• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengoptimuman kondisi analisis dan

Pembuatan Pola

Metode ini mengacu pada Alvarez et al (1989) yang telah dimodifikasi sesuai dengan rancangan percobaan yang dibuat. Larutan standar Fe(III), Cr(VI), kuersetin, dan CTAB disiapkan sebanyak 24 perlakuan dengan variasi yang berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan. Acuan yang dipakai untuk Fe(III) yaitu skripsi milik Fajrin (2009), sedangkan untuk Cr(VI) yaitu jurnal milik Alvarez et at (1989). Standar dengan 24 perlakuan ini dibuat spektrumnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada kisaran panjang gelombang 400-500 nm dengan kecepatan scanning medium yang akan digunakan untuk menentukan secara simultan kadar Fe(III) dan Cr(VI). Komposisi yang dipakai untuk pengoptimuman kondisi analisis di tunjukkan pada Lampiran 2.

Spektrum yang didapatkan kemudian dibuat polanya sehingga dapat dibandingkan dengan ulangan lainnya dan ditentukan ulangan terbaik untuk dilakukan pemodelan menggunakan metode PLS. Model yang didapatkan akan menunjukkan kondisi optimum untuk pemodelan dengan melihat selisih antara hasil prediksi PLS dengan nilai sebenarnya, kemudian kondisi perlakuan tersebut dipakai untuk memprediksi sampel yang tidak diketahui konsentrasinya.

Validasi Model

Sebanyak 2,5 mL sampel yang diduga terdapat Fe(III) dan Cr(VI) dimasukkan ke dalam labu volumetrik 25 mL kemudian ditambahkan larutan buffer asetat, kuersetin dan media miselar pada kondisi optimum. Setelah itu labu ditera, dihomogenkan dan disimpan selama waktu optimum. Setelah itu diukur serapannya pada kisaran panjang gelombang antara 400 sampai 500 nm. Kadar Fe(III) dan Cr(VI) didapatkan melalui perhitungan dengan perangkat lunak Minitab 14 dan perangkat lunak R-2.10.1 dengan kalibrasi multivariat metode PLS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengoptimuman kondisi analisis dan

pembuatan pola

Pencarian kondisi optimum untuk masing-masing logam Fe(III) dan Cr(VI) dilakukan untuk menentukan kisaran panjang gelombang

yang akan digunakan untuk pengukuran sampel. Pada Fe(III) kondisi optimum yang dipakai dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-5 M, konsentrasi Fe 5 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 8,22x10-4 dan waktu reaksi selama 45 menit, nilai ini didapatkan dari acuan yang dipakai yaitu skripsi milik Fajrin (2009). Sedangkan pada Cr(VI) kondisi optimum yang dipakai adalah dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-4 M, konsentrasi Cr 1 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 1,35x10-3 dan waktu reaksi selama 40 menit, nilai ini didapatkan dari acuan yang dipakai yaitu jurnal milik Alvarez et al (1989).

Setelah didapatkan acuan kemudian dilakukan verifikasi terhadap acuan tersebut. Hasil verifikasi yang dilakukan didapatkan hasil nilai yang sama dengan acuannya yaitu kondisi optimum Fe dicapai dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-5 M, konsentrasi Fe 5 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 8,22x10-4 dan waktu reaksi selama 45 menit. Sedangkan pada Cr(VI) kondisi optimum yang dicapai adalah dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-4 M, konsentrasi Cr(VI) 1 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 1,35x10-3 M dan waktu reaksi selama 40 menit. Berdasarkan hasil verifikasi maka dibuat variasi perlakuan pengoptimuman kondisi analisis seperti pada Lampiran 2.

Pengoptimuman kondisi analisis di ukur pada kisaran panjang gelombang sinar tampak 400 – 500 nm, karena larutan berwarna kuning dan berdasarkan pustaka didapatkan kisaran panjang gelombang antara 423 – 440 nm. Pengoptimuman kondisi analisis pada awalnya hanya dibuat untuk dua ulangan saja, tetapi hasil yang didapatkan setelah pembuatan pola pada ulangan 1 dan 2 mendapatkan hasil yang kurang baik, yaitu pola yang sangat berbeda pada ulangan 1 dan 2, sehingga dilakukan ulangan 3 dan 4 untuk pengoptimuman kondisi analisis. Pola hasil pengoptimuman kondisi analisis untuk ulangan 1 dan 2 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Gambar 3 dan Gambar 4 adalah hasil pembuatan pola hubungan antara absorbans terhadap panjang gelombang ulangan 3 dan 4.

Pengoptimuman Kondisi Analisis dan Pembuatan Pola

Metode ini mengacu pada Alvarez et al (1989) yang telah dimodifikasi sesuai dengan rancangan percobaan yang dibuat. Larutan standar Fe(III), Cr(VI), kuersetin, dan CTAB disiapkan sebanyak 24 perlakuan dengan variasi yang berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan. Acuan yang dipakai untuk Fe(III) yaitu skripsi milik Fajrin (2009), sedangkan untuk Cr(VI) yaitu jurnal milik Alvarez et at (1989). Standar dengan 24 perlakuan ini dibuat spektrumnya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada kisaran panjang gelombang 400-500 nm dengan kecepatan scanning medium yang akan digunakan untuk menentukan secara simultan kadar Fe(III) dan Cr(VI). Komposisi yang dipakai untuk pengoptimuman kondisi analisis di tunjukkan pada Lampiran 2.

Spektrum yang didapatkan kemudian dibuat polanya sehingga dapat dibandingkan dengan ulangan lainnya dan ditentukan ulangan terbaik untuk dilakukan pemodelan menggunakan metode PLS. Model yang didapatkan akan menunjukkan kondisi optimum untuk pemodelan dengan melihat selisih antara hasil prediksi PLS dengan nilai sebenarnya, kemudian kondisi perlakuan tersebut dipakai untuk memprediksi sampel yang tidak diketahui konsentrasinya.

Validasi Model

Sebanyak 2,5 mL sampel yang diduga terdapat Fe(III) dan Cr(VI) dimasukkan ke dalam labu volumetrik 25 mL kemudian ditambahkan larutan buffer asetat, kuersetin dan media miselar pada kondisi optimum. Setelah itu labu ditera, dihomogenkan dan disimpan selama waktu optimum. Setelah itu diukur serapannya pada kisaran panjang gelombang antara 400 sampai 500 nm. Kadar Fe(III) dan Cr(VI) didapatkan melalui perhitungan dengan perangkat lunak Minitab 14 dan perangkat lunak R-2.10.1 dengan kalibrasi multivariat metode PLS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengoptimuman kondisi analisis dan

pembuatan pola

Pencarian kondisi optimum untuk masing-masing logam Fe(III) dan Cr(VI) dilakukan untuk menentukan kisaran panjang gelombang

yang akan digunakan untuk pengukuran sampel. Pada Fe(III) kondisi optimum yang dipakai dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-5 M, konsentrasi Fe 5 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 8,22x10-4 dan waktu reaksi selama 45 menit, nilai ini didapatkan dari acuan yang dipakai yaitu skripsi milik Fajrin (2009). Sedangkan pada Cr(VI) kondisi optimum yang dipakai adalah dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-4 M, konsentrasi Cr 1 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 1,35x10-3 dan waktu reaksi selama 40 menit, nilai ini didapatkan dari acuan yang dipakai yaitu jurnal milik Alvarez et al (1989).

Setelah didapatkan acuan kemudian dilakukan verifikasi terhadap acuan tersebut. Hasil verifikasi yang dilakukan didapatkan hasil nilai yang sama dengan acuannya yaitu kondisi optimum Fe dicapai dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-5 M, konsentrasi Fe 5 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 8,22x10-4 dan waktu reaksi selama 45 menit. Sedangkan pada Cr(VI) kondisi optimum yang dicapai adalah dengan menggunakan kuersetin 2,95x10-4 M, konsentrasi Cr(VI) 1 ppm, pH 4,6, konsentrasi CTAB 1,35x10-3 M dan waktu reaksi selama 40 menit. Berdasarkan hasil verifikasi maka dibuat variasi perlakuan pengoptimuman kondisi analisis seperti pada Lampiran 2.

Pengoptimuman kondisi analisis di ukur pada kisaran panjang gelombang sinar tampak 400 – 500 nm, karena larutan berwarna kuning dan berdasarkan pustaka didapatkan kisaran panjang gelombang antara 423 – 440 nm. Pengoptimuman kondisi analisis pada awalnya hanya dibuat untuk dua ulangan saja, tetapi hasil yang didapatkan setelah pembuatan pola pada ulangan 1 dan 2 mendapatkan hasil yang kurang baik, yaitu pola yang sangat berbeda pada ulangan 1 dan 2, sehingga dilakukan ulangan 3 dan 4 untuk pengoptimuman kondisi analisis. Pola hasil pengoptimuman kondisi analisis untuk ulangan 1 dan 2 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Gambar 3 dan Gambar 4 adalah hasil pembuatan pola hubungan antara absorbans terhadap panjang gelombang ulangan 3 dan 4.

Pada Gambar 3 dan Gambar 4 yang merupakan hasil pembuatan pola hasil pengoptimuman kondisi analisis ulangan 3 dan ulangan 4 terlihat bahwa pola hasil pengoptimuman kondisi analisis tersebut cukup berbeda nyata dengan pola hasil pengoptimuman kondisi analisis ulangan 1 dan ulangan 2 yang dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4 sehingga tidak dapat digunakan untuk pemodelan. Hal ini

disebabkan karena pada saat pembuatan ulangan 1 timbul banyak endapan yang mengakibatkan nilai absorbans dari sampel yang diukur terlalu tinggi dan hasil yang didapatkan dari pengukuran tersebut tidak valid dan terdapat galat yang cukup tinggi.

Endapan yang terjadi disebabkan karena perbandingan pelarut alkohol dan air kurang tepat. Semakin besar rasio air maka endapan yang timbul akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena kromofor yang digunakan (kuersetin) kurang larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol. Endapan ini mengurangi kestabilan kompleks yang terbentuk, sehingga kompleks yang terbentuk tidak stabil dan cepat mengurai kembali menjdi kuersetin dan logam Fe serta Cr. Absorbans yang didapatkan juga bukan merupakan absorbans dari kompleks kuersetin-logam, tetapi absorbans kuersetin yang tidak larut.

Sedangkan pada ulangan kedua juga didapatkan hasil yang cukup jauh dengan ulangan yang lainnya, hal ini disebabkan karena pereaksi yang digunakan tidak langsung digunakan, dan telah didiamkan beberapa lama, hal ini dapat menyebabkan rusaknya pereaksi yang digunakan, terutama kuersetin. Kuersetin memiliki sifat mudah rusak bila didiamkan dalam waktu yang cukup lama karena kuersetin mudah teroksidasi oleh udara jika didiamkan terlalu lama.

Berbeda dengan ulangan 1 dan 2, pola pengoptimuman kondisi analisis pada ulangan 3 dan 4 terlihat mirip, sehingga dapat dikatakan ulangan 3 dan 4 memiliki keterulangan yang tinggi. Ulangan 3 dan 4 dilakukan secara acak dan menggunakan pereaksi yang baru dibuat, sehingga hasil yang didapatkan dari kedua ulangan tersebut mirip dan dapat digunakan sebagai model untuk kalibrasi multivariat.

Kesegaran pereaksi berpengaruh pada pembentukan kompleks yang terjadi, semakin lama didiamkan, maka kompleks yang terbentuk semakin tidak sempurna sehingga akan memberikan hasil pengukuran yang kurang baik.

Berikut ini adalah hasil pemodelan yang telah dilakukan terhadap ulangan 3 dan 4 Hasil pemodelan diatas merupakan hasil

Gambar 4 Hasil pengoptimuman kondisi analisis ulangan 4

Panjang gelombang (nm)

Absorbans

Gambar 3 Hasil pengoptimuman kondisi analisis ulangan 3

Absorbans

pemodelan dengan kalibrasi multivariat Partial Least Square terhadap ulangan 3 dan 4. Hasil pemodelan ini juga dapat menunjukkan nilai prediksi dari konsentrasi Cr(VI) dan Fe(III) dalam campuran sampel pada beberapa variasi perlakuan.

Tabel 1 Hasil Pencarian Kondisi optimum

Ulangan Sampel e2 RMSEP Fe Cr Fe Cr 3 Ba2 t45 - 9,41x 10-7 1,013 0,356 Cb1 t40 0.0340 - 4 Bb1 t45 0.0012 5,66x 10-6 0,872 0,324

Nilai ∑e2 Fe merupakan total galat dari prediksi konsentrasi Fe dan konsentrasi Fe sebenarnya pada masing masing perlakuan, sedangkan nilai ∑e2 Cr merupakan total galat dari prediksi konsentrasi Cr dan konsentrasi Cr sebenarnya pada masing masing perlakuan. Perhitungan RMSEP (Root Mean Square

Error Prediction) memiliki tujuan untuk

mengetahui model terbaik dan untuk mengetahui prediksi galat dari tiap ulangan yang telah dilakukan. Semakin kecil nilai RMSEP dari ulangan maka semakin sedikit galat yang terjadi pada ulangan tersebut

Berdasarkan pemodelan yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa nilai RMSEP dari ulangan keempat lebih kecil daripada ulangan ketiga, artinya adalah galat total yang terjadi pada ulangan keempat lebih sedikit dibandingkan ulangan ketiga sehingga nilai konsentrasi prediksi Fe(III) dan Cr(VI) yang dapat diambil untuk menentukan variasi terbaik adalah pada ulangan keempat.

Ulangan keempat dapat menunjukkan bahwa nilai e2 terendah pada sampel Bb1 t45 dengan variasi perbandingan konsentrasi Fe : Cr sebesar 10 ppm: 1 ppm, konsentrasi kuersetin sebesar 2,95x10-5 M, konsentrasi CTAB sebesar 1,35x10-3 M, dan waktu reaksi

45 menit. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi tersebut merupakan kondisi optimum yang akan digunakan dalam penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya.

Penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya dilakukan dengan cara memvalidasikan hasil pemodelan dengan hasil pengukuran sampel yang tidak diketahui konsentrasi awalnya. Penentuan ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistika R-2.10.1, hal ini dilakukan karena perangkat lunak Minitab 14 tidak dapat menghitung data dalam jumlah yang terlalu banyak.

Hasil pengukuran terhadap sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya divalidasikan ke dalam model yang telah didapatkan, hasil penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya diuraikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil penentuan konsentrasi prediksi sampel yang dianggap tidak diketahui konsentrasi awalnya Sampel Ulangan konsentrasi prediksi(ppm) konsentrasi sebenarnya (ppm) Cr Fe Cr Fe A 1 1,2900 7,2480 1 2.5 2 1,2633 7,6054 3 1,2521 7,7559 B 1 0,9521 11,7803 1 10 2 0,9694 11,5480 3 0,9129 12,3051 C 1 1,1541 9,0704 1 5 2 1,1508 9,1141 3 1,1628 8,9544

Pada Tabel 2 perlakuan sebelum pengukuran menggunakan kondisi optimum yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Hasil dari pemodelan tersebut menunjukkan hasil yang kurang bagus terhadap konsentrasi prediksi pada Fe, hasilnya cukup jauh dengan nilai yang sebenarnya. Hal ini dapat disebabkan karena Fe hanya ion pengganggu dari kompleks kuersetin (Alvarez et al 1989). Walaupun dapat membentuk kompleks dengan kuersetin, tetapi kompleks Fe(III)

kuersetin ini juga mudah mengalami transfer elektron pada sisi katekol dari kuersetin (Ryan & Hynes 2007).

Berdasarkan hasil pada Tabel 2 juga dapat dijelaskan bahwa model yang digunakan hanya baik pada kondisi optimum dengan nilai konsentrasi Fe(III) 10 ppm, sedangkan jika model tersebut digunakan untuk konsentrasi Fe(III) selain pada kondisi optimum maka hasil yang dikeluarkan oleh model tersebut kurang baik.

Pada Lampiran 6 ditunjukkan bahwa pada sampel B yang memiliki kondisi optimum seperti yang dilakukan terhadap model memiliki rerata e2 (galat) paling kecil yaitu sebesar 0,9141 hal ini menunjukkan bahwa model dapat diaplikasikan paling baik pada kondisi seperti pada sampel B yaitu kondisi optimum pengukuran. Sedangkan pada sampel A dan C memiliki rerata galat yang cukup besar yaitu 25,4110 dan 47,4044 yang menunjukkan bahwa pengukuran pada kondisi ini kurang baik jika dilakukan pemodelan pada model yang didapatkan.

Reaksi yang terjadi antara kuersetin dengan Cr(VI) lebih kuat daripada dengan Fe(III), kehadiran surfaktan pada reaksi pembentukan kompleks antara Cr(VI) dan kuersetin juga dapat membuat reaksi tersebut menjadi lebih peka (Rafi 2009). Reaksi yang terjadi pada pembentukan kompleks yaitu Cr(VI) yang merupakan oksidator kuat akan mengoksidasi kuersetin (dengan membuka cincin γ-piron), ion Cr(III) akan terbentuk dari proses oksidasi kuersetin oleh Cr(VI) yang kemudian akan membentuk kompleks dengan kuersetin yang telah teroksidasi (Alvarez et al 1989).

CTAB pada reaksi ini berfungsi sebagai senyawa antarmuka yang menghubungkan antara kuersetin dan logam Cr(VI) serta Fe(III) agar kondisi reaksi yang terjadi sesuai dengan kedua logam tersebut. Selain itu CTAB juga dapat meningkatkan absorbans pada panjang gelombang 440 nm. pH kondisi reaksi umumnya terdapat pada pH 7, tetapi dengan menambahkan CTAB ke dalam larutan maka pembentukan media miselar dapat terjadi pada pH antara 4,5 sampai 6,5. Pembentukan media miselar maksimum dapat

dicapai pada pH 4,6 dengan menggunakan buffer asetat yang memiliki konsentrasi 2M (Alvarez et al 1989). Efek perbedaan konsentrasi CTAB tidak terlalu berpengaruh pada hasil kompleksasi yang terjadi selama konsentrasi CTAB yang ditambahkan berada diatas konsentrasi misel kritisnya. Pada semua kondisi, CTAB yang digunakan berada di atas konsentrasi misel kritisnya.

Secara keseluruhan hasil yang didapatkan belum cukup baik, karena hasil validasi model yang dilakukan cukup berbeda dari hasil sebenarnya, hal ini dapat disebabkan karena masih terdapat logam-logam pengganggu yang dapat berinteraksi dengan kuersetin, selain itu kompleks yang terjadi antara Fe(III) dengan kuersetin kurang baik, karena kompleks Fe(III)-kuersetin mudah mengalami dekomposisi. Selain itu model yang didapatkan hanya bisa memprediksi dengan tepat jika kondisi larutan dalam kondisi optimumnya, sedangkan jika digunakan kondisi lainnya maka hasil yang didapatkan kurang baik dan memiliki galat yang besar.

Dokumen terkait