‘kurangnya koordinasi pusat dan daerah’ sebagai penyebab ketidaksesuaian data. Mirip dengan jawaban ini adalah respon ‘tumpang-tindih peraturan dan lembaga pemerintah’ sebesar 11.21 persen. Ini menunjukkan bahwa mayoritas aparatur RT/RW sebagai penanggungjawab titik bagi menganggap masih ada celah komunikasi dan kelembagaan antara pusat dan daerah. Temuan ini berkonsekuensi bahwa setiap perbaikan data yang dilakukan harus diikuti dengan urgensi peningkatan intensitas koordinasi pusat-daerah. Meskipun koordinasi penting, jika disandingkan dengan temuan kriteria penentuan sasaran dalam hal keterbatasan penargetan berbasis-komunitas, maka perbaikan koordinasi pusat-daerah akan menjadi tidak efektif jika hanya berbentuk pemutakhiran data oleh aparatur lokal (penargetan berbasis-komunitas).
Dari data tersebut yang menarik adalah, di peringkat kedua sebanyak 16,82 persen, responden menjawab bahwa ketidaksesuaian data menjadi wajar sebab pendapatan warga
miskin selalu berubah/dinamis. Serupa dengan jawaban ini, adanya kekhawatiran ‘penyusunan data kemiskinan akan menyulut tensi dan solidaritas warga’ sebesar 11.21 persen. Kedua respon ini menunjukkan adanya pengakuan akan problematiknya pemeringkatan kemiskinan sebagai instrumen penentuan penerima bantuan. Bantuan sosial
‘new normal’ berarti bukan hanya bantuan yang lebih baik memberikan manfaat tetapi juga yang dapat merespon kekeliruan yang mendasari asumsi kebijakan perlindungan sosial bersasaran tentang berhak dan tidak berhak yang ternyata mempengaruhi implementasi ketepatan sasaran menjadi kurang inklusif.
Pemberlakuan aturan larangan bagi keluarga penerima manfaat PKH dan BPNT/Sembako untuk menerima Bansos Sembako dengan asumsi aturan larangan bantuan ganda/ double tersebut sudah benar, sebanyak 76,64 persen ketua RT/RW setuju, sebanyak 22,43 persen menjawab tidak setuju dan 0,93 persen menyatakan tidak tahu. Menyikapi hal tersebut maka kebijakan di lingkungan RT/RW I/B/S terhadap keluarga miskin penerima PKH dan BPNT/ Sembako Reguler yang tidak mendapatkan Bantuan Sosial Sembako COVID-19 disebabkan adanya larangan menerima bantuan ganda/double adalah pertama, sebanyak 54,17 persen RT/RW tetap menerapkan aturan larangan ganda dan memberikan penjelasan/ pengertian bagi warga penerima PKH-BPNT/Sembako reguler. Kedua, memberikan bantuan pengganti jika ada penerima bantuan sosial sembako yang mengundurkan diri (tidak layak/pindah). Ketiga,
mencarikan bantuan pemerintah daerah atau bantuan / donasi non – pemerintah. Sebanyak 8,33 persen ketua RT/ RW menjawab lainnya.
Respons terhadap Keluhan dan Kepuasan Proses Penyaluran
Mayoritas responden sebanyak 63,55 persen menjawab respons kebijakan ‘memberikan penjelasan bagi warga yang tidak mendapatkan’ terhadap keluhan mengenai daftar penerima Bantuan Sosial Sembako. Respon kebijakan lokal kedua adalah ‘dibagi rata’ sebanyak 19,63 persen. Sisanya, ‘digilir’ sebanyak 11,21 persen dan ‘langsung diganti’ sebanyak 3,74 persen. Temuan ini menunjukkan bahwa kebanyakan elit politik lokal lebih memilih untuk mengompensasi melalui persuasi langsung kepada warganya yang tidak menerima bantuan karena exclusion error. Pilihan ini walaupun mungkin rasional untuk jangka pendek (sambil menanti perbaikan data), namun akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan sosial dan mental jika warga tereksklusi benar-benar tidak mendapat bantuan jangka menengah ke panjang.
Temuan tentang respons kebijakan lokal ‘bagi rata’ yang tidak signifikan juga menarik jika dikontraskan dengan persepsi publik populer yang menganggap pembagian rata bantuan sebagai fenomena yang lazim. Meskipun data tersebut mungkin masih memiliki potensi bias karena dijawab langsung oleh aparatur RT/RW setempat. Dalam konteks masa pandemi saat ini yang mengakibatkan sorotan publik yang cenderung lebih ketat terhadap akuntabilitas program bantuan sosial pemerintah, potensi bias elit politik lokal level desa/kelurahan/RW/RT ini akan lebih rasional jika dibingkai dalam narasi kepentingan moral ketimbang melulu menjaga kepentingan politiknya (seperti membagi rata agar sanak-familinya mendapat bantuan). Dalam salah satu wawancara yang dilakukan enumerator, ditemukan
bahwa RT/RW yang melakukan bagi rata mengaku terpaksa karena kasihan dan tidak tega dengan warga yang tereksklusi yang mendatanginya karena mengaku sudah tidak makan selama beberapa hari. Tidak diragukan lagi bahwa praktik bagi rata tidak ideal, tetapi di sisi lain, dalam observasi di sebagian lokasi, penelitian ini menunjukkan bahwa justru bagi rata dapat membantu merelaksasi gesekan sosial yang lebih besar sebagai akibat exclusion error, terlebih pada masa krisis yang menyuburkan orang miskin baru.
Selama terlibat menjadi unjung tombak dalam penyaluran penyaluran bantuan sembako, penilaian dari RT/RW tentang perasaan kepuasannya sangat beragam. Selama terlibat dalam penyaluran bantuan sosial sembako, ada yang merasa puas dan sangat puas. Namun masih ada juga yang merasa tidak puas dan tidak tahu. Perasaan RT/ RW dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 4. Respons Terhadap Proses Penyaluran Bantuan Sosial Sembako
Dalam kaitan dengan pandangan subyektif aparatur RT/ RW akan kepuasan proses penyaluran, mayoritas responden menjawab puas (61,68%), diikuti oleh tidak puas (24.30%), dan sangat puas (10.28%). Temuan ini menunjukkan bahwa setidaknya pada masa-masa awal ini, penyaluran Bantuan Sosial Sembako sudah berjalan dengan relatif baik. Jawaban ketidakpuasan-yang berada di angka lebih dari 20%, meskipun tidak besar namun jika dikaitkan dengan beberapa temuan lain cukup menjadi peringatan dini yang mengisyaratkan perlunya perbaikan pada sejumlah asumsi kebijakan yang mendasari dan praktik implementasi yang terjadi pada Program Bantuan Sosial Sembako ini.
Nilai Kemanfaatan Bantuan Sembako
Kondisi Keluarga Saat Diberlakukan PSBB
Pembatasaan Sosial Berskala Besar (PSBB) mempunyai dampak dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja naik dua kali lipat dari 10,3 persen menjadi 21,5 pesen. Begitu juga yang masih bekerja pun mengalami penurunan pendapatan karena geraknya untuk bekerja dibatasi.
Gambar berikut memperlihatkan bahwa keluarga yang berpenghasilan kurang dari satu juta rupiah jumlahnya menjadi naik saat diberlakukan PSBB. Sebelum diberlakukan PSBB, keluarga yang berpenghasilan kurang dari saatu juta sebanyak 27,1 persen. Namun setelah diberlakukan PSBB jumlah keluarga yang berpenghasilan kurang dari saatu juta sebanyak 58,08 persen. Sedangkan keluarga yang berpenghasilan antara satu hingga dua juta dan keuarga
yang berpenghasilan 2 - 4 juta jumlahnya menurun karena penghasilannya menurun.
Gambar berikut adalah memperlihatkan penurunan penghasilan setelah diberlakukannya PSBB.
Gambar 5. Penghasilan Keluarga Sebelum dan Sesudah PSBB
Kondisi keluarga tersebut tidak banyak yang mempunyai tabungan yaitu sebanyak 20,7 persen saja yang mempunyai tabungan, sedangkan yang 79,3 persen tidak mempunyai tabungan. Sementara itu kebutuhan makan harus terus berjalan setiap harinya. Kebutuhan makan keluarga setiap harinya bervariasi, mayoritas kebutuhan makan dalam sehari keluarga tersebut antara Rp. 51.000 - Rp.100.000. Melihat kondisi pekerjaan, penghasilan, tabungan dan kebutuhan makan maka sebagian besar atau 39,9 persen keluarga kebutuhan pokoknya akan bisa dipenuhi dalam waktu seminggu. Selanjutnya 37,54 persen akan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dalam waktu dua minggu ke depan dan bahkan 14,48 persen keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya selama kurang dari satu minggu. Kondisi yang demikian maka menuntut keluarga untuk tetap dapat
memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Gambar berikut adalah upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokoknya selama diberlakukan PSBB.
Gambar 6. Upaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah mata pencaharian hidup saat diberlakukan PSBB
Sebagian besar besar atau 71,8 persen keluarga memilih untuk tetap bekerja meskipun penghasilannya sangat kurang. Kedua, sebanyak 56,4 persen keluarga memilih untuk mengubah pola dan menu konsumsi dengan cara mengurangi kuantitas maupun mengurangi kualitas makan. Ketiga, adalah sejumlah 29,1 persen mereka beralih pekerjaan atau mengubah jenis usahanya. Keluarga lainnya untuk mengatasi mata pencaharian hidup yang berkurang dengan cara meminjam uang ke saudara atau tetangga, tidak melakukan apa-apa, berhutang di warung, mengambil tabungan, menjual atau menggadaikan barang, memulung dan meminta-minta. Ketika responden ditanya dalam kondisi sulit seperti ini apakah ada pikiran negatif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (misal mengambil barang milik orang lain) ternyata ada 0,7 persen yang menjawab mempunyai
pikiran negatif. Ini berarti dalam kondisi sulit mempunyai potensi munculnya kejahatan.
Nilai Manfaat Bantuan Sosial
Bantuan sosial pangan yang diterima berupa beras, minyak goreng, kecap manis, sambal, mie instan, ikan dalam kemasan, kornet sapi, teh celup, Susu UHT dan sabun batang. Nilai bantuan sosial pangan tersebut sebesar Rp.600.000 setiap bulan yang diberikan dua kali, sehingga setiap keluarga menerima bantuan sosial senilai Rp. 300.000,- setiap dua minggu sekali. Program tersebut mendapat tanggapan yang bervariasi dari keluarga penerima manfaat. Gambar berikut membandingkan antara nilai yang diterima dengan bantuan yang diharapkan dari keluarga penerima manfaat:
Gambar 7. Perbandingan Persepsi Nilai Bantuan yang Diterima dengan yang Ideal Harapan Keluarga Penerima Manfaat Setiap
Dua Minggu Sekali
Data tersebut memperlihatkan bahwa menurut persepsi keluarga penerima manfaat, bantuan yang diberikan dalam kisaran antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 500.000,-. Namun berdasarkan kebutuhan pangan yang dibutuhkan setiap hari maka harapan mereka adalah antara Rp. 501.000,-
sampai dengan Rp. 750.000,-. Bervariasinya harapan mereka didasarkan pada bervariasinya jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan nilai bantuan yang diberikan dengan kebutuhan pangan setiap hari yang mayoritas kebutuhan makan dalam sehari keluarga berkisar antara Rp. 51.000,- sampai dengan Rp.100.000,-, maka bantuan tersebut sangat berarti sekali dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Sebagian besar responden atau sebanyak 48,32 persen menyatakan bahwa bantuan yang diberikan dapat membantu antara 26 sampai dengan 50 persen dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selanjutnya ada 45,79 persen keluarga menyatakan dapat terbantu antar 10 sampai dengan 25 persen dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Responden lainnya menyatakan bahwa bantuan tersebut membantu 51 sampai 75 persen sebanyak 4,55 persen keluarga dan 1,35 persen keluarga terbantu antara 76 sampai 100 persen kebutuhannya.
Tabel 1. Lama Kemanfaatan Bansos Sembako berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah Anggota Keluarga
1-3 hari 4-6 hari 7-9 hari 10 – 12 hari 12 – 14 hari > 14 hari 1 0,0% 17,6% 70,6% 0,0% 0,0% 11,8% 2 3,4% 37,3% 22,0% 15,3% 8,5% 13,6% 3 2,9% 35,5% 30,4% 14,5% 12,3% 4,3% 4 3,9% 42,9% 25,6% 12,8% 13,3% 1,5% 5 8,0% 45,5% 28,6% 7,1% 9,8% 0,9% 6 2,5% 57,5% 20,0% 5,0% 15,0% 0,0% 7 23,1% 46,2% 15,4% 0,0% 15,4% 0,0% 8 0,0% 57,1% 28,6% 0,0% 14,3% 0,0% Sumber : Hasil Penelitian 2020
Tabel satu menunjukan bahwa mayoritas bantuan mampu dimanfaatkan oleh keluarga penerima manfaat selama 4 sampai dengan 6 hari. Meskipun tidak ada pola yang jelas, namun dari data tersebut menunjukan bahwa ada kecenderungan semakin banyak jumlah anggota keluarga maka bantuan yang diberikan sedikit jumlah hari dalam memanfaatkan bantuan sosial pangan.
5. KESIMPULAN
Kesimpulan
Ketepatan sasaaran bantuan bukan hanya ditentukan oleh data yang terintegrasi dan terbaharui tetapi juga dukungan kelas menengah melalui perluasan cakupan bantuan dan pelibatan the missing middle. Sehingga mekanisme penyaluran masih berimbang antara proses partisipatif dan tidak. Dalam menentukan calon penerima manfaat Bantuan sosial dampak COVID-19 sebaiknya tidak dikaitkan dengan pemeringkatan kemiskinan mengingat karakteristik kerentanan paska-krisis yang melampaui analisis kemiskinan berbasis pendapatan / pengeluaran.
Nilai kemanfaatan Bantuan Sosial Sembako dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, semakin banyak anggota keluarga maka akan lebih sedikit waktu dalam memanfaatkan bantuan. Selanjutnya nilai kemanfaatan optimal program Bantuan Sosial Sembako membutuhkan biaya konversi sampai siap dikonsumsi. Selain biaya distribusinya yang mahal untuk sampai ke penerima manfaat juga untuk memasak dari bahan mentah ke bahan siap saji masih membutuhkan biaya untuk memasak.
Peningkatan signifikan penduduk rentan dari berbagai kelompok demografi maupun tingkat pendapatan mengisyaratkan pentingnya kebijakan exit strategy setelah bulan Juni 2020. Mengingat bahwa ada perubahan pola hidup yang berbeda dari kehidupan sebelum ada pandemi (new normal). Hal ini membutuhkan penyesuaian dan pemulihan setelah dinyatakan tidak dalam situasi pandemi lagi.
Rekomendasi
1. Perbaikan mekanisme penyaluran yang lebih melibatkan kelompok rentan dan miskin untuk merespons temuan mekanisme (proses, kriteria, dan biaya mendapatkan Bansos Sembako) yang masih menunjukkan tendensi kurang partisipatif.
2. Temuan relatif kecilnya nilai manfaat Bansos Sembako pada level keluarga menunjukkan urgensi untuk beralih dari jumlah bantuan per-KK menuju per-anggota keluarga. 3. Perlu dipikirkan memperluas cakupan bantuan sosial
tunai, mempertimbangkan biaya tinggi dari Bantuan Sosial Sembako.
4. Satu data yang bersumber dari pemutakhiran lokal partisipatif berdasarkan kategori demografi rentan sebagai solusi kekisruhan data bansos.
5. Bantuan sosial ‘new normal’ sudah sepatutnya beralih dari pemeringkatan kemiskinan (means testing) yang acak menuju kategori demografi rentan yang inklusif. 6. Penambahan waktu pemberian Bansos Sembako sampai
bulan Desember 2020, dengan mempertimbangkan membutuhkan waktu dalam memulihkan kondisi perekonomian keluarga.
6. DAFTAR PUSTAKA
Fraser, M. W., Galinsky, M., & Richman, J. (1999, September). Risk, protection, and resilience : Toward a conceptual frame work for social work practice. Socia Work Research, 2, 131-143.
Friana, H. (2020). WHO Umumkan Corona COVID-19 Sebagai Pandemi. Jakarta: tirto.id. Retrieved Mei 30, 2020, from https://tirto.id/who-umumkan-corona-covid-19-sebagai-pandemi-eEvE
Gentilini, U., Almenfi, M., Dale, P., Demarc, G., & Santos, I. (2020). Social Protection and Jobs Responses to COVID-19: A Real-Time Review of Country Measures.
Washington, D.C: World Bank Group. Retrieved from http://documents.worldbank.org/curated/ en/883501588611600156/Social-Protection-and-Jobs- Responses-to-COVID-19-A-Real-Time-Review-of-Country-Measures-May-1-2020
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. (2020). Situasi Virus COVID-19 di Indonesia. Jakarta: https://covid19. go.id.
Hook, M. P. (2008). Social Work Practice Families : A Resiliency-Based Approach. Chicago: Lyceum Book, Inc.
International Labour Organization. (2020). Dalam Menghadapi Pandemi: Memastikan Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja. Switzerland: ILO. Retrieved from https:// www.ilo.org/global/about-the-ilo/how-the-ilo-works/ departments-and-offices/governance/labadmin-osh/ lang--en/index.htm
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Republik Indonesia No 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Jakarta: JDIH.SETNEG.GO.ID : 3 HLM. Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id/Home/ Details/135718/keppres-no-12-tahun-2020
Kementerian Sosial RI. (2020). Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Pusdatin Kementerian Sosial.
Mohler, G., Bertozzi, A., Carter, J., Short, M., Sledge , D., Tita, G.,
. . . Braintingham, P. (2020). Impact of social distancing during COVID-19 pandemic on crime in LosAngeles and Indianapolis. Journal of Criminal Justice, 2. doi:https:// doi.org/10.1016/j.jcrimjus.2020.101692
Siahaan, R. (2012). Ketahanan Sosial Keluarga: Perspektif Pekerjaan Sosial. Sosio Informa, 17, 82-96.
Sumner, A., Hoy, C., & Ortiz-Juarez, E. (2020). Estimates of the impact of COVID-19 on global poverty. Katajanokanlaituri 6 B, 00160 Helsinki, Finland: The United Nations University World Institute for Development Economics Research .
Vos, B., Martin, W., & Laborde, D. (2020). As COVID-19 spreads, no major concern for global food security yet.
Washington, DC 20005-3915 USA: International Food Policy Research Institute (IFPRI).
Tim Peneliti :
Setyo Sumarno, Achmadi Jayaputra, Mu’man Nuryana, Suradi, Sugiyanto, Ruaida Murni, Ayu Diah Amalia, Muslim Sabarisman,
Latri Mumpuni
Executive Summary
PEMBELAJARAN DARI COVID-19 TENTANG MASA
DEPAN KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE)
ABSTRAK
Kementerian Sosial RI mengimplementasikan model KUBE dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Di dalam KUBE tersebut dilaksanakan kegiatan untuk penguatan relasi sosial dan peningkatan pendapatan keluarga miskin. Mencermati visi dan misi KUBE pada konteks kesejahteraan sosial, maka tidak cukup beradaan KUBE tersebut hanya difungsikan sebagai wadah kegiatan. Pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap aspek sosial ekonomi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan KUBE. Kebijakan pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan mengurangi aktivitas sosial ekonomi UMKM / KUBE. Jika masa PSBB diberlakukan dalam jangka waktu lama, maka KUBE akan mengurangi dan atau menghentikan kegiatan sosial ekonominya. Berdasarkan fenomena sosial di atas, maka penelitian ini akan
menjawab pertanyaan “pelajaran apa yang dapat diperoleh dari pandemi Covid 19 terhadap masa depan KUBE”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di 3 (tiga) provinsi, yaitu: Bangka Belitung (Kab Bangka dan Kab Belitung Timur), Bali (Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar) dan Nusa Tenggara Barat (Bima dan Kabupaten Lombok Timur. Penentuan lokasi ini sebagai kasus, sehingga hasil penelitian ini hanya berlaku di lokasi penelitian. Penelitian ini menjangkau 12 KUBE yang akan memberikan data aktivitas sosial ekonomi di masa pandemi Covid-19. Hasil dari penelitian ini, dapat digambarkan bahwa KUBE berusaha mempertahankan keberlanjutan aktivitas sosial ekonominya dengan mengelola jenis usaha ekonomi baru, integritas dan kekompakan anggota KUBE serta peran pendamping merupakan faktor yang mendukung / menginspirasi kreativitas dan inovasi KUBE untuk tetap bertahan dan KUBE memiliki rencana ke depan dalam usahanya mempertahakan / menjaga keberlanjutan KUBE, berkaitan dengan aspek jenis usaha, kemitraan, sumber daya manusia, pemasaran dan permodalan. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan kontribusi bagi Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin, instansi sosial di daerah, dan para pemangku kepentingan dalam merevitalisasi KUBE sebagai modalitas dalam penanggulangan kemiskinan.
A. PENDAHULUAN
Kemiskinan bersifat multidimensional, dan kondisi sosial budaya berpengaruh terhadap karakter orang miskin. Implikasinya, bahwa penanganan kemiskinan dilakukan secara multipendekatan dan multisektor, serta mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat (Suradi, 2006; 2016; Oceannaz, 2010; Kumala, Agustini & Rais, 2010; Sumarto, 2013).
Kementerian Sosial RI mengimplementasikan model KUBE dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Di dalam KUBE tersebut dilaksanakan kegiatan untuk penguatan relasi sosial dan peningkatan pendapatan keluarga miskin. Mencermati visi dan misi KUBE pada konteks kesejahteraan sosial, maka tidak cukup beradaan KUBE tersebut hanya difungsikan sebagai wadah kegiatan (Kemensos, 2017). Lebih dari itu, KUBE merupakan bentuk dari usaha sosial
(social enterprise), dan kerena itu pengelola KUBE (social enterpreneur) diharapkan memiliki keterampilan di bidang usaha sosial (social enterpreneurship) (Barone, 2020; CBC, 2020; SEA, 2020; Hayes, 2020).
Pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap aspek sosial ekonomi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan KUBE (Amri, 2020; Pakpahan, 2020; Hidayat, 2020; Nordiansyah, 2020; Rasti, 2020). Kebijakan pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan mengurangi aktivitas sosial ekonomi UMKM/ KUBE. Jika masa PSBB diberlakukan dalam jangka waktu lama, maka KUBE akan mengurangi dan atau menghentikan kegiatan sosial ekonominya (Fathoni, 2020; Wijayako, 2020; Islamtodya, 2020).
Berdasarkan fenome sosial di atas, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan “pelajaran apa yang dapat diperoleh dari pandemi Covid 19 terhadap maa depan KUBE”. Berkaitan dengan itu, penelitain ini bertujuan (1) mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas KUBE sebelum dan sesudah pandemi Covid-19, (2) mendeskripsikan faktor kendala dan pendukung, serta (3) mendeskripsikan dan menganalisis rencana KUBE ke depan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data adalah (1) sumber data primer meliputi pengelola program KUBE di pusat dan Dinas Sosial kabupaten/kota, pengurus dan pendamping KUBE. Untuk mengumpulkan data dari sumber data primer dengan pengisian quesioner dan wawancara secara virtual; (2) sumber data sekunder berupa regulasi, pedoman, laporan dan literatur. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi dokumentasi dan studi literatur. Data yang telah dikumpulkan, dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah: dikompilasi, editing, dikategorisasi, divalidasi dan dilakukan penarikan kesimpulan. Hasil analisis data menghasilan informasi tentang kondisi KUBE terdampak pandemi Covis-19 dan strategi koping yang dilakukan pengurus dan anggota untuk keberlanjautan KUBE.
Penelitian dilakukan di 3 (tiga) provinsi, yaitu: Bangka Belitung (Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung Timur), Bali (Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar) dan Nusa Tenggara Barat (Bima dan Kabupaten Lombok Timur. Penentuan lokasi ini sebagai kasus, sehingga hasil penelitian ini hanya berlaku di lokasi penelitian. Penelitian ini menjangkau 12 KUBE yang akan memberikan data aktivitas sosial ekonomi di masa pandemi Covid-19. Diharapkan
hasil penelitian ini memberikan kontribusi bagi Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin, instansi sosial di daerah, dan para pemangku kepentingan dalam merevitalisasi KUBE sebagai modalitas dalam penanggulangan kemiskinan.
B. AKTIVITAS KUBE DI MASA PANDEMI
Dampak Covid-19 bagi KUBE, berdasarkan data ada beberapa KUBE yang mampu survive dalam kegiatan ekonomi. Pada beberapa kasus sempat menghentikan kegiatan, beberapa mengalami stagnasi tetapi ada pula yang tetap melangsungkan kegiatan ekonomi ditengah pandemi. KUBE yang menghentikan kegiatan untuk sementara waktu biasanya terkendala oleh masalah internal dan eksternal KUBE. Masalah internal seperti modal usaha yang besar, sedangkan masalah eksternal, minimnya atau menurunnya produk yang dijual.
KUBE yang mampu bertahan ditengah pandemi Covid 19 KUBE yang melakukan transformasi dan inovasi melihat peluang usaha dan memanfaatkan potensi lokal, kearifan lokal masyarakat setempat. Krena koondisi pandemi covid 19 telah mengubah kegiatan ekonomi sosial KUBE, baik dari sisi pendapatan atau omzet usaha yang menurun, sisi sosial aktivitas KUBE dibatasi (pelarangan berkerumun), maupun sisi kelembagaan aktivitas.
Sisi menariknya dari KUBE, pada sisi sosial unsur IKS tetap berfungsi dimana IKS dapat dimanfaatkan untuk berbagi diantara anggota KUBE maupun masyarakat dalam mengatasi masalah pandemi Covid 19 diantaranya pemberian sumbangan dan kegiatan sosial bagi warga yang terdampak Covid 19. Selain itu ada beberapa KUBE
melakukan transformasi atau inovasi dalam hal penjualan maupun pemasaran, mengubah metode penjualan, beberapa KUBE sudah memasarkan hasil produksi melalui metode daring (online by media sosial maupun melalui provider pemasaran perdagangan), yang dikarenakan adanya desakan ekternal.
Pada kasus Bali, beberapa KUBE ekstensifikasi usaha di bidang sarana prasarana budaya adat istiadat Bali, dengan mengelola usaha pembuatan sarana upacara keagamaan atau sering disebut Pesaji (bentuk sesajen yang didalamnya terdapat buah-buahan, kelapa, rangkaian janur, yang ditempatkan di besek), proses produksi atau pembuatan sarana upacara keagamaan dilakukan di rumah masing-masing anggota KUBE dan bercocok tanam bunga.
Pada kasus NTB, kondisi survive KUBE di Provinsi Nusa Tenggara Barat, tidak terlepas dari peran pemerintah melalui Dinas Sosial, untuk dapat mengoptimalkan kelompok KUBE selama pandemi Covid 19. Salah satunya mengelola usaha ekonomi, seperti memproduksi abon ikan tuna. Selain itu juga berjualan kue, buka warung kecil, dan menjual makanan kecil. Sebagian anggota KUBE juga menambah usahanya dengan menjalankan usaha ekonomi baru, seperti: menjual ayam potong, menjual salome, di mana usaha ekonomi tersebut dilakukan dengan modal sendiri, sehingga penurunan penghasilan dari kegiatan menenun, ditutupi dari keuntungan usaha ekonomi yang baru tersebut.
Pada kasus Belitung, KUBE tidak hanya sebagai media yang berorientasi pada aspek ekonomi, melainkan juga aspek sosial kemasyarakatan. Selama pandemi Covid 19 KUBE melakukan transformasi dan inovasi jenis usaha dengan melihat peluang pasar dan potensi yang ada, salah
satunya mengembangkan usaha baru pembuatan masker. Pembuat masker ini selain dijual sebagian dibagikan kepada masyarakat sekitar yang berada dilikungan sekitar lokasi KUBE
C. STRATEGI KUBE UNTUK BERTAHAN
1. Jenis Usaha Ekonomi
Mengembangkan KUBE dengan menambah jenis usaha ekonomi baru, seperti menjadi agen pupuk melalui Kartu Tani, menjual pulsa prabayar, pulsa listrik dan tagihan PDAM, memproduksi masker, membuat tempat sesajen, bercocok tanam bunga untuk upacara keagamaan, membuat cinderamata, menambah jenis usaha makanan olahan (kue kering, menerima pesanan kue ulang tahun, nasi tumpeng, membuat abon ikan).
2. Kemitraan
a. Meningkatkan kemitraan dengan menjalin kerjasama dengan toko-toko makanan dan toko oleh-oleh untuk pemasaran produk. Pemasaran produk akan dilakukan di area bandar udara internasional yang memiliki pangsa pasar yang bagus. Sudah dilakukan penjajagan kerjasama dengan BUMDES, sehingga tidak perlu meminjam ke bank.
b. Pengembangan kemitraan dengan instansi terkait seperti; Dinas Koperasi, Dinas Peternakan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pariwisata dan pihak swasta yang lainnya. Karena kami menyadari apabila tidak ada kemitraan usaha dengan perorangan, kelompok, organisasi yang memiliki komitmen untuk bekerja
sama saling menguntungkan, tujuan yang diharapkan KUBE Simpor dan Nelayan Sejati ini sulit tercapai.
3. Pemasaran
Pemasaran melalui WA, dengan melebarkan sayap penjualan yang sebelumnya hanya melalui pasar tradisional selanjutnya memanfaatkan IT seperti sosial media. Pemasaran hasil usaha lewat promosi di KUBE di sosialisasikan melalui media/online. Selain itu, pemasaran dengan menitipkan barang di super market, mall ataupun toko-toko.
4. Sumber Daya Manusia
Peningkatakan keterampilan anggota KUBE melalui pelatihan atau bimbingan teknis terkait dengan proses produksi, pengemasan dan teknik pemasaran. Pada saat ini anggota KUBE sudah memiliki keterampilan usaha makanan olahan yang diperoleh secara informal. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka keterampilan yang dikuasai oleh anggota KUBE tersebut memerlukan peningkatan, terutama dalam pemanfaatan teknologi produksi dan informasi.
5. Permodalan
Ketersediaan modal merupakan faktor sangat penting dalam pengelolaan usaha ekonomi. Untuk mendukung rencana pengembangan usaha, anggota KUBE akan berupaya menambah modal dari pengelolaan sisa hasil usaha, dan melalui pengajuan pinjaman ke lembaga keuangan (Bank, Koperasi).
D. KESIMPULAN
1. KUBE berusaha mempertahankan keberlanjutan aktivitas sosial ekonominya dengan mengelola jenis usaha ekonomi baru, baik yang dikelola secara berkelompok maupun secara individu (dengan mekanisme kelompok). KUBE juga memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengelola usaha ekonomi secara mandiri, yang modal usahanya diperolah dari KUBE (sebagai pinjaman). 2. Integritas dan kekompakan anggota KUBE serta peran
pendamping merupakan faktor yang mendukung / menginspirasi kreativitas dan inovasi KUBE untuk tetap bertahan. Sedangkan faktor kendala, terbatasnya pangsa pasar karena penurunan daya beli masyaarakat.
3. KUBE memiliki rencana ke depan dalam usahanya mempertahakan / menjaga keberlanjutan KUBE, berkaitan dengan aspek jenis usaha, kemitraan, sumber daya manusia, pemasaran dan permodalan.
E. REKOMENDASI
1. Pembinan Teknis / Pelatihan
• Peningkatan kapasitas pendamping melalui pelatihan yang berkaitan dengan: jenis usaha, peluang usaha, pemasaran, kemitraan, dan modoal usaha KUBE berbasis teknologi informasi.
• Pembinaan teknis bagi anggota KUBE, terkait dengan penguatan komitmen, kerjasama, tanggung jawab, kepedulain sosial, membaca peluang usaha, dan berilaku produktif.
2. Penajaman regulasi yang mengatur pengelolaan KUBE, yang memfasilitasi KUBE dan dunia usaha membangun
kemitraan. Kemitraan KUBE dan Dunia Usaha dimulai sejak awal / ketika KUBE menentukan jenis usaha ekonomi.
3. Reaktualisasi KUBE sebagai social enterprise,
implikasinya bahwa KPM yang akan menjadi anggota KUBE memenuhi kualifikasi keterampilan sesuai kebutuhan. Di dalam pedoman pengelolaan KUBE perlu dimasukkan konsep tentang social enterprise, social enterpreneurship dan social enterpreneur.
4. Melakukan transformasi KUBE menjadi UMKM. KUBE yang sudah mandiri, yaitu KUBE yang sudah berdampak tehadap kondisi sosial ekonomi anggota, ditransformasi menjadi UMKM, sehingga terakses untuk dengan pelayanan untuk pengembangan dan keberlanjutan usaha.
F. DAFTAR PUSTAKA
Amri,A. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap UMKM Di Indonesia, JURNAL BRAND, Volume 2 No. 1, Juni 2020, https://ejournals.umma.ac.id/index.php/brand
Barone,A. (2020). Social Enterprise, https://www.investopedia. com/terms/s/social-enterprise.asp
CBC (Center for Social Enterprise). (2020). Social enterprise – What is Definition Importen ? https://www. centreforsocialenterprise.com/what-is-social-enterprise/
Fathoni,A. (2020). Dampak Covic 19 Dan Kebijakan PSBB Pemerintahterhadap UMKM Di Wiyung Surabaya, Dinar : Jurnal Prodi Ekonomi Syari’ah, Volume 3 Nomor 1 September 2019 – Februari 2020;
Hayes,A. (2020). Entrepreneur, https://www.investopedia.com/ terms/e/entrepreneur.asp
Hidayat,M,W. (2020). Bagaimana Pandemi Covid-19 Berdampak terhadap UMKM di Indonesia?, 10 Jun 2020, 13:00 WIB, www.liputan6.com/tekno/read/4275355/bagaimana-pandemi.../
Islamtodya, (2020). Ini Dampak Ekstrim dari Kebijakan PSBB, https://islamtoday.id/news/20200410074927-8172/ini-dampak-ekstrim-dari-kebijakan-psbb/
Kumala, A,Z, Agustini,H,N, & Rais. (2010). Dinamika Kemiskinan Dan Pengukuran Kerentanan Kemiskinan Dalam Upaya Melindungi Anak-Anak Dari Dampak Kemiskinann (Studi Kasus Pada Rumah Tangga Di Pulau Jawa Tahun 2008-2010), Jakarta: SMERU.
Kemensos, (2017). Pedoman Penanggulangan Kemiskinan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Jakarta: Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin.
Nordiansyah,E. (2020). 100% UMKM Bakal Terdampak Jika Covid-19 Berlanjut di 2021, https://www.msn.com/ id-id/berita/other/100-umkm-bakal-terdampak-jika-covid-19-berlanjut-di-2021/ar-BB18NQUD
Pakpahan, (2020). COVID-19 dan Implikasi Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan, Indonesia, [email protected].
Rasti,R. (2020). Dampak COVID-19 Terhadap Pelaku UMKM Saat Ini, 27 March 2020, Jakarta, MNEWS.co.id
SEA, (2020). Social Enterprise, What is Social Enterprise? Social Enterprise Allliance, 2020, https://socialenterprise.us/ about/social-enterprise/
Sumarto, S. (2013). Mengukur Pendapatan Dan Kemiskinan Multi-Dimensi: Implikasi Terhadap Kebijakan, Jakarta: SMERU
Suradi (2006). Kemiskin dan Politik Pembangunan Sosial, Yogyakarta: Citra Media.
Suradi (2016). Mengurai Simpul-Simpul Kemiskinan: Memahami Anatomi Kemiskinan dan Pemberdayaan, Jakarta: UMJ Press.
Wijayako, (2020). Dampak PSBB Terhadap UMKM, April 16, 2020 (April 21, 2020) https://www.wijayakomunika. co.id/dampak-psbb-terhadap-umkm/