• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap serat tumbuhan memiliki karakteristik dan kualitas yang berbeda. Kasat mata tentunya tidak dapat menentukan kualitas serat. Untuk itu, penentuan kualitas serat berdasarkan dimensinya sangat diperlukan. Serat yang dihasilkan dari penelitian yang menggunakan metode CMP sederhana dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Serat Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

Menurut Tamolang dan Wangarard (1961) dalam Tarigan (2009) kualitas serat atau yang disebut dengan rasio antar faktor morfologis serat lebih nyata ditunjukkan dari pada dimensi serat. Namun, keberadaan dimensi serat tersebutlah harus diketahui untuk mengetahui turunan-turunan seratnya. Dengan demikian dimensi serat dan turunan serat memiliki hubungan yang erat. Rata-rata dimensi serat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Dimensi Serat Bambu Betung Dimensi Serat Fatriasari dan

Hermiati (2006) Hasil Penelitian (µ m)

Panjang Serat 4.693 1246,05 + 585,8

Diameter Serat 25 14,42 + 4,83

Diameter Lumen 7 4,92 + 3,02

Tebal Dinding Serat 9 4,75 + 1,69

Dimensi serat bambu betung yang dihasilkan apabila dibandingkan dengan dimensi serat bambu betung yang dihasilkan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) memiliki hasil lebih rendah. Panjang serat yang terpendek dari penelitian ini adalah 230 µ m, sedangkan yang terpanjang adalah 3.160 µ m. Untuk rata-rata panjang serat pada penelitian adalah 1.246,05 µm. Bila rata-rata panjang serat tersebut dibandingkan dengan hasil serat bambu betung oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) sangat jauh berbeda yaitu 4.693 µ m. Hal ini dapat dikarenakan metode pembuatan serat yang berbeda. Proses penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode CMP sederhana membuat bambu mengalami tiga tahap pemisahan secara mekanis yaitu penghancuran menggunakan circular saw, penggunaan blender basah dan pemisahan kering menggunakan grinder dan juga pemisahan secara kimiawi menggunakan NaOH pada saat sebelum diblender basah. Pada saat pembelenderan basah terjadi, terdapat pisau yang memotong serat sehingga panjang serat menjadi kurang maksimal. Sedangkan Fatriasari dan Hermiati (2006) hanya menggunakan dua tahap pemisahan serat secara mekanis yaitu menggunakan drum chipper dan hammermill. Hal ini menyebabkan pembentukan serat yang lebih panjang tentunya mudah terjadi pada serat yang diteliti.

Panjang serat tersebut akan mempengaruhi kekuatan papan yang akan dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh panjang serat turut mempengaruhi kekuatan bending komposit, yang mana semakin besar panjang serat maka kekuatan bending pun meningkat (Boimau, 2010).

Diameter serat terkecil sebesar 6,25 µ m sedangkan yang terbesar adalah 31,25 µm dan diameter serat rata-ratanya berkisar 14,42 µm. Namun diameter

serat bambu betung oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) lebih tinggi yaitu 25 µ m. Demikian pula dinding serat yang diteliti lebih kecil yaitu rata-rata 4,75 µm sedangkan dinding serat oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) yaitu 9 µ m. Serat dengan diameter besar dan berdinding tipis mampu memberikan ikatan antar serat yang kuat dengan kekuatan yang tinggi (Haygreen dan Bowyer, 1996).

Diameter lumen juga memiliki nilai yang lebih kecil yaitu 4,92 µ m sedangkan Fatriasari dan Hermiati (2006) sebesar 7 µ m. Diameter lumen akan berpengaruh sebagai perbandingan diameter serat yaitu bilangan fleksibilitas yang menunjukkan hubungan parabolis dengan kekuatan tarik dan panjang putus. Dimensi serat tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Serat Bambu Betung pada Pengamatan Mikroskop (a. perbesaran 10x, b. perbesaran 40 x)

Menurut Casey (1980) dalam Fatriasari dan Hermiati (2006) turunan serat yaitu bilangan runkel, daya tenun, bilangan muhlsteph, bilangan fleksibilitas dan koefisien kekakuan sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik lembaran pulp. Kualitas serat yang ditentukan dari turunan serat dapat dilihat pada Tabel .

Tabel 3. Kualitas Serat Bambu Betung

Uraian

Serat Bambu Betung Penelitian

Serat Bambu Betung Fatriasari dan Hermiati

(2006) Rata-rata Nilai Kelas Mutu Nilai Kualitas Rata-rata Nilai Kelas Mutu Nilai Panjang serat 1.246 II 50 4.693 I 100 Bilangan runkel 2,54 - 0 2,31 - 0 Daya tenun 89,79 II 50 190,85 I 100 Bilangan muhlsleph 87,09 - - 90,85 - 0

Bilangan fleksibilitas 0,33 III 25 0,30 III 25 Koefisien kekakuan 0,33 III 25 0,35 III 25

Total - - 150 - - 250

Kualitas - - III - - II

Sumber: LPHH (1976)

Bilangan runkel adalah perbandingan tebal dinding sel dengan diameter lumen. Serat dengan bilangan Runkel kurang atau sama dengan satu sangat baik untuk kertas (Casey (1980) dalam Fatriasari dan Hermiati (2006)). Bilangan Runkel yang terdapat pada penelitian yaitu 2,54. Sehingga serat dapat dikatakan tidak baik untuk kertas. Pada dasarnya serat jenis bambu memiliki bilangan runkel yang cukup tinggi. Fatriasari dan Hermiati (2006) menyatakan bahwa bambu tali, bambu betung, bambu hitam, bambu kuning, bambu andong dan bambu ampel memiliki runkel yang lebih besar dari satu (>1).

Syafii dan Siregar (2006) menyatakan serat dengan bilangan runkel kecil berarti serat memiliki dinding sel yang tipis, diameter lumen lebar, mudah memipih dan pembentukan lembaran pulp mempunyai kekuatan tarik dan kekuatan jebol yang tinggi. Sebaliknya bilangan runkel yang tinggi mempertahankan bentuk pipa waktu digiling. Dengan kata lain runkel ratio yang tinggi menandakan serat makin tahan terhadap gaya luar (penggilingan, pengepresan, pengeringan dan lain-lain). Dengan demikian bilangan runkel Fatriasari dan Hermiati (2006) yaitu 2,31 memiliki ketahanan terhadap gaya luar

lebih besar dibandingan dengan bilangan runkel serat bambu betung yang dihasilkan penelitian.

Daya tenun atau felting power menunjukkan sifat kelenturan serat. Daya tenun yang diperoleh pada penelitian Fatriasari dan Hermiati (2006) memiliki kualitas yang sangat baik yaitu kualitas I dengan nilai 190,85. Sedangkan daya tenun yang dihasilkan oleh penelitian termasuk kualitas II dengan nilai 89,79. Walaupun perbedaan cukup jauh, namun daya tenun hasil penelitian tidak dapat dikatakan buruk karena masih dalam kualitas II dan dapat digunakan sebagai papan serat.

Tamolang dan Wangaard (1961) dalam Fatriasari dan Hermiati (2006), yang menyatakan bahwa daya tenun serat akan berpengaruh terhadap kekuatan sobek kertas. Semakin tinggi daya tenun maka semakin besar sifat lentur serat dan akan membentuk ikatan antar serat yang baik. Sehingga kelenturan serat tersebut dapat mempengaruhi kelenturan pada papan yaitu sifat keteguhan lenturnya. Nilai daya tenun yang tergolong dalam kualitas II mengindikasikan bahwa keteguhan lentur yang akan dihasilkan oleh penelitian akan memiliki ketegukan lentur yang lebih kecil dibandingkan serat yang dihasilkan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006).

Baik nilai Bilangan Muhlsteph hasil penelitian maupun hasil dari Fatriasari dan Hermiati (2006) sama-sama memiliki nilai yang cukup tinggi. Kedua penelitian menunjukkan bahwa nilai Bilangan Muhlsteph tidak menunjukkan nilai mutu kriteria. Dimana Bilangan Muhlsteph hasil penelitian memiliki rentang nilai antara 33,98-99,00 sedangkan untuk rata-ratanya adalah 87,09 dan nilai rata-rata dari Fatriasari dan Hermiati (2006) adalah sebesar 90,8.

Hal ini menyatakan bahwa bilangan muhlsteph bambu betung pada dasarnya tidak baik, hal ini akan berpengaruh terhadap kekuatan kayu.

Tamolang dan Wangaard (1961) dalam Fatriasari dan Hermiati (2006) menyatakan Bilangan muhlsteph yang kecil tentunya memiliki diameter lumen yang semakin besar sehingga serat semakin mudah menggepeng dan lembaran pulp mempunyai daya lipat yang tinggi. Apabila bilangan muhlsteph semakin tinggi maka diameter lumennya semakin kecil menyebabkan serat bersifat kaku dan cenderung mempertahankan bentuknya. Syafii dan Siregar (2006) menambahkan bilangan muhlsteph berpengaruh pada kerapatan serat. Semakin rendah bilangan muhlsteph maka kerapatannya semakin baik dan kekuatan serat juga semakin baik. Demikian sebaliknya semakin tinggi bilangan muhlsteph maka kerapatannya semakin rendah dan kekuatannya semakin rendah pula. Berdasarkan sifat ini serat bambu betung memiliki kelemahan dimana bilangan muhlsteph yang dihasilkan cukup tinggi. Sehingga mengurangi kekuatan papan serat yang dihasilkan.

Perbandingan antara diameter lumen dengan diameter serat didefenisikan sebagai bilangan fleksibilitas. Nilai bilangan fleksibilitas hasil penelitian berkisar antara 0,10- 0,81 dan memiliki rata-rata 0,33. Sedangkan hasil penelitian Fatriasari dan Hermiati (2006) memiliki nilai 0,30. Namun keduanya sama-sama termasuk dalam kelas mutu III. Tambunan (2010) menyatakan serat dengan bilangan fleksibilitas tinggi berarti serat tersebut mempunyai tebal dinding yang tipis dan mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan antara permukaan serat lebih leluasa sehingga terjadi ikatan serat yang lebih baik yang akan menghasilkan kekuatan yang baik. Berdasarkan sifat

ini, serat yang dihasilkan pada penelitian memiliki serat yang lebih baik dibandingkan dengan hasil dari penelitian menurut Fatriasari dan Hermiati (2006) sehingga lebih baik digunakan sebagai papan.

Koefisien kekakuan atau Coefficient of rigidity yang dihasilkan oleh penelitian ini berkisar antara 0,09-0,45 dan memiliki rata-rata 0,33. Sedangkan koefisien kekakuan yang dimiliki oleh penelitian Fatriasari dan Hermiati (2006) adalah 0,35. Keduanya juga termasuk dalam kelas mutu III. Yang artinya masih memiliki kualitas yang baik karena masih termasuk ke dalam kriteria kuliatas serat. Tambunan (2010) menyatakan Koefisien kekakuan merupakan perbandingan antara tebal dinding serat dengan diameter serat. Nilai koefisien kekakuan berbanding terbalik dengan sifat kekuatan tarik serat, artinya semakin tinggi koefisien kekakuan, maka semakin rendah kekuatan serat yang bersangkutan, dan sebaliknya. Dari sifat ini maka serat hasil penelitian memiliki kekuatan serat yang lebih baik dibandingkan dengan kekuatan serat yang dihasilkan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) karena Koefisien kekakuan dari hasil penelitian lebih kecil sehingga lebih baik dalam penggunaan sebagai bahan baku papan serat.

Pengujian Sifat Fisis Papan Serat

Pengujian sifat fisis merupakan pengujian sifat papan yang tidak dipengaruhi oleh gaya luar. Sifat fisis papan serat yang diuji pada penelitian ini terdiri atas kerapatan, kadar air, daya serap air dan pengembangan tebal. Dimana contoh uji kerapatan, kadar air dan daya serap air menggunakan contoh uji yang sama yaitu contoh uji A dengan ukuran 10cm x 10cm. Sedangkan untuk pengujian

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Kontrol Keramik Parafin Penambahan Zat Aditif

pengembangan tebal menggunakan contoh uji E dengan ukuran 5cm x 5cm. Adapun contoh papan yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9.

A B C

Gambar 9. Papan Serat Bambu Betung

(A: Perlakuan Kontrol, B: Perlakuan Keramik, C: Perlakuan Parafin)

Kerapatan

Kerapatan papan didefinisikan sebagai massa atau berat persatuan volume (Haygreen dan Bowyer, 1996). Data hasil pengujian papan serat secara lengkap disajikan pada Lampiran 4, sedangkan nilai rata-rata kerapatan papan serat disajikan pada Gambar 10.

0,75 0,75 0,75

0,79 g/cm3

0,35 g/cm3

Gambar 10. Grafik Nilai Rata-rata Kerapatan Papan Serat

Nilai kerapatan papan serat yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki keseragaman yang tinggi, dimana kerapatan yang dimiliki oleh ketiga perlakuan tersebut adalah sebesar 0,75 g/cm3. Kerapatan ini sangat sesuai dengan kerapatan

JIS A 5905 (2003) 0,1 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 K er ap atan (g/ c m 3 )

target yang diinginkan yaitu 0,75 g/cm3. Dengan demikian kerapatan ketiga perlakuan tersebut sangat sesuai dengan standar JIS A 5905-2003 (2003) sebagai papan serat berkerapatan sedang (Medium Density Fiberboard), yang mana JIS A 5905-2003 (2003) mensyaratkan jenis papan serta berdasarkan kerapatannya terbagi dari 3 bagian yaitu papan serat kerapatan rendah (< 0,35 g/cm3), kerapatan sedang (0,35-0,79 g/cm3) dan kerapatan tinggi (> 0,80 g/cm3).

Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan biasanya bahan baku untuk pembuatan pulp digunakan kayu-kayu yang berkerapatan rendah. Bambu betung pada dasarnya memiliki kerapatan serat 0,8 g/cm3. Kerapatan ini memiliki nilai yang hampir sama dengan kerapatan papan serat yang dihasilkan yaitu 0,75 g/cm3. Kerapatan papan serat tidak dipengaruhi oleh suhu kempa tetapi dipengaruhi oleh tekanan kempa dan kombinasi suhu dan tekanan kempa (Siagian, 1983 dalam Sidabutar 2009). Dengan demikian kombinasi antara suhu yang digunakan yaitu 1550C dan tekanan 3,7 KPa merupakan kombinasi yang baik untuk mencapai kerapatan target yang diinginkan.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor penambahan jenis zat aditif yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan yang dihasilkan. Artinya, baik dengan atau tanpa penambahan zat aditif, kerapatan serat yang dihasilkan sudah baik.

Kadar air

Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terdapat pada sebuah papan serat yang diketahui dengan mengoven papan selama 24 jam. Hasil pengukuran kadar air untuk papan serat ini dapat dilihat pada Gambar 11.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Kontrol Keramik Parafin

K a d a r A ir ( % )

Penambahan Zat Aditif

13%

6,78 6,75 6,34

5%

Gambar 11. Grafik Nilai Rata-rata Kadar Air Papan Serat

Hasil kadar air papan serat yang telah diteliti ini memiliki nilai kadar air yang berkisar antara 5,28–7,65 %. Namun ketiga rata-rata pada Gambar 10 nilai kadar air untuk ketiga perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memiliki kadar air tertinggi sedangkan yang terendah adalah perlakuan penambahan parafin. Artinya, parafin memiliki kemampuan yang lebih unggul dalam menahan air masuk ke dalam papan dari lingkungan luar. Sehingga penambahan parafin mampu mengurangi kadar air sampai 6,5 %. Sedangkan keramik hanya mampu menurunkan kadar air 0,44 %. Rata-rata nilai kadar air ketiga perlakuan tersebut telah menunjukkan bahwa papan yang dihasilkan telah memenuhi standar JIS A 5905-2003 (2003), dimana kadar air yang mengisyaratkan berkisar antara 5-13 %.

Kesesuaian nilai kadar air dari ketiga perlakuan yang memenuhi standar JIS tersebut menunjukkan papan serat bambu betung layak sebagai papan serat

MDF. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan papan serat yang secara seragam

memiliki kerapatan yang sama. Ruhendi et al (2007) menyatakan papan dengan kerapatan tinggi memiliki ikatan antara molekul serat dengan molekul perekat terbentuk dengan kuat sehingga molekul air sulit mengisi rongga yang terdapat

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kontrol Keramik Parafin

D a y a S e ra p A ir ( % )

Penambahan Zat Aditif

dalam papan karena telah terisi dengan molekul perekat dan sebaliknya jika kerapatan rendah maka air dengan mudah masuk ke dalam papan.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan penambahan jenis aditif tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air ketiga perlakuan tersebut. Hal ini dinyatakan tegas dari hasil yang diperoleh bahwa secara keseluruhan kadar air dari papan serat memenuhi standar JIS yang telah ditentukan. Dengan demikian pembuatan papan serat dengan perlakuan kontrol sudah sangat baik.

Daya serap air

Daya serap air papan menunjukkan kemampuan papan serat dalam menyerap air pada saat direndam. Dimana papan pada pengujian ini direndam selama 24 jam. Hasil Rata-rata nilai daya serap yang dihasilkan oleh papan dapat dilihat pada Gambar 12.

69,24 65,75 62,78

Gambar 12. Grafik Nilai Rata-rata Daya Serap Air Papan Serat

Hasil Rata-rata nilai daya serap air di atas menunjukkan bahwa papan serat kontrol memiliki daya serap yang paling tinggi yaitu 69,24 % dibandingkan dengan papan serat yang menggunakan keramik dan parafin. Sedangkan yang terendah adalah papan serat yang menggunakan zat aditif parafin yaitu 62,78 %. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan parafin ataupun keramik lebih baik

dalam mencegah penyerapan daya serap air. Gambar 12 menunjukkan bahwa penambahan parafin mampu menurunkan daya serap air sebesar 9,33% sedangkan penambahan keramik hanya mampu menurunkan daya serap air pada papan serat sebesar 5,04%. Hal ini menunjukkan penambahan parafin mampu memberikan kualitas daya serap air yang lebih baik bagi papan serat.

Menurut Siagian (1983) dalam Sidabutar (2009), semakin besar tekanan kempa, suhu kempa dan kombinasi keduanya maka makin kecil daya serap air papan serat. Perbedaan daya serap papan serat terhadap air berhubungan dengan kerapatan papan yang berbanding terbalik dengan daya serap terhadap air. Semakin besar kerapatan papan maka makin kecil daya serapnya terhadap air. Maka, dengan demikian pernyataan ini tidak berpengaruh terhadap papan serat yang dihasilkan pada penelitian. Papan serat hasil penelitian menghasilkan kerapatan yang sama yaitu 0,75 g/cm3, namun daya serap air yang terbaik dihasilkan oleh parafin. Hal ini disebabkan oleh sifat parafin yang menolak air. Dimana Forest Products Society (1999) menambahkan parafin digunakan untuk menghambat penetrasi air pada produk jadi. Didalam partikel, bertambah besar emulsi parafin penghambatan air makin sempurna dan stabilitas dimensi baik. Jadi, dengan kondisi daya serap air yang rendah terhadap penambahan parafin pada papan dapat diindikasikan pengembangan tebal yang terjadi pada penambahan parafin dapat mendukung kestabilan dimensinya.

Nilai Rata-rata daya serap air yang dimiliki oleh papan serat ini tidak dapat dikatakan sudah baik untuk memenuhi standar JIS A 5905-2003 (2003). Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan nilai yang diajukan oleh JIS A 5905-2003 (2003). Namun, bila dibandingkan dengan papan serat dari serat akasia yang

0 5 10 15 20

Kontrol Keramik Parafin

P e n g e m b a n g a n T e b a l (%)

Penambahan Zat Aditif

dihasilkan oleh Tambunan (2010) papan serat bambu betung lebih baik. Dimana nilai daya serap papan serat akasia dengan perendaman 24 jam berkisar rata-rata 145,07-166,83 %. Sedangkan nilai daya serap air pada ini penelitian hanya berkisaran 49,13-81,53 %.

Analisis sidik ragam papan menunjukkan bahwa perbedaan penambahan jenis zat aditif tidak berpengaruh nyata. Maka, papan serat bambu betung dengan perlakuan kontrol sudah menghasilkan daya serap air yang baik, sehingga penambahan zat aditif tidak terlalu mempengaruhi nilai daya serap air.

Pengembangan tebal

Pengembangan tebal menunjukkan kemampuan papan dalam menjaga kestabilan dimensi tebalnya pada saat direndam selama 24 jam. Hasil rata-rata nilai pengembangan tebal yang dimiliki oleh papan serat ini dapat dilihat pada Gambar 13. 18,5 15,68 17% 13,42 7%

Gambar 13. Grafik Nilai Rata-rata Pengembangan Tebal Papan Serat

JIS A 5905-2003 (2003) mensyaratkan pengembangan tebal papan serat berkisar antara 7-17 %. Dengan demikian dari ketiga perlakuan tersebut hanya papan serat dengan perlakuan kontrol yang tidak memenuhi standar. Papan serat

bambu betung yang paling baik adalah papan serat dengan menggunakan parafin, dimana rata-rata pengembangan tebal yang dimiliki oleh papan ini sebesar 13,42 %. Nilai pengembangan tebal yang paling kecil merupakan pengembangan yang paling baik karena dapat mengantisipasi meresapnya air ke dalam papan melalui pori-pori partikel dan ruang kosong antar partikel secara perlahan (Widiyanto, 2002 dalam Sidabutar 2009). Apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol dapat dilihat secara jelas bahwa parafin mampu menurunkan pengembangan tebal papan serat sebesar 27,46% sedangkan penambahan keramik hanya mampu menurunkan pengembangan tebal sebesar 15,24%. Hal ini menegaskan bahwa penambahan parafin dapat memperbaiki sifat stabilitas dimensi yang lebih baik pada papan serat.

Nilai pengembangan tebal yang dihasilkan oleh ketiga perlakuan dapat dilihat bahwa pengembangan tebal memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan nilai daya serap air yang dialami papan serat dengan perlakuan yang sama. Dengan demikian papan serat dengan perlakuan penambahan keramik dan parafin memberikan kondisi yang lebih baik terhadap papan serat dibandingkan dengan papan serat dengan perlakuan kontrol. Hal ini didukung dengan pernyataan Siagian (1983) dalam Sidabutar (2009), sifat pengembangan tebal papan serat sejalan dengan sifat daya serap air, yaitu semakin banyak air yang diserap makin besar pengembangan tebalnya. Semakin tinggi suhu dan tekanan kempa, makin kecil pengembangan tebal papan serat. Keadaan ini disebabkan pada waktu perendaman serat akan menarik air kembali sehingga serat-serat papan serat akan kembali menjadi bentuk semula akibat hilangnya tekanan setelah perendaman.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

Kontrol Keramik Parafin

M O E ( k g f/ c m 2 )

Penambahan Zat Aditif

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan penambahan jenis aditif tidak berpengaruh nyata terhadap pengembangan tebal pada papan serat bambu betung.

Pengujian Sifat Mekanis Papan Serat Keteguhan lentur (MOE)

Keteguhan lentur (kekakuan) merupakan ukuran ketahanan papan untuk menahan beban dalam batas proporsi (sebelum patah). Benda semakin elastis bila semakin tinggi nilai keteguhan lenturnya. Grafik rata-rata nilai MOE papan serat disajikan pada Gambar 14.

222,54 252,47 264,37

Gambar 14. Grafik Nilai Rata-rata Modulus Elastisitas Papan Serat

Kekuatan lentur atau modulus elastisitas papan serat yang paling baik adalah papan serat dengan penambahan parafin. Sedangkan yang paling jelek adalah papan serat dengan perlakuan kontrol. Gambar 14 dapat menunjukkan bahwa penambahan parafin mampu meningkatkan 18,80%. Sedangkan penambahan keramik hanya meningkatkan keteguhan lentur sebesar 11,85%. Dengan demikian penambahan parafin memberikan keteguhan lentur yang lebih baik bagi papan serat. Namun ketiga rata-rata nilai MOE ini tidak dapat memenuhi syarat JIS A 5905-2003 (2003) yaitu minimum 2,55x104 kgf/cm2.

Nilai MOE papan serat dengan penambahan parafin memiliki nilai yang paling tinggi. Hal ini disebabkan oleh parafin menyatu sempurna dengan serat dan perekat hal ini dapat dilihat pada Gambar 20 dimana parafin dan perekat menyatu pada serat dengan membentuk selubung putih. Apabila dibandingkan dengan keramik, parafin memiliki sifat yang lebih lunak dibandingkan keramik. Sehingga pada saat mengalami penekanan beban papan serat dengan penambahan parafin mampu memberikan lenturan pada serat sehingga dapat lebih meningkatkan nilai MOE pada papan serat.

Nilai MOE papan serat dari ketiga perlakuan yang menunjukkan masih dalam kategori jauh dari standar JIS A 5905-2003 (2003) disebabkan oleh kondisi dimensi serat yang tidak mendukung penahanan beban yang diterima papan, salah satunya adalah dimensi panjang serat. Panjang serat yang panjang akan dapat membantu menahan beban sehingga akan dapat meningkatkan kekuatan MOE papan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa panjang serat hasil penelitian sebesar 1246,05 µm. Syafii dan Siregar (2006) menyatakan dalam menjalin ikatan antar serat, panjang serat merupakan faktor yang lebih penting karena panjang serat akan berperan dalam meningkatkan kekuatan sobek kertas. Hal ini disebabkan karena gaya sobek akan terbagi dalam luasan yang lebih besar.

Selain itu dimensi diameter serat juga mempengaruhi keteguhan lentur atau nilai MOE papan serat. Diameter serat yang dimiliki penelitian ini dapat dikatakan cukup besar yaitu sebesar 14,42 µm, sehingga diameter ini akan dapat memberi pengaruh pada kekuatan lentur papan. Zimmermann et al. (2004) dalam Subyakto et al. (2009) menyatakan kekuatan serat sangat dipengaruhi oleh ukuran diameter serat. Semakin besar diameter serat maka semakin rendah nilai kekuatan

0 50 100 150 200 250 300 350

Kontrol Keramik Parafin

M O R ( k g f/ c m 2 )

Penambahan Zat Aditif

tarik (tensile strength) dan modulus elastisitas (modulus of elasticity/ MOE), demikian pula sebaliknya.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan penambahan jenis aditif yang berbeda tidak berpengaruh terhadap keteguhan lentur atau MOE papan yang dihasilkan. Dan hal ini dinyatakan dengan semua hasil data MOE yang tidak memenuhi standar JIS.

Modulus patah (MOR)

Modulus patah (MOR) terjadi pada saat papan menerima beban maksimum sampai mengalami kerusakan atau patah. Data hasil pengujian keteguhan patah disajikan pada grafik yang terdapat pada Gambar 15 berikut.

Dokumen terkait