• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan minyak kelapa sawit menghasilkan hasil sampingan berupa janjangan kosong, solid basah, cangkang, serabut, dan effluent/limbah cair yang dikenal dengan istilah POME (Palm Oil Mill Effluent). By product dari kegiatan pengolahan PKS masing-masing memiliki potensi untuk dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tidak sedikit. Potensi dan pemanfaatan limbah pengolahan PKS disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis, potensi, dan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit

Jenis Potensi/ton

TBS (%) Pemanfaatan

Janjang kosong 23.0 Pupuk kompos, pulp, papan partikel, energy

Wet Decanter Solid 4.0 Pupuk, kompos, pakan ternak Cangkang 6.5 Arang, karbon aktif, papan partikel Serabut (fiber) 13.0 Energi, pulp, papan partikel

Limbah cair 50.0 Pupuk, air irigasi

Air kondensat Air umpan boiler

Sumber: PT. SIP (2000)

Pemanfaatan hasil sampingan dilakukan berdasarkan kesadaran akan kelestarian lingkungan sekitar. Cangkang, serabut, dan air kondensat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada boiler untuk mengolah TBS menjadi minyak kelapa sawit, sedangkan cara pemanfaatan untuk JJK, solid basah, dan effluent adalah dengan mengembalikannya lagi ke pertanaman dengan metode dan dosis aplikasi yang tepat.

Pemanfaatan limbah dengan mengkombinasikan JJK, WDS, dan POME mampu mensubstitusi kebutuhan pupuk. Berikut ini perhitungan potensi besaran hara (N) yang dapat disediakan melalui pemanfaatan ketiga limbah tersebut.

 JJK dosis 250 kg JJK/pokok (35 ton/ha) setara dengan 280 kg Urea  WDS dosis 200 kg WDS/pokok (28 ton/ha) setara dengan 476 kg Urea

 POME dosis 1512 m3 POME/ha, N: 114.813 mg/L; setara dengan 173 kg Urea *Asumsi: 1 ha: 140 pokok

1 ton JJK: 8 kg Urea (Pahan, 2008) 1 ton WDS: 10.3 kg Urea (Pahan, 2008) 30-70 mg N/Liter POME (Darnoko et al., 2005) 50 mg N/Liter POME (Bapedal, 1995)

Total N yang tersedia melalui kombinasi aplikasi limbah setara dengan pupuk urea (45% N) adalah sebesar 741 kg urea/ha/tahun. Bila dibandingkan dengan kebutuhan N melalui aplikasi pemupukan anorganik urea sebesar 420 kg/ha/tahun (dosis 3 kg urea/pokok/tahun), kebutuhan pupuk anorganik dapat terpenuhi oleh pemanfaatan limbah kelapa sawit bahkan berlebih. Tetapi aplikasi pemupukan anorganik tetap perlu dilakukan karena ketersediaan limbah belum dapat memenuhi kebutuhan pemupukan perkebunan kelapa sawit dalam luasan yang sangat besar.

Berikut ini perhitungan output bahan organik yang dihasilkan oleh PKS per tahunnya, besaran unsur hara N (setara urea), dan kisaran luas areal yang dapat terpenuhi melalui pemupukan memanfaatkan limbah organik, dengan total TBS olah di PKS sebesar 111 822 ton/tahun:

- JJK : Perkiraan produksi (23% total TBS olah): 25 719.06 ton JJK/tahun

Unsur hara N (setara urea): 205.75 ton urea/tahun Luas areal yang dapat diaplikasi: 734.38 ha/tahun

- Solid basah : Perkiraan produksi (4% total TBS olah): 4 772 ton WDS/tahun

Unsur hara N (setara urea): 49.15 ton urea/tahun Luas areal yang dapat diaplikasi: 159.75 ha/tahun

- POME : Perkiraan produksi (50% total TBS olah): 55 911 ton POME/tahun

Unsur hara N (setara urea): 87.21 ton urea/tahun Luas areal yang dapat diaplikasi: 74.55 ha/tahun

keterangan: *35 ton JJK/ha/thn *1 ton JJK setara 8 kg urea (Pahan, 2008) *28 ton WDS/ha/thn *1 ton WDS setara 10.3 kg urea (Pahan, 2008) *750 ton POME/ha/thn *1ton POME setara 1.56 kg urea (Lubis et al, 1989) Perkiraan produksi limbah organik yang dihasilkan oleh PKS tiap tahunnya adalah sebesar 86 402.06 ton/tahun. Total keseluruhan areal pertanaman kelapa sawit yang bisa dipenuhi oleh aplikasi pemupukan limbah organik berdasarkan rekomendasi pupuk organik/ha/tahun yang ditetapkan oleh PT. BSC adalah sebesar 968.68 ha/tahun. Besar luasan tersebut hanya ± 1/6 dari luasan total kebun (6 000 ha).

Kebutuhan pemupukan urea (luasan 6 000 ha) yang dapat disubstitusi oleh aplikasi pupuk organik PKS mengacu pada perkiraan unsur hara N setara

urea pada limbah organik PKS hanya sekitar 342.11 ton/tahun sehingga dapat menutupi kebutuhan pemupukan urea (420 kg/ha/tahun) seluas 814.55 ha, hanya sekitar 1/7 luasan kebun keseluruhan. Jadi pemupukan anorganik masih sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hara secara keseluruhan.

Berikut ini material balance pada pabrik pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Kesetimbangan bahan pabrik kelapa sawit Sumber: Sungai Pinang Factory (2009)

Pemanfaatan Limbah Padat

Limbah padat (janjangan kosong dan solid basah) merupakan limbah padat yang jumlahnya cukup besar. JJK berasal dari proses pembantingan/thresher yang memiliki persentase sekitar 23%/ton TBS. Departemen Riset Sime Darby merekomendasikan dosis pemupukan JJK untuk TM adalah 250 kg/pokok yang diaplikasikan pada gawangan mati, satu titik aplikasi JJK diperuntukkan 4 pokok kelapa sawit. Jadi setiap titik diaplikasikan JJK sebanyak 1 ton. Masalah yang sering timbul dari model aplikasi manual adalah seringnya restan JJK di PKS maupun di lapangan dalam jumlah banyak.

Pemanfaatan JJK dilapangan ditujukan sebagai pupuk dan mulsa. Pada kegiatan magang ini, dilakukan pengamatan meliputi efektifitas pemanfaatan JJK tersebut.

Tabel 10. Pengamatan bobot dan volume akar kelapa sawit pada areal aplikasi JJK Ulangan Akar Bobot akar (g) Volume akar (mL) BB %BB BK %BK Vol % Vol I Primer 19.4 40.33 3.7 41.11 27.50 41.35 Sekunder 17.5 36.38 3.3 36.67 27.25 40.98 Tersier 11.2 23.29 2.0 22.22 11.75 17.67 Total 48.1 100 9.0 100 66.50 100 II Primer 20.2 41.05 3.9 42.39 28.75 42.43 Sekunder 16.8 34.15 3.1 33.70 26.00 38.38 Tersier 12.2 24.80 2.2 23.91 13.00 19.19 Total 49.2 100 9.2 100 67.75 100 III Primer 19.7 41.38 3.8 42.22 28.00 42.75 Sekunder 16.5 34.67 3.1 34.44 25.50 38.93 Tersier 11.4 23.95 2.1 23.34 12.00 18.32 Total 47.6 100 9.0 100 65.50 100 Keterangan: ukuran petak sampel 25 cm x 25 cm x 25 cm

Penempatan lapisan JJK akan berperan dalam menyerap dan menahan serta menyimpan air sehingga kelembaban tanah di sekitarnya relatif terjaga. Kelembaban tanah yang dipertahankan terutama di sekitar daerah sistem perakaran akan sangat membantu proses pertumbuhan akar.

Tabel 11. Pengamatan bobot dan volume akar kelapa sawit pada areal tanpa aplikasi JJK Ulangan Akar Bobot akar (g) Volume akar (mL) BB %BB BK %BK Vol % Vol I Primer 20.2 41.82 3.9 42.86 28.50 42.70 Sekunder 17.7 36.65 3.3 36.26 28.75 43.07 Tersier 10.4 21.53 1.9 20.88 9.50 14.23 Total 48.3 100 9.1 100 66.75 100 II Primer 20.5 41.41 4.0 43.01 28.75 42.44 Sekunder 17.8 35.96 3.3 35.38 29.00 42.80 Tersier 11.2 22.63 2.0 21.51 10.00 14.76 Total 49.5 100 9.3 100 67.75 100 III Primer 19.9 41.11 3.8 42.22 28.00 42.11 Sekunder 17.2 35.54 3.2 35.56 28.25 42.48 Tersier 11.3 23.35 2.0 22.22 10.25 15.41 Total 48.4 100 9.0 100 66.5 100 Keterangan: ukuran petak sampel 25 cm x 25 cm x 25 cm

Data pengamatan lapang, menunjukkan rata-rata persentase bobot basah akar tersier pada daerah yang mendapat aplikasi JJK sebesar 24.01% dari total akar dalam petak sample lebih besar sedangkan rata-rata persentase bobot basah akar tersier pada daerah yang tidak mendapat aplikasi JJK yaitu sebesar 22.38 % dari total akar dalam petak sampel menunjukkan bahwa pertumbuhan akar tersier di daerah yang mendapat aplikasi JJK lebih besar.

Tabel 12. Rata-rata bobot dan volume akar kelapa sawit

Akar Bobot akar (g) Volume akar (mL) BB %BB BK %BK Vol % Vol Aplikasi JJK Primer 19.8 40.99 3.8 41.76 28.00 42.11 Sekunder 16.9 34.98 3.2 35.16 26.25 39.47 Tersier 11.6 24.01 2.1 23.08 12.25 18.42 Total 48.3 100 9.1 100 66.50 100 Tanpa Aplikasi JJK Primer 20.2 41.48 3.9 42.86 28.40 42.39 Sekunder 17.6 36.14 3.3 36.26 28.67 42.79 Tersier 10.9 22.38 1.9 20.88 9.92 14.82 Total 48.7 100 9.1 100 66.99 100 Keterangan: ukuran petak sampel 25cm x 25cm x 25 cm

Menurut Pahan (2008), pertumbuhan dan percabangan akar dapat terangsang bila konsentrasi hara dalam tanah, terutama N dan P cukup besar. Sebagian dari akar absorbsi (83.7 %) tersebut terdiri dari akar tersier (28.9 %) dan akar kuartener (54.8 %), zona absorbsi akar yang terdiri dari akar primer dan sekunder kurang dari 10 %.

Gambar 13. Penampang akar kelapa sawit Sumber: Pahan (2008)

Pertumbuhan sistem perakaran terutama akar sekunder horizontal (RIIH) dan juga akar tersier vertikal (RIIIV) akan meningkatkan sistem dan daya dukung tanaman sehingga kemampuan tanaman dalam menyerap hara yang berada dalam larutan tanah akan meningkat. Dari kondisi ini akan diperoleh manfaat mutualis, yaitu perbaikan kondisi tanah melalui konservasi air dan tanah serta perbaikan terhadap sistem perakaran tanaman yang akan menunjang produktivitas tanaman. Akar primer, sekunder, dan tersier kelapa sawit disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Akar kelapa sawit

(a) akar primer, (b) akar sekunder, (c) akar tersier

Tabel 13. Produksi bulanan dan BJR Sungai Pinang Estate divisi III blok B dan C April 2009 Blok Luas (ha) Pk Produktif Thn Tanam JJG Panen JJG Kirim Tonase PKS BJR kg/ha B2* 30 3996 1991 2084 2084 45670 21.91 1691 B3* 29 3860 1991 2154 2154 50810 23.59 1882 C2** 27 3599 1991 1948 1948 43320 22.24 1444 C3** 27 3595 1991 1931 1931 43660 22.61 1506

Sumber: Kantor Divisi III SPE Keterangan: * blok aplikasi JJK * blok tanpa aplikasi JJK

Data produksi pada bulan April 2009 menunjukkan perbedaan antara blok aplikasi JJK dengan blok tanpa aplikasi JJK, jumlah kg/ha pada blok aplikasi (B2= 1 691 kg/ha, B3= 1 882 kg/ha) lebih besar dibanding blok tanpa aplikasi JJK (C2=1 444 kg/ha, C3= 1 506 kg/ha).

Tabel 14. Produksi bulanan dan BJR Sungai Pinang Estate divisi III blok B dan C Juli 2008-April 2009 Blok Luas (ha) Pk Produktif Thn Tanam JJG Panen JJG Kirim Tonase PKS BJR kg/ha B2* 30 3996 1991 16345 16345 403040 24.66 13435 B3* 29 3860 1991 17325 17325 435020 25.11 15001 C2** 27 3599 1991 15074 15074 385240 25.56 14268 C3** 27 3595 1991 16063 16063 401980 25.03 14888

Sumber: Kantor Divisi III SPE Keterangan: * blok aplikasi JJK * blok tanpa aplikasi JJK

Sedangkan untuk produksi tandan/pokok, hasil pengamatan langsung pada blok yang mendapat aplikasi JJK menunjukkan rata-rata 2.35 tandan/pokok (U1= blok B2) dan 2.65 tandan/pokok (U2= blok B3) sedangkan untuk blok tanpa aplikasi JJK rata-rata 2.53 tandan/pokok (U1= blok C2) dan 1.27 tandan/pokok (U2= blok C3). Data hasil pengamatan jumlah tandan/pokok disajikan pada Tabel lampiran 6, 7, 8, dan 9.

Fungsi JJK sebagai mulsa/penutup tanah, penempatan lapisan JJK di permukaan tanah dapat menekan perkembangan gulma dilihat dari penutupan gulma pada daerah yang mendapat aplikasi JJK dengan daerah tanpa aplikasi JJK pada Tabel 14 dan 15.

Tabel 15. Pengamatan vegetasi gulma pada areal tanpa aplikasi JJK

Spesies

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Jumlah Bobot Jumlah Bobot Jumlah Bobot

BB BK BB BK BB BK Amaranthus spinosus 10 30.1 2.65 5 16.2 1.43 7 20.6 1.81 Ageratum conyzoides 0 0 0 5 9.6 1.06 4 7.8 0.86 Brachiaria mutica 10 62.9 2.14 7 43.3 1.47 6 35.7 1.21 Clidemia hirta 2 15.1 3.68 2 6.7 1.63 4 16.5 4.03 Cyclosorus aridus 4 13.5 2.89 0 0 0 2 5.7 1.22 Pasphalum conjugatum 1 3.3 0.85 0 0 0 2 5.8 1.47 Nephrolepis bisserata 2 3.2 0.81 3 3.8 0.96 0 0 0 Ottochloa nodosa 8 72.7 9.96 6 58.2 7.97 7 69.2 9.48 VOPS 0 0 0 2 5.2 1.58 0 0 0 Total 37 200.8 22.98 30 143 16.1 32 161.3 20.08

Keterangan: ukuran kuadran 30 cm x 30 cm

Tabel 16. Pengamatan vegetasi gulma pada areal aplikasi JJK

Spesies

Ulangan I Ulangan II Ulangan III Jumlah Bobot Jumlah Bobot Jumlah Bobot

4BB BK BB BK BB BK Ageratum conyzoides 2 6.2 0.68 0 0 0 4 9.4 1.03 Brachiaria mutica 4 24.1 0.82 5 28.6 0.97 3 19.8 0.67 Pasphalum conjugatum 2 4.7 1.18 0 0 0 1 3.8 0.95 Cyclosorus aridus 5 14.1 3.02 3 12.1 2.59 0 0 0 Mikhania micrantha 2 5.4 1.13 3 6.2 1.30 2 5.5 1.16 Nephrolepis bisserata 0 0 0 2 2.8 0.71 3 3.8 0.96 Ottochloa nodosa 3 20.2 2.77 4 29.1 3.99 2 14.4 1.97 Total 18 74.7 9.6 17 78.8 9.56 15 56.7 6.74

Gulma yang dominan pada daerah yang mendapat aplikasi JJK adalah

Brachiaria mutica, dengan frekuensi rata-rata 4 gulma/ulangan kuadran. Pada daerah yang tidak mendapat aplikasi JJK gulma yang dominan adalah Brachiaria mutica dengan frekuensi rata-rata 7 gulma/ulangan kuadran. Data hasil pengamatan vegetasi gulma menunjukkan penutupan gulma pada daerah apikasi JJK lebih sedikit dengan jumlah gulma rata-rata 16.6, bobot basah 70.06 g, dan bobot kering 8.63 g dibanding dengan jumlah gulma rata-rata 33, bobot basah 50.51g, dan bobot kering 19.27 g. Perbedaan penutupan gulma pada daerah aplikasi JJK dengan daerah tanpa aplikasi JJK disajikan pada Gambar. 15

Gambar 15. Kondisi gulma di daerah aplikasi JJK dan tanpa aplikasi JJK

Komponen utama limbah pada kelapa sawit ialah selulosa dan lignin, sehingga limbah ini disebut sebagai limbah lignoselulosa (Darnoko, 1993). Berdasarkan struktur JJK yang terdiri dari berbagai macam serat (selulosa, hemiselulolsa, dan lignin) menunjukkan JJK merupakan kumpulan jutaan serat organik yang memiliki kemampuan dalam menahan air yang ada di sekitarnya. Kondisi ini dapat menciptakan lingkungan yang dapat menghambat perkembangan gulma.

Pemanfaatan Limbah Cair (POME).

POME (Palm Oil Mill Effluent) hasil sampingan (by product) dari pengolahan TBS di PKS berasal dari proses rebusan (sterilizer), pemurnian (clarifier), dan sistem decanter (heavy phase). Seluruh hasil sampingan tersebut ditampung di fat pit yang merupakan tahapan awal dari pengelolaan limbah cair di PKS. Limbah cair yang masih memiliki kandungan minyak diendapakan di fat pit, minyak yang masih tersisa di fat pit dipompakan kembali ke stasiun pemurnian.

Limbah mengalami proses pendinginan awal dengan cara mengalirkan limbah ke menara pendingin kemudian ditampung di kolam limbah, sistem ini dikenal dengan istilah ponding system. Gambar skema ponding sytem dalam pengelolaan limbah untuk land application dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Skema ponding system POME untuk land application

Sumber: Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian (2006)

Limbah PKS mengandung bahan organik dan anorganik yang sangat tinggi, untuk merombak bahan organik dilakukan fermentasi dengan memanfaatkan bakteri secara aerobik ataupun anaerobik. Bakteri fermentasi merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Dengan proses biologis dalam suasana anaerobik dan aerobik terjadi biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam dan gas, sedangkan mineral sedikit berkurang dalam proses ini. Selain itu dilakukan pula perombakan asam organik menjadi gas metan oleh bakteri metanogenik.

Proses biologis dan aplikasi POME merupakan salah satu sistem yang memberikan keuntungan dalam penanganan limbah. Limbah yang diolah dengan cara ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk. Air limbah yang langsung keluar dari fat pit tidak sesuai diaplikasikan ke areal kelapa sawit karena menimbulkan masalah terhadap lingkungan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan aplikasi POME adalah:

tanah mineral dengan kemiringan searah (teratur) tanah berdrainase baik, kedalaman air tanah < 2 m

areal aplikasi harus jauh dari sumber air alami, minimal 2 km dari pemukiman penduduk

maksimal 5 km dari PKS.

Tabel 17. Komposisi hara limbah cair.

Lokasi BOD N P K Mg

(mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) Fat Pit 25000 500-900 90-140 1000-1975 250-340 Kolam Anaerob Primer 3500-5000 500-675 90-110 1000-1850 250-320 Kolam Anaerob Sekunder 2000-3500 325-450 62-85 875-1250 160-215 Kolam Aerob Permukaan 100-200 55-80 5-15 420-670 25-55

Kolam Aerob Dasar 150-300 1495 461 2378 1000

Kolam Pengendapan 75-125 30-70 3-15 330-450 17-40 Sumber: Darnoko et al (2005)

Pengaplikasian Limbah dengan Metode Focal Feeding

Pemanfaatan hasil sampingan dari pengolahan CPO dapat diaplikasikan ke areal pertanaman kelapa sawit sebagai pupuk, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sime Darby Group, terdapat kenaikan produksi pada areal yang mengalami aplikasi limbah baik JJK maupun effluent.

Hal tersebut mendorong perusahaan untuk mengembangkan sistem baru dalam meningkatkan efisiensi pemanfaatan limbah kelapa sawit dengan mengkombinasikan limbah kelapa sawit menggunakan metode focal feeding. Metode ini merupakan suatu pendekatan inovatif untuk meminimalkan kehilangan unsur hara dan memaksimalkan penyerapan hara. Teknik ini mengadopsi konsep

slow release fertilizer dan mampu memperkecil kelemahan atau kekurangan yang terdapat pada cara konvensional. Dengan menggunakan teknik ini akar diarahkan untuk menyerap unsur hara dari sumber di lokasi yang permanen.

Tempat permanen dibuat dengan menggali lubang kecil dengan ukuran yang telah ditentukan dan dilengkapi dengan media serta lingkungan yang memungkinkan untuk akar sawit berkembang. Konsentrasi akar banyak pada tempat dimana terdapat bahan organik. Residu kelapa sawit seperti pelepah, JJK, dan POME adalah sumber bahan organik yang sempurna untuk perkembangan

akar pada tempat focal feeding. Pits/lubang (2.00 m x 1.00 m x 0.75 m) yang dibuat diantara dua pokok sawit, dapat memberi manfaat tambahan untuk menangkap air dan berfungsi sebagai konservasi air hujan. Penyerapan air ke dalam tanah akan lebih baik dan dapat mengurangi dampak musim kering.

Gambar 17. Silt pit

Pembuatan pits dapat dilakukan dengan memanfaatkan mini excavator/TLB (Tracktor Loader Backhoe) atau secara manual, tegak lurus sejajar dengan barisan tanaman guna mengurangi aliran permukaan tanah. Pits tersebut diisi bahan organik (JJK 500 kg/pits, POME 500 L/pits, dan Kompos 75 kg/pits) untuk menciptakan lingkungan yang dapat memacu pertumbuhan akar tersier baru pada tempat focal feeding tersebut. Aplikasi pupuk anorganik dapat dilakukan setelah 12 bulan aplikasi bahan organik, pada saat akar tersier baru telah berkembang. Residu organik yang telah membusuk akan menyerap pupuk yang diaplikasikan dan selanjutnya dilepaskan secara perlahan ke dalam tanah.

Dokumen terkait