• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Waktu Penyosohan

Proses penyosohan mempengaruhi kualitas sorgum sosoh yang dihasilkan, dan selanjutnya mempengaruhi kualitas tepung sorgum dan produk pangan berbasis tepung sorgum yang dihasilkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan penentuan waktu penyosohan optimal untuk menghasilkan tepung sorgum yang baik. Parameter yang digunakan untuk menentukan waktu penyosohan optimal adalah rendemen tersosoh, warna (derajat putih) tepung, dan kadar tanin. Hasil sosohan biji sorgum pada beberapa waktu penyosohan disajikan pada Gambar 6 sedangkan hasil analisis rendemen tersosoh, derajat putih dan kadar tanin disajikan pada Tabel 4.

Sosoh 0 detik Sosoh 20 detik Sosoh 40 detik Sosoh 60 detik

Sosoh 80 detik Sosoh 100 detik Sosoh 120 detik

Sosoh 140 detik Sosoh 160 detik Sosoh 180 detik Gambar 6 Hasil sosohan biji sorgum pada beberapa waktu penyosohan

Tabel 4 Rendemen tersosoh, derajat putih, dan kadar tanin biji sorgum pada beberapa waktu penyosohan

Waktu penyosohan (detik) Rendemen tersosoh (%) Derajat putih (%) Kadar tanin (%) 0 100.00a 35.27f 5.72a 20 84.47b 51.23e 3.22 40 b 77.72c 56.14d 1.94 60 c 67.64d 62.36c 1.63 80 d 59.86e 65.23b 1.33 100 e 56.28f 67.45b 0.75 120 f 53.57f 67.45b 0.35 140 g 48.84g 71.09a 0.00 160 h 45.44gh 70.55a 0.00 180 h 43.54h 72.41a 0.00h

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda

nyata (α=0.05)

Hasil pengujian ragam rendemen tersosoh, derajat putih dan kadar tanin biji sorgum pada beberapa waktu penyosohan menunjukkan perbedaan yang nyata

(α=0.05) (Lampiran 1, 3, dan 5), sehingga dilakukan pengujian lanjut dengan uji

DMRT (Lampiran 2, 4, dan 6) yang menunjukkan bahwa rendemen tersosoh, derajat putih dan kadar tanin yang dihasilkan pada masing-masing waktu penyosohan cenderung berbeda nyata (α=0.05). Semakin lama waktu penyosohan maka persentase rendemen tersosoh dan kadar tanin biji sorgum semakin menurun, sebaliknya persentase derajat putih semakin meningkat (Gambar 7). Hal ini dikarenakan semakin lama waktu penyosohan, maka lapisan perikarp, testa dan aleuron yang dapat dipisahkan menjadi lebih banyak. Amrinola (2010) melaporkan bahwa semakin lama waktu penyosohan biji sorgum varietas ZH-30, maka lapisan aleuron dan testa yang dapat dipisahkan menjadi lebih banyak sehingga akan menurunkan rendemen sorgum sosoh yang dihasilkan. Rendemen tersosoh sorgum varietas ZH-30 pada waktu penyosohan 2.5 menit adalah 76.4%, dan menurun menjadi 68.2% jika waktu penyosohan ditingkatkan menjadi 5 menit.

Lapisan epikarp pada kulit biji sorgum mengandung pigmen (Hubbard et al.

1950) sehingga semakin lama waktu menyosohan akan menyebabkan semakin banyak lapisan perikarp yang terbuang maka akan meningkatkan derajat putih tepung yang dihasilkan. Sementara, Dykes et al. (2005) melaporkan bahwa varietas sorgum yang tidak memiliki testa tidak menunjukkan perubahan yang

signifikan terhadap kadar taninnya, sementara varietas sorgum yang memiliki testa mengadung kadar tanin yang tinggi (15.5 mg CE/g). Sehingga dengan meningkatnya waktu penyosohan menyebabkan semakin banyak lapisan testa yang terlepas selama proses penyosohan, maka tanin yang terkandung didalamnya juga ikut terbuang. Tanin merupakan senyawa fenolik yang larut dalam air dan memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein serta polimer lainnya seperti polisakarida.

Gambar 7 Pengaruh waktu penyosohan terhadap derajat putih, rendemen dan kadar tanin biji sorgum tersosoh

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4 disimpulkan bahwa waktu penyosohan optimal untuk biji sorgum varietas Kawali dengan menggunakan mesin penyosohan Satake Grain Testing Mill dan jumlah biji saat penyosohan 100 g adalah 140 detik. Alasan pemilihan waktu penyosohan 140 detik adalah karena hasil uji lanjut DMRT rendemen tersosoh, derajat putih, dan kadar tanin menunjukkan perbedaan yang tidak nyata jika waktu penyosohan ditingkatkan lagi. Selain itu, juga karena Codex menyaratkan kandungan tanin maksimum dalam tepung sorgum adalah 0.3% (Codex 1989). Waktu ini digunakan sebagai dasar dalam proses penyosohan untuk menentukan kadar air biji optimal pada saat penyosohan biji sorgum.

Penentuan Kadar Air

Kualitas biji sorgum sosoh dipengaruhi juga oleh kadar air biji saat penyosohan. Pada kadar air yang lebih tinggi akan menyebabkan kulit biji sulit dikupas/disosoh, sedangkan pada kadar air yang lebih rendah akan menyebabkan biji mudah pecah (Patiwiri 2006). Parameter yang digunakan untuk menentukan kadar air optimum saat penyosohan biji sorgum adalah rendemen tersosoh dan derajat putih tepung tertinggi. Hasil pengukuran rendemen tersosoh dan derajat putih pada beberapa tingkatan kadar air biji saat penyosohan disajikan pada Tabel 5, sedangkan gambar hasil sosohan biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 5 Rendemen tersosoh dan derajat putih pada beberapa kadar air Kadar air (% bb) Rendemen tersosoh (%) Derajat putih (%) 9 48.84c 71.09a 16 59.43ab 64.95 20 b 60.85a 64.27 23 b 60.86a 63.59 25 b 53.79cb 63.86 29 b 57.58ab 60.41 31 c 58.79ab 60.86c

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

berbeda nyata (α=0.05)

Kadar air 9% bb Kadar air 16% bb Kadar air 20% bb Kadar air 23% bb

Kadar air 25% bb Kadar air 29% bb Kadar air 31% bb Gambar 8 Hasil sosohan biji sorgum pada beberapa tingkatan kadar air

Hasil pengujian ragam rendemen tersosoh dan derajat putih biji sorgum pada beberapa tingkatan kadar air menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0.05) (Lampiran 7 dan 9), sehingga dilakukan pengujian lanjut dengan uji DMRT (Lampiran 8 dan 10). Hasil uji lanjut DMRT rendemen tersosoh cenderung tidak berbeda nyata (α=0.05) antar perlakuan peningkatan kadar air (16-31% bb), tetapi berbeda nyata (α=0.05) dengan kadar air awal (9% bb). Sedangkan, hasil uji lanjut DMRT derajat putih pada kadar air awal (9% bb) berbeda nyata (α=0.05) dengan perlakuan tingkatan kadar air lainnya. Sementara, pada peningkatan kisaran kadar air 16, 20, 23, dan 25% menunjukkan derajat putih yang tidak berbeda nyata

(α=0.05) antar perlakuan tersebut tetapi berbeda dengan tingkatan kadar air awal. Jika kadar air ditingkatkan hingga 29 dan 31% bb tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (α=0.05) pada masing-masing perlakuan tetapi berbeda dengan perlakuan tingkatan kadar air yang lebih rendah.

Rendemen tersosoh meningkat dengan meningkatnya kadar air biji hingga 23% bb, kemudian menurun pada kadar air 25% bb lalu meningkat kembali pada kadar air 29-31% bb, sementara derajat putih menurun dengan meningkatnya kadar air biji (Gambar 9). Peningkatan rendemen hingga kadar air 23% bb disebabkan meningkatnya keliatan dan kekuatan biji sehingga tidak mudah pecah saat penyosohan. Meningkatnya keliatan biji menyebabkan meningkatnya daya lengket kulit pada endospermnya sehingga kulit biji sorgum lebih sulit terpisahkan saat penyosohan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin rendahnya derajat putih. Thahir (2010) melaporkan bahwa proses penyosohan beras sebaiknya dilakukan pada kadar air 15%. Karena pada kadar air yang lebih tinggi proses pengupasan/penyosohan kulit lebih sulit. Sebaliknya, pada kadar air yang lebih rendah, butiran beras mudah pecah/patah sehingga akan menghasilkan banyak beras patah atau menir.

Rendemen tersosoh pada kadar air biji 25% bb menurun diduga karena melunaknya endosperm yang menyebabkan bagian permukaan endosperm ikut tersosoh saat proses penyosohan. Sedangkan, pada kadar air 29-31% bb rendemen biji sorgum tersosoh meningkat kembali diduga karena semakin lunaknya endosperm sehingga pada saat penyosohan telah terjadi pemecahan terlebih dahulu pada sebagian biji sorgum sebelum kulit bijinya terkelupas, sehingga

Kadar Air (%bb) 5 10 15 20 25 30 35 R en d em en T er so so h ( % ) 20 30 40 50 60 70 80 D er aj at P u ti h ( % ) 20 30 40 50 60 70 80 Rendemen Tersosoh (%) Derajat Putih (%)

menurunkan derajat putih (Gambar 9). Amrinola (2010) melaporkan bahwa peningkatan kadar air biji sorgum hingga 20% dapat meningkatkan rendemen tersosoh biji sorgum dan menurun jika kadar air ditingkatkan menjadi 22%. Semakin meningkat kadar air biji saat penyosohan akan menghasilkan sorgum sosoh yang lebih liat dan tidak mudah patah, serta menyebabkan endosperm menjadi lunak dan lengket.

Gambar 9 Pengaruh kadar air terhadap derajat putih, dan rendemen sorgum sosoh Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5 disimpulkan bahwa kadar air optimal untuk penyosohan biji sorgum varietas Kawali dengan menggunakan mesin penyosohan Satake Grain Testing Mill dan jumlah biji saat penyosohan 100 g yang disosoh selama 140 detik adalah 20% bb. Alasan pemilihan kadar air ini adalah karena hasil analisis menunjukkan pada rendemen tersosoh yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan rendemen tersosoh tertinggi pada kadar air 23% bb. Selain itu, derajat putih pada kadar air biji 20% bb lebih tinggi jika dibandingkan dengan derajat putih pada kadar air biji 23% bb. Kadar air biji 20% bb saat penyosohan dan waktu penyosohan 140 detik digunakan sebagai acuan dalam proses penyosohan biji sorgum selanjutnya.

Pembuatan dan Karakterisasi Tepung Sorgum Pembuatan Tepung Sorgum

Tepung sorgum dibuat dengan dua perlakuan yaitu non fermentasi dan fermentasi. Tepung sorgum non fermentasi dibuat dengan tahapan perendaman, pencucian, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Sementara tahapan pembuatan tepung sorgum fermentasi meliputi tahapan fermentasi, pencucian, pengeringan, penepungan, dan pengayakan. Tahapan perendaman biji pada pembuatan tepung sorgum non fermentasi bertujuan untuk melunakkan tekstur biji sorgum. Sementara tahapan fermentasi pada pembuatan tepung sorgum fermentasi dilakukan secara spontan pada suhu ruang dengan konsentrasi larutan garam 1% dan 2% selama 5 hari. Penggunaan larutan garam 1 dan 2% dalam fermentasi spontan sorgum disebabkan karena pada konsentrasi garam yang lebih dari 2% akan menurunkan kemampuan tumbuh Bakteri Asam Laktat (BAL) (Saeed et al. 2009; Marcellin et al. 2009). Tahapan pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada biji hingga kadar air maksimum 15% bk (syarat Codex untuk tepung sorgum). Penepungan bertujuan untuk mengecilkan ukuran biji, dan untuk menghasilkan butiran tepung yang seragam maka dilakukan proses pengayakan menggunakan ayakan berukuran 80 mesh.

Mikroba yang Berperan selama Fermentasi Spontan Sorgum

Jumlah koloni mikroba yang dominan tumbuh selama fermentasi spontan sorgum varietas Kawali adalah Bakteri Asam Laktat (BAL) (Gambar 10). Sementara, jumlah koloni khamir yang tumbuh selama fermentasi lebih rendah. Seperti dilaporkan juga oleh Ali dan Mustafa (2009) bahwa jumlah BAL pada fermentasi sorgum selama 19 jam meningkat lebih tinggi (105-108 cfu/g) daripada khamir (104-107 cfu/g). Interaksi BAL dan khamir selama produksi makanan fermentasi memiliki hubungan simbiotik mutualisme (Gobbetti et al. 1994). BAL menghasilkan kondisi lingkungan yang asam bagi perkembangbiakan khamir, sementara khamir menghasilkan vitamin dan faktor lain seperti asam amino untuk pertumbuhan BAL. Jay (1996) melaporkan bahwa BAL membutuhkan asam amino, vitamin B, serta basa purin dan pirimidin untuk pertumbuhannya.

Gambar 10 Pertumbuhan BAL dan khamir selama fermentasi spontan sorgum Pertumbuhan BAL dan khamir selama fermentasi spontan sorgum meningkat hingga fermentasi hari kedua, kemudian mengalami penurunan. Fase pertumbuhan logaritmik berlangsung selama hari ke nol hingga hari pertama fermentasi, yang ditandai dengan peningkatan kurva pertumbuhan yang cukup tajam. Sementara, fase pertumbuhan lambat dan fase pertumbuhan tetap berlangsung pada hari pertama hingga hari kedua fermentasi. Hal ini ditandai dengan melambatnya kurva pertumbuhan, serta pencapaian jumlah maksimum pertumbuhan BAL dan khamir selama fermentasi spontan sorgum. Dan fase kematian dimulai setelah hari kedua fermentasi yang ditandai dengan menurunnya jumlah pertumbuhan BAL dan khamir.

Penurunan jumlah BAL dan khamir setelah hari kedua fermentasi disebabkan karena semakin berkurangnya jumlah nutrisi yang tersedia pada medium fermentasi, serta adanya komponen antimikroba yang dihasilkan oleh BAL (Forsythe dan Hayes 1998). Bakteri asam laktat menghasilkan berbagai komponen antimikroba seperti asam laktat, asam asetat, asam format, etanol, hydrogen peroksida, bakteriosin, dan beberapa senyawa penghambat lain yang belum teridentifikasi (Vandenbergh 1993). Dalode (2007) melaporkan bahwa fermentasi sorgum selama 12 jam dapat meningkatkan asam laktat dari 1.5% menjadi 3.03%.

Jumlah koloni BAL pada fermentasi sorgum yang menggunakan konsentrasi larutan garam 2% lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah koloni BAL pada konsentrasi larutan garam 1% (Lampiran 11). Hal ini disebabkan karena garam dapat menghambat pertumbuhan mikroba-mikroba lain. Fellows

5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 0 1 2 3 4 5 Jum la h M ikr oba ( log CF U /m l)

Waktu Fermentasi (hari)

(2000) melaporkan bahwa penggunaan garam 2-6% pada proses fermentasi dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk.

Selama proses fermentasi dapat terjadi beberapa perubahan karakteristik fisik dan kimia tepung yang dihasilkan karena adanya aktivitas BAL dan khamir. BAL dan khamir dapat menghasilkan beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa-senyawa organik kompleks menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Gambar 11 menunjukkan adanya khamir yang memiliki aktivitas amilolitik selama fermentasi spontan sorgum. Hal ini ditandai dengan terbentuknya zona bening disekeliling koloni yang tumbuh pada media pati (PDA) ketika ditambahkan iod. Aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase pada fermentasi spontan jagung (ogi) selama 72 jam berturut-turut adalah 3.90, 4.80, dan 1.38 mg/ml (Ohenhen dan Ikenebomeh 2007).

Gambar 11 Koloni khamir yang bersifat amilolitik Karakteristik Kimia Tepung Sorgum

Analisis komposisi kimia yang dilakukan terhadap tepung sorgum yang dihasilkan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat), kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin. a. Analisis proksimat

Hasil analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat disajikan pada Tabel 6. Hasil uji ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa proses fermentasi memberikan pengaruh yang nyata (α=0.05) terhadap kadar air tepung yang dihasilkan sehingga dilakukan uji lanjut DMRT. Hasil uji lanjut (Lampiran 13) menunjukkan bahwa proses

fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (α=0.05) terhadap kadar air, sedangkan lamanya waktu fermentasi dan konsentrasi garam cenderung tidak berbeda nyata (α=0.05). Kadar air tepung sorgum non fermentasi dan tepung sorgum fermentasi masih berada dibawah kadar air yang distandarkan oleh Codex untuk tepung sorgum yaitu 15%. Kadar air sangat berpengaruh terhadap kualitas tepung, semakin tinggi kadar air maka tepung akan semakin cepat rusak. Kerusakan yang terjadi dapat berupa tumbuhnya jamur dan berbau apek. Apabila suatu tepung memiliki kadar air rendah diharapkan memiliki umur simpan yang lebih lama.

Tabel 6 Komposisi proksimat tepung sorgum Konsentrasi garam (%) Waktu (hari) Kadar air (%bb) Lemak (%bk) Protein (%bk) Abu (%bk) Karbohidrat (%bk) Tepung Sorgum Fermentasi

1 1 8.03bcd 0.75ns 7.23ns 0.27e 83.02a 2 8.96b 0.70ns 6.73ns 0.18g 82.54 3 a 8.39bc 0.82ns 7.17ns 0.16gh 82.70 4 a 7.56cd 0.82ns 7.23ns 0.28e 83.50 5 a 7.75bcd 0.81ns 7.47ns 0.30d 83.02 2 a 1 6.81d 0.72ns 7.22ns 0.27e 84.49a 2 8.31bc 0.64ns 7.04ns 0.14h 83.11 3 a 8.48bc 0.72ns 6.26ns 0.22f 82.54 4 a 7.55cd 0.73ns 6.33ns 0.36c 83.40 5 a 7.34cd 0.63ns 6.15ns 0.44b 83.85a

Tepung Sorgum Non fermentasi

11.17a 0.99ns 7.53ns 0.47a 78.44b

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata

(α=0.05)

Hasil uji ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa fermentasi spontan tidak berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap kadar lemak tepung yang dihasilkan, namun cenderung menurunkannya (Tabel 6). Penurunan kadar lemak disebabkan adanya aktivitas mikroba yang bersifat lipolitik. Ohenhen dan Ikenebomeh (2007) melaporkan adanya aktivitas enzim lipase sebesar 1.38 mg/ml pada fermentasi spontan jagung (ogi). Komposisi asam lemak pada lemak sorgum yaitu linoleat (49%), oleat (31%), palmitat (14%), linolenat (2.7%) dan stearat (2.1%) (FAO 2010).

Fermentasi spontan sorgum tidak memberikan pengaruh yang nyata

Selama fermentasi, mikroorganisme dapat menghidrolisis protein menjadi asam amino bebas dan selama pertumbuhannya mikroba tersebut dapat mensintesis asam amino baru dari metabolik intermediet (Correia et al. 2010). Utami (2008) melaporkan bahwa hasil pengujian pemecahan komponen protein oleh BAL dan khamir menunjukkan bahwa BAL dan khamir memiliki aktivitas proteolitik yang ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni. Dijelaskan juga oleh Ohenhen dan Ikenebomeh (2007) bahwa pada fermentasi spontan jagung (ogi) selama 72 jam memiliki aktivitas enzim protease sebesar 4.80 mg/ml.

Fermentasi selama 2 hari dapat menurunkan kadar protein pada tepung millet (9.18-7.45%), kemudian meningkat kembali pada fermentasi hari ke-3 dan ke-4 (9.20-9.46%) (Onweluzo dan Nwabugwu 2009). Sedangkan, fermentasi tepung sorgum selama 24 jam dapat meningkatkan kadar protein tepung dari 9.69% menjadi 10.15% (Fadlallah et al. 2010). Sebaliknya, menurut Mohammed

et al. (2011) fermentasi sorgum selama 72 jam dapat menurunkan kadar protein

tepung (12.25-10.70%). Fermentasi juga dapat menurunkan kadar protein terlarut tepung sorgum (4.35-3.12 mg/g), kadar fraksi albumin dan globulin tepung sorgum (14.2-12.5%), dan kadar fraksi glutenin (18.5-17.8%), tetapi meningkatkan protein tidak larut (1.20-1.46%) dan fraksi prolamin (52.0-54.5%) (Ibrahim et al. 2005, Correia et al. 2010). Berdasarkan kelarutannya, protein biji sorgum dibedakan menjadi 4 fraksi yaitu albumin (larut air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol), dan glutenin (larut dalam larutan alkali) (FAO 2010).

Kadar protein atau lemak yang tinggi tidak diharapkan dalam aplikasi pembuatan cookies. Hal ini karena protein atau lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari granula (Lara et al. 2010). Dengan demikian, diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi. Selain itu, juga dapat menurunkan viskositas adonan yang berakibat pada menurunnya kekuatan gel pada adonan (Richana dan Sunarti 2004).

Fermentasi spontan berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap kadar abu tepung sorgum yang dihasilkan (Lampiran 16), dan cenderung menurunkannya (Tabel 6).

Hal ini disebabkan selama fermentasi, sebagian mineral larut ke dalam air perendaman sehingga terikut saat pencucian. Fennema (1996) menyatakan bahwa pencucian dapat menghilangkan kandungan mineral dalam bahan pangan. Fermentasi sorgum selama 3 hari dapat menurunkan kadar abu tepung yang dihasilkan yaitu 1.71-1.65% dan 3.7-2.7% (Mohammed et al. 2011). Sementara, Irtwange dan Achimba (2009) melaporkan bahwa fermentasi gari selama 3 hari dapat menurunkan kadar abu dari 1.87% menjadi 1.65% dan meningkat lagi menjadi 2.46% saat fermentasi dilanjutkan sampai 5 hari. Kadar abu merupakan estimasi dari total kandungan mineral bahan pangan yang diperlukan untuk menghitung jumlah total karbohidrat dalam analisis proksimat (Fennema 1996). Dicko et al. (2006a) melaporkan bahwa kandungan mineral pada biji sorgum adalah kalsium, klor, tembaga, iod, besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium dan zink. Kadar abu yang tinggi pada tepung kurang disukai karena cenderung menghasilkan warna gelap pada produk cookies yang dihasilkan.

Hasil uji ragam menunjukkan bahwa fermentasi spontan berpengaruh nyata

(α=0.05) terhadap kadar karbohidrat tepung sorgum yang dihasilkan, dan

cenderung meningkatkannya (Lampiran 18). Hasil ini sama seperti yang dilaporkan oleh Mohammed et al. (2011) bahwa fermentasi sorgum selama 72 jam dapat meningkatkan karbohidrat tepung sorgum dari 74.68% menjadi 75.36%.

b. Analisis pati, amilosa dan amilopektin

Hasil analisis kadar pati, kadar amilosa dan kadar amilopektin dari tepung sorgum non fermentasi dan fermentasi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 7. Hasil uji ragam menunjukkan bahwa fermentasi spontan berpengaruh nyata

(α=0.05) terhadap kadar pati, amilosa, dan amilopektin (Lampiran 20, 22, dan 24). Fermentasi spontan sorgum cenderung meningkatkan kadar pati, amilosa, dan amilopektin pada tepung yang dihasilkan (Tabel 7). Hasil ini berbeda dengan laporan Hugo et al. (2003) bahwa fermentasi sorgum selama 5 hari dapat menurunkan kadar pati (68.3-65.5%) pada tepung sorgum yang dihasilkan.

Tabel 7 Komposisi pati, amilosa dan amilopektin tepung sorgum Konsentrasi garam (%) Waktu (hari) Pati (%bk) Amilosa (%bk) Amilopektin (%bk) Tepung Sorgum Fermentasi

1 1 60.26 13.45 cd 46.81 bcd b 2 66.48abc 15.35ab 51.13ab 3 65.42bc 13.32bcd 52.11ab 4 66.15abc 14.77abc 51.38ab 5 64.83bc 13.84abcd 50.99 2 ab 1 70.03ab 12.56cd 57.47a 2 72.78a 16.22a 56.56 3 a 70,46ab 15.57ab 54.90 4 a 66.79abc 13.73abcd 53.06 5 ab 60.81cd 15.13abc 45.68b

Tepung Sorgum Non fermentasi 57.77d 11.38d 46.40b Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05)

Peningkatan kadar pati, amilosa, dan amilopektin pada penelitian ini dikarenakan sebagian granula pati pada tepung sorgum non fermentasi telah tergelatinisasi yang ditandai dengan hilangnya sifat birefringence pada granula patinya (Gambar 12). Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang merefleksikan cahaya sehingga membentuk bidang berwarna biru dan kuning ketika diamati menggunakan mikroskop polarisasi (Winarno 2002). Gelatinisasi pati menyebabkan gangguan pada struktur molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula pati yang ditandai dengan pengembangan granula yang bersifat irreversibel, hilangnya sifat birefringence dan sifat kristalin granula pati. Jika pemanasan dilanjutkan terus, maka granula pati akan pecah sehingga menyebabkan keluarnya komponen terlarut (amilosa dan amilopektin) dari dalam granula (Fennema 2000).

Gambar 12 Bentuk granula tepung sorgum (a) non fermentasi, (b) fermentasi garam 1% (c) fermentasi garam 2%

b

c

Kadar amilosa dan amilopektin sangat berperan pada saat proses gelatinisasi dan retrogradasi, serta lebih menentukan karakteristik pasta pati (Richana dan Sunarti 2004). Ketika pati dipanaskan dengan adanya air akan menyebabkan putusnya ikatan hidrogen dan molekul air akan berikatan dengan ikatan hidrogen untuk mengekspos gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan peningkatan kemampuan pengembangan dan kelarutan pati. Molekul amilosa berperan dalam menentukan kekuatan gel suatu jenis pati, semakin tinggi kandungan amilosa, maka kekuatan gelnya akan semakin tinggi. Karakteristik Fisik Tepung Sorgum

Karakteristik fisik tepung sorgum fermentasi dan non fermentasi yang dianalisis meliputi bentuk dan ukuran granula, profil pasting tepung, rendemen tepung, derajat putih tepung, kapasitas menyerap air, kapasitas menyerap minyak. a. Bentuk dan ukuran granula pati

Bentuk dan ukuran granula pati diukur dengan menggunakan Scanning

Electron Microscope (SEM) Model JSM-5310LV. Bentuk granula tepung sorgum

non fermentasi adalah bulat dengan ukuran diameter granula berkisar antara 8.72- 14.9 µm (Gambar 13a). Sementara, bentuk granula tepung sorgum fermentasi adalah bulat dengan permukaan granula lebih kasar yang memiliki ukuran diameter granula berkisar antara 16.9-19.6 µm (Gambar 13b dan 13c).

Gambar 13 Bentuk granula tepung sorgum (a) non fermentasi, (b) fermentasi garam 1% (c) fermentasi garam 2%

Permukaan granula pati yang kasar pada tepung sorgum fermentasi diduga karena adanya enzim amilase yang dihasilkan mikroba selama fermentasi spontan sorgum. (Irtwange dan Achimba (2009) melaporkan bahwa enzim amilase yang dihasilkan mikroba selama 5 hari fermentasi ubi kayu dapat merusak granula pati.

Enzim amilase akan menyerang secara acak ikatan α-1,4-D-glikosidik pada pati

b

c

kecuali dekat titik cabang yang mengandung α-1,6-D-glikosidik (Matsubara et al.

2004). Claver et al. (2010) menambahkan bahwa enzim terlebih dahulu menyerang bagian permukaan granula dan membentuk pori-pori pada permukaan. Dan ketika terjadi kerusakan internal granula, maka bagian internal granula juga akan membentuk pori-pori kecil sehingga enzim dapat menembus granula tersebut. Lima bentuk penyerangan enzim terhadap permukaan granula pati adalah mengikis bagian permukaan granula, membentuk pori kecil, mengikis

sponge-like, membentuk pori dengan ukuran sedang, dan membentuk pori yang

jelas pada bagian internal granula (Claver et al. 2010).

Pati yang memiliki ukuran granula besar akan memiliki suhu gelatinisasi yang relatif lebih rendah dan viskositas maksimum yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena saat pemanasan, granula pati lebih mudah menyerap air sehingga akan tergelatinisasi pada suhu yang rendah dan granula pati mampu menyerap air yang banyak sebelum granulanya pecah sehingga dapat mencapai viskositas maksimum yang tinggi (Kusnandar 2011).

b. Sifat pasting

Hasil uji ragam menunjukkan bahwa fermentasi spontan berpengaruh nyata

(α=0.05) terhadap viskositas puncak, viskositas minimum, dan viskositas

breakdown (Lampiran 28, 30, 32). Sebaliknya, fermentasi spontan tidak

berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap waktu gelatinisasi, suhu gelatinisasi,

viskositas akhir, dan viskositas setback (Lampiran 26, 27, 34, 35).

Hasil analisis menunjukkan bahwa tepung sorgum non fermentasi memiliki

Dokumen terkait