• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMA ULAT SUTERA LIAR"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III

DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona

muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus)

DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.)

SKRIPSI

MEGA SULISTYANINGRUM

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Mega Sulistyaningrum D14080223. 2012. Performa Ulat Sutera Liar (Attacus

Atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona muricata)

Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium

Commune L.). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. drh. Damiana R. Ekastuti, M.S.

Indonesia yang beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah termasuk berbagai jenis flora dan fauna. Salah satu kekayaan fauna yang dimiliki Indonesia yaitu ulat sutera. Ulat sutera liar yang ada terdiri atas Cricula

trifenestrata, Antheraea mylita dan Attacus atlas. Indonesia memiliki delapan spesies Attacus yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini pengembangan

usaha persuteraan ulat sutera liar masih terbatas di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat.

Budidaya ulat sutera liar ini layak dikembangkan karena ulat sutera ini bersifat polivoltin (lebih dari dua generasi dalam satu tahun) dan polifagus (memakan beberapa jenis daun), sehingga mudah dalam pemeliharaan dan waktu produksi yang singkat. Hal tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian menggunakan pemberian pakan alternatif yaitu daun sirsak, kenari dan nangka. Jenis pakan yang berbeda akan memberikan pengaruh langsung terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh langsung dari pemberian ketiga jenis daun tersebut terhadap konsumsi pakan, kecernaan pakan, pakan tercerna, pertumbuhan dan mortalitas larva A. atlas instar I-III di dalam ruangan.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Nopember 2011. Bibit ulat sutera A. atlas didapat dari Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalong Wetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Pemeliharaan dilakukan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran hewan. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan jenis pakan (daun sirsak, kenari dan nangka). Peubah yang diamati antara lain konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan larva A. atlas menyukai semua pakan. Ini disebabkan larva A. atlas bersifat polifagus. Larva menyukai semua pakan tetapi konsumsi pakan yang terbanyak yaitu pakan jenis daun sirsak, sedangkan pakan daun nangka jumlah konsumsinya lebih sedikit. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah konsumsi pada instar I sampai III. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pada instar I dan II, sedangkan tidak berpengaruh nyata pada instar III. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah pakan tercerna pada instar I sampai III. Kecernaan dan pakan tercerna dengan pemberian daun nangka paling rendah dibandingkan dengan daun sirsak dan kenari. Berdasarkan kandungan nutrisinya, tanaman pakan yang paling ideal adalah daun

(3)

sirsak. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pertumbuhan ulat sutera

A.atlas pada instar awal.

Kisaran bobot larva A. atlas pada akhir instar III berkisar antara 230-480 mg dengan pakan daun kenari dan 450-540 mg dengan pakan daun sirsak. Kisaran panjang larva A. atlas pada akhir instar III berkisar antara 2,336-2,368 cm dengan pemberian daun sirsak dan kenari. Sedangkan pemberian daun nangka tidak mencapai akhir instar III, larva mati sebelum molting. Hasil uji Anova menunjukkan bahwa jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang larva pada instar I-III. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan larva pada instar I-III.

Rataan stadia larva sampai dengan instar III dengan pakan daun sirsak (16,22±1,983 hari) dan pakan kenari (16,86±2,309 hari). Periode larva sampai dengan instar II dengan pakan daun nangka (9,72±1,274 hari). Larva yang diberikan pakan daun kenari memiliki persentase mortalitas yang paling kecil (53%) dibandingkan dengan lainnya. Angka mortalitas paling tinggi terjadi pada larva dengan pemberian pakan daun nangka (100%). Suhu selama pemeliharan berada pada kisaran 26-29oC, sedangkan kelembaban terendah 76,71%±4,52% (siang hari) dan tertinggi sebesar 81,50%±4,16% (pagi hari).

(4)

ABSTRACT

Wild Silkworm (Attacus atlas) Instar I-III Perform With Feeding by Soursop (Annona muricata) Jackfruit (Artocarpus heterophyllus) and

Canary (Canarium commune L.) Leaves

Sulistyaningrum, M., H. C. H. Siregar and D. R. Ekastuti

Attacus atlas is polyphagus and polyvoltine insect. This research larvae used three

types of treatments, which were given of soursop (Annona muricata) leaves (control), canary (Canarium commune L.) leaves and jackfruit (Artocarpus

heterophyllus) leaves. These leaves are available in various areas and have good

nutrition content for growth of Attacus atlas larvae. Each treatment carried out with five replications. Variables measured were feed consumption, feed digestibility, absorption, growth, larvae stadia and mortality of Attacus atlas larvae from instar I until instar III. The result showed that the type of leaves significantly (P<0,05) affected the feed consumption, growth, feed digestibility and mortality of

A.atlas larvae. The larvae that feed with jackfruit leaves had the lowest feed

consumption, feed digestibility, feed absorption and highest mortality.

(5)

PERFORMA ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) INSTAR I-III

DENGAN PEMBERIAN PAKAN DAUN SIRSAK (Annona

muricata) DAUN NANGKA (Artocarpus heterophyllus)

DAN DAUN KENARI (Canarium cummune L.)

MEGA SULISTYANINGRUM D14080223

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Performa Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona muricata) Daun Nangka (Artocarpus

Heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium Commune L.)

Nama : Mega Sulistyaningrum NRP : D14080223

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) (Dr. drh. Damiana R. Ekastuti, M.S.) NIP: 19620617 199003 2 001 NIP: 19620212 198601 2 001

Mengetahui, Ketua departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.) NIP.19591212 198603 1 004

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1990 di Tuban, Kab. Tuban, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Suhardi dan Ibu Supmiyati.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Bhayangkari, Jatirogo pada tahun 1996. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Wotsogo 1, Jatirogo. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 1 Jatirogo dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMAN 2 Tuban.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan, Penulis pernah aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan keprofesian dan kepanitiaan. Selain itu Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Telur dan Daging Unggas.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’aalamin. Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke

hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Performa Ulat Sutera

Liar (Attacus atlas) Instar I-III Dengan Pemberian Pakan Daun Sirsak (Annona muricata) Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus) dan Daun Kenari (Canarium commune L.) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini didasari oleh prospek budidaya ulat sutera liar A. atlas yang sangat potensial. Hal ini dikarenakan keunggulan sifatnya yang polifagus (memiliki kisaran pakan yang luas). Penelitian dengan menggunakan berbagai pakan alami seperti daun teh, sirsak, kaliki, alpukat dan jarak telah dilakukan dan menunjukkan hasil yang bervariasi. Namun demikian belum pernah dilakukan budidaya di dalam ruangan dengan menggunakan pakan lain yang jumlahnya melimpah dan daunnya tidak banyak dimanfaatkan seperti daun nangka (Artocarpus

heterophyllus) dan daun kenari (Canarium commune L.). Penulisan skripsi ini

diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat sehingga budidaya ulat sutera liar dapat lebih berkembang lagi. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih, semoga hasil tulisan ilmiah ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan pembaca, terutama pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai

A. atlas.

Bogor, September 2012 Penulis,

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) ... 3

Morfologi ... Imago ... ... 3 Telur ... 4 Larva ... 5 Pupa ... 7 Siklus Hidup ... 8

Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Larva ... 10

Faktor Abiotik ... 10

Faktor Biotik ... 10

Tingkah Laku Makan Serangga ... 11

Sirsak (Annoma muricata L.) ... 12

Nangka (Artocarpus heterophyllus) ... 13

Kenari (Canarium commune L.) ... 14

METODE PENELITIAN ... 16

Lokasi dan Waktu ... 16

Materi ... 16

Hewan Percobaan ……… . 16 Pakan ……….

(10)

ix

Tahap Penelitian ... 17

Rancangan dan Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan ... 22

Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna ... 22

Pertumbuhan Larva ... 26 Stadia larva ... 30 Mortalitas ... 32 KESIMPULAN ... 33 Kesimpulan ... 33 Saran ... 33

UCAPAN TERIMA KASIH ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Analisis Uji Proksimat Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ………. 16 2. Rataan Konsumsi Pakan Segar Larva A. atlas Instar I-III dengan

Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ………..… 22 3. Kecernaan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka Pada Larva

A. atlas Instar I-III ……….. 24

4. Pakan Yang Tercerna dengan Pemberian Daun Sirsak, Kenari dan

Nangka Pada Larva A. atlas ... 25 5. Pertambahan Bobot Badan Larva Instar I-III A. atlas yang Diberi-

kan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ... 26 6. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas yang Diberikan Pakan

Daun Sirsak, Kenari dan Nangka ... . 28 7. Perbandingan Panjang dan Bobot Badan Larva A. atlas Pada Akhir

Instar dengan Awal Instar I ………. … 29 8. Siklus hidup larva A.atlas instar I-III yang Diberikan Pakan Daun

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Imago Attacus atlas (a) Antena A. atlas Jantan (c) Antena A. atlas

Betina ... 4

2. Telur Attacus atlas …… ... 5

3. Kokon A. atlas (a) Pupa A. atlas (b)………. ... 8

4. Daur Hidup A. atlas ... 9

5. Daun Sirsak ... 12

6. Daun Nangka ... 13

7. Daun Kenari ... 14

8. Bagan Perlakuan Pakan ... 18

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Penyebaran A. atlas ... 38

2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan (a) Tempat Perkawinan (b) Tempat Pemeliharaan…… ... 38

3. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Pakan Larva A. atlas ... 39

4. Analisis Sidik Ragam Kecernaan Pakan Larva A. atlas ... 40

5. Analisis Sidik Ragam Pakan Tercerna Larva A. atlas ... 41

6. Pertambahan Bobot Badan Larva A. atlas terhadap Bobot Larva Baru Menetas ... 42

7. Analisis Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Larva A. atlas . 42

8. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas terhadap Panjang Larva Baru Menetas ... 44

9. Analisis Sidik Ragam Pertambahan Panjang Badan Larva A.atlas 44

10. Analisis Sidik Ragam Mortalitas Larva A. atlas Instar I-III ... 45

11. Analisis Sidik Ragam Siklus Larva A. atlas ... 46

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis memiliki keragaman hayati yang sangat melimpah termasuk berbagai jenis flora dan fauna. Salah satunya adalah ulat sutera liar Attacus atlas, Cricula trifenestrata dan Antheraea mylita yang merupakan hewan asli Indonesia. Attacus atlas merupakan ngengat berukuran besar yang banyak ditemukan di hutan tropis dan subtropis, sedangkan di Indonesia hampir terdapat di seluruh wilayah. Saat ini pengembangan ulat sutera liar di Indonesia masih terbatas di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Jawa Barat dengan kapasitas produksi benang sutera alam yang masih terbatas. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengusaha benang sutera masih mengumpulkan kokon langsung dari alam. Peluang budidaya ulat sutera A. atlas masih sangat luas untuk dikembangkan terlebih sutera yang dihasilkan memiliki karakteristik antara lain lebih lembut, nyaman dipakai, sejuk, tidak mudah kusut, tahan panas, dan memiliki keragaman variasi warna alami.

Attacus atlas merupakan salah satu serangga yang menghasilkan sutera,

pakan bukan daun murbei. Attacus atlas mengalami metamorfosis sempurna melewati fase telur, larva, pupa dan imago. Pemeliharaan instar awal memerlukan perhatian yang lebih, terutama terhadap predator, cuaca, pengaruh lingkungan fisik dan pakan.

Attacus atlas merupakan serangga polifagus yang artinya dapat memakan

banyak jenis tanaman. Terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang berasal dari 48 famili tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva dari ulat sutera ini (Peigler, 1989). Penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ulat sutera liar A. atlas dapat hidup pada tanaman teh (Camellia sinensis), sirsak (Annona muricata), senggugu (Clerodendron serratum Spreng), alpokat (Persea Americana Mil), dadap (Erythrina

lithosperma Miq), kunyit (Curcuma domestika), mahoni (Sweetnia mahagoni) dan

pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum) (Adria dan Idris, 1997; Indrawan, 2007; Awan, 2007). Attacus atlas ini dianggap oleh sebagian besar orang sebagai hama karena dapat menghabiskan daun pada tanaman inang.

Sumber pakan yang diberikan dalam pemeliharaan harus memiliki ketersediaan yang cukup memadai dan kesinambungannya terjamin. Selain itu pakan tersebut harus dapat diterima, dicerna dan mengandung semua nutrisi yang

(15)

dibutuhkan untuk perkembangan. Attacus atlas yang masih bersifat liar dalam pemeliharaan membutuhkan kondisi pakan yang sama seperti di alam. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pemberian pakan termasuk kebersihan daun, kesegaran dan bebas dari bibit penyakit. Pertumbuhan, perkembangan serta reproduksi dari ulat sutera sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Kualitas daun berkaitan dengan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya antara lain air, protein, lemak, serat dan abu. Kualitas pakan yang diberikan dapat mempengaruhi kondisi fisologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus perkembangan (Mulyani, 2008).

Pemilihan daun nangka dan kenari sebagai pakan dalam budidaya ulat sutera liar A. atlas merujuk dari Peigler (1989) yang menyebutkan bahwa kedua tanaman tersebut digunakan sebagai tanaman inang ulat sutera liar A. atlas. Namun belum terdapat data yang lebih rinci performa larva ulat sutera liar A. atlas yang diberi pakan tersebut. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyebutkan jenis tanaman (pakan) yang berbeda-beda berpengaruh terhadap masa perkembangan larva. Perbedaan jenis pakan perlu diteliti untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap konsumsi, pertumbuhan larva, siklus hidup dan mortalitasnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pakan (dengan menggunakan pakan daun kenari dan nangka, pakan daun sirsak sebagai pembanding) terhadap konsumsi pakan, pertumbuhan larva dan mortalitas A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas)

Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur daerah selatan China, Malaysia, Thailand dan Indonesia (Peigler, 1989). Indonesia memiliki delapan spesies Attacus yang dominan dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia antara lain di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan 2007). Ulat sutera ini mengalami metamorfosis sempurna dan termasuk hewan polivoltin yang artinya dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Klasifikasi Attacus atlas menurut Peigler (1989) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthopoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Famili : Saturniidae

Genus : Attacus (Linnaeus) Spesies : Attacus atlas (Linnaeus)

Morfologi Imago

Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu serangga yang

memiliki ukuran imago sangat besar dan atraktif. Masyarakat sering menyebut imago

A. atlas sebagai kupu-kupu gajah. Imago aktif di malam hari (nocturnal). Tubuh

imago ditutupi oleh sisik. Warna dasar sayap ngengat berwarna coklat kemerahan hingga orange (Kalshoven, 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran tubuh, bentang sayap dan tipe antena. Tubuh imago jantan lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan. Bentangan sayap imago jantan 15-22 cm sedangkan sayap imago betina 16,5-24 cm (Awan, 2007). Antena jantan lebih besar dibandingkan betina dan memiliki warna coklat kekuningan. Panjang dari antena jantan 25-30 mm dan lebar 10-13 mm dan betina 17-21 mm dan 3 mm. Imago memiliki sepasang antena berbentuk bipectinate

(17)

(Peigler,1989). Fungsi antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan kopulasi. Ngengat betina akan mengeluarkan feromon dari ujung abdomen untuk menarik jantan yang selanjutnya akan melakukan perkawinan. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh (Peigler, 1989).

(a) Imago* (b) Antena jantan** (c) Antena betina ** Gambar 1. (a) Imago Attacus atlas (b) Antena A. atlas Jantan

(c) Antena A. atlas Betina

Sumber: * Foto : www.itfnet.org ** Foto : Dewi, 2009

Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen (Peigler, 1989). Bagian toraks terdiri atas segmen protoraks, mesotoraks dan metathoraks. Bagian abdomen terdiri atas delapan segmen pada jantan dan tujuh segmen pada betina. Imago tidak memerlukan makanan dan fase hidupnya relatif singkat, yakni sekitar 3-8 hari pada larva yang diberikan pakan daun sirsak (Mulyani, 2008). Imago keluar melalui lubang dari ujung anterior kokon yang terbentuk pada saat pengokonan. Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya belum mengembang sempurna. Penyempurnaan sayap dilakukan dengan menggantungkan diri ke ranting dengan posisi abdomen mengarah ke bawah. Sayap yang telah mengembang sempurna dalam beberapa jam akan mengalami pengerasan dan kuat digunakan untuk terbang.

Telur

Telur dihasilkan imago betina yang kawin maupun tidak kawin. Telur yang dihasilkan dari imago betina yang kawin berupa telur fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan imago betina yang tidak kawin akan menghasilkan telur

(18)

5 infertil yang tidak dapat menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas bentuk bulat pipih, memiliki ukuran lebar 2,4 mm, panjang 2,8 mm dan tebal 1,9 mm. Telur berwarna putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler, 1989). Imago betina A.

atlas yang fertil akan menghasilkan telur berkisar 126-380 butir, sedangkan betina

infertil menghasilkan telur berkisar 80-348 butir (Mulyani, 2008). Telur A. atlas di alam diletakkan berkelompok di bawah permukaan daun atau cabang-cabang pohon tanaman inang (Kalshoven, 1981).

Gambar 2 Telur Attacus atlas Sumber : Mulyani (2008)

Ketika imago betina mengeluarkan telur, secara bersamaan juga dikeluarkan cairan yang bersifat lengket berwarna kemerahan hingga cokelat yang disebut cairan

gum. Cairan ini berfungsi sebagai pelekat telur pada substrat (Awan, 2007). Induk

betina memerlukan waktu selama 2-6 hari untuk menghasilkan telur setelah kawin (Mulyani, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Awan (2007), biasanya telur menetas pada pagi hari. Faktor suhu dan genetik indukan menjadi faktor penting dalam yang menentukan waktu inkubasi telur.

Larva

Telur akan menetas menjadi larva dalam 6-10 hari. Bentuk larva dari A. atlas erusiform dengan satu kepala dan memiliki tubuh yang silindris. Tubuh dari larva berbentuk ruas-ruas terdiri atas 13 ruas dengan tiga ruas pada bagian toraks dan 10 ruas pada bagian abdomen (Triplehorn dan Johnson, 2005). Larva A. atlas dilengkapi skoli yang mirip dengan duri-duri sebagai tonjolan dari otot dan tuberkel yaitu tonjolan kutikula yang membentuk seta/rambut. Pada abdomen segmen ke 3- 6

(19)

dan segmen ke 10 terdapat kaki palsu (proleg) yang dilengkapi dengan kait. Tubuh larva dilindungi kutikula, yang dibentuk epidermis. Kutikula akan mengalami pengerasan sehingga dalam pertumbuhan larva akan dilepaskan (Peigler, 1989).

Tahap larva A. atlas terdiri atas enam tahapan instar. Instar merupakan tahapan perkembangan serangga pradewasa antara dua ekdisis yang terjadi berurutan. Setiap instar memiliki ciri-ciri ukuran dan perilaku larva yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangan. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus depan dan usus belakang. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutupi serbuk putih. Bertambahnya umur instar ditandai dengan semakin menebal serbuk putih dan meningkatnya aktivitas makan (Peigler, 1989).

Larva instar I memiliki ciri-ciri panjang tubuh rata-rata 0,5 cm, warna kepala coklat kehitaman dan warna tubuh kuning kecoklatan (Zebua et al., 1997). Larva yang baru menetas akan memakan sebagian sisa kulit telurnya sebelum memakan daun muda. Larva akan memakan bagian tepi daun. Pemeliharaan pada instar awal membutuhkan perhatian lebih terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik, cuaca, dan pakan. Hal ini dikarenakan instar awal sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang tidak sesuai. Larva yang akan melakukan molting menjadi kurang aktif bergerak (Awan, 2007).

Instar II ditandai dengan terjadinya molting untuk pertama kali berupa pengelupasan kulit luar dan pelindung kepala. Pada tahap instar ini larva memiliki panjang tubuh 1-1,5 cm (Awan, 2007). Bagian kepala berwarna coklat agak terang sedangkan pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah. Permukaan tubuh dilindungi serbuk putih (Peigler, 1989). Selain itu bertambahnya aktivitas makan pada larva yang telah mengalami molting dan akan beristirahat menjelang melakukan pergantian kulit.

Instar III terjadi perubahan ukuran tubuh yang terlihat sangat jelas. Rata-rata panjang tubuh mencapai 2-2,5 cm. Bagian kepala berwarna coklat agak terang dan terdapat bercak merah pada bagian belakang tubuh. Serbuk putih dan bercak merah mendominasi warna larva pada instar ketiga (Awan, 2007). Skoli yang mirip dengan duri-duri mulai muncul dan berwarna hitam (Peigler,1989).

(20)

7 Larva instar IV mempunyai berukuran tubuh 2,5-3 cm. Kepala berwarna putih kehijauan cerah, bercak merah yang terdapat pada tubuh mulai pudar berganti bercak berwarna coklat tua yang merata di seluruh tubuh. Selain itu seluruh permukaan tubuh ditutupi serbuk putih yang semakin menebal (Awan, 2007). Larva yang telah mencapai instar ini lebih aktif dan mengkonsumsi pakan lebih banyak. Larva dapat memakan daun-daun tua dan juga seluruh bagian daun hingga habis. Pada akhir instar IV terjadi perubahan ukuran tubuh yang mencolok.

Instar V terlihat pertambahan yang sangat terlihat nyata karena pada instar ini aktivitas makan semakin meningkat. Panjang tubuh larva dapat mencapai 6,5-8 cm. bagian kepala ikut mengalami perubahan ukuran dan berwarna hijau muda. Skoli atau tonjolan pada dorsal segmen toraks menjadi tumpul. Tubuh ditutupi dengan serbuk putih. Pengaruh lingkungan pada instar ini relatif kecil karena larva telah mampu beradaptasi. Pemberian pakan sering kali disertakan bagian ranting sehingga larva dapat hinggap pada ranting-ranting (Awan, 2007).

Instar terakhir yaitu pada instar VI. Pada akhir instar VI, larva tidak lagi aktif dan cenderung memposisikan diri pada cabang-cabang pohon dengan mengangkat bagian tubuh depan. Ukuran tubuhnya mencapai 8-10 cm, berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman. Tubuh larva terlihat sangat besar, gemuk dan kokoh serta serbuk putih mulai menghilang. Larva akan mengeluarkan cairan sutera yang digunakan untuk membentuk serat-serat sutera kokon (Awan, 2007).

Pupa

Setelah tahapan larva, akan terbentuk pupa. Pupa merupakan perkembangan antara larva dan imago. Pupa memiliki warna kecoklatan dan licin. Pada stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago yang terdiri atas sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah sehingga pupa terlindung dalam kokon. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna seperti elips (silindris), ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah.

Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin dan fibroin (Triplehorn dan Johnson, 2005). Kokon berfungsi untuk menjaga kondisi dalam kokon tetap sesuai dan menjaga pengaruh lingkungan yang buruk sehingga

(21)

tidak menggganggu perkembangan pupa. Umumnya kokon berbentuk oval dengan serat sutera yang menggantung pada tangkai pohon atau helai daun. Ukuran kokon bervariasi antara 5-9 cm dan memiliki warna yang bervariasi pula. Warna kokon antara krem sampai coklat tua atau lebih umum berwarna coklat muda. Tekstur permukaan luarnya kasar dan terkadang keriput (Peigler, 1989).

(a) (b)

Gambar 3. Kokon A.atlas (a), Pupa A.atlas (b)

Sumber : Indrawan (2007)

Cairan sutera dihasilkan sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kelenjar tersebut merupakan perbesaran dari kelenjar air liur yang bermuara pada labium. Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin, sedangkan bagian tengah menghasilkan protein yang menyerupai lem yang disebut serisin. Serisin merupakan perekat yang digunakan untuk menempelkan lembaran- lembaran serat yang menjadi satu yang nantinya akan membentuk lapisan luar serat sutera. Fibroin merupakan bagian serat yang mengandung asam amino utama penyusun rantai pigmen sutera yaitu glisin, serin, tirosin dan alanin (Raharjo et al., 1998).

Siklus Hidup

Attacus atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa

sempurna yaitu melewati stadium telur, larva, pupa dan imago. Stadia telur ngengat

A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larva mencapai waktu

satu bulan dan stadia pupa berlangsung selama 24 hari (Mulyani, 2008). Gambar 4, memperlihatkan siklus hidup A. atlas menurut Awan (2007). Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina

(22)

9 betina dan 22-54 hari dengan rataan 34,08± 9,15 hari pada jantan (Zebua et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), periode larva terpanjang pada larva yang diberi pakan daun sirsak yaitu 36 hari dan yang paling singkat larva yang diberi pakan daun kaliki yaitu 31 hari, sedangkan masa pupa berlangsung sekitar 8-58 hari.

Telur (10-12 Hari) Instar I (5-8 Hari) Instar II (5-7 Hari)

Instar V (6-8 Hari) Instar IV(4-6 Hari) Instar III (4-6 Hari)

Instar VI (10-12 Hari) Pupa (20-29 Hari) Imago (2-7 Hari) Gambar 4. Daur Hidup A.atlas

Sumber : www.agrix.com dan www.wormspit.com/atlas.htm

Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva maupun pupa. Diapause merupakan tertundanya perkembangan atau sering disebut periode diam yang muncul sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Triplehorn dan Johnson, 2005). Diapause pupa ditandai dengan menurunnya metabolisme, penghentian diferensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi. Proses diapause atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler, 1989).

(23)

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva Faktor Abiotik

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas merupakan hal sangat penting yang harus diperhatikan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan. Ngengat A. atlas dapat hidup pada suhu 25 oC dengan kelembaban relatif 75%-80% (Common,1990). Faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera, karena ulat sutera bersifat poikiloterm.

Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Suhu

lingkungan yang optimal untuk perkembangan ulat sutera A. atlas dalam ruangan untuk masa inkubasi telur 22-24 oC, stadium larva 22-29 oC, pembentukan kokon, masa pupasi dan perkawinan imago 26-20 oC (Awan, 2007). Faktor kelembaban pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva. Kelembaban lingkungan untuk perkembangan ulat kecil B. mori 80%-90%, ulat besar 65%-75% sedangkan kokon 60%-75% (Atmosoedarjo et al., 2000). Faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap kehidupan A. atlas terutama stadia larva. Mulyani (2008) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada larva sehingga tidak mau makan, energi banyak dikeluarkan dan kecepatan respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan metabolisme meningkat pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Intensitas cahaya yang ideal untuk Bombyx berkisar 15-30 lux. Intensitas cahaya kurang berpengaruh penting dalam pemeliharaan A. atlas di daerah tropis (Awan, 2007).

Faktor Biotik

Setiap fase dalam kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan parasit maupun predator. Telur A. atlas sebagian besar diserang parasit dari famili Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani, Agiommatus attaci,

Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit pada larva A. atlas diantaranya adalah

(24)

11 (Hymenoptera) misalnya Apanteles. Exorista sorbillans (Tachinidae) dan Sarcophagidae (Diptera) dapat mematikan pupa (Piegler, 1989).

Predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah belalang sembah, capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak dan kadal. Aktivitas predator merupakan faktor biotik yang berpengaruh terhadap populasi dan kehidupan serangga. Pada alam liar persaingan antar larva dalam memperoleh makanan, perlindungan dan tempat pada saat pupasi dapat menjadikan kegagalan dalam pembentukan pupa dan menyebabkan kematian (Piegler, 1989).

Pakan ulat sutera A. atlas tercatat paling banyak jenisnya. Peigler (1989) menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini. Pakan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan ulat sutera ini. Pakan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis, lama siklus perkembangan, kualitas kokon serta produktivitas telur (Awan,2007).

Tingkah Laku Makan Serangga

Perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien tertentu dalam darahnya terutama konsentrasi asam-asam amino dan gula. Perilaku makan meliputi rangkaian perilaku menentukan pakan, menerima atau menolak dan menelan pakan. Menentukan pakan dipengaruhi defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien akan menggerakkan hewan untuk mencari pakan dan menentukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakan, hewan tersebut akan menggunakan reseptor-reseptor organ sensorinya dan reseptor kimiawi untuk mengenali pakan. Rangsangan akan diterima oleh susunan saraf pusat dan selanjutnya ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya akan mengalami proses pencernaan, dalam saluran pencernaan dan pakan diabsorpsi. Absorpsi makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, terjadi perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya aktivitas makan. Penggunaan nutrien dalam proses metabolisme yang terjadi di jaringan akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan. Perilaku makan pada serangga merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi osmolitas nutrien di hemolim (Chapman, 1998).

(25)

Sirsak (Annona muricata L)

Tanaman sirsak atau disebut juga nangka belanda merupakan tanaman yang banyak terdapat di Indonesia. Tanaman sirsak berasal dari daerah tropik yaitu daerah di sekitar Ekuador dan Peru. Sirsak yang terdapat di Indonesia dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, misalnya sirsak memiliki ciri-ciri bau daun yang tidak sedap (Radi, 1997). Taksonomi tanaman sirsak adalah : Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranales Famili : Annonaceae Genus : Annona

Spesies : Annona muricata L.

Gambar 5. Daun Sirsak Sumber : http://indonetwork.co.id

Tanaman ini tumbuh tegak dengan ketinggian pohon mencapai 8-10 m. Daun sirsak termasuk daun tunggal. Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing dan tepi rata. Warna daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Panjang daun antara 6–18 cm dan lebar daun antara 2–6 cm. Tanaman ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid, minyak atsiri, senyawa aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino dan polifenol. Dasar bunga berbentuk cekung dan memilki benang sari berjumlah banyak. Buahnya merupakan buah majemuk tidak beraturan yang memiliki daging buah berwarna putih dan berbiji hitam (Steenis, 2006).

(26)

13

Nangka (Artocarpus heterophyllus)

Nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman ini memiliki nama yang berbeda ditiap daerah antara lain nongko/nangka (Jawa, Gorontalo), anane (Ambon), lumasa/malasa (Lampung), nanal (Irian Jaya). Taksonomi tanaman nangka adalah :

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus heterophyllus

Gambar 6. Daun Nangka Sumber : http://jiwang.org

Tanaman nangka cocok tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan rata-rata 1.500-2.500 mm dan daerah kering. Nangka termasuk tanaman hutan bercabang banyak, pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman ini mengandung banyak getah. Daun nangka berbentuk tunggal, lonjong, lebar dengan permukaan daun kasar, mengkilap dan kaku. Daun nangka berwarna hijau tua dan daun muda berwarna hijau kekuningan biasanya berlekuk. Ciri-ciri lainnya yaitu memiliki tulang daun menyirip dengan tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm dan lebar 5 cm. Masyarakat memanfaatkan daun nangka sebagai pakan ternak atau sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit (Steenis, 2006).

Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik) yang memiliki bunga banyak tersusun tegak lurus pada tangkai buah. Buahnya berbentuk lonjong dan sangat besar

(27)

yang seluruh permukaannya ditutupi duri lunak. Buah dapat mencapai ukuran panjang 30-40 cm. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan (Sunarjono, 1998). Daging buah nangka berwarna kuning apabila masak, berbau harum yang keras dan berisi cairan (nectar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong dengan panjang 2-4 cm dan berdiameter 1-1,5 cm tertutup oleh kulit biji yang tipis berwarna coklat. Biji yang terdapat dalam tiap buah dapat mencapai 500 biji. Tanaman nangka merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Ekstrak metanol dari akar, kulit kayu, daun, buah dan biji nangka dapat digunakan sebagai antibakteri (Prakash

et al., 2010). Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini, karena hampir

semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan.

Kenari (Canarium commune L.)

Pohon kenari (Canarium commune L.) adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari Maluku, kemudian menyebar luas ke beberapa Negara Asia tropis lain. Tanaman ini sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan (Endah, 2003). Taksonomi tanaman kenari adalah :

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Geraniales

Famili : Burseraceae

Genus : Canarium

Spesies : Canarium commune (Linnaeus).

Gambar 7. Daun Kenari Sumber : Thomson dan Evans (2006)

(28)

15 Pohon kenari tergolong famili Burseraceae. Tinggi pohon kenari dapat mencapai 30 m dengan kulit batang berwarna keabu-abuan. Pohon ini terlihat rimbun dengan daun yang mudah sekali rontok. Daun kenari merupakan daun majemuk, menyirip ganjil, menyusun suatu mahkota dengan anak daun terdiri dari 5-11 buah, berwarna hijau (Endah, 2003). Selain itu daun kenari dicirikan berbentuk oval dengan ujung meruncing, tepi daun rata. Berdasarkan letak stomata, daun kenari termasuk tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi bawah (abaksial). Kelopak pada bunga jantan berbentuk lonceng, sedangkan bunga betina berbentuk periuk. Bunga jantan memiliki benang sari berjumlah enam buah dan bunga betina enam buah staminodia (Steenis, 2006).

(29)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Metabolisme Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor mulai bulan Oktober sampai dengan Nopember 2011. Tahapan meliputi penyediaan hewan percobaan, pemeliharaan, penelitian dan analisis proksimat pakan. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.

Materi Hewan Percobaan

Ulat sutera yang digunakan adalah ulat sutera liar Attacus atlas yang berasal dari hasil perkawinan ngengat yang keluar dari kokon. Kokon diperoleh dari Perkebunan Teh Nusantara VIII, Jalan Raya Purwakarta KM 4, Kec. Cikalong Wetan, Kab. Bandung, Jawa Barat. Ngengat yang kawin akan menghasilkan telur fertil yang akan menetas menjadi larva. Ulat sutera yang dipergunakan untuk perlakuan (tiga perlakuan pakan) sebanyak 300 ekor berumur 1 hari (instar I).

Pakan

Pakan yang diberikan berupa daun tanaman yang ketersediaannya melimpah dan belum banyak dimanfaatkan. Daun tanaman yang digunakan sebagai pakan berupa daun muda berasal dari tanaman sirsak (Annona muricata L), kenari (Canarium commune L.) dan nangka (Artocarpus heterophyllus). Analisis proksimat pakan terdapat pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Analisis Uji Proksimat Daun Sirsak, Kenari dan Nangka

Parameter Analisis Sirsak** Kenari* Nangka*

--- (%) --- Kadar Air Protein Lemak Serat Kasar Abu 69,88 4,86 1,40 7,11 1,11 64,79 3,42 0,57 7,77 3,07 65,85 4,85 0,88 5,19 3,24

(30)

17

Kandang dan Peralatan

Kandang kawin yang digunakan terbuat dari kayu yang ditutupi dengan kain kasa berukuran 50 x 50 x 50 cm3, sedangkan tempat penetasan telur yang digunakan adalah 15 buah cawan petri. Kandang ulat kecil digunakan 15 buah cawan petri berdiameter 15 cm dan tinggi 2 cm. Peralatan lain yang digunakan dalam penyediaan hewan percobaan, pemeliharan dan pengumpulan data berupa timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g, jangka sorong digital, alat thermometer maksimum-minimum, gunting kebun, formalin 4%, alkohol 70%, teepol (cairan pembersih), kapas, oven, almunium foil, kertas label, kamera digital dan peralatan tulis.

Prosedur Tahap Persiapan

Satu minggu sebelum digunakan kandang dibersihkan, disapu, disikat, dicuci, dan disterilisasi dengan menggunakan desinfektan. Setiap kaki rak kandang kayu diberi oli yang ditempatkan pada botol bekas air mineral untuk melindungi sampel dari predator.

Kokon diambil dari perkebunan teh Nusantara Jalan Raya Purwakarta, Kabupaten Bandung. Kokon yang diambil yaitu kokon yang berat dan apabila digoncangkan terdapat isi di dalamnya. Kokon dibiarkan di dalam kandang kasa hingga menjadi imago. Imago yang keluar dikawinkan dalam kandang kasa hingga dihasilkan telur. Telur yang diperoleh dari induk kawin direndam dalam larutan desinfektan formalin 4% selama dua menit dan dibilas menggunakan air mengalir. Desinfeksi telur bertujuan agar telur tidak terkontaminasi mikroorganisme. Telur selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan tissu. Telur yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri. Telur diinkubasi dan akan menetas dalam 7-10 hari. Kemudian larva yang menetas pada hari yang sama dipindahkan ke beberapa cawan petri sesuai perlakuan pakan masing-masing. Tiap cawan yang merupakan unit percobaan berisi larva ulat sutera sebanyak 20 ekor.

Tahap penelitian

Larva ulat sutera A. atlas yang digunakan dalam pemeliharaan berasal dari telur yang menetas dengan masa telur yang sama untuk tujuan keseragaman. Larva instar I yang dipilih adalah larva yang aktif dan sehat. Setelah itu dipindah dalam

(31)

cawan petri sekaligus sebagai kandang penelitian sesuai dengan pelakuan pakan yang akan diberikan. Masing-masing perlakuan pakan daun (sirsak, kenari dan nangka) diamati sebanyak 20 ekor larva dilakukan ulangan sebanyak lima kali. Bagan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Bagan Perlakuan Pakan

Penimbangan bobot badan dan pengukuran panjang badan dilakukan sejak larva instar I hingga instar III yaitu pada tiap awal dan akhir instar. Penimbangan bobot dan panjang badan dilakukan dengan cara mengambil sampel larva secara acak sebanyak 50% dari total populasi tiap tempat pemeliharaan. Pemberian pakan diberikan secara tidak terbatas (ad libitum) dan diberikan dua kali sehari pada pagi hari (pukul 07.00-08.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00). Pakan yang diberikan dan sisa pakan ditimbang. Selain itu, dilakukan juga penimbangan feses. Pengukuran penguapan daun masing-masing perlakuan dilakukan dengan cara mengambil sampel daun yang sebelumnya telah ditimbang dan diberikan perlakuan sama dengan perlakuan pemberian pakan pada ulat sutera. Sampel daun di tempatkan berdekatan

Pakan sirsak 100 larva 300 larva Pakan Nangka 100 larva Pakan kenari 100 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva 20 larva

(32)

19 dengan perlakuan. Sampel tersebut ditimbang kembali ketika pergantian pakan. Penyusutan berat pakan akibat transpirasi dapat diketahui dengan perhitungan selisih berat awal daun dengan berat akhir sampel daun yang dipisahkan. Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 07.00-08.00), siang hari (pukul 12.00-13.00) dan sore hari (pukul 16.00-17.00).

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diberikan adalah jenis pakan. Masing-masing perlakuan diberikan ulangan lima kali dan setiap ulangan terdiri atas 20 ekor larva. Model matematik yang digunakan menurut Steel and Torrie (1995)sebagai berikut :

Yij = + i + ij

Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan performa pertumbuhan larva dengan perubahan pakan ke-pada ulangan ke- j.

i : pemberian jenis pakan j : ulangan

µ : nilai rataan performa pertumbuhan pada ulat sutera liar. i : pengaruh perubahan pemberian pakan pada taraf ke-i

ij : pengaruh galat percobaan dengan perubahan pakan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j.

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Jika pada analisis ANOVA didapatkan hasil yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey dengan taraf kepercayaan 95% (Steel and Torrie, 1991). Analisis data dengan menggunakan program Minitab 14 dan Statistik 8.

Peubah

Pertambahan Bobot Badan (mg)

Pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal instar. Pengukuran bobot badan larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan ditimbang tiap larva. Pertambahan bobot badan setiap tahap

(33)

instar diperoleh dari selisih antara bobot badan pada akhir instar dengan penimbangan bobot badan awal instar.

Rumus yang digunakan :

Pertambahan bobot badan = BBx – (BBx - i) Keterangan :

BBx : rataan bobot badan pada akhir instar BBx-i : rataan bobot badan pada awal instar

Pertambahan Panjang badan (cm)

Pengukuran panjang badan yaitu selisih antara bobot akhir instar dengan awal instar. Pengukuran panjang larva diukur setiap awal dan akhir instar sebanyak 50% dari populasi dan diukur tiap larva. Pertambahan panjang badan per instar diperoleh dari selisih antara panjang badan pada akhir instar dengan panjang awal instar. Rumus yang digunakan :

Pertambahan panjang badan = PBx – (PBx - i) Keterangan :

PBx : rataan panjang badan pada akhir instar PBx-i : rataan panjang badan pada awal instar

Konsumsi Pakan Segar (mg/larva/instar)

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan seekor larva ulat sutera per tahap instar. Jumlah pakan yang diberikan pada larva pada hari itu ditimbang (a). Sisa pakan keesokan harinya ditimbang kembali (b). Perhitungan konsumsi dihitung dengan memasukkan faktor koreksi. Faktor koreksi (pengupan kandungan air pakan) didapatkan dengan memisahkan sebagian kecil daun (sampel daun) dari daun yang diberikan pada larva. Daun ditimbang diletakkan pada wadah terpisah dan ditempatkan berdekatan dengan perlakuan. Sampel daun tersebut ditimbang kembali keesokan harinya. Perhitungan faktor koreksi yaitu berat awal sampel daun dikurangi berat akhir sampel daun dibagi berat awal daun. Konsumsi pakan segar per larva per hari (X) dihitung menggunakan rumus :

X = konsumsi pakan segar per ekor per hari (mg) a = pakan segar yang diberikan setiap hari

(34)

21 c = faktor koreksi

n = jumlah larva yang berhasil hidup hari tersebut

Konsumsi pakan segar per larva per instar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Konsumsi pakan segar = X1+X2+X3+ ………..+ Xi

Kecernaan Pakan (%)

Kecernaan adalah persentase pakan yang dicerna oleh tubuh. Kecernaan dapat dihitung dengan cara selisih antara berat kering (BK) pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses dibagi dengan berat kering pakan yang dikonsumsi.

Rumus yang digunakan :

Pakan Tercerna (mg/larva)

Pakan tercerna adalah jumlah pakan segar yang dapat dicerna larva dari pakan yang dikonsumsi. Perhitungan jumlah pakan tercerna untuk mengetahui jumlah pakan yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Perhitungan jumlah pakan tercerna dengan cara mengalikan jumlah konsumsi pakan dengan besarnya daya cerna.

Rumus yang digunakan :

Pakan tercerna = kecernaan x konsumsi pakan segar

Mortalitas (%)

Mortalitas dihitung setiap dilakukan pergantian pakan dan persentase mortalitas dilihat setiap akhir instar. Persentase mortalitas diperoleh dengan membagi selisih jumlah larva pada awal tahapan instar dengan jumlah individu akhir instar instar dikalikan seratus persen.

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu dan Kelembaban Ruang Pemeliharaan

Suhu ruang pemeliharaan pada bulan Oktober dan Nopember 2011 berturut-turut berkisar antara 26-27oC dan 27-32 oC. Suhu harian pemeliharaan berfluktuatif dengan suhu pada pagi hari paling rendah dan meningkat pada siang hari sedangkan pada sore hari mengalami penurunan. Suhu minimum pemeliharaan sebesar 25 oC (pagi hari) dan suhu maksimum sebesar 32 oC (siang hari).

Kelembaban relatif pada bulan Oktober 2011 berkisar 70%-84%, sedangkan pada bulan Nopember 2011 berkisar 67%-88%. Kelembaban pada bulan Nopember mencapai kelembaban relatif terendah dan tertinggi. Kelembaban relatif terendah sebesar 67% (siang hari), sedangkan kelembaban relatif tertinggi sebesar 88% (pagi hari).

Konsumsi, Kecernaan dan Pakan Tercerna

Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas mengkonsumsi semua jenis pakan perlakuan yaitu daun sirsak, kenari dan nangka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peigler (1989) bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang berasal dari 48 famili tanaman yang dapat dimakan daunnya oleh larva dari ulat sutera ini. Konsumsi pakan tiap ekor larva A. atlas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Pakan Segar Larva A. atlas Instar I-III dengan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka

Tahap Instar Jenis Pakan R2

(%)

Sirsak Kenari Nangka

--- (mg/larva) --- Instar I Instar II Instar III 130,8±9,12a 308,2±15,24 a 1146,3±136,70a 137,2±6,80a 254,8±16,57b 659±73,3b 102,8±3,63b 218,8±11,63c * 85 89 86 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

(36)

23 pemberian daun kenari (137,2 mg/larva) dan nyata lebih tinggi dari daun nangka (102,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 85%, artinya respon konsumsi yang dipengaruhi pakan sebesar 85% sedangkan pengaruh dari faktor lain yang tidak diamati relatif kecil hanya sebesar 15%.

Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan tiap ekor pada larva A. atlas instar II. Konsumsi pakan larva instar II dengan pakan daun sirsak (308,2 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (254,8 mg/larva) dan daun nangka (218,8 mg/larva). Nilai koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar 89%, artinya respon konsumsi yang dipengaruhi oleh pakan sebesar 89%. Konsumsi daun sirsak paling tinggi diduga karena kandungan kadar air sirsak (69,88%) yang lebih tinggi dibandingkan daun kenari dan nangka (Tabel 1). Ekastuti (1999) menyatakan bahwa kadar air daun yang baik untuk pakan larva B. mori adalah 70%.

Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah konsumsi tiap ekor pada instar III. Jumlah konsumsi pakan larva instar III dengan pemberian pakan daun sirsak (1146,3 mg/larva) nyata lebih tinggi dari pakan daun kenari (659 mg/larva). Koefisien determinasi menunjukkan nilai sebesar 86%, artinya respon konsumsi pakan dipengaruhi perlakuan pakan sebesar 86% sehingga pengaruh dari faktor lain relatif rendah. Jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pemberian daun nangka pada instar III tidak diketahui, karena larva mati sebelum akhir instar. Larva dengan pemberian daun nangka mati diduga karena pada instar I dan II larva mengkonsumsi pakan relatif rendah dibandingkan larva dengan pakan daun sirsak dan kenari. Jumlah pakan yang tidak memenuhi kebutuhan hidup larva dapat mempengaruhi pertumbuhan dan daya tahan tubuh larva.

Pemberian pakan dengan daun sirsak lebih disukai terlihat dari total konsumsi (instar I-III) yang relatif besar (1585 mg/larva) dibandingkan dengan pemberian pakan daun kenari dan nangka. Hal ini kemungkinan karena kandungan nutrien yang terdapat tiap daun berbeda-beda. Pakan yang dikonsumsi larva harus mengandung nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva, dapat diterima dan dapat dicerna dengan baik. Kualitas nutrisi yang relatif rendah memperlambat konsumsi pakan dan efisiensi penggunaan energi yang lebih tinggi (Wuliandari, 2002). Selain nutrien pakan hal lain yang mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi yaitu kadar air yang berbeda tiap pakan.

(37)

Zat-zat makanan yang dicerna merupakan bagian zat makanan dari bahan makanan yang tidak diekskresikan dalam feses. Hasil uji statistik terhadap kecernaan dari pemberian ketiga jenis pakan terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kecernaan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka pada Larva A. atlas Instar I-III

Tahap Instar Jenis Pakan R2

(%)

Sirsak Kenari Nangka

--- (%) --- Instar I Instar II Instar III 18,74±1,05 a 26,12±1,06 a 29,78±0,91 21,58±1.19 b 25,52±0,29 a 28,40±0,26 11,78±1,01 c 16,52±0,60 b * 95 98 55 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

* Semua larva mati

Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva instar I. Kecernaan pakan dari yang tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah daun kenari (21,58%), daun sirsak (18,74%) dan daun nangka (11,78%). Nilai koefisien determinasi pada instar I sebesar 95%, artinya 95% respon kecernaan pakan yang dipengaruhi oleh perlakuan sedangkan hanya 5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati.

Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan pakan pada larva instar II. Kecernaan daun sirsak (26,12%) tidak berbeda nyata dengan pakan daun kenari (25,52%), namun nyata lebih tinggi dari daun nangka (16,52%). Hasil koefisien determinasi pada instar II nilainya relatif tinggi sebesar 98%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap sekitar 98% respon kecernaan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif rendah sebesar 2%.

Pada instar III jenis pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan pakan. Nilai koefisien determinasi pada instar III rendah sebesar 55%, artinya pengaruh pakan terhadap kecernaan sebesar 55% dan pengaruh dari faktor lain cukup tinggi sebesar 45%.

Kecernaan pakan daun nangka paling kecil dibandingkan dengan daun sirsak dan kenari. Hal ini kemungkinan karena daun nangka banyak mengandung getah yang menghambat dalam proses pencernaan. Besarnya daya cerna dipengaruhi oleh

(38)

25 berat kering pakan yang dikonsumsi dan berat kering feses yang diekskresikan (Rohayati, 1994). Pada dasarnya pengukuran kecernaan bertujuan untuk menentukan jumlah zat makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan. Jumlah pakan tercerna dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pakan yang Tercerna dengan Pemberian Daun Sirsak, Kenari dan Nangka pada Larva A. atlas

Tahap Instar Jenis Pakan R2

(%)

Sirsak Kenari Nangka

--- (mg/larva) --- Instar I Instar II Instar III 24,50±1,97 b 80,47±4,51 a 341,95±47,84a 29,64±2,77 a 65,02±4,27 b 187,03±19,18b 12,11±1,12 c 36,19±3,07 c * 94 96 84 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

* Semua larva mati

Besarnya kecernaan berbanding lurus dengan jumlah pakan yang tercerna. Semakin tinggi kecernaan semakin tinggi pula jumlah pakan yang tercerna. Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah pakan yang tercerna pada instar I sampai III. Jumlah pakan yang tercerna pada larva instar I dengan pemberian pakan daun kenari (29,64 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun sirsak (24,50 mg/larva) dan daun nangka (12,11 mg/larva). Hal ini dapat dilihat dari jumlah pakan daun kenari yang dikonsumsi dan persentase nilai kecernaannya. Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya relatif tinggi yaitu 94%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap sekitar 94% respon pakan tercerna. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif rendah sebesar 6%.

Jumlah pakan tercerna pada larva instar II dengan pemberian daun sirsak (80,47 mg/larva) nyata lebih tinggi dari daun kenari (65,02 mg/larva) dan daun nangka (36,19 mg/larva). Nilai kecernaan pakan sebesar 26,12% dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tinggi (308,2 mg/larva) sehingga jumlah pakan tercerna yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun sirsak relatif besar. Hasil koefisien determinasi pada instar II nilainya sebesar 96%, artinya sekitar 96% pakan tercerna disebabkan oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati sebesar 4%.

(39)

Pakan tercerna instar III dengan pemberian daun sirsak (341,95 mg/larva) berbeda nyata dengan pemberian daun kenari (187,03 mg/larva). Hasil koefisien determinasi nilainya sebesar 84%, artinya sekitar 84% pakan tercerna disebabkan oleh perlakuan pakan. Pengaruh yang disebabkan faktor lain yang tidak diamati relatif tinggi yaitu 16%.

Jumlah asupan pakan pada instar I dan II tiap larva dari ketiga pakan memperlihatkan bahwa asupan pakan daun sirsak 104,97 mg, daun kenari 94,66 mg dan daun nangka 48,3 mg. Asupan pakan daun nangka paling rendah dibandingkan dengan sirsak dan kenari. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan larva tidak optimal, daya tubuh rendah dan mudah terserang penyakit.

Pertumbuhan Larva

Pertumbuhan larva dapat dilihat dari pertambahan panjang dan bobot badan dari larva tersebut. Pertambahan bobot badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Larva Instar I-III A. atlas yang Diberikan Pakan

Daun Sirsak, Kenari dan Nangka

Tahap Instar Jenis Pakan

Sirsak Kenari Nangka

--- (mg)--- Instar I Awal Akhir PBB 3±1 27±8ab 24±8ab 5±1 30±10a 25±9a 4±1 25±6b 21±6b Instar II Awal Akhir PBB 24±9ab 126±13a 103±15a 28±10a 105±30b 83±25b 19±7b 100±21b 79±21b Instar III Awal Akhir PBB 127±10 479±31a 351±37a 116±26 384±101b 263±96b * * *

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

* Semua larva mati

Bobot badan larva awal instar I berkisar 3-6 mg. Bobot badan akhir instar I dengan pemberian daun kenari (30 mg) menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan pakan daun sirsak (27 mg) tetapi lebih tinggi dari daun nangka (25 mg). Jenis

(40)

27 pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan pada instar I. PBB larva yang mendapatkan pakan daun kenari (25 mg) tidak berbeda dengan pakan daun sirsak (24 mg) namun nyata lebih tinggi dari yang mendapatkan pakan daun nangka (21 mg). Larva instar I dengan pemberian pakan daun kenari memperlihatkan pertambahan bobot badan tertinggi (25 mg), sedangkan pertambahan terendah pemberian pakan daun nangka (21 mg). Hal ini dapat dikarenakan jumlah pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun nangka rendah (12,11 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun nangka paling rendah. Pakan yang tercerna oleh larva yang diberi daun kenari paling tinggi (29,64 mg), sehingga pertumbuhan larva dengan pemberian pakan daun kenari paling tinggi.

Jenis pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot badan awal dan akhir larva instar II. Pada awal instar II pemberian pakan daun kenari (28 mg) tidak berbeda dengan daun sirsak (24 mg), nyata lebih tinggi dari daun nangka (19 mg). Pada setiap awal instar terjadi penurunan bobot badan larva, hal ini disebabkan sebelum proses ganti kulit larva cenderung diam, termasuk mengurangi aktivitas makan. Bobot badan akhir instar dengan pemberian pakan daun sirsak (126 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (105 mg) dan daun nangka (100 mg). Jenis pakan menunjukkan hasil berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan larva instar II. PBB daun sirsak (103 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (83 mg) dan nangka (79 mg). Hal ini dapat dikarenakan larva mengkonsumsi pakan daun sirsak paling tinggi (308,2 mg/larva) sehingga asupan pakan cukup tersedia untuk pertumbuhan larva.

Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap bobot badan awal instar III, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot akhir instar III. Bobot badan instar III dengan pakan daun sirsak (479 mg) nyata lebih tinggi dari daun kenari (384 mg). PBB menunjukkan hal yang sama yaitu pemberian pakan daun sirsak (351 mg) nyata lebih besar dari daun kenari (263 mg). Bobot badan instar III dengan pemberian pakan daun nangka tidak diketahui karena larva mati sebelum molting. Larva dengan pakan daun nangka mendapat asupan pakan rendah (56,74 mg) sehingga pertumbuhan larva rendah dan menyebabkan kematian.

(41)

Pertambahan panjang badan larva dihitung dengan selisih panjang akhir instar dengan awal instar. Pertambahan panjang badan larva A. atlas terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Pertambahan Panjang Badan Larva A. atlas yang Diberikan Pakan Daun

Sirsak, Kenari dan Nangka

Tahap Instar Jenis Pakan

Sirsak Kenari Nangka

--- (cm)--- Instar I Awal Akhir PPB 0,699±0,051 1,024±0,075 0,326±0,060 0,693±0,052 1,022±0,075 0,356±0,095 0,695±0,043 1,030±0,045 0,346±0,042 Instar II Awal Akhir PPB 1,122±0,128 1,537±0,109 0,496±0,071 1,147±0,127 1,510±0,173 0,395±0,067 1,073±0,107 1,425±0,089 0,447±0,073 Instar III Awal Akhir PPB 1,797±0,123 2,368±0,250 0,651±0,186 1,800±0,162 2,336±0,144 0,602±0,072 * * *

Keterangan : * Semua larva mati

Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar I. Rataan panjang larva pada awal instar pertama adalah 0,696±0,049 cm. Rataan panjang akhir instar pertama adalah 1,026±0,073 cm. Pertambahan panjang badan larva instar I berkisar 0,326-0,356 cm. Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya hanya sebesar 1%, artinya perlakuan berpengaruh terhadap pertambahan panjang badan yang disebabkan oleh pakan sangat rendah sebesar 1% sedangkan sisanya 99% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati seperti genetik.

Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar II. Rataan panjang larva pada awal instar II adalah 1,106±0,122 cm. Rataan panjang akhir instar II adalah 1,500±0,139 cm. Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar 0,395-0,496 cm. Jenis pakan berpengaruh sangat rendah terhadap pertambahan panjang badan instar II terlihat dari nilai koefisien determinasi hanya 3% dan lebih banyak dipengaruhi faktor lain sebesar 97%.

(42)

29 Jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang badan awal, akhir instar dan pertambahan panjang badan instar III. Rataan panjang larva pada awal instar III adalah 1,799±0,140 cm.Panjang badan akhir instar ulat kecil (instar III) berkisar antara 2,336-2,368 cm. Pertambahan panjang badan larva instar II berkisar 0,602-0,651cm. Pada instar III jenis pakan hanya berpengaruh sebesar 2% terhadap pertambahan panjang badan.

Pada akhir stadia instar I hingga instar II, bobot dan panjang larva bertambah dibandingkan dengan bobot dan panjang awal saat menetas pertama kali. Perbandingan panjang dan bobot badan larva saat menetas dibandingkan pada akhir instar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan Panjang dan Bobot Badan Larva A. atlas Pada Akhir Instar dengan Awal Instar I

Perameter Jenis Pakan

Sirsak Kenari Nangka

Panjang (kali) Instar I Instar II Instar II 1,5 2,5 3,5 1,5 2,5 3,5 1,5 2 * Bobot (kali) Instar I Instar II Instar III 10 50 150 10 25 80 5 25 * Keterangan: * semua larva mati

Bobot akhir instar I ulat sutera liar A. atlas dengan pemberian pakan daun sirsak dan kenari mencapai 10 kali, sedangkan daun nangka 5 kali lebih besar dibandingkan bobot awal saat menetas. Bobot akhir instar II dengan pemberian pakan daun sirsak mencapai 50 kali sedangkan daun kenari dan nangka 25 kali dibandingkan bobot awal saat menetas. Bobot akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak mencapai 150 kali dibandingkan bobot awal saat menetas. Larva dengan pemberian pakan daun kenari pertambahan bobot badan hingga akhir instar III lebih rendah sebesar 80 kali. Rani (2002) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ulat sutera Bombyx mori instar I sampai dengan instar III dapat mencapai 120 kali dari bobot saat menetas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan larva dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsinya.

(43)

Panjang badan dengan pemberian ketiga jenis pakan pada awal menetas dibandingkan dengan akhir instar I sebesar 1,5 kali. Perbandingan panjang badan akhir instar II dengan pemberian daun sirsak dan kenari sebesar 2,5 kali sedangkan daun nangka 2 kali. Panjang badan larva A. atlas akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak dan kenari mencapai 3,5 kali dari panjang saat menetas. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), panjang larva akhir instar III dengan pemberian pakan daun sirsak, kaliki dan jarak pagar mencapai 5 kali dibandingkan saat menetas. Larva A. atlas yang mampu mengkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, akan terjadi pertambahan bobot dan panjang badan sesuai dengan tahapan instar.

Stadia Larva

Stadia larva A. atlas selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 8. Kisaran tersebut mencakup stadia larva instar I, II dan III dengan pemberian pakan yang berbeda.

Tabel 8. Siklus hidup larva A.atlas instar I-III yang Diberikan Pakan Daun Sirsak, Kenari dan Nangka

Stadia

Jenis Pakan

Sirsak Kenari Nangka

Kisaran Rataan Kisaran Rataan Kisaran Rataan

--- (hari) --- Instar I Instar II Instar III 4-7 4-6 4-6 5,8±0,68 5,2±0,68 5,2±0,62 4-7 5-7 4-7 5,4±0,88 5,8±0,39 5,6±1,03 4-6 3-6 * 5,1±0,32 4,6±0,95 *

Keterangan : * Semua larva mati

Berdasarkan analisis sidik ragam, jenis pakan tidak berpengaruh terhadap panjang periode larva pada ulat kecil (instar I-III). Panjang periode larva tiap instarnya berkisar antara 3-7 hari. Rataan periode larva instar I dengan pakan daun sirsak (5,8±0,68 hari), daun kenari (5,4±0,88 hari) dan daun nangka (5,1±0,32 hari). Nilai koefisien determinasi pada instar I nilainya sebesar 17%, artinya pakan berpengaruh hanya sekitar 17% terhadap periode larva pada instar I. Rataan periode larva instar II dengan pakan daun sirsak (5,2±0,68 hari), daun kenari (5,8±0,39 hari)

Referensi

Dokumen terkait

In order to make up for this deficiency, this paper extracted water boundaries of Nam-Co Lake based on the optical data of Landsat satellites and analyzed changes of

Ciri-ciri tersebut yang pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa yang berarti pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya.Kedua

018.09.12 Program Penciptaan Teknologi dan Inovasi Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan 1804 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura. 533111 Belanja Modal Gedung

Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa anak yang belajar dengan menggunakan teknik bernyanyi lebih banyak menguasai kosakata dibandingkan dengan anak yang

bassiana dengan tambahan tepung ebi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa kitin, pada perlakuan jangkrik terjadi kematian yang lebih tinggi namun tidak me- nunjukkan perbedaan

Bantuan Keuangan Kepada Desa Atas Pemanfaatan Tanah Kas Desa Untuk Fasilitas Umum yang selanjutnya disebut bantuan keuangan adalah bantuan keuangan dari Pemerintah

Dari lembar observasi di atas dapat disimpulkan bahwa proses pelaksanaan tindakan kelas dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah telah dilaksanakan tahap

memberikan penjelasan sederhana. MPIPA dapat meningkatkan logika proposisional dan logika kombinatorial. c) Untuk mengimplementasikan MPIPA tidak diperlukan sarana