• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Pengembangan Produk Dadih Susu Sapi (Halaman 21-37)

Hasil Pengujian Masalah (Test The Problem)

Berdasarkan 30 responden yang dianggap sebagai segmen konsumen dadih susu sapi, kebanyakan responden di usia remaja (10-15 tahun) lebih menyukai makanan dan minuman dengan rasa manis, sedangkan responden berusia 45 tahun ke atas cenderung sulit merubah kebiasaan pola makan mereka dan tidak terlalu memikirkan untuk memiliki tubuh yang ideal. Hal tersebut merubah segmen konsumen dadih susu sapi yang sebelumnya berusia 10-60 tahun, menjadi berusia 16-45 tahun. Permasalahan yang sering muncul dari kebanyakan responden adalah nyeri lambung atau diare apabila mengkonsumsi yoghurt secara berlebih dan rasa asam yoghurt yang juga berlebihan. Selain disebabkan oleh konsumsi berlebih dan rasa asam tersebut, penyebab diare saat mengkonsumsi yoghurt juga dapat disebabkan karena probiotik dalam yoghurt yang kurang cocok dalam sistem pencernaan responden. Wapodo (2004) menyebutkan bahwa probiotik galur lokal Indonesia lebih mampu beradaptasi bagi tubuh orang Indonesia serta mampu menekan jumlah bakteri yang tidak diinginkan. Hal ini yang mendasari pengembangan produk dadih susu sapi akan dibuat dari probiotik galur lokal yang diisolasi langsung dari dadih tradisional. Pengurangan rasa asam berlebih menjadi rasa yang cenderung agak asam/agak manis juga akan dilakukan bersamaan dengan penentuan takaran saji yang dianggap tepat oleh responden (berkisar antara 100-150 mL).

Masalah lain yang muncul dari responden yang ingin memiliki tubuh ideal, namun masih terkendala pola makan berlebih atau gizi yang tidak seimbang dari makanan yang mereka konsumsi, terutama bagi responden dengan aktivitas padat yang tidak sempat memilah makanan yang baik untuk kesehatannya. Responden menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi yoghurt dalam bentuk cair masih belum mampu menekan nafsu makan mereka karena tidak mengenyangkan, sehingga pola makan berlebih masih belum dapat diatasi. Hal tersebut menjadikan yoghurt sebagai makanan sekunder atau tersier bagi responden. Solusi untuk masalah tersebut adalah menawarkan dadih susu sapi dengan tekstur padat, sehingga diharapkan mampu mengenyangkan dan dianggap sebagai makanan diet yang dikonsumsi sehari-hari dan mampu menjaga berat tubuh ideal.

Identifikasi Formula Dadih Susu Sapi Terbaik

Proses identifikasi formula terbaik dilakukan dengan membuat dadih susu sapi menggunakan beberapa jenis formula, baik berdasarkan hasil penelitian sebelumnya maupun berdasarkan trial and error. Pembuatan dadih susu sapi pertama dilakukan dengan menggunakan formula terbaik menurut hasil penelitian Suprihanto (2009). Suprihanto (2009) menyebutkan bahwa dadih susu sapi terbaik dihasilkan dengan menggunakan perbandingan kultur bakteri antara Lactobacillus casei dan Bifidobacterium longum sebesar 2:1. Formula tersebut digunakan untuk membuat dadih susu sapi pertama dan dilakukan sedikit modifikasi proses pada suhu fermentasi dadih tersebut. Fermentasi dadih yang dilakukan Suprihanto (2009), dilakukan pada suhu ruang (270C) dimodifikasi menjadi 370C. Tujuan

9 diubahnya suhu fermentasi ini adalah untuk mengoptimalkan kinerja kultur bakteri dalam melakukan fermentasi susu tersebut. Widodo (2003) menyebutkan bahwa Lactobacillus casei tumbuh optimum pada suhu 370C, sama halnya dengan suhu optimum Bifidobacterium longum yang menurut Shah (2007) berkisar antara 37-410C. Hasil uji hedonik pertama dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3 Grafik uji hedonik 1

Gambar 3 menunjukkan bahwa modifikasi proses terhadap suhu fermentasi seharusnya tidak dilakukan. Hal tersebut berdasarkan tingkat kesukaan responden yang sangat minim karena nilai yang ditunjukkan hanya berkisar antara sangat tidak suka dan tidak suka terhadap kelima parameter yang diujikan seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Modifikasi suhu fermentasi justru menghasilkan dadih susu sapi yang over fermented/wheying off. Kesalahan tersebut disebabkan karena semakin optimalnya suhu fermentasi maka susu sapi yang difermentasi tersebut juga semakin cepat terfermentasi. Hal ini menjelaskan bahwa dadih susu sapi tersebut seharusnya sudah dipanen sebelum 48 jam fermentasi, tidak seperti penelitian yang dilakukan oleh Suprihanto (2009) yang menggunakan suhu ruang. Pembuatan dadih susu sapi dengan formula hasil penelitian Suprihanto (2009) belum dapat dianggap tidak diterima oleh panelis, karena faktor yang menyebabkan dadih tersebut over fermented/wheying off adalah adanya suhu fermentasi yang tidak sesuai.

Pembuatan dadih susu sapi selanjutnya dilakukan dengan merujuk kepada formula hasil penelitian Suprihanto (2009) dan Setiawan (2010), serta beberapa formula acak lainnya. Formula tersebut terdiri dari rasio antara kultur

Lactobacillus casei dan Bifidobacterium lingum sebesar 2:1 (Suprihanto 2009), 1:5 (Setiawan 2010), 1:2, 5:1, dan 1:1. Pemilihan rasio 1:2, 5:1, dan 1:1 dilakukan agar perbedaan antara satu rasio kultur dengan rasio kultur lainnya cukup signifikan, sehingga dadih yang dihasilkan juga dapat lebih mudah dibedakan parameter hedoniknya oleh para responden. Kelima formula tersebut diterapkan masing-masing pada dadih plain dan dadih rasa yang menggunakan sirup

strawberry sebagai penambah rasanya sejumlah 5% dari dadih tersebut. Uji hedonik kedua dilakukan terhadap kelima hasil formulasi yang hasilnya dapat

10

dilihat pada Gambar 4 untuk uji hedonik terhadap dadih plain dan Gambar 5 untuk uji hedonik terhadap dadih rasa.

Gambar 4 Grafik uji hedonik 2 (dadih plain)

Gambar 5 Grafik uji hedonik 2 (dadih rasa)

Hasil uji hedonik secara keseluruhan menunjukkan bahwa dadih plain

dengan formula terbaik ditunjukkan oleh formula kultur 5:1 dari lima aspek yang diujikan, serta berbeda nyata terhadap formula lainnya. Hal sebaliknya justru ditunjukkan oleh dadih strawberry yang menunjukkan bahwa formula dadih

strawberry terbaik dihasilkan oleh formula yang merupakan hasil dari penelitian Setiawan (2010), yaitu kultur dengan rasio 1:5, yang berbeda nyata dengan seluruh formula lainnya dari empat aspek yang diujikan, selain aspek tekstur yang

11 tidak berbeda nyata dengan rasio kultur 1:1. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Merujuk kepada hasil uji hedonik kedua tersebut, maka formula terpilih untuk dadih plain yaitu dengan rasio L. casei : B. longum sebesar 5:1 dan untuk dadih rasa sebesar 1:5. Penambahan essence berupa essence mint dan sirup fruktosa diberikan kepada dadih plain untuk mengurangi aroma amis serta

aftertaste pahit yang selalu timbul saat responden menguji dadih plain tersebut. Dadih plain kembali dibuat menggunakan formula terpilih untuk membandingkan kadar penambahan sirup fruktosa yang paling disukai oleh panelis, yaitu dengan kadar 1%, 2%, 3%, 4% (v/v). Penambahan essence disama-ratakan sebanyak dua tetes untuk masing-masing kadar sirup fruktosa yang diberikan.

Perlakuan juga dilakukan terhadap masing-masing dadih rasa berupa penambahan sirup fruktosa dengan kadar 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5% (v/v), namun menggunakan formula terpilihnya sendiri yaitu 1:5. Penambahan essence mint

tidak dilakukan karena aroma amis yang dihasilkan oleh dadih dapat ditutupi oleh aroma yang dihasilkan oleh sirup strawberry yang diberikan. Hasil uji hedonik 3 dapat dilihat pada Gambar 6 untuk uji hedonik terhadap dadih plain dan Gambar 7 untuk uji hedonik terhadap dadih rasa.

12

Gambar 7 Grafik uji hedonik 3 (dadih rasa)

Uji hedonik menunjukkan bahwa kadar sirup fruktosa yang paling disukai pada parameter warna, aroma, dan overall dari dadih plain adalah sebesar 2%. Parameter tekstur dan rasa yang paling disukai oleh respoden merupakan dadih

plain dengan kadar fruktosa sebesar 3%. Hasil tersebut masih belum mewakili tingkat kesukaan responden terhadap dadih plain terutama pada parameter aroma dan rasa. Hal ini dikarenakan meskipun diperoleh hasil yang mampu menunjukkan formula mana yang terbaik, tingkat penerimaan responden terhadap aroma masih tergolong netral/biasa saja sedangkan tingkat penerimaan responden terhadap rasa masih tergolong tidak suka. Tingkat penerimaan yang rendah terhadap aroma dan rasa tersebut kemungkinan besar diakibatkan oleh penggunaan essence mint yang tidak sesuai dengan susu fermentasi, khususnya dadih. Responden menyebutkan bahwa aroma dan rasa dari essence mint yang dihasilkan terlalu kuat, sehingga aroma dan rasa dadih plain itu sendiri tidak dapat teridentifikasi atau diuji. Hasil uji hedonik secara keseluruhan menunjukkan bahwa dadih plain dengan masing-masing kadar sirup fruktosa saling berbeda nyata satu sama lain, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 4.

Uji hedonik terhadap dadih rasa menunjukkan bahwa dadih rasa yang paling disukai dari kelima parameter yang diujikan merupakan dadih rasa dengan kadar fruktosa sebesar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa para responden memang lebih menyukai susu fermentasi (dadih) dengan kadar gula yang tinggi, atau memiliki rasa agak asam atau agak manis seperti hasil pengujian masalah yang telah disebutkan sebelumnya. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa dadih rasa dengan masing-masing kadar fruktosa saling berbeda nyata satu sama lain. Masih terdapatnya aftertaste pahit baik dari dadih plain serta dadih rasa yang telah ditambahkan sirup fruktosa, menjadi kendala terbesar dalam proses penerimaan dadih oleh responden.

Pembuatan dadih berikutnya dilakukan dengan menggunakan rasio antara

Lactobacillus casei dengan Bifidobacterium Longum sebesar 1:5 baik dalam pembuatan dadih rasa maupun dadih plain. Hal ini dilakukan karena dengan

13 berbedanya rasio kultur dinilai kurang efektif dalam pembuatan dadih, serta rentan terjadinya kesalahan penggunaan rasio kultur. Rasio 1:5 dipilih karena rasio ini hanya setingkat di bawah rasio 5:1 untuk pembuatan dadih plain dalam sebagian besar aspek yang diujikan pada uji hedonik, serta merupakan rasio terbaik pada dadih rasa. Lain halnya dengan rasio kultur 5:1 yang hanya menjadi formula terbaik pada dadih plain, namun menjadi formula terburuk untuk dadih rasa dari kelima aspek yang diujikan dalam uji hedonik.

Kendala terbesar berupa aftertaste pahit yang masih terdapat pada dadih yang telah ditambahkan fruktosa, menjadi alasan dilakukannya formulasi selanjutnya. Formulasi ini tidak menyangkut pada aspek kultur bakteri, melainkan dari aspek bahan pengental susu yang digunakan. CMC dan susu skim bubuk yang digunakan dinilai menjadi penyebab adanya aftertaste pahit yang digunakan. Kedua bahan pengental yang digunakan baik pada penelitian Suprihanto (2009) maupun Setiawan (2010) ini juga dinilai menjadi bahan baku yang cukup tinggi harganya. Bahan pengental yang digunakan untuk mensubtitusi CMC dan susu skim adalah tepung maizena. Formulasi selanjutnya dilakukan untuk mengetahui rasio penggunaan tepung maizena yang tepat agar memiliki kemampuan mengentalkan susu yang sama seperti CMC dan susu skim bubuk. Rasio penggunaan tepung maizena awal sebesar 4%, merujuk kepada penggunaan CMC sebesar 1% dan susu skim bubuk sebesar 3%. Penggunaan tepung maizena dengan rasio tersebut ternyata tidak mampu menghasilkan susu dengan tingkat kekentalan yang sama dengan susu yang dikentalkan oleh CMC dan susu skim bubuk. Penambahan rasio penggunaan tepung maizena dilakukan pada rasio 6%, 8%, dan 10% (b/v), yang menunjukkan bahwa rasio sebesar 8% merupakan rasio terbaik. Rasio 8% disebut sebagai rasio penggunaan tepung maizena terbaik karena rasio tersebut menghasilkan susu dengan konsistensi yang kurang lebih sama dengan konsistensi yang dihasilkan oleh CMC dengan rasio 1%. Formula dadih dengan menggunakan bahan pengental berupa tepung maizena tersebut juga terbukti mampu menghilangkan aftertaste pahit yang sebelumnya timbul akibat penggunaan CMC dan susu skim bubuk. Penggunaan tepung maizena sebagai bahan substitusi CMC dan susu skim bubuk juga terbukti mampu mengurangi biaya bahan baku yang akan dihitung dalam Biaya Produksi, meskipun rasio tepung maizena yang digunakan jauh lebih besar dibandingkan rasio penggunaan CMC dan susu skim bubuk. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Perbandingan biaya kebutuhan bahan pengental

Formulasi dilanjutkan dengan penentuan rasio perisa pasta (blueberry &

strawberry). Perisa pasta ini akan mensubtitusi sirup yang sebelumnya digunakan untuk memberikan rasa pada dadih. Alasan disubtitusinya sirup ini dikarenakan sirup tidak mampu mempertahankan warnanya pada waktu yang lama setelah ditambahkan pada dadih, sehingga hanya mampu mempertahankan aspek rasanya

CMC Rp 15.000 10 gr Rp 1.500 Susu skim bubuk Rp 9.000 30 gr Rp 2.700

2 Tepung Maizena Rp 1.260 80 gr Rp 1.008 Rp 1.008 4.200 Rp 1

14

saja. Harga yang juga lebih mahal dibandingkan perisa pasta menjadi salah satu faktor lain yang dijadikan sebagai alasan proses subtitusi sirup tersebut.

Dadih rasa akan dilakukan uji hedonik kembali dengan menggunakan rasio perisa pasta sebesar 75%, 50%, 25%, dan 12,5 % (v/v). Hasil uji hedonik keempat dapat dilihat pada Gambar 8 sebagai berikut.

Gambar 8 Grafik uji hedonik 4

Uji hedonik menunjukkan bahwa rasio perisa pasta yang paling disukai dari aspek warna, tekstur, rasa, dan nilai secara menyeluruh (overall), adalah rasio pasta sebesar 25% yang berbeda nyata dengan rasio penggunaan perisa pasta lainnya. Lain halnya dengan aspek aroma yang menunjukkan bahwa rasio perisa pasta terbaik merupakan rasio penggunaan pasta sebesar 75%. Hal ini disebabkan semakin besar rasio perisa pasta yang digunakan, maka aroma dari perisa pasta tersebut juga semakin kuat. Faktor tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden lebih menyukai aroma perisa pasta yang kuat dibandingkan dengan aroma yang muncul dari dadih itu sendiri. Terlepas dari hal tersebut, rasio perisa pasta terpilih tetap rasio pasta dengan penggunaan sebesar 25%, karena rasio tersebut juga mampu menghasilkan penilaian yang baik oleh para responden pada aspek aroma. Hasil uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil uji hedonik keempat ini dianggap sebagai hasil akhir dari proses formulasi dadih untuk konsumen. Formula dadih susu sapi terpilih setelah dilakukan iterasi sebanyak 3 kali merupakan dadih susu sapi dengan formula L. casei : B. longum sejumlah 1:5, menggunakan pengental berupa tepung maizena sebesar 8% dari susu yang digunakan, serta menggunakan perisa pasta dengan rasio 25% tanpa adanya penambahan fruktosa. Penambahan fruktosa tidak dilakukan karena terbukti tidak mampu untuk menghilangkan aftertaste pahit yang ditimbulkan oleh CMC. Ditentukannya hasil uji hedonik tersebut sebagai hasil akhir, dikarenakan rata-rata dari kelima aspek hedonik yang diujikan menunjukkan nilai yang hampir menyentuh angka 4 atau dengan tingkat kesukaan

15 tersebut, kesukaan terhadap tekstur yang kental/padat juga berada di kisaran nilai sebesar 3,5 yang berarti responden sudah cukup menyukai tekstur yang ditawarkan oleh dadih susu sapi. Pengujian lanjutan berupa karakteristik fisiko-kimia dari dadih susu sapi sebagai standar Quality Control, serta analisis biaya produksi untuk menentukan Biaya Produksi sudah dapat dilakukan.

Analisis Mutu Dadih Susu Sapi Terpilih Nilai pH

Perubahan nilai pH yang terjadi pada dadih susu sapi terpilih merupakan bukti dari adanya aktivitas bakteri asam laktat yang ada dalam produk tersebut. Semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan terhadap susu fermentasi, maka nilai pH dari susu fermentasi tersebut juga semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena semakin lama waktu fermentasi berlangsung, maka semakin banyak laktosa dan kasein yang diubah menjadi asam laktat. Miskiyah dan Usmiati (2011) menyebutkan bahwa komponen susu yang paling berperan dalam fermentasi adalah laktosa dan kasein yang terdapat dalam susu. Laktosa digunakan sebagai sumber energi dan karbon yang nantinya akan diubah oleh BAL menjadi asam laktat. Asam laktat tersebut menyebabkan keasaman dadih susu sapi meningkat atau pH-nya menurun.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengukuran nilai pH yang dilakukan secara duplo memiliki nilai rata-rata sebesar 4,46. Kisaran nilai pH tersebut masih memenuhi standar SNI yogurt yang menyebutkan nilai pH minimal untuk yogurt

sebesar 3,4 dan dadih susu kerbau sebesar 4,1 (Yudoamijoyo et al. 1983). Nilai tersebut menunjukkan bahwa dadih susu sapi terpilih memiliki nilai pH yang sesuai dengan SNI.

Total Asam Tertitrasi

Sama halnya dengan nilai pH, total asam tertitrasi merupakan sifat kimia dari produk susu fermentasi yang sangat dipengaruhi oleh adanya aktivitas bakteri asam laktat di dalam susu fermentasi tersebut. Perbedaan yang paling mendasar dari total asam dengan nilai pH adalah nilainya yang berbanding terbalik satu sama lain. Apabila nilai pH menurun yang menunjukkan bahwa semakin asam susu fermentasi tersebut, maka total asam justru semakin meningkat. Total asam tertitrasi dipengaruhi oleh banyaknya asam laktat di dalam suatu produk susu fermentasi, sehingga apabila semakin banyak asam laktat di dalamnya maka total asam juga semakin meningkat.

Menurut BSN (1992), SNI untuk total asam dari yogurt adalah berkisar antara 0,5% hingga 2% , sedangkan SNI untuk dadih sampai saat ini belum ada. Apabila merujuk kepada total asam dadih tradisional yang memiliki nilai sebesar 1,42% (Sughita 1995), maka total asam dari dadih susu sapi terpilih masih cukup berbeda dengan dadih tradisional. Nilai total asam tertitrasi dari dadih susu sapi terpilih memiliki nilai rata-rata sebesar 1,52%. Kesalahan tampak terjadi pada hasil tersebut karena nilai pH dan total asam tertitrasi dari dadih susu sapi terpilih sama-sama lebih besar dibandingkan nilai pH dan total asam tertitrasi dari dadih tradisional. Berdasarkan teori yang sebelumnya telah disebutkan bahwa nilai pH berbanding terbalik dengan nilai total asam tertitrasi, maka seharusnya total asam

16

dari dadih susu sapi terpilih lebih rendah daripada total asam dadih tradisional. Kesalahan ini mungkin disebabkan dari kesalahan saat pembuatan alkohol netral yang cenderung masih bersifat asam saat digunakan untuk melarutkan sampel dadih susu sapi, sehingga asam yang berada pada alkohol tersebut ikut terhitung bersama dengan asam yang berasal dari dadih susu sapi. Terlepas dari hal tersebut, nilai total asam dari dadih susu sapi terpilih tersebut masih sesuai dengan SNI untuk yogurt yang berkisar antara 0,5% hingga 2%.

Total BAL

Penambahan BAL pada dadih susu sapi bertujuan untuk membuat dadih susu sapi tersebut sebagai minuman probiotik, bukan hanya sebagai susu fermentasi saja. Probiotik merupakan suplemen pangan yang berasal dari mikroba hidup. Mikroba hidup tersebut berfungsi membantu kesehatan inangnya dalam memperbaiki komposisi mikroba usus. Bakteri asam laktat yang bersifat probiotik ini banyak digunakan sebagai suplemen pangan dengan berbagai manfaat kesehatan (Susanti et al. 2007). Pengukuran total BAL sangat penting untuk menentukan dadih susu sapi terpilih ini merupakan minuman probiotik atau bukan. Untuk menentukan hal tersebut, dadih susu sapi harus mengandung setidaknya mikroba probiotik sebanyak 106-108 CFU/ml atau 108-1010 CFU/gr (preparat kering) (Suryono 2003). Total BAL yang ada pada dadih susu sapi terpilih setelah disimpan selama 7 hari dalam cup plastik pp berjumlah 108-109 CFU/ml. Hal tersebut menunjukkan bahwa dadih susu sapi tersebut dapat dikategorikan sebagai minuman probiotik yang memiliki berbagai manfaat seperti produk probiotik lainnya.

Jumlah serta pertumbuhan BAL yang terdapat dalam dadih dipengaruhi oleh kandungan gizi, suhu, air, dan tersedianya oksigen selama proses fermentasi (Buckel et al. 1987). Cup plastik pp yang digunakan sebagai bahan pengemas selama proses fermentasi dan penyimpanan untuk dadih seperti yang dilakukan oleh Sari (2009), sangat membantu dalam aspek mencegah terjadinya kematian pada BAL. Menurut Miskiyah dan Broto (2011), cup plastik pp memiliki permeabilitas rendah terhadap oksigen. Jumlah oksigen perlu dikurangi selama proses fermentasi dan penyimpanan karena oksigen mampu menimbulkan terbentuknya hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida tersebut tidak mampu dirombak oleh bakteri probiotik. Jumlah hidrogen peroksida yang terlalu banyak dapat menimbulkan kematian sel. Semakin banyak oksigen dalam lingkungan fermentasi ataupun penyimpanan dadih, maka semakin banyak pula BAL yang mati akibat hidrogen peroksida yang terbentuk. Hal tersebut menjelaskan bahwa jumlah BAL dalam dadih susu sapi akan lebih banyak apabila disimpan dan difermentasi dalam cup plastik pp, karena tingkat kematian BAL dapat ditekan menggunakan bahan kemasan ini.

Identifikasi Nutrisi Produk

Berikut hasil pengujian untuk analisis proksimat yang tampak pada Tabel 2 dan % AKG (Angka Kecukupan Gizi) yang tampak pada Tabel 3 untuk produk dadih susu sapi yang telah terpilih.

17 Tabel 2 Kandungan proksimat dadih susu sapi

Tabel 3. Persentase AKG dadih susu sapi (takaran saji = 125gr)

Keterangan : *(Hardinsyah et al. 2013) Kadar Air dan Total Padatan

Ketersediaan air dalam suatu bahan pangan (kadar air) tidak menggambarkan secara langsung ketersediaan air yang bisa digunakan oleh mikroorganisme (Garbut 1997), meskipun air merupakan kebutuhan esensial bagi setiap mikroorganisme untuk kelangsungan fungsi selulernya (Budiman 2004). Hasil pengujian terhadap kadar air menunjukkan bahwa dadih susu sapi terpilih memiliki kadar air sebesar 72,13%, sementara total padatannya sebesar 27,87%. Jumlah ini terpaut sangat jauh bila dibandingkan dengan total padatan dadih tradisional yang bernilai 19,49% (Hosono 1992). Faktor tersebut yang menyebabkan dadih susu sapi terpilih ini tidak mampu diukur viskositasnya apabila menggunakan alat berupa Viskosimeter Brookfield. Jumlah kadar air yang terlalu rendah serta total padatan yang terlalu tinggi ini mungkin disebabkan tingginya jumlah bahan pengental yang digunakan, meskipun proses evaporasi yang dilakukan hanya menguapkan 25% dari jumlah susu yang digunakan (v/v). Kadar Abu

Rataan kadar abu yang diperoleh dari dadih susu sapi terpilih yang diuji bernilai 0,75%. Jumlah ini relatif kecil bila dibandingkan dengan komponen nutrisi lainnya. Hal ini disebabkan abu yang terdiri dari mineral di dalamnya bukan suatu komponen yang penting untuk digunakan dalam proses metabolisme mikroba. Jumlah abu tersebut menunjukkan bahwa abu yang terkandung dalam dadih susu sapi terpilih ini lebih banyak dipengaruhi oleh kadar abu dari susu sapi yang digunakan sebagai bahan baku. Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap kadar abu dalam dadih susu sapi ini adalah adanya proses pemekatan atau pengentalan (toning) yang menyebabkan kadar abu dadih susu sapi lebih besar dibandingkan dengan kadar abu susu yang sebesar 0,7% (Rahman et al. 1992). Tingginya kadar abu juga disebabkan oleh dekomposisi komponen organik yang

Dalam dokumen Pengembangan Produk Dadih Susu Sapi (Halaman 21-37)

Dokumen terkait