Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan
Suhu ruang pemeliharaan pada bulan Oktober dan Nopember 2011 berturut-turut berkisar antara 26-27oC dan 27-32 oC. Suhu harian pemeliharaan berfluktuatif dengan suhu pada pagi hari paling rendah dan meningkat pada siang hari sedangkan pada sore hari mengalami penurunan. Suhu minimum pemeliharaan sebesar 25 oC (pagi hari) dan suhu maksimum sebesar 32 oC (siang hari).
Kelembaban relatif pada bulan Oktober 2011 berkisar 70%-84%, sedangkan pada bulan Nopember 2011 berkisar 67%-88%. Kelembaban pada bulan Nopember mencapai kelembaban relatif terendah dan tertinggi. Kelembaban relatif terendah sebesar 67% (siang hari), sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 88% (pagi hari).
Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas mengkonsumsi semua jenis pakan perlakuan yaitu daun sirsak, kenari dan nangka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peigler (1989) bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang berasal dari 48 famili tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva dari ulat sutera ini. Konsumsi pakan tiap ekor larva A. atlas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Konsumsi Pakan Segar Larva A. atlas Instar I-III dengan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Tahap Instar Jenis Pakan R2
(%)
Sirsak Kenari Nangka
--- (mg/larva) --- Instar I Instar II Instar III 130,8±9,12a 308,2±15,24 a 1146,3±136,70a 137,2±6,80a 254,8±16,57b 659±73,3b 102,8±3,63b 218,8±11,63c * 85 89 86 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
23 pemberian daun kenari (137,2 mg/larva) dan nyata lebih tinggi dari daun nangka (102,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 85%, artinya respon konsumsi yang dipengaruhi pakan sebesar 85% sedangkan pengaruh dari faktor lain yang tidak diamati relatif kecil hanya sebesar 15%.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan tiap ekor pada larva A. atlas instar II. Konsumsi pakan larva instar II dengan pakan daun sirsak (308,2 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (254,8 mg/larva) dan daun nangka (218,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar 89%, artinya respon konsumsi yang dipengaruhi oleh pakan sebesar 89%. Konsumsi daun sirsak paling tinggi diduga karena kandungan kadar air sirsak (69,88%) yang lebih tinggi dibandingkan daun kenari dan nangka (Tabel 1). Ekastuti (1999) menyatakan bahwa kadar air daun yang baik untuk pakan larva B. mori adalah 70%.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah konsumsi tiap ekor pada instar III. Jumlah konsumsi pakan larva instar III dengan pemberian pakan daun sirsak (1146,3 mg/larva) nyata lebih tinggi dari pakan daun kenari (659 mg/larva). Koefisien determinasi menunjukkan nilai sebesar 86%, artinya respon konsumsi pakan dipengaruhi perlakuan pakan sebesar 86% sehingga pengaruh dari faktor lain relatif rendah. Jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pemberian daun nangka pada instar III tidak diketahui, karena larva mati sebelum akhir instar. Larva dengan pemberian daun nangka mati diduga karena pada instar I dan II larva mengkonsumsi pakan relatif rendah dibandingkan larva dengan pakan daun sirsak dan kenari. Jumlah pakan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup larva dapat mempengaruhi pertumbuhan dan daya tahan tubuh larva.
Pemberian pakan dengan daun sirsak lebih disukai terlihat dari total konsumsi (instar I-III) yang relatif besar (1585 mg/larva) dibandingkan dengan pemberian pakan daun kenari dan nangka. Hal ini kemungkinan karena kandungan nutrien yang terdapat tiap daun berbeda-beda. Pakan yang dikonsumsi larva harus mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva, dapat diterima dan dapat dicerna dengan baik. Kualitas nutrisi yang relatif rendah memperlambat konsumsi pakan dan efisiensi penggunaan energi yang lebih tinggi (Wuliandari, 2002). Selain nutrien pakan hal lain yang mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi yaitu kadar air yang berbeda tiap pakan.
Zat-zat makanan yang dicerna merupakan bagian zat makanan dari bahan makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Hasil uji statistik terhadap kecernaan dari pemberian ketiga jenis pakan terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kecernaan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka pada Larva A. atlas Instar I-III
Tahap Instar Jenis Pakan R2
(%)
Sirsak Kenari Nangka
--- (%) --- Instar I Instar II Instar III 18,74±1,05 a 26,12±1,06 a 29,78±0,91 21,58±1.19 b 25,52±0,29 a 28,40±0,26 11,78±1,01 c 16,52±0,60 b * 95 98 55 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
* Semua larva mati
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva instar I. Kecernaan pakan dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah daun kenari (21,58%), daun sirsak (18,74%) dan daun nangka (11,78%). Nilai koefisien determinasi pada instar I sebesar 95%, artinya 95% respon kecernaan pakan yang dipengaruhi oleh perlakuan sedangkan hanya 5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva instar II. Kecernaan daun sirsak (26,12%) tidak berbeda nyata dengan pakan daun kenari (25,52%), namun nyata lebih tinggi dari daun nangka (16,52%). Hasil koefisien determinasi pada instar II nilainya relatif tinggi sebesar 98%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap sekitar 98% respon kecernaan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif rendah sebesar 2%.
Pada instar III jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan pakan. Nilai koefisien determinasi pada instar III rendah sebesar 55%, artinya pengaruh pakan terhadap kecernaan sebesar 55% dan pengaruh dari faktor lain cukup tinggi sebesar 45%.
Kecernaan pakan daun nangka paling kecil dibandingkan dengan daun sirsak dan kenari. Hal ini kemungkinan karena daun nangka banyak mengandung getah yang menghambat dalam proses pencernaan. Besarnya daya cerna dipengaruhi oleh
25 berat kering pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses yang diekskresikan (Rohayati, 1994). Pada dasarnya pengukuran kecernaan bertujuan untuk menentukan jumlah zat makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan. Jumlah pakan tercerna dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pakan yang Tercerna dengan Pemberian Daun Sirsak, Kenari dan Nangka pada Larva A. atlas
Tahap Instar Jenis Pakan R2
(%)
Sirsak Kenari Nangka
--- (mg/larva) --- Instar I Instar II Instar III 24,50±1,97 b 80,47±4,51 a 341,95±47,84a 29,64±2,77 a 65,02±4,27 b 187,03±19,18b 12,11±1,12 c 36,19±3,07 c * 94 96 84 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
* Semua larva mati
Besarnya kecernaan berbanding lurus dengan jumlah pakan yang tercerna. Semakin tinggi kecernaan semakin tinggi pula jumlah pakan yang tercerna. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah pakan yang tercerna pada instar I sampai III. Jumlah pakan yang tercerna pada larva instar I dengan pemberian pakan daun kenari (29,64 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun sirsak (24,50 mg/larva) dan daun nangka (12,11 mg/larva). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pakan daun kenari yang dikonsumsi dan persentase nilai kecernaannya. Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya relatif tinggi yaitu 94%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap sekitar 94% respon pakan tercerna. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif rendah sebesar 6%.
Jumlah pakan tercerna pada larva instar II dengan pemberian daun sirsak (80,47 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (65,02 mg/larva) dan daun nangka (36,19 mg/larva). Nilai kecernaan pakan sebesar 26,12% dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tinggi (308,2 mg/larva) sehingga jumlah pakan tercerna yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun sirsak relatif besar. Hasil koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar 96%, artinya sekitar 96% pakan tercerna disebabkan oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati sebesar 4%.
Pakan tercerna instar III dengan pemberian daun sirsak (341,95 mg/larva) berbeda nyata dengan pemberian daun kenari (187,03 mg/larva). Hasil koefisien determinasi nilainya sebesar 84%, artinya sekitar 84% pakan tercerna disebabkan oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif tinggi yaitu 16%.
Jumlah asupan pakan pada instar I dan II tiap larva dari ketiga pakan memperlihatkan bahwa asupan pakan daun sirsak 104,97 mg, daun kenari 94,66 mg dan daun nangka 48,3 mg. Asupan pakan daun nangka paling rendah dibandingkan dengan sirsak dan kenari. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan larva tidak optimal, daya tubuh rendah dan mudah terserang penyakit.
Pertumbuhan Larva
Pertumbuhan larva dapat dilihat dari pertambahan panjang dan bobot badan dari larva tersebut. Pertambahan bobot badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Larva Instar I-III A. atlas yang Diberikan Pakan
Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Tahap Instar Jenis Pakan
Sirsak Kenari Nangka
--- (mg)--- Instar I Awal Akhir PBB 3±1 27±8ab 24±8ab 5±1 30±10a 25±9a 4±1 25±6b 21±6b Instar II Awal Akhir PBB 24±9ab 126±13a 103±15a 28±10a 105±30b 83±25b 19±7b 100±21b 79±21b Instar III Awal Akhir PBB 127±10 479±31a 351±37a 116±26 384±101b 263±96b * * *
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)
* Semua larva mati
Bobot badan larva awal instar I berkisar 3-6 mg. Bobot badan akhir instar I dengan pemberian daun kenari (30 mg) menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan pakan daun sirsak (27 mg) tetapi lebih tinggi dari daun nangka (25 mg). Jenis
27 pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan pada instar I. PBB larva yang mendapatkan pakan daun kenari (25 mg) tidak berbeda dengan pakan daun sirsak (24 mg) namun nyata lebih tinggi dari yang mendapatkan pakan daun nangka (21 mg). Larva instar I dengan pemberian pakan daun kenari memperlihatkan pertambahan bobot badan tertinggi (25 mg), sedangkan pertambahan terendah pemberian pakan daun nangka (21 mg). Hal ini dapat dikarenakan jumlah pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun nangka rendah (12,11 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun nangka paling rendah. Pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun kenari paling tinggi (29,64 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun kenari paling tinggi.
Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot badan awal dan akhir larva instar II. Pada awal instar II pemberian pakan daun kenari (28 mg) tidak berbeda dengan daun sirsak (24 mg), nyata lebih tinggi dari daun nangka (19 mg). Pada setiap awal instar terjadi penurunan bobot badan larva, hal ini disebabkan sebelum proses ganti kulit larva cenderung diam, termasuk mengurangi aktivitas makan. Bobot badan akhir instar dengan pemberian pakan daun sirsak (126 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (105 mg) dan daun nangka (100 mg). Jenis pakan menunjukkan hasil berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan larva instar II. PBB daun sirsak (103 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (83 mg) dan nangka (79 mg). Hal ini dapat dikarenakan larva mengkonsumsi pakan daun sirsak paling tinggi (308,2 mg/larva) sehingga asupan pakan cukup tersedia untuk pertumbuhan larva.
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap bobot badan awal instar III, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir instar III. Bobot badan instar III dengan pakan daun sirsak (479 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (384 mg). PBB menunjukkan hal yang sama yaitu pemberian pakan daun sirsak (351 mg) nyata lebih besar dari daun kenari (263 mg). Bobot badan instar III dengan pemberian pakan daun nangka tidak diketahui karena larva mati sebelum molting. Larva dengan pakan daun nangka mendapat asupan pakan rendah (56,74 mg) sehingga pertumbuhan larva rendah dan menyebabkan kematian.
Pertambahan panjang badan larva dihitung dengan selisih panjang akhir instar dengan awal instar. Pertambahan panjang badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas yang Diberikan Pakan Daun
Sirsak, Kenari dan Nangka
Tahap Instar Jenis Pakan
Sirsak Kenari Nangka
--- (cm)--- Instar I Awal Akhir PPB 0,699±0,051 1,024±0,075 0,326±0,060 0,693±0,052 1,022±0,075 0,356±0,095 0,695±0,043 1,030±0,045 0,346±0,042 Instar II Awal Akhir PPB 1,122±0,128 1,537±0,109 0,496±0,071 1,147±0,127 1,510±0,173 0,395±0,067 1,073±0,107 1,425±0,089 0,447±0,073 Instar III Awal Akhir PPB 1,797±0,123 2,368±0,250 0,651±0,186 1,800±0,162 2,336±0,144 0,602±0,072 * * *
Keterangan : * Semua larva mati
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar I. Rataan panjang larva pada awal instar pertama adalah 0,696±0,049 cm. Rataan panjang akhir instar pertama adalah 1,026±0,073 cm. Pertambahan panjang badan larva instar I berkisar 0,326-0,356 cm. Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya hanya sebesar 1%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap pertambahan panjang badan yang disebabkan oleh pakan sangat rendah sebesar 1% sedangkan sisanya 99% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati seperti genetik.
Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar II. Rataan panjang larva pada awal instar II adalah 1,106±0,122 cm. Rataan panjang akhir instar II adalah 1,500±0,139 cm. Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar 0,395-0,496 cm. Jenis pakan berpengaruh sangat rendah terhadap pertambahan panjang badan instar II terlihat dari nilai koefisien determinasi hanya 3% dan lebih banyak dipengaruhi faktor lain sebesar 97%.
29 Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar III. Rataan panjang larva pada awal instar III adalah 1,799±0,140 cm.Panjang badan akhir instar ulat kecil (instar III) berkisar antara 2,336-2,368 cm. Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar 0,602-0,651cm. Pada instar III jenis pakan hanya berpengaruh sebesar 2% terhadap pertambahan panjang badan.
Pada akhir stadia instar I hingga instar II, bobot dan panjang larva bertambah dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas pertama kali. Perbandingan panjang dan bobot badan larva saat menetas dibandingkan pada akhir instar dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Panjang dan Bobot Badan Larva A. atlas Pada Akhir Instar dengan Awal Instar I
Perameter Jenis Pakan
Sirsak Kenari Nangka
Panjang (kali) Instar I Instar II Instar II 1,5 2,5 3,5 1,5 2,5 3,5 1,5 2 * Bobot (kali) Instar I Instar II Instar III 10 50 150 10 25 80 5 25 * Keterangan: * semua larva mati
Bobot akhir instar I ulat sutera liar A. atlas dengan pemberian pakan daun sirsak dan kenari mencapai 10 kali, sedangkan daun nangka 5 kali lebih besar dibandingkan bobot awal saat menetas. Bobot akhir instar II dengan pemberian pakan daun sirsak mencapai 50 kali sedangkan daun kenari dan nangka 25 kali dibandingkan bobot awal saat menetas. Bobot akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak mencapai 150 kali dibandingkan bobot awal saat menetas. Larva dengan pemberian pakan daun kenari pertambahan bobot badan hingga akhir instar III lebih rendah sebesar 80 kali. Rani (2002) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ulat sutera Bombyx mori instar I sampai dengan instar III dapat mencapai 120 kali dari bobot saat menetas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan larva dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsinya.
Panjang badan dengan pemberian ketiga jenis pakan pada awal menetas dibandingkan dengan akhir instar I sebesar 1,5 kali. Perbandingan panjang badan akhir instar II dengan pemberian daun sirsak dan kenari sebesar 2,5 kali sedangkan daun nangka 2 kali. Panjang badan larva A. atlas akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak dan kenari mencapai 3,5 kali dari panjang saat menetas. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), panjang larva akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak, kaliki dan jarak pagar mencapai 5 kali dibandingkan saat menetas. Larva A. atlas yang mampu mengkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, akan terjadi pertambahan bobot dan panjang badan sesuai dengan tahapan instar.
Stadia Larva
Stadia larva A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 8. Kisaran tersebut mencakup stadia larva instar I, II dan III dengan pemberian pakan yang berbeda.
Tabel 8. Siklus hidup larva A.atlas instar I-III yang Diberikan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka
Stadia
Jenis Pakan
Sirsak Kenari Nangka
Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan
--- (hari) --- Instar I Instar II Instar III 4-7 4-6 4-6 5,8±0,68 5,2±0,68 5,2±0,62 4-7 5-7 4-7 5,4±0,88 5,8±0,39 5,6±1,03 4-6 3-6 * 5,1±0,32 4,6±0,95 *
Keterangan : * Semua larva mati
Berdasarkan analisis sidik ragam, jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang periode larva pada ulat kecil (instar I-III). Panjang periode larva tiap instarnya berkisar antara 3-7 hari. Rataan periode larva instar I dengan pakan daun sirsak (5,8±0,68 hari), daun kenari (5,4±0,88 hari) dan daun nangka (5,1±0,32 hari). Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 17%, artinya pakan berpengaruh hanya sekitar 17% terhadap periode larva pada instar I. Rataan periode larva instar II dengan pakan daun sirsak (5,2±0,68 hari), daun kenari (5,8±0,39 hari)
31 dan daun nangka (4,6±0,95 hari). Nilai koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar 40%, artinya pakan berpengaruh hanya sekitar 40% terhadap periode larva pada instar II. Rataan periode larva instar III dengan pakan daun sirsak (5,3±0,62 hari) dan daun kenari (5,6±1,03 hari). Panjang periode larva instar III pada pemberian pakan daun nangka tidak diketahui, hal ini disebabkan larva tidak sampai mencapai akhir instar. Nilai koefisien determinasi pada instar III nilainya hanya 5%, artinya pakan berpengaruh hanya sekitar 5% terhadap periode larva pada instar III. Pakan berpengaruh relatif rendah terhadap periode larva tiap instarnya. Hal ini menunjukkan terdapat faktor lain yang mempengaruhi cukup besar terhadap periode larva misalnya genetik, suhu lingkungan, kelembaban dan hormonal.
Siklus hidup A. atlas paling lama adalah stadia larva. Larva A. atlas terdiri atas enam tahapan instar yang setiap pergantian instar akan ditandai dengan pergantian kulit (molting). Periode ini merupakan periode dimana larva makan daun. Larva A. atlas akan aktif bergerak mencari makan. Larva yang akan molting akan cenderung diam, nafsu makan menurun atau menghentikan makannya dan badannya membentuk seperti huruf C atau J dengan kepala mengangkat ke atas (Zebua et al., 1997). Molting terjadi tidak hanya pada kutikula dinding tubuh tetapi juga lapisan kutikula trakea, usus depan, usus belakang dan struktur rangka dalam. Apabila serangga pertama kali muncul dari kutikula lama, serangga berwarna pucat dan kutikulanya masih lunak (Triplehorn dan Johnson, 2005).
Keseluruhan proses molting diatur oleh regulasi hormonal yang diawali dengan pelepasan Prothoracotropic Hormone (PTTH) dari sel-sel neurosekresi di dalam otak ke hemolimfa. Keberadaan PTTH akan mengaktivasi kelenjar protoraks untuk mensintesis hormon ekdison. Hormon ekdison akan menstimulasi terjadinya
molting. Kadar air pakan yang rendah dapat mengakibatkan ransangan proses molting tertunda sehingga siklus hidup menjadi lebih panjang (Triplehorn dan
Johnson, 2005).
Mortalitas
Persentase mortalitas pada larva instar I-III A. atlas tergolong cukup tinggi. Mortalitas dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik mortalitas larva A. atlas Instar I-III
Larva yang diberikan pakan daun kenari memiliki persentase mortalitas yang paling kecil dibandingkan dengan lainnya. Angka mortalitas paling tinggi terjadi pada larva dengan pemberian pakan daun nangka. Mortalitas larva pada instar III dengan pemberian pakan daun nangka paling tinggi (100%) dibandingkan dengan daun sirsak (59%) dan daun kenari (53%). Berdasarkan analisis statistik, jenis pakan tidak berpengaruh terhadap mortalitas pada instar I dan III, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap larva instar II (Lampiran 12).
Mortalisas larva dengan pemberian pakan daun nangka relatif tinggi disebabkan jumlah pakan yang tercerna lebih sedikit dibandingkan pemberian pakan daun sirsak dan kenari (Tabel 3). Pakan yang dicerna oleh larva dengan pemberian pakan daun nangka paling sedikit sehingga materi energi untuk metabolisme, pertumbuhan dan pertahanan tubuh terbatas. Hal ini dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva,daya tubuh rendah serta lebih mudah terserang penyakit. Apabila kondisi seperti ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada larva.
Gejala kematian yang terlihat selama pemeliharaan yaitu tubuh yang mengkerut dan berwarna coklat, tubuhnya terlihat lunak serta mengeluarkan feses yang agak cair. Pada umumnya, larva yang sakit tidak memakan daun dan tidak banyak bergerak.