• Tidak ada hasil yang ditemukan

C- phycocyanin (PC) dan rendemen fikosianin

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultur Spirulina platensis

Spirulina platensis dikultivasi menggunakan media Walne di dalam toples dan akuarium. Rendemen pada kultivasi S. platensis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rendemen S. platensis yang dikultivasi menggunakan media Walne

Tempat Volume

(L) Bobot basah (g) Bobot kering (g) Rendemen (g/L)

Toples 2 4.46 0.44 0.22±0.05

Akuarium 40 50.61 5.77 0.14±0.22

Spirulina platensis yang dikultivasi di dalam toples menggunakan media Walne memiliki rendemen biomassa yang lebih tinggi dibandingkan S. platensis

yang dikultivasi di dalam akuarium. Perbedaan rendemen disebabkan pengaruh bentuk wadah terhadap penetrasi cahaya. Evan dan Benjamin (1981) menyatakan bahwa cahaya yang masuk pada wadah berbentuk silinder bersifat konvergen atau menuju ke satu arah sedangkan penetrasi cahaya pada wadah dengan bentuk persegi panjang cenderung bersifat divergen atau menyebar ke segala arah. Hal ini menyebabkan S. platensis yang dikultur di dalam toples dapat meyerap cahaya lebih optimal dibandingkan S. platensis yang dikultur di dalam akuarium. Cahaya merupakan faktor penting dalam pertumbuhan S. platensis yang dibutuhkan pada proses fotosintesis dan pertumbuhan sel untuk pembentukan metabolit primer dan sekunder. Hasil ini didukung oleh Hu dan Richmond (1996) yang menyatakan bahwa biomassa Spirulina maxima yang dikultur di dalam roux bottle kapasitas 1 L dengan intensitas cahaya 65.30 J/m2/dtk menghasilkan biomassa kering 350 mg/L, sedangkan S. maxima yang dikultur pada flat-plate photobioreactor

menghasilkan 329 mg/L biomassa kering.

Fikosianin Konsentrasi C-phycocyanin

Fikosianin merupakan protein yang terkandung dalam mikroalga hijau-biru seperti halnya S. platensis. Struktur kimia fikosianin dapat dilihat pada Gambar 5. Konsentrasi fikosianin pada S. platensis yang diekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda bufer fosfat, air, aseton+amonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5 Struktur kimia biopigmen fikosianin

Gambar 6 Konsentrasi C-phycocyanin pada S. platensis yang diekstrak

menggunakan pelarut yang berbeda. Huruf menunjukkan beda nyata terkecil pada taraf nyata 0.05 (p<0.05).

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan

Chromophore of phycocyanin (C-PC) pada fikosianin yang diekstraksi menggunakan bufer fosfat berbeda nyata terhadap fikosianin yang diekstraksi menggunakan air dan aseton+amonium sulfat (p<0.05). Konsentrasi C-PC pada ekstraksi menggunakan bufer fosfat lebih tinggi dibandingkan pelarut lainnya. Tingginya kandungan C-PC pada fikosianin yang diekstraksi menggunakan bufer fosfat dipengaruhi oleh tingkat kepolaran bahan pelarut. Bufer fosfat memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan air dan aseton, selain itu bufer fosfat merupakan larutan penyangga yang tahan terhadap perubahan pH pada proses ekstraksi. Indeks kepolaran bufer fosfat, air, dan aseton berturut-turut adalah 4.1, 10.2, dan 10.5 (Sedjati et al. 2012). Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Silveira et al. (2007) fikosianin yang diekstrak menggunakan bufer fosfat memiliki kandungan C-PC yang lebih tinggi dibandingkan air, CaCl2, NaCl, bufer asetat berturut-turut yaitu 4.2 mg/mL, 3.73 mg/mL, 3.48 mg/mL, 3.32

mg/mL, 1.84 mg/mL. Diharmi (2001) menyatakan bahwa biomassa sel

S. platensis akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar, seperti pada air dan larutan penyangga atau bufer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar misalnya aseton atau kloroform.

Rendemen fikosianin

Rendemen fikosianin diperoleh berdasarkan perbandingan dari bobot serbuk fikosianin dengan bobot biomassa kering S. platensis (b/b). Rendemen fikosianinpada S. platensis yang diekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.

a b c 0 5 10 15 20 25

bufer fosfat air aseton+ A. sulfat R endem en P C (%) Pelarut

Gambar 7 Rendemen fikosianin pada S. platensis yang diekstrak menggunakan tiga jenis pelarut berbeda. Huruf menunjukkan beda nyata terkecil pada taraf nyata 0.05 (p<0.05).

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiram 6) menunjukkan bahwa rendemen fikosianin yang diekstraksi menggunakan bufer fosfat berbeda nyata terhadap air dan aseton (p<0.05). Rendemen fikosianin tertinggi terdapat pada ekstraksi menggunakan bufer fosfat yaitu 20.22% dari bobot keringnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Silveira et al. (2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi menggunakan 0.1 M Na bufer fosfat memiliki rendemen 11.62% lebih tinggi dibandingkan 1% CaCl2 (4.47%) dan air (4.68%). Setyantini et al. (2014) menyatakan bahwa pelarut Na bufer fosfat mampu menarik fikosianin lebih efisien dibanding pelarut lainnya karena memiliki tingkat kepolaran yang lebih tinggi, sehingga rendemen fikosianin yang dihasilkan pada ekstraksi menggunakan bufer fosfat lebih banyak dibandingkan air dan aseton.

Total protein fikosianin

Fikosianin merupakan senyawa protein yang termasuk kedalam kelompok

phycobiliprotein dan digunakan sebagai penyimpan cadangan nitrogen pada

S. platensis. Hasil analisis total protein pada fikosianin dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Total protein pada fikosianin yang diekstrak menggunakan beberapa jenis pelarut. Huruf menunjukkan beda nyata terkecil pada taraf nyata 0.05 (p<0.05).

Hasil uji Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa kandungan protein pada fikosianin yang diekstraksi menggunakan bufer fosfat berbeda nyata terhadap air dan aseton (p<0.05). Kandungan protein terendah terdapat pada ekstraksi fikosianin menggunakan bufer fosfat yaitu 1.88%. Hal ini menunjukkan tingkat kemurnian fikosianin yang diekstraksi menggunakan bufer fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan air dan aseton+amonium sulfat. Bufer fosfat merupakan larutan penyangga yang dapat mempertahankan pH dan menjaga kestabilan protein.

Tingginya kandungan protein pada fikosianin yang diekstrak menggunakan aseton + amonium sulfat diduga berkaitan dengan masih adanya komponen zat pengotor yang terdapat pada fikosianin. Hal ini diperkuat oleh Pankaj et al. (2010) yang menyatakan bahwa amonium sulfat dapat terdekomposisi menjadi ammonia, nitrogen, sulfur dioksida dan air pada suhu tinggi sehingga protein yang terukur bukan hanya fikosianin namun juga hasil dekomposisi dari amonium sulfat.

Hasil analisis pada parameter konsentrasi C-PC, rendemen fikosianin, dan total protein fikosianin menunjukkan bahwa pelarut terbaik dalam ekstraksi fikosianin adalah bufer fosfat dengan konsentrasi C-PC, rendemen fikosianin, dan total protein fikosianin berturut-turut yaitu 8 mg/mL, 20.22 mg/g, dan 1.88%.

Senyawa Aktif Spirulina platensis

Identifikasi senyawa aktif pada kapsul Spirulina, ekstrak kasar dan fikosianin dari S. platensis dilakukan dengan cara uji fitokimia. Menurut Ramesha dan Srivinas (2014) analisis fitokimia bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa kimia yang bertindak sebagai sumber bahan alami untuk pembuatan obat-obatan dalam bidang farmasi maupun ilmu kesehatan. Pengujian fitokimia yang dilakukan pada kapsul Spirulina, ekstrak kasar, dan fikosianin dari

S. platensis meliputi komponen alkaloid, flavonoid, steroid, titerpenoid, dan fenol hidrokuinon.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapsul Spirulina, ekstrak kasar, dan fikosianin mengandung senyawa alkaloid yang positif pada pereaksi Meyer dan

Dragendorff (Tabel 2). Alkaloid pada organisme memiliki potensi sebagai antibakteri, antikanker (Paragathi et al. 2013), antihiperglikemik (Rahman 2011), hepatoprotektor dan inhibitor HIV (Njamnong et al. 2009). Beberapa peneliti juga menyatakan bahwa alkaloid dan turunannya dapat berfungsi sebagai antimalaria hal ini didukung oleh Zahari et al. (2014) yang menunjukkan bahwa isoquinoline

alkaloid yang berasal dari tanaman Dehaasia longipediqulata dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium dengan nilai IC50 antara 0.031 hingga 30.4 µM. Julianti et al. (2014) juga melaporkan bahwa alkaloid carpaine dari daun pepaya dapat menghambat pertumbuhan P. falciparum dengan konsentrasi IC50 20-5000 ng/mL. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa alkaloid yang berasal dari S. platensis dan turunannya juga dapat menghambat pertumbuhan P. falciparum dan berpotensi sebagai antimalaria.

Tabel 2 Komponen aktif S. platensis Komponen Aktif Ekstrak Kasar Kapsul

Spirulina Fikosianin Standar warna

Alkaloid

Meyer + + + Endapan putih

Dragendorff + + +

Endapan merah atau

Jingga

Wagner - - - Endapan coklat

Steroid + + -

Perubahan warna merah menjadi biru/hijau

Flavonoid - - - Lapisan amil akohol

Saponin + + + Terbentuknya busa

Fenol

hidrokuinon - - +

Warna jingga, hijau hingga hijau kebiruan

Keterangan: (-) Tidak terdeteksi, (+) Terdeteksi

Kapsul Spirulina dan ekstrak kasar dari S. platensis mengandung senyawa steroid, namun senyawa ini tidak terkandung pada fikosianin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa steroid dan turunannya seperti thiopurine, steroidal,

triazole dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium dan direkomendasikan sebagai obat antimalaria (Reksten et al. 2011; Corrales et al. 2011). Steroid merupakan produk metabolit sekunder yang dihasilkan dari proses glikolisis yang diubah menjadi Malonyl CoA dan isoprene (Khanam 2007). Senyawa ini berfungsi sebagai immunomodulator, meningkatkan kekebalan tubuh dan stamina, menurunkan kolesterol darah dan mendorong aktivitas antidiabetes (Matsumoto et al. 2002).

Seluruh sampel uji mengandung senyawa saponin. Saponin merupakan komponen lipida polar yang bersifat ampifilik (memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik). Saponin dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk busa atau menghemolisis darah. Senyawa ini memiliki aktivitas sebagai antimikroba, merangsang sistem imun dan mengatur tekanan darah (Muchtadi et al. 2006).

Spirulina platensis dan turunannya tidak mengadung flavonoid. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sari (2011) yang menyatakan S. platensis mengandung senyawa flavonoid 4.599 mg/g. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Abd El-Baky et al. (2009) yang menyatakan bahwa S. maxima mempunyai kadar flavonoid 5.12 mg/g.

Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan. Biosintesis flavonoid terjadi pada shikimic acid pathway. Jalur ini merupakan jalur intermediat biosintesis karbohidrat C6 menjadi C3 (phenyl propane derivate) dan asam amino dengan produk metabolit sekunder pada jalur pertama yaitu tanin, vanillin, lignin, dan flavonoid, sedangkan jalur metabolit sekunder pada jalur kedua yaitu peptida dan alkaloid (Khanam 2007). Tidak adanya kandungan flavonoid pada S. platensis dan turunannya diduga karena biosintesis pentose phosphate melalui jalur shikimic acid pathway dialihkan pada jalur kedua yaitu pembentukan cincin aromatik,

alipatik, dan asam amino sehingga kandungan protein dan alkaloid pada S. platensis lebih besar dibandingkan flavonoidnya. Jalur metabolit primer dan

sekunder S. platensis dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Jalur metabolit primer dan sekunder pada S. platensis. Sumber: Khanam (2007)

Fraksi Senyawa Aktif Spirulina platensis

Isolasi senyawa aktif S. platensis dilakukan dengan cara fraksinasi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan senyawa kimia secara kimia-fisika berdasarkan kecepatan migrasi atau rasio distribusi dari komponen campuran fase diam dan fase gerak (Hancu et al. 2011). Kromatografi lapis tipis merupakan metode yang relatif sederhana, cepat dan umum digunakan untuk mengidentifikasi zat farmasi.

Penelitian ini menggunakan enam jenis rasio eluen sebagai fase gerak

yaitu: A) diklorometana: methanol (4:1), B) diklorometana: n-heksana (3:2), C) diklorometana: kloroform (1:1), D) diklorometana: kloroform (1:4), E) methanol: diklorometana: n-heksana (1:3:1), F) diklorometana: kloroform: n-heksana (3:2:1). Berdasarkan perbedaan jenis eluen yang digunakan diperoleh sejumlah fraksi yang ditandai adanya bercak dengan nilai retardation factor (Rf)

Gambar 10 Kromatogram ekstrak kasar S. platensis. (A) diklorometana, (B) diklorometana: metanol (4:1), (C) diklorometana: n-heksana (3:2), (D) diklorometana: kloroform (1:1), (E) metanol: diklorometana: n-heksana (1:3:1), (F) diklorometana: kloroform: n-heksana (3:2:1). Pemilihan eluen tersebut dilakukan berdasarkan trial and eror, percobaan sebelumnya dilakukan menggunakan beberapa jenis eluen tunggal dari senyawa polar hingga nonpolar seperti aseton, etanol, metanol, etil asetat, diklorometana, n-heksana, dan kloroform. Pemisahan senyawa terbaik terdapat pada diklorometana sehingga dilakukan percobaan kembali menggunakan kombinasi diklorometan dengan eluen lainnya. Gambar 10 kombinasi C diklorometana: metanol (1:1) menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dapat ditarik oleh eluen cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan fraksi lain karena fase gerak (eluen) tidak dapat menarik senyawa yang ada di dalam ekstrak sehingga tertahan di bagian bawah. Kombinasi B, D, dan E menunjukkan pemisahan senyawa aktif yang kurang sempurna.

Pemisahan senyawa terbaik terdapat pada kombinasi A (diklorometana) dan kombinasi F diklorometana: kloroform: n-heksana (3:2:1). Kedua fraksi dengan rasio eluen tersebut dapat melarutkan 10 hingga 13 komponen senyawa aktif. Masing-masing jenis eluen menunjukkan bercak dengan nilai Rf yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu cara penerapan sampel pada pelat, ukuran dan jenis bejana, kondisi pelat saat adanya

fase gerak, serta komposisi eluen (Custanzo 1997). Hal ini juga diperkuat oleh Rohalison et al. (1999) yang menyatakan bahwa pemakaian eluen sebagai

campuran pelarut organik dengan perbandingan yang berbeda akan mempengaruhi pemisahan molekul-molekul zat yang terkandung dalam sampel. Nilai Rf diperoleh dari perbandingan jarak tempuh antara senyawa dengan jarak tempuh fase gerak (eluen).

Nilai Rf pada kromatogram fraksi F dengan kombinasi diklorometana: kloroform: n-heksana (3:2:1) memiliki pemisahan komponen aktif yang cukup baik bila dibandingkan dengan kombinasi eluen lainnya. Kombinasi diklorometana: kloroform: n-heksana (3:2:1) menghasilkan 10 fraksi yang

A B C D E F

Rf 0.95

Rf 0.83

Rf 0.78

berbeda dengan nilai Rf 0.04, 0.10, 0.17, 0.21, 0.27, 0.42, 0.51, 0.78, 0.83, dan 0.95. Fraksi yang telah dideteksi menggunakan UV kemudian divisualisasi menggunakan reagen tertentu untuk mendeteksi keberadaan senyawa aktif. Tujuan lain penggunaan reagen adalah mengetahui jenis golongan pada tiap fraksi. Reagen yang digunakan untuk visualisasi senyawa aktif yaitu FeCl3, anisaldehida – asam sulfat, amonia, dan Dragendorff. Reagen FeCl3 digunakan untuk mendeteksi senyawa flavonoid yang ditandai dengan warna kuning – coklat, anisaldehida – asam sulfat digunakan untuk mendeteksi senyawa steroid yang ditandai dengan warna biru – ungu dan senyawa fenol yang ditandai dengan warna kuning – coklat. Uap amonia digunakan untuk mendeteksi senyawa alkaloid yang ditandai dengan noda atau bercak coklat pada pelat KLT, sedangkan

Dragendorff digunakan untuk mendeteksi alkaloid dengan perubahan warna menjadi kuning atau jingga (Wagner dan Bladt 1996). Kromatogram ekstrak

S. platensis yang divisualisasi menggunakan beberapa jenis reagen dapat dilihat paa Gambar 11.

Gambar 11 Kromatogram ekstrak S. platensis hasil visualisasi menggunakan reagen (A) FeCl3, (B) anisaldehida – asam sulfat, (C) uap amonia, (D) Dragendorff.

Hasil visualisasi kromatogram pada ekstrak S. platensis menunjukkan bahwa senyawa yang terdeteksi pada ekstrak S. platensis yaitu steroid yang terletak pada Rf 0.42 dan Rf 0.51 ditunjukkan dengan adanya warna biru – ungu. senyawa flavonoid dan fenol tidak terdeteksi pada ekstrak S. platensis yang ditandai dengan tidak adanya perubahan warna kuning – coklat pada penyemprotan menggunakan FeCl3. Senyawa alkaloid terdeteksi pada Rf 0.78 dan

Rf 0.83 yang ditandai dengan adanya bercak coklat pada uap amonia, dan perubahan warna kuning – jingga pada penyemprotan menggunakan Dragendorff.

Rf 0.83 Rf 0.78 Rf 0,51 Rf 0.42 Rf 0.78 Rf 0.83 A B C D

Evans (2006) menyatakan bahwa senyawa alkaloid dapat dideteksi menggunakan tiga jenis pereaksi yaitu Meyer, Dragendorff, dan Wagner. Ketiga pereaksi tersebut menunjukkan perbedaan sesitivitas terhadap jenis alkaloid yang berbeda.

Meyer mengadung kalium klorida dan merkuri klorida yang sensitif terhadap

heterocyclic alkaloid, Dragendorff mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida yang sensitif terhadap non heterocyclic alkaloid, sedangkan Wagner mengandung kalium iodida dan jood yang sensitif terhadap alkoloid golongan indole. Hasil visualisasi kromatogram ini didukung oleh hasil fitokimia yang menunjukkan bahwa ekstrak kasar S. platensis mengandung senyawa alkaloid yang positif pada

Meyer dan Dragendorff. Pemilihan fraksi yang digunakan pada pengujian aktivitas inhibisi P. falciparum yaitu fraksi 08 dengan Rf 0.78 yang diduga merupakan senyawa alkaloid.

Aktivitas Inhibisi S. platensis terhadap P. falciparum

Analisis aktivitas inhibisi S. platensis dalam menghambat pertumbuhan

P. falciparum 3D7 (sensitive cloroquine) dilakukan dengan menghitung nilai IC50

(50% inhibitory concentration) pada masing-masing sampel uji. Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini artemisinin dengan konsentrasi 10-3 hingga 10-10 M, sedangkan konsentrasi obat atau bahan uji yang digunakan yaitu 104

hingga 10-2 µg/mL (ppm). Nilai IC50 (50% inhibitory concentration) penghambatan pertumbuhan parasit P. falciparum dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengujian penghambatan pertumbuhan parasit P. falciparum 3D7 menunjukkan bahwa kapsul Spirulina bersifat active dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum dengan nilai IC50 2.16 µg/mL, ekstrak kasar, dan fraksi 08 Spirulina yang dikultur menggunakan media Walne bersifat moderately active dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum 3D7 dengan IC50 < 50 µg/mL, sedangkan fikosianin bersifat lowly active dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum 3D7dengan nilai IC50 158.48 µg/mL.

Tabel 3 Nilai IC50 penghambatan pertumbuhan parasit P. falciparum 3D7

Jenis sampel IC50 (µg/mL) Standar Informasi

Artemisinin (ART) 0.0003± 0.42 <10 µg/mL Highly active

Kapsul Spirulina 2.16± 0.038 <10 µg/mL Active

Ekstrak kasar

S. platensis

19.11± 0.37 <50 µg/mL Moderately Active

Fraksi 08 S. platensis 11.41± 0.038 <50 µg/mL Moderately Active

Fikosianin 158.48± 0.43 >50 µg/mL Lowly active

Literatur

Artemisinin 0.002 ± 0.008 Ramazani et al. 2010

Cloroquine 1.250± 0.02 Ramazani et al. 2010

Pyronaridine 0.0026± 0.03 2.9 nM Paradines et al. 1998

Amodiaquine 0.0034± 0.06 9.6 nM Paradines et al. 1998

Kapsul Spirulina, ekstrak kasar, dan fraksi 08 bersifat aktif dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum diduga karena mengandung senyawa alkaloid. Lusiana (2009) dan Lohombo-ekombo et al. (2004) melaporkan bahwa senyawa alkaloid yang diekstrak dari tanaman Albertisia papuana sangat potensial sebagai antimalaria dapat menghambat pertumbuhan P. falciparum 3D7 dengan nilai IC50 73 nM. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan potensi alkaloid sebagai antimalaria. Zahari et al. (2014) melaporkan bahwa isoquinoline alkaloid yang berasal dari tanaman Dehaasia longipediqulata dapat menghambat

pertumbuhan P. falciparum dengan nilai IC50 antara 0.031 hingga 30.4 µM. Julianti et al. (2014) melaporkan bahwa alkaloid carpaine dari daun pepaya dapat

menghambat pertumbuhan P. falciparum dengan konsentrasi IC50 20-5000 ng/mL. Senyawa lain yang diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan

P. falciparum yaitu steroid. Senyawa ini terkandung pada kapsul Spirulina dan ekstrak kasar S. platensis namun steroid tidak terkandung pada fikosianin. Reksten et al. (2011) menyatakan bahwa oral steroid yang diberikan pada penderita malaria dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium dengan cara meningkatkan sistem imun tubuh dan mereduksi level pro-inflamatory cytokines. Corrales et al. (2010) melaporkan bahwa turunan steroid seperti thiopurine dan

triazole dapat menghambat pertumbuhan Plasmodium secara in-vitro dan in-vivo

dengan IC50 13.9-22.8 µM. Tingginya aktivitas inhibisi P. falciparum 3D7 pada kapsul Spirulina dan ekstrak kasar S. platensis diduga karena adanya perpaduan lebih dari satu senyawa aktif yang sinergis seperti alkaloid, steroid, dan saponin sehingga dapat meningkatkan aktivitas penghambatan pertumbuhan P. falciparum

3D7.

Fikosianin bersifat lowly active (keaktifan rendah) dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum dengan nilai IC50 158.489 µg/mL. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Pankaj et al. (2010) yang menyatakan bahwa fikosianin yang berasal dari Nostoc (Cyanobacter) dapat menghambat pertumbuhan parasit

Plasmodium dengan nilai IC50 8.4-12.0 µg/mL. Perbedaan nilai IC50 pada penelitian ini disebabkan tidak adanya purifikasi dan fraksinasi pada proses ekstraksi fikosianin sehingga fikosianin yang digunakan masih dalam bentuk ekstrak kasar hal ini dibuktikan dengan ratio purity C-PC yang difraksinasi menggunakan amonium sulfat 35-70% berkisar antara 1.48 – 3.25 sedangkan

ratio purity C-PC pada ekstrak kasar fikosianin yaitu 0.99 (Pankaj et al. 2010). Beberapa mikroalga golongan cyanobacter juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan parasit Plasmodium dengan IC50 yang cukup baik antara lain dari jenis Calothrix dapat menghambat pertumbuhan P. falciparum

dengan nilai IC50 58 nM (Rickards et al. 1999), Scizothrix dengan IC50 1 µg/mL (Linington et al. 2009), Oscillatoria sp dengan nilai IC50 8.2 µM (Linington et al. 2007), Oscilatoria nigro viridis dengan IC50 5.8 µM (Simmons et al. 2008) Symploca dengan IC50 0.7 mM (Stolze et al. 2012),

Morfologi P. falciparum dengan mikroskop cahaya

Morfologi P. falciparum yang dipaparkan dengan bahan uji seperti kapsul

Spirulina, ekstrak kasar, fikosianin, dan fraksi 08 dari S. platensis dan artemisinin pada konsentrasi masing-masing konsentrasi IC50 selama 48 jam dan diamati menggunakan mikroskop cahaya dapat dilihat pada Gambar 12.

Dipapar dengan P.falciparum

Kontrol (tidak ada paparan) Artemisinin Kapsul Spirulina Ekstrak kasar Fikosianin Fraksi 08

* Tanda panah menunjukkan kerusakan sel parasit.

Gambar 12 Morfologi P. falciparum dilihat dengan mikroskop cahaya perbesaran 1000 x

Hasil pengamatan menggunakan mikroskop cahaya (perbesaran 1000x) menunjukkan bahwa parasit P. falciparum tanpa perlakuan (kontrol) mengalami pertumbuhan yang baik dan bentuk morfologi normal. Hal ini terlihat parasit

P. falciparum dapat tumbuh menjadi tropozoit dewasa dan dapat membentuk hemozoin yang ditunjukkan dengan warna kuning kecoklatan, sedangkan parasit

yang diberi perlakuan kapsul Spirulina, ekstrak kasar S. platensis dan artemisinin (kontrol positif) mengalami bentuk krisis terlihat dari inti yang menebal dan berwarna gelap, terjadi kerusakan membran sel parasit P. falciparum dan tidak terlihatnya pigmen parasit yang seharusnya terbentuk pada stadium tropozoit sedangkan pada perlakuan fikosianin masih terbentuk pigmen parasit (hemozoin) seperti halnya pada kontrol.

Morfologi Parasit P. falciparum menggunakan TEM

Analisis morfologi menggunakan Transmission Electron Microscope

(TEM) dengan perbesaran 100 000 x bertujuan untuk melihat sel parasit secara jelas sehingga dapat diketahui mekanisme obat atau bahan uji dalam menghambat

pertumbuhan P. falciparum. Pengujian TEM dilakukan terhadap parasit

P. falciparum yang dipaparkan kapsul Spirulina dengan konsentrasi 2.16 µg/mL. Hasil pengamatan morfologi P. falciparum menggunakan TEM dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Morfologi sel parasit P. falciparum dilihat dengan TEM pada perbesaran 10 000 x. Gambar a1 dan a2 (parasit kontrol tanpa perlakuan), sedangkan b1, b2, b3 (parasit yang dipaparkan oleh

Spirulina dengan konsentrasi IC50. Cytostoma (Ct), digestive vacuole (DV), digestive vacuole membrane (DVM), mitochondria

(M), hemozoin (Hz), red blood cell (RBC), nucleous (N), tanda panah menunjukkan kerusakan membran parasit.

Parasit kontrol yang tidak diberi perlakuan memiliki struktur sel yang normal, membran parasit terlihat jelas dan masih adanya membran inti maupun mitokondria. Parasit kontrol (Gambar 12a.1 dan 12a.2) atau tidak ada paparan memiliki pigmen malaria (hemozoin) yang terlihat sangat jelas, sedangkan parasit yang dipaparkan kapsul Spirulina selama 24 jam memperlihatkan kerusakan sel dan tidak terbentuknya hemozoin. Gambar b.1, b.2, dan b.3 terlihat membran dari beberapa organel sel parasit tidak dapat dibedakan lagi bahkan membran sel parasit sudah tidak terlihat sehingga diduga terjadi kerusakan membran organel sel dan membran sel parasit. Parasit yang terpapar Spirulina juga menunjukkan adanya hambatan pada pembentukan hemozoin bila dibandingkan dengan kontrol.

Terganggunya struktur dan fungsi dari vakuola makanan dapat menyebabkan tidak terbentuknya pigmen parasit (Hemozoin). Sherman (1998) menyatakan bahwa vakuola makanan yang terdapat pada Plasmodium berfungsi sebagai lisosom sekunder dengan pH sekitar 5.0. Hemoglobin yang terdapat di dalam sitoplasma sel darah merah dimakan oleh parasit melalui mekanisme endositosis dan masuk ke dalam vakuola makanan. Hemoglobin yang terdapat di dalam vakuola makanan mengalami degradasi oleh enzim aspartate protease dan cysteine protease (Plasmepsin, Falsipain) yang berfungsi melepaskan ikatan peptida dari protein globulin sehingga terbentuk asam amino-asam amino yang diperlukan untuk sintesis protein oleh Plasmodium. Pemberian klorokuin mengakibatkan perubahan bentuk pada vakuola makanan Plasmodium, sehingga tampak mengalami pembesaran dan penurunan jumlah pigmen malaria serta terjadi pula pengelompokan ribosom, pembengkakan mitokondria dan retikulum endoplasma. Perubahan morfologi ini menunjukkan bahwa klorokuin dapat menghambat maturasi Plasmodium dengan mengganggu fungsi normal dari vakuola makanan

Mekanisme kerja kapsul Spirulina diperkirakan memiliki kesamaan dengan klorokuin yaitu menggangu fungsi normal dari vakuola makanan melalui beberapa cara yaitu menghambat proliferasi feriprotoporpirin IX dan peningkatan pH dalam vakuola. Krogstad et al. (1987) menyatakan bahwa energi yang digunakan oleh parasit berasal dari hemoglobin sel darah merah yang dihancurkan di dalam vakuola makanan. Hemoglobin tersebut mengalami degradasi menjadi heme bebas dan protein globin. Heme mengandung feriprotoporpirin IX yang bersifat toksik dan dapat melisiskan parasit melalui mekanisme pertahanan tubuh

Dokumen terkait