• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jerami padi merupakan limbah pertanian yang memiliki kualitas rendah, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan diolah terlebih dahulu untuk pengayaan nutrisi pakan. Teknologi fermentasi cukup tepat untuk dilakukan, karena mampu meningkatkan kandungan protein kasar dan energinya, serta produk ini dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama sehingga mampu mengatasi kesulitan pakan di musim- musim tertentu.

Tingkat konsumsi kerbau dari masing- masing perlakuan dalam penelitian ini berbeda. Bogart et al. (1963) menyatakan bahwa banyaknya bahan makanan yang dapat dikonsumsi oleh seekor hewan berhubungan erat dengan bobot badannya. Semakin tinggi bobot badan, kemampuan seekor hewan untuk mengkonsumsi bahan makanan semakin meningkat, baik pada hewan jantan maupun betina. Data konsumsi pakan dan bobot badan kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Pakan, Bobot Badan, dan Pertambahan Bobot Badan Kerbau

Perlakuan Parameter

A B C D

Konsumsi Pakan :

Jerami Padi (kg/hr /ekor) Konsentrat (kg/hr/ekor) Total (kg/hr/ekor) 1,79 ± 0,39 a 7,69 ± 0,57 a 9,48 ± 0,72 a 3,02 ± 0,79 b 6,82 ± 0,46 b 9,83 ± 0,89 b 1,30 ± 0,40 c 6,89 ± 0,77 b 8,18 ± 0,70 c 1,41 ± 0,63 c 6,73 ± 0,50 b 8,15 ± 0,78 c Bobot Badan Awal (kg/ekor) 340,4 ± 35,2 324,6 ± 25,2 308,7 ± 24,9 323,9 ± 37,4 Bobot Badan Akhir (kg/ekor) 388,5 ± 38,4 375,7 ± 29,0 352,1 ± 35,5 373,5 ± 46,0 Pertambahan Bobot Badan (kg/hari/ekor) 0,77 ± 0,37 0,82 ± 0,20 0,70 ± 0,50 0,80 ± 0,34

Keterangan : superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

A = 2 kg jerami padi + 8 kg konsentrat (sebagai kontrol) B = 4 kg jerami padi + 7 kg konsentrat

C = 2 kg jerami padi fermentasi + 8 kg konsentrat D = 4 kg jerami padi fermentasi + 7 kg konsentrat

Pemberian pakan jerami padi fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi pakan kerbau. Pakan jerami padi fermentasi mengandung energi

yang dapat dimanfaatkan lebih tinggi dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi. Hal ini dilihat dari konsumsi jerami padi fermentasi yang relatif lebih sedikit dibanding dengan jerami padi tanpa fermentasi, karena kerbau akan berhenti mengkonsumsi pakan apabila kebutuhan energinya sudah terpenuhi. Suharto dan Rosanto (1993) menyatakan bahwa pada sapi, salah satu kegunaan dari probiotik dalam pakan adalah sebagai zat pengurai selulosa, lemak, lignin, dan protein sehingga dapat meningkatkan daya cerna nutrisi ternak. Hal ini dimungkinkan pada kandungan serat yang lebih rendah peranan bakteri pemecah serat (fibrolitik) lebih optimal sehingga daya cerna ternak terhadap pakan menjadi lebih baik. Konsumsi jerami padi pada penelitian ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Zulbardi et al. (1983) yang melaporkan bahwa konsumsi jerami padi pada kerbau yang diberi pakan jerami padi dengan jagung dan dedak padi adalah 7,64 kg/ekor/hari dan hasil penelitian Sitorus (1989), yang melaporkan bahwa konsumsi jerami padi pada kerbau yang diberi pakan jerami padi dengan dan tanpa

perlakuan urea dengan suplementasi ampas kecap dan molasse adalah 5,38 kg/ekor/hari.

Pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan kerbau. Rataan pertambahan bobot badan kerbau sebesar 0,77 kg/ekor/hari. Hal ini berarti bahwa respon pertumbuhan ternak belum dapat ditingkatkan dalam penelitian ini oleh penambahan probiotik saja di dalam pakan jerami padi fermentasi. Namun pertambahan bobot badan kerbau pada penelitian ini masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Zulbardi et al. (1983) dan Sitorus (1989), yaitu masing- masing sebesar 0,22 dan 0,30 kg/ekor/hari.

Rataan pertambahan bobot badan kerbau dalam penelitian ini dapat dikatakan sama besar. Namun jika dilihat dari rataan konsumsi pakan, kerbau yang mendapat perlakuan C dan D mengkonsumsi pakan lebih sedikit (8,18 dan 8,15 kg/ekor/hari) dibanding kerbau yang mendapat perlakuan A dan B (9,48 dan 9,83 kg/ekor/hari). Nilai konversi pakan kerbau yang mendapat perlakuan C dan D lebih rendah (11,7 dan 10,2) dibanding kerbau yang mendapat perlakuan A dan B (12,3 dan 12,0). Nilai konversi pakan ini juga menggambarkan nilai efisiensi penggunaan pakan sebesar 0,086 dan 0,098 untuk perlakuan C dan D, serta 0,081 dan 0,083 untuk perlakuan A

dan B. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau yang mendapat perlakuan C dan D lebih efisien dalam penggunaan pakan dibanding kerbau yang mendapat perlakuan A dan B karena menghasilkan pertambahan bobot badan yang relatif sama.

Karakteristik Karkas

Karkas merupakan bagian yang memiliki nilai komersial dari ternak pedaging, sehingga harganya akan sangat ditentukan oleh nilai karkas yang dihasilkan. Sifat karkas yang disukai oleh konsumen yaitu karkas yang memiliki proporsi lemak optimum, proporsi daging maksimum, dan proporsi tulang yang minimum (Berg dan Butterfield, 1976). Menurut Kempster et al. (1982), nilai komersial karkas sapi pada umumnya tergantung pada ukuran, struktur dan komposisinya, dimana sifat-sifat struktural karkas yang utama untuk kepentingan komersil tersebut meliputi bobot, proporsi jaringan-jaringan karkas, ketebalan lemak, komposisi kimia serta penampilan luar dari jaringan tersebut serta kualitas dagingnya. Tabel 3 menyajikan rataan karakteristik karkas kerbau yang meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung, dan luas urat daging mata rusuk.

Tabel 3. Karakteristik Karkas Kerbau Menurut Perlakuan Pakan yang Diberikan *) Perlakuan Peubah A B C D Bobot Potong (kg) 393,20 ± 26,02 366,80 ± 33,20 388,60 ± 13,11 387,50 ± 55,89 Bobot Karkas (kg) 169,40 ± 12,10 157,00 ± 13,15 168,60 ± 4,72 170,00 ± 20,80 Persentase Karkas (%) 43,08 ± 1,27 42,84 ± 1,63 43,43 ± 2,03 43,98 ± 1,93 Tebal Lemak Punggung (mm) 6,08 ± 1,01 a 6,12 ± 1,14 a 4,30 ± 1,11 b 4,20 ± 0,94 b Luas Udamaru (cm2) 48,32 ± 2,43 44,76 ± 6,63 46,68 ± 5,99 50,72 ± 5,40

Keterangan : *) dikoreksi terhadap rataan bobot badan awal 324,1 ± 32,4 kg; superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) A = 2 kg jerami padi + 8 kg konsentrat (sebagai kontrol)

B = 4 kg jerami padi + 7 kg konsentrat

C = 2 kg jerami padi fermentasi + 8 kg konsentrat D = 4 kg jerami padi fermentasi + 7 kg konsentrat

Pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap karakteristik karkas yang meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, dan luas urat daging mata rusuk. Yoon dan Stern (1995) menyatakan bahwa karakteristik karkas tidak dipengaruhi oleh pemberian pakan yang mengandung probiotik dari kultur Aspergillus oryzae.

Pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot potong kerbau. Rataan bobot potong kerbau pada penelitian ini adalah 383,84 kg/ekor. Rataan bobot potong tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Dahlan (1996), yang melaporkan bahwa rataan bobot potong ternak kerbau dan sapi yang dipelihara secara feedlot dan pasture

masing- masing sebesar 364 dan 231,5 kg/ekor, dan hasil penelitian Uriyapongson et al. (1996), yang melaporkan bahwa rataan bobot potong ternak kerbau dan sapi ya ng dipotong pada umur potong 2-4 tahun masing- masing sebesar 369,5 dan 351 kg/ekor.

Pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot karkas kerbau. Rataan bobot karkas kerbau pada penelitian ini adalah 166,05 kg/ekor. Rataan bobot karkas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Uriyapongson et al., (1996), yaitu rataan bobot karkas ternak kerbau dan sapi masing- masing adalah 181,25 dan 191,73 kg/ekor. Hal ini berarti bobot karkas belum bisa ditingkatkan dengan pemberian probiotik dalam pakan jerami padi fermentasi. Tidak adanya respon dari pemberian probiotik ini diduga karena kandungan nutrisi pakan yang relatif sama antar perlakuan. Menurut Lawrie (1995), hewan dengan tingkat nutrisi yang berbeda, walaupun pada bobot dan bangsa yang sama akan sangat berbeda dalam bentuk dan komposisi karkas.

Pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas kerbau. Keseragaman respon ternak dalam hal persentase karkas kerbau tersebut diduga karena probiotik yang digunakan untuk membantu pemecahan serat dapat menyebabkan deposisi nutrien di dalam tubuh yang relatif sama. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976), yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi persentase karkas adalah jumlah pakan dan minum yang diberikan sebelum penimbangan, jarak pengangkutan, bobot hidup dan berat karkas segar. Rataan persentase karkas pada penelitian ini adalah

43,30%. Rataan persentase karkas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Dahlan (1996), yang melaporkan bahwa rataan persentase karkas kerbau dan sapi masing- masing adalah 50,15 dan 54,7 %, dan hasil penelitian Uriyapongson et al. (1996), yang melaporkan bahwa rataan persentase karkas kerbau dan sapi masing- masing adalah 48,82 dan 54,8 %.

Pemberian pakan jerami padi fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ketebalan lemak subkutan. Pemberian pakan dengan jerami padi fermentasi (perlakuan C dan D) menghasilkan karkas dengan ketebalan lemak punggung yang lebih rendah dibanding pakan jerami padi tanpa fermentasi (perlakuan A dan B). Dengan demikian terjadi penurunan kandungan lemak dalam karkas dengan adanya pemberian probiotik di dalam pakannya. Hal ini dikarenakan konsumsi pakan kerbau yang mendapat perlakuan C dan D lebih rendah dibanding kerbau perlakuan A dan B sehingga energi yang diperoleh masih dimanfaatkan untuk pembentukan otot di dalam jaringan tubuhnya dan belum dimanfaatkan untuk penimbunan lemak.

Peningkatan ketebalan lemak punggung terjadi apabila produksi daging sudah mencapai derajat finish, dan pada penelitian ini kerbau-kerbau yang dipotong belum mencapai bobot potong yang optimal untuk menghasilkan lemak. Kurniawan (2005) menyatakan bahwa pada sapi Brahman Cross, persentase karkas, tebal lemak punggung, luas urat daging mata rusuk, persentase lean dan persentase lemak karkas tidak dipengaruhi oleh bobot potong yang berkisar antara 301-500 kg. Ditambahkan juga bahwa bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, luas urat daging mata rusuk, dan berat lean tidak dipengaruhi oleh perbedaan tebal lemak punggung yang berkisar antara 2,5-9,5 mm.

Luas urat daging mata rusuk tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh perlakuan pemberian pakan jerami padi fermentasi. Hal ini berarti pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak dapat meningkatkan perdagingan karkas yang dihasilkan. Rataan luas urat daging mata rusuk dari karkas kerbau pada penelitian ini adalah 47,46 cm2. Luas urat daging mata rusuk dapat dijadikan indikator untuk memprediksi atau menentukan nilai perdagingan, sehingga dengan melihat perubahan luas urat daging mata rusuk ini menunjukkan perdagingan karkas yang dihasilkan selama fase penggemukan. Romans dan Ziegler (1977) menyatakan bahwa luas urat daging mata rusuk berhubungan dengan proporsi daging yang

dihasilkan, makin luas urat daging mata rusuk akan semakin besar proporsi daging yang dihasilkan. Luas urat daging mata rusuk merupakan salah satu indikator untuk memprediksi atau menentukan nilai perdagingan, tetapi luas urat daging mata rusuk tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal, melainkan sebagai indikator pelengkap (Johnson et al., 1992).

Natasasmita dan Kooswardhono (1980) menyatakan bahwa pada sapi, perlemakan yang terjadi di depot-depot lemak biasanya memiliki korelasi dengan banyaknya daging yang dibentuk di bagian-bagian tubuh tertentu. Lemak yang sedikit berakibat jumlah daging yang diproduksi banyak atau sebaliknya, lemak yang terlalu banyak mengakibatkan produksi daging sedikit. Ketebalan lemak subkutan berkorelasi negatif (r=-0.505) dan berbeda nyata (P=0.027) dengan luas urat daging mata rusuk, semakin rendah tebal lemak subkutan maka luas urat daging mata rusuk akan semakin besar atau sebaliknya, semakin tebal lemak punggung akan mengakibatkan luas urat daging mata rusuk yang semakin kecil.

Konformasi Butt Shape

Konformasi butt shape adalah suatu ukuran kemontokan paha untuk menilai kualitas perdagingan karkas secara langsung dengan membandingkan proporsi antara bagian-bagian daging, tulang, dan lemak antara karkas yang bernilai tinggi dengan yang bernilai rendah. Data nilai tengah skor dan rataan rank konformasi butt shape

karkas kerbau dari masing- masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Semakin rendah nilai tengah skor dan rataan rank, maka nilai tersebut semakin baik.

Tabel 4. Nilai Tengah Skor dan Rataan Rank Konformasi Butt Shape Karkas Kerbau

Konformasi Butt Shape

Perlakuan

Nilai Tengah Skor Rataan Rank

A 2,20 10,70

B 2,40 12,40

C 2,00 9,20

D 1,75 7,13

Keterangan : A = 2 kg jerami padi + 8 kg konsentrat (sebagai kontrol) B = 4 kg jerami padi + 7 kg konsentrat

C = 2 kg jerami padi fermentasi + 8 kg konsentrat D = 4 kg jerami padi fermentasi + 7 kg konsentrat

Perlakuan pemberian pakan jerami padi fermentasi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap konformasi butt shape. Hal ini berarti perbedaan komposisi pakan tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi otot, tulang dan jaringan ikat. Kandungan nutrisi dalam setiap pakan perlakuan yang diberikan pada penelitian ini relatif sama, hal ini menunjukkan bahwa walaupun diberikan ransum yang berbeda, tingkat nutrisi yang dikandung tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi otot, karena yang dibutuhkan adalah waktu yang harus lebih lama untuk dapat meningkatkan distribusi otot dan jaringan ikat pada karkas ternak. Tidak terjadinya perubahan konformasi

butt shape kemungkinan karena periode lama penggemukan yang dilakukan belum cukup untuk me ngubah secara nyata distribusi jaringan ikat.

Thornton (1991) menyatakan bahwa tidak ada indikasi peran bermanfaat dari

butt shape dalam estimasi hasil daging yang dipasarkan walaupun butt shape adalah pilihan saat ini dan digunakan secara luas dalam pemasaran karkas karena berpengaruh secara ekonomis. Skor shape A, B dan C mempunyai harga daging yang lebih mahal dari skor D dan E.

Dokumen terkait