Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap Kerapatan Konidia
Secara umum media PDA menghasilan kerapatan konidia tertinggi jika dibandingkan dengan media jagung dan beras (Tabel 1). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya faktor-faktor perbedaan nutrisi dan kadar oksigen dalam ruang tumbuh. Cendawan ini bersifat aerob sehingga dalam pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan oksigen. Pertumbuhan hifa pada media juga menentukan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan cendawan dalam media tumbuh. Semakin cepat pertumbuhan hifa dalam media maka akan semakin cepat pertumbuhan dan perkembangan cendawan. Kondisi ini menyebabkan timbulnya perbedaan pertumbuhan pada media PDA, jagung, dan beras. Hifa pada media PDA lebih cepat tumbuh daripada media jagung dan beras (Gambar 5).
Tabel 1 Kerapatan konidia L. lecanii umur biakan 21 dan 42 hari setelah inkubasi
Media Ulangan Kerapatan konidia/ml
21 HIS 42 HSI Beras 1 8,32x10⁶ 8,98x10⁶ 2 6,92x10⁶ 1,11x10⁷ 3 - 1,25x10⁷ Jagung 1 1,55x10⁷ 2,16x10⁷ 2 2,15x10⁷ 1,87x10⁷ 3 - 2,31x10⁷ PDA 1 1,85x10⁷ 1,95x10⁷ 2 1,85x10⁷ 2,66x10⁷ 3 - 2,71x10⁷
15
Gambar 5 Koloni L. lecanii yang ditumbuhkan di tiga media berbeda PDA (a), jagung (b), dan beras (c) pada umur 42 HSI
Jenis media berpengaruh signifikan terhadap kerapatan konidia pada taraf nyata 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata kerapatan konidia L.
lecanii yang dihasilkan oleh media PDA tidak berbeda nyata dengan kerapatan
konidia L. lecanii yang dihasilkan oleh media jagung. Kerapatan konidia L.
lecanii yang dihasilkan oleh media beras berbeda nyata dengan kerapatan konidia
yang dihasilkan oleh media PDA dan jagung (Tabel 2).
(a) (b)
Tabel 2 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap kerapatan konidia L.
lecanii
Media
Kerapatan konidia/ml ± SD (x10⁶)¹ Jumlah konidia total²
t hitung t tabel
21 HSI 42 HSI 21 HSI 42 HSI
Beras 7,62x10⁶ ± 1,82b 1,08x10⁷ ± 1,84b 1,91x10⁹ 2,70x10⁹ -3,90
2,44 Jagung 1,85x10⁷ ± 3,50a 2,11x10⁷ ± 3,98a 4,62x10⁹ 5,27x10⁹ -1,53
PDA 1,85x10⁷ ± 2,21a 2,44x10⁷ ± 4,08a 4,62x10⁹ 6,10x10⁹ -3,73 1
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan =0,05.
² Analisis umur biakan terhadap kerapatan konidia L. lecanii menggunakan uji t dengan =0,05.
Pada 42 HSI dapat dihasilkan 2,70x10⁹ konidia pada 100 gram media beras, 5,27x10⁹ konidia pada 100 gram media jagung, dan 6,10x10⁹ konidia dalam 100 gram media PDA. Perbedaan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi produksi konidia, oleh karena itu, pemilihan bahan media substrat untuk perbanyakan cendawan entomopatogen harus dilakukan secara tepat, terutama memilih bahan yang memiliki kemampuan memproduksi konidia secara konsisten. Kardin dan Priyatno (1996 dalam Prayogo 2005) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen.
Selain pengaruh jenis media terhadap kerapatan konidia L. lecanii, juga bisa dilihat pengaruh umur biakan terhadap kerapatan konidia yang dihasilkan. Dari hasil t hitung yang didapat pada media beras dan PDA < |t tabel| yaitu 2,44 (Tabel 2) yang berarti rata-rata kerapatan konidia media pada 21 HSI berbeda nyata dengan rata-rata kerapatan konidia pada 42 HSI pada taraf nyata 5%. Kerapatan konidia pada media jagung > |t tabel| yaitu 2,44 yang berarti kerapatan konidia media jagung pada 21 HSI tidak berbeda nyata dengan kerapatan konidia pada 42 HSI. Rata-rata konidia pada 42 HSI lebih tinggi daripada 21 HSI. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa umur cendawan mempengaruhi jumlah konidia yang dihasilkan. Menurut Wahyunendo (2002) pertumbuhan dan perkembangan cendawan menunjukkan peningkatan jumlah konidia sebanding dengan lamanya waktu inkubasi, sampai menunjukkan titik stasioner pertumbuhan.
17
Pengaruh Jenis Media dan Umur Biakan L. lecanii terhadap Daya Kecambah
Daya kecambah cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga. Pada umumnya, semakin tinggi daya kecambah suatu cendawan entomopatogen maka tingkat virulensinya juga tinggi dalam pengendalian hama. Menurut Altre et
al. (1999) virulensi cendawan entomopatogen berkaitan dengan ukuran konidia,
kecepatan perkecambahan konidia, dan produksi enzim yang berfungsi sebagai pendegradasi kutikula inang. Data yang diperoleh menunjukkan persentase perkecambahan pada tiga media antara 76%-90% (Tabel 3).
Tabel 3 Daya kecambah L. lecanii umur biakan 21 dan 42 HSI
Media Ulangan Daya kecambah (%)
21 HIS 42 HSI Beras 1 76,74 77,00 2 80,05 78,82 3 - 81,26 Jagung 1 83,23 83,73 2 80,94 81,82 3 - 80,58 PDA 1 89,19 82,98 2 80,52 90,43 3 - 88,80
Jenis media berpengaruh signifikan terhadap daya kecambah pada taraf nyata 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya kecambah L. lecanii yang dihasilkan oleh media PDA tidak berbeda nyata dengan daya kecambah pada media jagung. Daya kecambah pada media jagung juga menunjukkan tidak berbeda nyata dengan daya kecambah pada media beras. Akan tetapi, daya kecambah pada media PDA berbeda nyata dengan daya kecambah pada media beras (Tabel 4). Perbedaan tersebut berlaku baik untuk umur 21 HSI maupun 42 HSI.
Tabel 4 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
L. lecanii
Media
Rata-rata daya kecambah (% ± SD)¹
t hitung² t tabel
21 HSI 42 HSI
Beras 78,39 ± 5,10b 79,02 ± 4,98b -0,28
2,44
Jagung 82,08 ± 2,33ab 82,04 ± 2,66ab 0,04
PDA 84,85 ± 5,28a 87,40 ± 4,65a -1,14
1
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan = 0,05.
² Analisis umur biakan terhadap kerapatan konidia L. lecanii menggunakan uji t dengan =0,05.
Daya kecambah konidia L. lecanii umur 42 HSI pada tiga media dinilai masih cukup tinggi yaitu PDA (87,40%), jagung (82,04%), dan beras (79,02%). Daya kecambah mengekspresikan kemampuan konidia yang dapat tumbuh dan berkembang apabila faktor lingkungan mendukung. Daya kecambah konidia mempunyai peran yang cukup besar bagi keberhasilan konidia dalam proses penetrasi dan infeksi ke serangga inang (Sitch & Jackson 1997; Alovo et al. 2002). Semakin tinggi daya kecambah konidia maka semakin besar pula peluang agens hayati tersebut dapat menginfeksi serangga inang sehingga kolonisasi dan proses epizooti di lapangan cepat terjadi (Wagner & Lewis 2000). Menurut Kassa (2003), daya kecambah konidia cendawan entomopatogen yang digunakan sebagai agens hayati minimal harus 80%. Liu et al. (2003) menyarankan bahwa daya kecambah konidia cendawan yang akan digunakan sebagai agens hayati harus diatas 90%. Samuels dan Coracini (2004) menegaskan bahwa proses infeksi akan mencapai optimal apabila daya kecambah konidia isolat yang digunakan mencapai 99%.
Selain pengaruh jenis media terhadap daya kecambah L. lecanii, juga bisa dilihat pengaruh umur biakan terhadap daya kecambah yang dihasilkan. Dari hasil
t hitung yang didapat pada ketiga media > |t tabel| yaitu 2,44 (Tabel 4) yang
berarti daya kecambah pada semua media pada umur 21 HSI tidak berbeda nyata dengan umur 42 HSI (taraf nyata 5%).
Media jagung memiliki kandungan lemak, hal ini diduga merupakan faktor meningkatnya jumlah konidia dan perkecambahan jika dibandingkan media beras. Berdasarkan penelitian Prayogo (2009) konsentrasi dan jenis minyak nabati selain
19 berpengaruh terhadap pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan L.
lecanii. Jumlah konidia yang terbentuk lebih banyak pada minyak nabati jika
dibandingkan kontrol (tanpa minyak). Penambahan minyak nabati ke dalam media tumbuh meningkatkan daya kecambah konidia L. lecanii.
Gambar 6 Tabung kecambah L. lecanii pada 10 jam setelah inkubasi (JSI). Tabung kecambah yang terbentuk pada 10 JSI berbentuk memanjang dari ukuran konidia sebelumnya (Gambar 6). Konidia dapat dianggap hidup (viable) apabila tabung kecambah telah mencapai dua kali diameter konidia (Goettel & Inglis 1997). Tabung kecambah yang terbentuk akan berkembang membentuk apresorium yang berfungsi untuk menempelkan organ infektif pada permukaan inang. Semakin cepat tabung kecambah terbentuk dan semakin besar ukurannya diduga akan semakin besar pula peluang inang dapat dipenetrasi oleh cendawan karena permukaan inang lebih cepat dihidrolisis oleh cendawan (Prayogo 2009).
Mortalitas A. glycines oleh L. lecanii
Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut menginfeksi dan mematikan A. glycines. Perbedaan kerapatan konidia L. lecanii berpengaruh terhadap tingkat mortalitas A.glycines. Pada hari keempat setelah perlakuan didapatkan mortalitas tinggi pada kerapatan konidia 10⁹/ml yaitu mencapai 100%. Persentase mortalitas berturut-turut pada kerapatan konidia 10⁸/ml, 10⁷/ml, 10⁶/ml, dan 10⁵/ml yaitu 97,5%; 92,5%; 81,25%; dan 82,5%. Persentase mortalitas kontrol mencapai 77,5% (Tabel 5). Menurut Feng (1990) pada perlakuan L. lecanii terhadap enam spesies kutudaun pada serealia termasuk
A. glycines, nilai LC50 adalah 4,1x105 konidia/ml.
Tabel 5 Persentase mortalitas A. glycines akibat perlakuan L. lecanii selama empat hari pengamatan
Kerapatan konidia/ml
Mortalitas (%) Hari Setelah Perlakuan
1 2 3 4 10⁵ 58,75 68,75 77,50 82,50 10⁶ 52,50 65,00 76,25 81,25 10⁷ 67,50 76,25 87,50 92,50 10⁸ 56,25 77,50 95,00 97,50 10⁹ 70,00 91,25 98,75 100 Kontrol 16,25 42,50 62,50 77,50
21
mcn
Gambar 7 Mortalitas kumulatif A. glycines yang terinfeksi cendawan L. lecanii selama empat hari.
Kematian nimfa menunjukkan peningkatan seiring dengan berjalannya waktu (Gambar 7). Persentase kematian pada kontrol sampai hari keempat menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 77,50%. Diduga perlakuan dengan penyemprotan air secara mekanik akan mempengaruhi pergerakan kutudaun. Di samping itu butiran air yang berasal dari penyemprotan diduga menutupi spirakel serangga, sehingga mengalami kesulitan dalam mengambil oksigen untuk proses
0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k e m ati an waktu (hari) Kerapatan 10⁵ konidia/ml 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k e m ati an waktu (hari) Kerapatan 10⁶ konidia/ml 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k e m ati an waktu (hari) Kerapatan 10⁷ konidia/ml 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k e m at ia n waktu (hari) Kerapatan 10⁸ konidia/ml 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k e m at ia n waktu (hari) Kerapatan 10⁹ konidia/ml 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 % k em at ia n waktu (hari) Mortalitas Kontrol
metabolisme. Terganggunya proses metabolisme menyebabkan serangga mengalami kematian.
Pada umumnya, kutudaun dinilai cukup tahan terhadap infeksi L. lecanii, ketahanan ini disebabkan oleh proses ganti kulit sesudah perlakuan cendawan. Menurut Alavo et al. (2002) meskipun stadia inang cukup rentan terhadap infeksi
L. lecanii akan tetapi jika serangga inang tersebut mengalami ganti kulit maka
infektifitas cendawan juga sangat rendah. Hal ini disebabkan konidia akan terlepas bersama kutikula sebelum menginfeksi inang. Menurut Wiyono (2007) penelitian di lapang membuktikan bahwa curah hujan yang sangat tinggi dapat mengurangi bahkan menghilangkan populasi kutudaun dari tumbuhan inang. Kutudaun dapat terhempas dari tanaman dan hanyut oleh aliran air hujan.
Tabel 6 Persentase mortalitas kumulatif A. glycines terhadap L. lecanii pada empat hari pengamatan
Kerapatan Konidia Mortalitas (% ± SD)¹
10⁵ 82,50 ± 2,98b 10⁶ 81,25 ± 3,37b 10⁷ 92,00 ± 2,56ab 10⁸ 97,50 ± 3,92ab 10⁹ 100,0 ± 2,68a Kontrol 77,50 ± 4,82c 1
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan = 0,05.
Penyemprotan berbagai konsentrasi suspensi konidia cendawan L. lecanii memberikan pengaruh signifikan terhadap mortalitas kutudaun, dengan
probability= 0.0003 < Alpha (5%=0.05). Pada uji lanjut Duncan dapat dilihat
bahwa perlakuan dengan kerapatan konidia 10⁹/ml tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10⁸/ml dan 10⁷/ml, akan tetapi berbeda nyata dengan perlakuan dengan kerapatan konidia 10⁶/ml, 10⁵/ml, dan kontrol (Tabel 6).
Analisis regresi dilakukan berdasarkan data mortalitas sampai dengan hari keempat, karena pada pengamatan hari keempat, 100% mortalitas serangga sudah diperoleh pada kerapatan konidia 109/ml (Gambar 8). Analisis probit tidak dilakukan karena angka mortalitas pada kontrol cukup tinggi
23
Gambar 8 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas A.glycines akibat perlakuan cendawan L. lecamii selama empat hari setelah perlakuan
Persamaan garis regresi menunjukkan hasil yang didapat yaitu y= 5,125x + 54,875. Apabila kerapatan konidia L. lecanii meningkat sebesar 101 (satu-satuan) maka mortalitas akan meningkat sebesar 5,125% (Gambar 8).
A. glycines yang terinfeksi cendawan dan mati, pada awalnya berwarna
kehitaman. Infeksi cendawan pada kutudaun mulai terjadi pada waktu dua hari setelah perlakuan (HSP). Pada 3 HSP bangkai serangga mulai menunjukkan tanda terinfeksi yaitu ditumbuhi oleh miselia cendawan bewarna putih. Mula-mula miselia cendawan hanya pada bagian tertentu saja, tetapi lama-kelamaan miselia cendawan tersebut menyebar ke seluruh bagian kutudaun, sehingga seluruh bagian kutudaun terkolonisasi oleh miselia cendawan tersebut (Gambar 9).
y = 5,125x + 54,875 R²= 0,898 0 20 40 60 80 100 5 6 7 8 9 P er se n ta se m o rt al it as
Gambar 9 A. glycines bewarna kehitaman mulai menunjukkan gejala terinfeksi (a) dan A. glycines sudah terkolonisasi oleh cendawan L. lecanii (warna putih) (b).
Pada kontrol, kutudaun yang mati juga menunjukkan gejala berwarna kehitaman tetapi tidak ditumbuhi oleh miselia cendawan. Untuk lebih meyakinkan sebab kematian pada perlakuan kontrol digunakan metode surface sterilization. Pada metode ini telah didapatkan hasil bahwa bangkai pada perlakuan kontrol tidak terinfeksi oleh cendawan L. lecanii. Hal ini berbeda dengan perlakuan selain kontrol. Pada perlakuan selain kontrol bangkai yang diinkubasi di media PDA ditumbuhi oleh cendawan L. lecanii (Gambar 10).
Pada penelitian ini telah dibuktikan bahwa L. lecanii patogenik terhadap kutudaun. Penggunaan cendawan L. lecanii di pertanaman kedelai untuk pengendalian R. linearis diduga juga akan berpengaruh terhadap kutudaun A.
glycines. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji dampak perlakuan
cendawan entomopatogen L. lecanii terhadap serangga lain bila diaplikasikan di lapang.
(b)
25
Gambar 10 Koloni L. lecanii yang tumbuh pada bangkai kutudaun pada perlakuan selain kontrol
Pengaruh L. lecanii terhadap Jumlah Anakan yang Dihasilkan
Kutudaun berkembangbiak secara partenogenetik sehingga populasinya dapat meningkat cepat dalam kondisi baik. Rata-rata jumlah individu baru tertinggi yang dihasilkan kutudaun A. glycines didapatkan pada kontrol yaitu 64,8 ekor kutudaun dari total jumlah awal yaitu 20 ekor kutudaun dari tiap cawan (Tabel 7). Dalam kurungan lebih luas, satu ekor kutudaun A. glycines dapat menghasilkan anakan kurang lebih 21 nimfa selama hidupnya (Rohajati 1976). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi jumlah anakan yang dihasilkan kutudaun pada waktu penelitian, di antaranya: kondisi kelembaban dalam cawan petri tempat kutudaun diperlakukan yang tinggi, sress karena terbatasnya ruang gerak maupun sirkulasi yang kurang baik di dalam cawan petri sehingga kurang memungkinkan bagi kutudaun untuk memproduksi anakan dalam jumlah yang normal. Selain itu, kutudaun pada perlakuan selain kontrol juga menghasilkan anakan namun dalam kuantitas yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh terganggunya fisiologi kutudaun tersebut. Cendawan L.
lecanii yang disemprotkan pada kutudaun mampu melakukan penetrasi kedalam
tubuh kutudaun dan mengganggu reproduksi anakan baru sebelum akhirnya kutudaun tersebut mati.
Tabel 7 Kumulatif jumlah anakan yang dihasilkan A. glycines selama sebelas hari pengamatan
Perlakuan
Ulangan Individu baru
1 2 3 4 Rata-rata/cawan Rata-rata/betina± SD1 Kontrol 77 65 52 65 64,8 3,2 ± 6,34a 10⁵ 14 8 22 74 29,5 1,5 ± 5,69bc 10⁶ 30 32 73 12 36,8 1,8 ± 5,16b 10⁷ 33 14 16 20 20,8 1,0 ± 3,16bc 10⁸ 28 30 23 5 21,5 1,1 ± 3,95bc 10⁹ 3 3 9 5 5,0 0,3 ± 1,08c 1
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan = 0,05.
Pengamatan terhadap jumlah anakan yang dihasilkan oleh imago A.
glycines dilakukan selama sebelas hari. Penyemprotan berbagai konsentrasi
suspensi konidia cendawan L. lecanii memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah anak yang dihasilkan. Pada perlakuan kontrol, rata-rata jumlah individu baru/betina yang dihasilkan adalah 3,2 anakan. Jumlah anakan pada kontrol berbeda nyata dengan jumlah anak yang dihasilkan pada konsentrasi yang lain. Rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan/betina pada kerapatan konidia 10⁵/ml, 10⁶/ml, 10⁷/ml, 10⁸/ml, dan 10⁹/ml berturut-turut adalah: 1,5; 1,8; 1,0; 1,1; dan 0,3 (Tabel 7). Jumlah anak yang dihasilkan pada kerapatan konidia 105/ml tidak berbeda nyata dengan jumlah anak yang dihasilkan pada konsentrasi 10⁶/ml, 10⁷/ml, 10⁸/ml, dan 10⁹/ml. Akan tetapi pada kerapatan konidia 10⁶/ml jumlah anak yang dihasilkan berbeda nyata dengan jumlah anak yang dihasilkan pada kerapatan konidia 10⁹/ml.
Kutudaun mulai menurunkan anakan pada fase imago setelah tiga kali ganti kulit. Hal ini terlihat dari data pengamatan harian yang menunjukkan anakan kutudaun sudah bisa dijumpai pada dua HSP. Dalam pengamatan harian juga dijumpai banyak kutudaun yang memproduksi sayap/alate (Gambar 11). Pada umumnya kutudaun bersayap akan diproduksi ketika kutu dalam kondisi stres. Kutudaun bersayap akan terbang ke lahan lain sehingga akan menyebabkan populasi kutudaun menurun secara drastis. Perpindahan populasi A. glycines dari
27 tanaman kedelai disebabkan oleh pertumbuhan tanaman kedelai dan adanya perubahan nutrisi (Rutledge 2006).
Gambar 11 Nimfa instar satu yang dihasilkan oleh kutudaun (a) dan kutudaun bersayap (alate) (b).
(a)