• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada percobaan, pegagan segar diekstrak menggunakan pelarut air (pegagan : air = 1 : 20) dalam shaker suhu ruang. Lalu dipindahkan ke dalam waterbath sebagai proses lanjutan ekstraksi. Hasil ekstrak disaring, kemudian disimpan. Faktor yang diuji pada ekstraksi pegagan adalah waktu ekstraksi batas bawah A jam dan batas atas B jam. Bahan baku yang telah dimaserasi kemudian dipindahkan ke dalam water bath suhu C oC selama D dan E menit. Ekstrak disaring kembali kemudian disimpan untuk dianalisis kandungan komponen

13

fenolnya. Proses ekstraksi pegagan mengalami modifikasi karena rentang faktor yang ditentukan terlalu sempit. Kemudian dilakukanekstraksi menggunakan shaker yang berada dalam waterbath. Bahan baku pegagan dengan perbandingan dan pelarut yang sama diekstrak dalam waterbathshaker selama F dan G jam pada suhu HoC. Diuji pula ekstraksi dengan menggunakan pegagan kering dan segar. Salah satu kelebihan menggunakan bahan kering adalah mengurangi aktivitas air sehingga menekan pertumbuhan mikroba (Gupta et al. 2011). Selain itu, pengeringan daun juga dapat mengurangi volume penyimpanan dan mengurangi reaksi-reaksi yang dapat merusak bahan seperti hidrolisis maupun oksidasi lemak (Winarno 2008). Hasil pengukuran komponen fenol untuk pegagan segar dan kering ditunjukkan pada tabel berikut:

Terjadi penurunan jumlah komponen fenol pada pegagan kering yang diekstrak selama J jam. Hal ini diasumsikan karena faktor suhu berpengaruh terhadap total fenol, sehingga dilakukan percobaan ekstraksi selama J jam pada suhu H oC. Hasilnya menunjukkan kandungan fenol yang lebih rendah daripada hasil ekstraksi pada suhu L oC. Untuk melihat pengaruh suhu terhadap proses ekstraksi, maka dilakukan lagi ekstraksi selama J jam pada suhu M oC. Hal tersebut dilakukan untuk melihat apakah kandungan fenol menurun pada suhu tersebut. Jika total fenol menurun, maka faktor suhu dapat dijadikan variabel terkontrol pada suhu L oC dan jika total fenol lebih tinggi pada suhu M oC maka faktor suhu dijadikan perlakuan. Tabel 2 menunjukkan hasil analisis total fenol berdasarkan perlakuan suhu.

Tabel 2 Pengukuran Total Fenol Berdasarkan Perbedaan Suhu

Hasil analisis total fenol pada ekstrak percobaan suhu M oC menunjukkan kenaikan, sehingga suhu ekstraksi diujikan sebagai faktor optimasi proses.

Sampel pegagan Suhu Ekstraksi (oC) Waktu ekstraksi Total fenol (ppm) Segar H I jam 14.333 Segar H J jam 14.778 Kering H I jam 26.111 Kering H J jam 23.111 Sampel pegagan Suhu Ekstraksi (oC) Waktu

ekstraksi Total fenol (ppm)

Kering H G jam 12.111

Kering L G jam 23.111

Kering M G jam 55.111

Tabel 1 Pengukuran Total Fenol Berdasarkan PerbedaanWaktu Ekstraksi dan Sampel yang Digunakan

Keterangan: data disamarkan

14

Analisis yang digunakan pada pengamatan dan pengukuran respon ini adalah kandungan senyawa fenolik. Meenakshi et al. (2009) dan Lim et al. (2002) menyatakan bahwa adanya hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan. Umumnya di dalam suatu bahan konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Menurut Andayani et al. (2008), senyawa fenol yang memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus -OH dan -OR seperti flavonoid dan asam fenolat. Oktaviana (2010) juga menyatakan bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif dalam menghambat oksidasi lipida. Diharapkan dengan didapatkannya jumlah kandungan komponen fenolik menggambarkan aktivitas antioksidan dan inhibisi xantin oksidase secara kualitatif.

Ekstraksi menggunakan pelarut air dipilih karena lebih mudah didapat dan lebih aman jika mempertimbangkan ekstrak sebagai langkah awal pembuatan minuman fungsional. Perlu juga diperhatikan kehalalan ekstrak untuk konsumsi, sehingga dihindari penggunaan pelarut alkohol. Selain itu, menurut Suradikusumah (1989) senyawa fenol lebih mudah terekstrak dengan air karena sering terdapat bergabung dengan gula dan biasanya terdapat pada rongga sel.

Ekstraksi kayu manis menggunakan kayu manis kering dengan pelarut air. Perbandingan kayu manis dan air adalah 1:10. Kayu manis kering dimasukkan ke dalam air mendidih selama P dan Q menit sebagai perlakuan batas bawah dan batas atas. Setelah itu ekstrak disaring dan disimpan untuk dianalisis komponen fenolnya. Bahan baku jahe dan kumis kucing juga dilakukan percobaan ekstraksi. Kedua bahan baku ini diekstrak untuk mengidentifikasi karakteristik bahan baku dan kendala teknis di laboratorium.

Proses ekstraksi

Ekstraksi pegagan dan kayu manis menggunakan bahan baku yang telah dikeringkan. Pengeringan bahan baku dilakukan menggunakan oven pengering suhu 50oC selama 24 jam. Waktu yang relatif lama dan suhu rendah dipilih agar panas dari pengeringan tidak sampai merusak komponen bioaktif bahan baku.

Bahan baku pegagan kering dihaluskan dengan menggunakan blender. Ukuran dapat dipertimbangkan berdasarkan hasil daun pegagan kering, karena semakin kecil partikel semakin banyak daun kering yang menempel pada alat sehingga mengurangi hasil daun kering. Alat blender yang digunakan adalah blender rumah tangga biasa, sehingga dibutuhkan usaha untuk menyamakan ukuran, yaitu dilakukannya proses blender dengan waktu dan kecepatan yang sama. Rendemen yang dihasilkan untuk pengeringan daun pegagan sekitar 12%. Pada kayu manis kering batangan yang telah dikeringkan memiliki rendemen 66%.

Ekstraksi pegagan menggunakan metode maserasi dengan modifikasi. Bahan baku kering dalam pelarut air dimaserasi dalam waterbath shaker bersuhu selama waktu tertentu. Umumnya proses ekstraksi dengan metode maserasi membutuhkan waktu lebih dari 24 jam karena dilakukan tanpa pemanasan, tetapi dengan adanya sedikit panas membuat proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Metode maserasi bertujuan untuk mengekstrak bahan baku yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam pelarut, tidak mengandung benzoin dan

15

lilin (Sudjadi 1986). Hasil ekstraksi kemudian disaring dan dipasteurisasi apabila tidak langsung dikeringkan dengan spraydryer.

Ekstraksi kayu manis menggunakan metode pemanasan dalam pelarut air. Suhu yang digunakan 95-97oC cukup tinggi sehingga waktu ekstraksi menjadi penentu hasil ekstrak. Ekstraksi kumis kucing menggunakan metode dekok yaitu merendam dalam air mendidih (95-97oC) selama A menit. Ekstraksi jahe tidak menggunakan bahan pelarut, melainkan dengan mengeluarkan cairan dari dalam jahe. Setelah semua ekstrak cair didapatkan, kemudian dilakukan persiapan proses pengeringan. Langkah pertama adalah homogenisasi ekstrak cair dengan bahan pengisi. Maltodekstrin adalah bahan pengisi yang dipilih karena dapat mengikat air yang akan membantu proses penguapan air dari ekstrak berlangsung lebih cepat. Proses pengeringan yang cepat sangat dibutuhkan untuk mencegah rusaknya komponen aktif karena kontak dengan suhu tinggi. Ekstrak kering yang telah disalut maltodekstin umumnya tidak cepat higroskopis, partikel lebih halus dan seragam serta komponen aktifnya terjaga. Penggunaan maltodekstrin dipilih karena mengalami proses disperse yang cepat, memiliki daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, sifat browning rendah, mampu menghambat kristalisasi dan memiliki daya ikat yang kuat (Hui 1992).

Ekstrak kering yang didapatkan kemudian dilakukan analisis aktivitas antioksidan dan total fenol. Analisis daya inhibisi XOD dilakukan setelah didapatkan hasil optimasi berdasarkan respon antioksidan dan total fenol. Komponen fenol dan antioksidan yang tinggi mengarah kepada daya inhibisi XOD yang semakin besar.Kebanyakan senyawa penghambat enzim XOD adalah senyawa fenolik. Sementara peran aktivitas antioksidan dapat memperbaiki kondisi di dalam tubuh ketika terjadi hiperurisemia karena ketika pembentukan asam urat, terbentuk pula oksigen reaktif saat enzim berada dalam bentuk teroksidasi. Banyak faktor yang menyebabkan enzim berada dalam bentuk teroksidasi, salah satunya adalah sitokinesis dan berlebihnya jumlah substrat (xantin). Hiperurisemia dapat dicirikan dengan peningkatan oksigen reaktif dan menurunnya jumlah antioksidan (Many et al. 1996).

Optimasi Proses

Optimasi proses dengan RSM memilihkan nilai faktor terbaik sesuai dengan respon yang optimal. Kriteria yang diutamakan adalah kandungan total fenol yang maksimal. Paixa˜o et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan total senyawa fenolik memiliki korelasi yang tinggi dengan aktivitas antioksidan.Selain itu, zat yang berperan sebagai inhibitor enzim xantin oksidase umumnya adalah komponen fenolik seperti kampferol, myricetin dan kuarsetin (Selloum et al. 2001).

Penelitian pendahuluan dilakukan untukmenentukan batas atas dan bawah perlakun ekstraksi. Penentuan batas atas dan bawah sering dilakukan untuk meyakinkan bahwa faktor yang diuji berpengaruh terhadap respon yang ditentukan. Dalam hal ini akan diujikan perlakuan yang tepat untuk proses ekstraksi pegagan dan kayu manis. Proses ekstraksi kumis kucing dan jahe hingga didapatkan ekstrak cairnya merujuk pada metode Mardhiyyah (2012) yang telah

16

mengoptimasi proses ekstraksi tersebut. Pada penelitian Mardhiyyah (2012) optimasi proses memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan total fenol dan aktivitas antioksidan yang tinggi, sehingga proses optimasinya dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Optimasi yang dilakukan untuk kumis kucing dan jahe pada penelitian ini adalah pada kondisi pengeringan. Rancangan percobaan dibuat menggunakan metode response surfacedengan bantuan software Design Expert7. Response Surface Methodology (RSM) adalah metode ekstensif yang digunakan untuk situasi dimana beberapa variable input berpotensi mempengaruhi respon atau kualitas dari sebuah proses (Carley et al. 2004). Cakupan RSM terdiri dari strategi eksperimental untuk mejelajah ruang-ruang proses atau variable bebas, statistika empiris modeling untuk mengembangkan perkiraan hubungan yang tepat antara hasil dan proses. Mengidentifikasi dan menyocokkan eksperimental data untuk menjadi model yang tepat diperlukan data statistika eksperimen, teknik permodelan regresi dan optimasi metode.Ketiga topik tersebut umumnya digabungkan dalam RSM. Desain yang digunakan dapat berupa D-optimal, Box-Behnken, ataupun Central Composite Design (CCD). Penentuan desain akan menentukan jumlah perlakuan yang dilakukan. Umumnya desain CCD memiliki perlakuan yang paling banyak karena desain ini juga menguji titik di luar batas yang disebut alfa. Nilai alfa tergantung pada karaktertistik yang diinginkan dan pada jumlah faktor yang diujikan.Desain box-Behnken adalah desain kuadratik independen yang tidak mengandung faktor yang terikat atau fraksi faktorial. Pada desain ini kombinasi perlakuan berada pada titik tengah dari ruang proses dan pada pertengahan. Desain ini memerlukan 3 level dari setiap faktor. Keterbatasan desain terletak pada orthogonal blocking jika dibandingkan dengan central composite design. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah D-Optimal. Desain D-Optimal biasanya digunakan untuk meminimalkan rancangan faktorial. Desain D-Optimal yang akan menentukan poin atau perlakuan yang dilakukan. Desain D-Optimal dirancang untuk meminimalkan perlakuan umum dari koefisien regresi yang diramalkan. Desain ini langsung menuju optimasi berdasarkan criteria yang dipilih serta permodelan yang cocok. Rancangan percobaan untuk bahan baku pegagan berjumlah 25 perlakuan (Lampiran 2), untuk kayu manis 20 perlakuan (Lampiran 1), untuk kumis kucing dan jahe masing-masing 16 perlakuan (Lampiran 3). Jumlah ekstrak kering untuk dianalisis aktivitas antioksidan dan total fenolnya adalah 77 ekstrak kering.

Pegagan optimal pada suhu ekstraksi A oC dengan waktu ekstraksi selama B jam, jumlah maltodekstrin C % dan suhu inlet pengeringan D oC. Hasil optimasi kayu manis menunjukkan esktrak terbaik dari perlakuan E menit waktu ekstraksi, F % maltodekstrin dan G oC suhu inlet pengeringan semprot. Pada proses pengeringan semprot ekstrak kumis kucing dan jahe yang optimal adalah dengan H % maltodekstrin dan suhu inlet I oC. Hasil optimasi keempat bahan menunjukkan bahwa kandungan maltodekstrin dan suhu inlet rendah akan menghasilkan ekstrak dengan komponen fenolik dan aktivitas antioksidan terbaik. Setelah didapatkan hasil teroptimasi, dilakukan verifikasi. Tujuan verifikasi adalah untuk menentukan apakah model yang diberikan sesuai dengan praktik aktual. Hasil verifikasi harus berada pada rentang nilai yang diperkirakan, maka proses yang disarankan oleh RSM dapat menjadi proses terpilih. Hasil verifikasi keempat sampel sesuai dengan prediksi dari DX7 (Lampiran 11).

17

Hasil dari analisis respon antioksidan dan total fenol menunjukkan model data dari masing-masing bahan baku. Bahan baku pegagan memiliki model mean (rata-rata) untuk aktivitas antioksidan dan permodelan kuadratik dengan modifikasi untuk total fenol.

Gambar 6 Permodelan aktivitas antioksidan (a) dan total fenol (b) pegagan

Permodelan mean atau rataan berarti perlakuan yang diujikan tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan karena hasillnya berada pada satu titik. Hal tersebut dapat juga disebabkan karena rentang faktor yang diujikan terlalu besar atau terlalu kecil. Sampel pegagan mengandung rata-rata aktivitas antioksidan sebesar 36866.67 ppm AEAC. Diduga komponen fenolik yang terekstrak pada pelarut air memiliki gugus hidroksil (-OH) yang jauh lebih sedikit dan lebih sulit untuk mendonorkan atom hidrogen (energi aktifasinya lebih tinggi). Gugus hidroksil (-OH) pada komponen antioksidan merupakan gugus yang berperan pada proses transfer elektron untuk menstabilkan radikal bebas. Semakin banyak gugus hidroksil yang dimiliki oleh komponen antioksidan maka semakin banyak elektron yang dapat didonorkan untuk menstabilkan radikal bebas. Hal tersebut mungkin menjadi penyebab nilai aktivitas antioksidan yang stagnan pada titik tertentu. Persamaan aktivitas antioksidan pegagan dari permodelan: Aktivitas antioksidan = +48662.5 Total komponen fenolik pada pegagan menunjukkan permodelan kuadratik dengan modifikasi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu ekstraksi dan jumlah maltodekstrin yang mempengaruhi total fenol. Suhu optimal untuk menghasilkan total fenol tertinggi sebesar 10027.72 ppm GAE adalah pada A oC. Pada suhu perlakuan dibawah B oC dan di atas C oC total fenol yang dihasilkan relatif rendah. Persamaan dari permodelan total fenol pegagan adalah :

Persamaan di atas menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi dapat meningkatkan kandungan total fenol. Pada jumlah maltodekstrin yang semakin tinggi dapat menurunkan kandungan total fenol. Randhir R. et al. (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa proses pemanasan dapat membebaskan senyawa asam fenolik yang terdapat di dalam konstituen sel dan yang terlindungi oleh dinding sel tanaman. Pada suhu yang relatif rendah, energi panas yang

(b) (a)

18

diberikan belum cukup untuk dapat mendenaturasi dinding sel tanaman dan membebaskan senyawa fenolik yang terperangkap di dalamnya. Energi panas tersebut dapat mempercepat terjadinya reaksi oksidasi senyawa fenolik yang ada sehingga mengakibatkan kerusakan senyawa fenolik. Energi panas yang diberikan tidak bisa terlalu rendah atau terlalu panas karena keduanya dapat menyebabkan rendahnya komponen fenolik yang terekstrak.

Kayu manis memiliki permodelan mean (rata-rata) untuk aktivitas antioksidan. Sementara untuk total fenol kayu manis, data menunjukkan permodelan kuadratik, seperti pada gambar berikut:

Gambar 7 Permodelan aktivitas antioksidan (a) dan total fenol (b) kayu manis Permodelan mean atau rataan berarti perlakuan yang diujikan tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan karena hasillnya berada pada satu titik. Hal tersebut dapat juga disebabkan karena rentang faktor yang diujikan terlalu besar atau terlalu kecil. Persamaan dari permodelan total fenol kayu manis:

Dengan a=waktu ekstraksi, b=jumlah maltodekstin, dan c=suhu inlet.

Semakin lama waktu ekstraksi dan semakin rendah kandungan maltodekstrin akan menghasilkan total komponen fenol yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa panas dapat membantu melepaskan komponen fenolik yang berada dalam sel tanaman (Randhir et al. 2008). Berdasarkan hasil optimasi didapatkan nilai tertinggi untuk total fenol adalah sebesar 22940.59 ppm GAE. Aktivitas antioksidan terbaik yang didapatkan adalah sebesar 65200 ppm AEAC.

Ekstrak jahe menunjukkan permodelan rataan untuk aktivitas antioksidan dan permodelan linear untuk total fenol. Gambar permodelan 3 dimensi dapat dilihat di bawah ini:

(b) (a)

19

Permodelan mean atau rataan berarti perlakuan yang diujikan tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan karena hasillnya berada pada satu titik. Hal tersebut dapat juga disebabkan karena rentang faktor yang diujikan terlalu besar atau terlalu kecil.Aktivitas antioksidan terbesar untuk ekstrak jahe adalah 42572 ppm AEAC. Total fenol pada jahe dapat ditunjukkan melalui persamaan linear berikut :

Dengan a= jumlah maltodekstrin dan b=suhu inlet.

Persamaan permodelan total fenol di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah maltodekstrin maupun suhu inlet maka akan semakin rendah total komponen fenolik. Banyaknya kandungan maltodekstrin akan mengurangi jumlah ekstrak bahan baku sehingga kandungan total fenol ekstrak tersebut menurun. Suhu inlet yang terlalu tinggi dapat merusak komponen aktif yang berada dalam ekstrak. Hasil tertinggi untuk kandungan total fenol jahe adalah sebesar 9807.92 ppm GAE.

Ekstrak kumis kucing menunjukkan hasil permodelan linear untuk aktivitas antioksidan dan total fenol. Permodelan 3 Dimensi dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 8 Permodelan aktivitas antioksidan (a) dan total fenol (a) jahe

20

Gambar 9 Permodelan aktivitas antioksidan (a) dan total fenol (b) kumis kucing Persamaan permodelan komponen fenol untuk kumis kucing adalah :

Pada persamaan dari permodelan aktivitas antioksidan kumis kucing adalah:

Dengan a= jumlah maltodekstrin dan b=suhu inlet.

Persamaan menunjukkan faktor jumlah maltodekstrin dan suhu inlet mempengaruhi respon antioksidan dan fenol. Hasil linear menyatakan bahwa semakin rendah jumlah maltodekstin dan rendahnya suhu inlet maka semakin tinggi total fenol ekstrak kumis kucing. Aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing terbaik yang dapat dihasilkan adalah 81450 ppm AEAC. Pada kandungan total fenol ekstrak kumis kucing kumis kucing terbesar adalah 22272.28 ppm GAE. Kumis kucing mengandung sekitar 0.2% flavonoid lipofilik seperti sinensetin, flavonol glikosida, turunan asam kafeat (terutama asam rosmarinat dan asam 2,3-dikafeoiltartarat), inositol, fitosterol (beta-sitosterol), saponin dan kandungan minyak atsiri yang mencapai 0.7% (Dzulkarnain et al. 1999). Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan dalam tubuh sehingga disebut bioflavonoid. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Cuppett et al. 1954).

Analisis Daya Inhibisi Enzim Xantin Oksidase

Metode analisis xantin yang umum digunakan adalah dengan mengukur kandungan xantin yang tersisa dan mengukur jumlah asam urat yang terbentuk. Perbedaan dari kedua metode tersebut yang paling mendasar adalah panjang

21

gelombang pada pengukuran spektrofotometri. Merujuk pada penelitian Owen dan Johns (1999), analisis inhibisi mengukur jumlah asam urat yang dihasilkan dari reaksi substrat dengan enzim. Adanya sampel diasumsikan akan menghambat kerja enzim sehingga asam urat yang dihasilkan semakin sedikit, begitu pula dengan nilai absorbansi yang semakin kecil. Kontrol sampel dibuat sebagai koreksi serapan, apabila dari kandungan sampel itu sendiri dapat mengganggu serapan di spektrofotometri. Nilai absorbansi yang dimasukkan ke dalam perhitungan adalah nilai aktivitas enzim yang sesungguhnya, yaitu dengan menghitung selisih sampel dan kontrol sampel serta blanko dan kontrol blanko.

Pada penelitian awal menentukan metode analisis inhibisi XOD dilakukan pengujian pada allupurinol di beberapa konsentrasi. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mengetahui kerja enzim XOD dengan melihat tren data yang terbentuk. Tabel data analisis inhibisi xantin oksidase pada allupurinol dapat dilihat pada Lampiran 10.

Gambar 10 Kurva Inhibisi Xantin Oksidase pada Allupurinol

Bahan baku yang telah teroptimasi dianalisis daya inhibisi xantin oksidasenya. Metode yang digunakan sama seperti analisis yang dilakukan pada allupurinol. Masing-masing bahan baku diuji pada konsentrasi 50 – 1000 ppm. Sampel dilarutkan ke dalam buffer pH 7.8.Setiap analisis dibuat kontrol positif sebagai acuan. Hasil analisis (Gambar 11) menunjukkan keempat bahan baku memiliki daya inhibisi xantin oksidase terbaik pada konsentrasi 50 ppm. Inhibisi tertinggi oleh ekstrak kumis kucing sebesar 60%, kemudian ekstrak kayu manis (45%), ekstrak pegagan (30%) dan terakhir jahe (26%). Hasil yang didapat sesuai dengan penelitian Owen dan Johns (1999) yang menyatakan bahwa frekuensi penghambatan enzim xantin oksidase oleh tanaman yang diuji relatif tinggi, tetapi kebanyakan memiliki efek yang relatif rendah pada enzim. Rata-rata daya inhibisi dari ekstrak tanaman adalah 24.89% pada konsentrasi 100mg/mL.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 0 50 100 150 Per sen In h ib isi Konsentrasi (ppm) Allupurinol

22

Tren data menunjukkan kemiripan dengan kontrol positif allupurinol, namun terdapat penurunan daya inhibisi ekstrak kumis kucing pada konsentrasi 1000 ppm dan daya inhibisi 0% untuk sampel jahe. Hal tersebut dapat disebabkan karena kesalahan peneliti dalam proses analisis. Terlepas dari penurunan daya inhibisi pada konsentrasi 1000 ppm, ekstrak kumis kucing memiliki daya inhibisi xantin oksidase yang relatif tinggi. Pada pengobatan tradisional daun kumis kucing dipercaya memiliki sifat antialergi, antihipertensi, anti-inflamasi dan diuretic serta digunakan juga untuk mengobati gout, diabetes, dan rematik. Senyawa kalium, inositol dan flavonoid lipofilik dalam kumis kucing memiliki kemampuan diuretic dan bakteriostatik (Van deer Veen et al. 1979). Meningkatkan kemampuan diuretik tubuh adalah salah satu metode mengurangi hiperurisemia. Asam urat yang berlebih dalam darah akan dikeluarkan melalui urin, dengan meningkatnya kemampuan diuretic maka semakin banyak asam urat dalam tubuh yang dikeluarkan.

Pegagan diketahui mengandung senyawa kaempferol, kuarsetin dan glikosida lainnya (Barnes 2002). Kaempferol dan kuarsetin memiliki kemampuan menghambat kerja enzim xantin oksidase (Selloum et al. 2001). Pada penelitian Lio et al. (1984) kaempferol dan kuarsetin memiliki daya inhibisi xantin oksidase sebesar 85 dan 90% pada konsentrasi 50 mg/mL. Kulit batang kayu manis mengandung minyak atsiri, saponin dan flavonoida. Selain itu terdapat juga tannin, dan daunnya mengandung alkaloid dan polifenol (Anonim 2005). Flavonoid, fenol, tannin, serta kumarin telah diteliti berpotensi menjadi penghambat enzim xantin oksidase (Chang dan Chiang 1995). Kandungan tannin tersebut yang diduga menyebabkan besarnya daya hambat ekstrak kayu manis terhadap enzim xantin oksidase. Kandungan flavonoid pada jahe diduga menjadi penghambat kerja enzim xantin oksidase. Rimpang jahe diketahui mengandung minyak atsiri 0.25-3.3% yang terdiri dari zingiberene, curcumene, philandren. Selain itu Gambar 11 Kurva Daya Inhibisi Sampel terhadap Enzim XOD

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 0 200 400 600 800 1000 1200 Per sen in h ib isi Konsentrasi (ppm) Pegagan Kayu Manis Jahe Kumis Kucing

23

terdapat pula oleoresin sebanyak 4.3-6.0% yang terdiri dari gingerols dan shogaols (Sutarno et al. 1999).

Terdapat korelasi positif antara total fenol dan tannin terhadap inhibisi XOD (Owen dan Johns 1999), tetapi tidak semua tanaman menunjukkan korelasi positif. Inhibisi XOD ditentukan oleh berbagai faktor. Meskipun terdapat ragam korelasi antara total fenol dan inhibisi XOD, secara umum Owen dan Johns (1999) menyatakan bahwa total fenol dan tannin pada ekstrak tanaman berperan penting dalam kontribusi penghambatan enzim XOD. Beberapa komponen fenolik, kebanyakan flavonoid, dilaporkan sebagai inhibitor enzim XOD (Noro et al. 1983; Iio et al. 1985; Hatano et al. 1989; Chang et al. 1993).

Dokumen terkait