• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Populasi Kepuh

Klasifikasi dan morfologi kepuh

Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan spesies dalam famili Malvaceae, berdasarkan identifikasi yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat diklasifikasikan (National Tropical Botanical Garden 2003):

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida SubKelas : Dilleniidae Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Sterculia

Spesies : Sterculia foetida L.

Sterculia foetida di Indonesia secara umum dikenal dengan nama kepuh. Beberapa daerah mengenal tumbuhan ini dengan nama kabu-kabu (Batak), kapok/kepuh/kepoh (Jawa), kalumpang (Madura), gelumpang/kalumpang (Sumbawa), wuwu (Bima), kalumea (Kendari), kajumpang (Waengapu), wuhak kepo (Solor), kalumea (Tolaki), wuhak (Sulawesi Tenggara), kailupa furu (Ternate), kailipa buru (Tidore) dan plani (Wetar) (Datta 1996; Heyne 1987; Tantra 1976). Beberapa negara mengenal kepuh dengan nama jangli badam (Bengali), letpan-shaw (Burmese), wild almond tree/bastard poon tree/hazel sterculia/ java olive/stinky sterculia (English), virhoi/asakshara/badam janjal/sembadam/goldaru/jangli badam (Hindi) dan kelumpang (Malaysia) (Orwa et al. 2009).

Kepuh merupakan pohon berukuran besar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi mencapai 45 m, diameter 90 - 125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriatna 2010). Batangnya lurus, bercabang banyak dengan bentuk simpodial. Batang memiliki ciri khas tegak dengan kulit mengelupas. Warna batang luar abu-abu, coklat muda sampai tua.

Menurut Sumantri dan Supriatna (2010), daun kepuh berbentuk majemuk menjari/menyirip dengan 7 - 9 anak daun (foliolum). Foliolum berbentuk lanset, panjang helaian daun (lamina) antara 5 - 21 cm, lebar daun antara 3 - 9 cm dengan warna permukaan atas daun hijau sampai hijau tua dengan tekstur agak kasar sampai kasar karena tidak memiliki lapisan lilin. Tangkai daun (petiolus) relatif pendek dengan ukuran 12.5 - 37 cm, ukuran daun dapat mencapai 5 - 22 cm dengan ketebalan antara 0.025 - 0.06 cm (Yuniastuti et al. 2009).

Bunganya berkelamin tunggal, berumah satu, biasa terdapat pada ketiak daun yang masih muda, warna merah tua dan mengeluarkan bau busuk (Sumantri dan Supriatna 2010; Tantra 1976). Pembuahan kepuh dibantu oleh serangga seperti lalat, kumbang dan lebah. Bunga kepuh di Kab. Sumbawa biasanya muncul mulai bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus.

18

Bunga kepuh memiliki bau yang khas. Beberapa orang menganggap bau tersebut menarik, namun sebagian besar lainnya mengakui bahwa bau yang dikeluarkan oleh bunga kepuh seperti bau busuk. Bahkan ada keyakinan masyarakat tertentu di bagian selatan Kab. Sumbawa bahwa bau yang dikeluarkan tersebut membawa penyakit seperti demam dan lain-lain.

Mengacu pada asal muasal nama kepuh, maka nama ilmiah kepuh berkaitan erat dengan aroma yang dikeluarkan dari bunga kepuh. Menurut Orwa et al. (2009), nama ilmiah kepuh didasarkan pada kata latin “Stercus”, yang berarti kotoran, yang mengacu pada bau bunga dan daun. Sifat bau busuk ditekankan dalam nama spesies, “foetida” yang berarti busuk.

Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut Herdiana (2005), karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya berbentuk paruh. Ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih, mempunyai pericarp yang tebal (7 - 8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh tergantung individu dan faktor tempat tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu 4 - 6 bulan. Biji berwarna hitam mengkilat, banyak mengandung minyak. Jumlah biji kering sebanyak 493 - 495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan berbuah setiap tahun. Musim berbuah kepuh di Kab. Sumbawa umumnya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober.

Proses pertumbuhan dan perkembangan kepuh

Tahapan pertumbuhan kepuh di Kab. Sumbawa dimulai pada bulan November-Desember saat banyak cangkang kepuh mulai menganga dan bijinya jatuh ke tanah. Pada interval bulan ini menjadi waktu yang baik bagi awal perkembangan kepuh, mengingat intensitas hujan di Kab. Sumbawa mulai meningkat. Intensitas hujan di Kab. Sumbawa mencapai puncaknya pada bulan Januari yaitu 446 mm (BPS Kab. Sumbawa 2014).

Semai kepuh mulai bermunculan setelah biji berjatuhan dangan kondisi tanah relatif basah atau tergenang air. Hal ini karena pertumbuhan kepuh dimulai dari proses perkecambahan biji. Pertumbuhan kepuh menjadi semai mencapai puncaknya pada bulan Januari sampai awal bulan Februari. Pada bulan ini, jumlah semai dapat mencapai puluhan bahkan ratusan di sekitar satu indukan pohon. Menurut Yuniastuti et al. (2009), kepuh dapat tumbuh dengan cepat. Laju pertumbuhannya cukup pesat pada tahap awal kemudian melambat karena memerlukan cahaya yang cukup dan tempat yang lebih luas saat mulai membesar (Orwa et al. 2009).

Prihatin (2000) menjelaskan, salah satu teknik pembiakan vegetatif kepuh adalah dengan cara stek, baik stek pucuk maupun stek batang. Stek pucuk diakui sebagai bahan stek terbaik karena mempunyai kemampuan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan stek batang. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian Santoso (2011) yang menunjukkan bahwa perkembangbiakan kepuh menggunakan stek batang mencapai rata-rata 8 helaian daun selama 3 bulan dengan bantuan zat pengatur tumbuh (ZPT) 4 ppm selama 24 jam. Konsentrasi ini diakui sebagai konsentrasi hasil terbaik dari beberapa perlakuan yang diberikan. Media perakaran terbaik untuk pertumbuhan stek adalah media serabut kelapa, sedangkan penggunaan zat pengatur tumbuh (rootone-f) sebanyak 150 mg/stek adalah

19 komposisi yang paling efektif untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek (Prihatin 2000).

Proses kepuh dari semai menjadi pancang memerlukan waktu sampai satu tahun. Pengalaman peneliti saat memelihara semai kepuh dengan ukuran tinggi 20 cm menggunakan media tanam tanah:pasir yaitu 1:1, selama 3 bulan pertama pertumbuhannya meningkat, tingginya mencapai 30 cm (Gambar 5). Selama proses ini perlakuan yang diberikan hanya berupa penyiraman teratur tanpa ada pemberian pupuk tertentu.

Gambar 5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan (30 cm)

Masa yang paling riskan bagi perkembangan kepuh di Kab. Sumbawa ialah peralihan pertumbuhan dari semai menjadi pancang. Pada fase pertumbuhan ini tidak banyak individu yang berkembang menjadi pancang apalagi menjadi tiang dan pohon. Permasalahan pada tingkat semai bukan hanya terjadi di Kab. Sumbawa namun juga terjadi di tempat lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ada masalah pada tahap pertumbuhan kepuh yang perlu diperhatikan.

Permasalahan lainnya dalam pertumbuhan dan perkembangan kepuh ialah potensi biji menjadi anakan kepuh belum maksimal. Banyak diantara biji yang jatuh, hanya membusuk dan tidak bergenerasi kembali. Menurut Zanzibar (2011), biji kepuh mempunyai watak semi ortodok dengan kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga viabilitasnya akan cepat menurun jika disimpan pada suhu kamar dan relatif lebih aman jika disimpan pada suhu rendah. Kadar air biji yang aman untuk penyimpanan berkisar antara 6 - 10%, kondisi tersebut dapat diperoleh dengan cara diangin-anginkan selama 2 - 3 hari pada ruang kamar (T: 250C, Rh: 70 - 90%) kemudian biji dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam ruangan dingin (DCS atau refrigerator).

Pada fase pertumbuhan pancang tidak diketahui persis lama waktu pertumbuhan menjadi tiang, namun demikian dapat diyakini seperti yang diungkapkan oleh para tetua di Kab. Sumbawa bahwa fase ini memerlukan waktu bertahun-tahun. Sama halnya dengan pancang ke tiang, proses pertumbuhan dan

20

perkembangan menuju tingkat pohon pun demikian, memerlukan waktu yang lama tergantung pada kondisi abiotik di mana tumbuhan kepuh tumbuh.

Kendala lainnya dalam pertumbuhan kepuh ialah hama dan penyakit. Pada awal pertumbuhannya, kepuh di India diserang larva Sylepta balteata mencapai 70 - 80% (Orwa et al. 2009). Hasil penemuan di lapangan, batang kepuh yang masih hidup juga dihinggapi serangga. Serangga tersebut berasal dari ordo Hemiptera dan famili Pyrrhocoridae. Jenis serangga dari famili Pyrrhocoridae termasuk hama penyakit yang menyerang tanaman (Ernawati dan Utami 2010). Jenis serangga ini lebih banyak diketahui hidup pada kulit batang yang mati.

Pertumbuhan dan perkembangan kepuh dapat meningkat dengan berbagai cara. Selain dengan cara merekayasa faktor abiotik atau memberikan horman tertentu seperti auksin, giberelin, sitokinin atau hormon yang lainnya, dapat juga dengan melakukan pemangkasan/pemotongan ujung batang dan melukai bagian batang sampai mengenai daerah kambium. Hal ini berfungsi merangsang hormon- hormon tersebut bekerja secara baik.

Melalui pemotongan ujung batang, maka dominansi apikal akan hilang artinya auksin yang dihasilkan oleh ujung batang akan mendominasi pertumbuhan batang utama, sehingga pertumbuhan cabang relatif sedikit. Cara ini juga diyakini dapat membuat batang pohon nampak lebih lurus. Selanjutnya melukai batang sama halnya dengan membantu merangsang hormon giberelin berkerja dengan baik. Hormon giberelin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan batang lebih besar dan terbentuknya buah tanpa biji. Adapun tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh sebagai berikut:

1. Tahap awal dimulainya pertumbuhan kepuh yaitu biji yang sudah matang kemudian jatuh ke tanah yang basah atau sedikit tergenang air.

2. Setelah biji jatuh, dalam seminggu sampai dua minggu biji tersebut berubah menjadi kecambah ditandai dengan munculnya radikula, hipokotil dan akar. Pada tahap ke dua ini, benih mulai berbentuk semai ditandai dengan munculnya daun (1 - 2 helai) namun masih terdapat kotiledon.

3. Kepuh menjadi semai (anakan pohon). Pada tahap ini laju pertumbuhan relatif lebih cepat dalam kondisi yang normal.

4. Semai terus bertambah besar dan tinggi. Pada tahap ini semai kepuh memerlukan cahaya matahari yang cukup.

5. Selama ± satu tahun selanjutnya kepuh berkembang menjadi pancang. 6. Paling tidak tiga tahun selanjutnya, kepuh sudah dapat menjadi tiang.

7. Kepuh menjadi individu dewasa. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan pohon kepuh dapat memakan waktu 7 - 8 tahun bahkan lebih.

8. Pohon kepuh mulai berbunga. Tidak semua kepuh pada tingkat pertumbuhan pohon langsung berbunga. Terkadang satu pohon kepuh memerlukan waktu sampai belasan tahun agar dapat berbunga. Di Kabupaten Sumbawa bunga kepuh biasa muncul mulai pada bulan Juni dan puncaknya di bulan Agustus. 9. Buah kepuh mulai muncul yaitu sekitar bulan Juli (pencilan) dan mencapai

puncak pada bulan Oktober. Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan menjadi hitam saat sudah tua. 10. Kepuh yang sudah tua dicirikan dari cangkangnya membuka. Terdapat banyak

biji di dalamnya yang saat jatuh berpeluang menjadi individu baru.

Secara ringkas visualisasi (sesuai nomor keterangan) tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh tersaji pada Gambar 6.

1 2 3 4 8 9 10 7 6 5

22

Populasi aktual

Potensi kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa secara keseluruhan berjumlah 169 individu. Jumlah ini merupakan akumulasi dari hasil eksplorasi di 12 kecamatan di luar plot pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon serta jumlah individu yang ditemukan di dalam petak tunggal pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil eksplorasi, kepuh pada tingkat semai tidak ditemukan, pancang sebanyak 5 individu serta tiang dan pohon sebanyak 84 individu. Hasil inventarisasi di petak tunggal berukuran masing- masing 1 Ha di tiga kecamatan yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara menemukan sebanyak 80 individu kepuh.

Berdasarkan kelas diameter potensi kepuh (tiang dan pohon) di Kab. Sumbawa mencapai diameter > 100 cm. Sebagian besar kepuh ditemukan dengan diameter 20 - 29 cm dan diameter di atasnya untuk kelipatan 10 cm terus berkurang (Gambar 7).

Gambar 7 Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter Berdasarkan tingkat pertumbuhan diperoleh bahwa laju regenerasi kepuh tidak berjalan normal. Kerapatan yang tinggi pada tingkat semai yaitu 61 ind/ha tidak diikuti dengan pertumbuhan pada tingkat pancang (Gambar 8).

Gambar 8 tersebut menunjukkan bahwa terdapat masalah dalam laju regenerasi kepuh. Permasalahan pertumbuhan ini tidak hanya pada peralihan antara semai ke pancang, namun pertumbuhan dari biji menjadi semai (anakan baru). Permasalahan pertama ialah jumlah biji yang potensial menjadi anakan baru dihitung dari jumlah biji yang jatuh, tidak semuanya mampu berkembang dan menjadi semai. Permasalahan kedua ialah cenderung terputusnya laju regenerasi kepuh pada pertumbuhan pancang. Permasalahan lainnya kepuh kerap terserang

14 46 11 11 9 3 2 1 1 1 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 <20 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 >100 Ju m la h I n d iv id u Kelas Diameter

23 hama penyakit. Jumlah individu kepuh dari hasil inventarisasi menggunakan petak tunggal di tiga kecamatan tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8 Populasi kepuh pada masing-masing tingkat pertumbuhan Sebagai gambaran bila rata-rata hasil penemuan tidak kurang dari 10 biji dalam satu cangkang (bahkan ada yang mencapai 28 biji), kemudian dalam satu tangkai terdapat paling sedikit lima cangkang maka akan didapatkan sebanyak 50 biji kepuh. Jumlah ini akan bertambah bila ditambahkan dengan cangkang- cangkang lain dari ranting yang berbeda. Cangkang kepuh diprediksi dalam satu kali musim panen (buah), menghasilkan ribuan biji. Namun demikian dari sekian banyak biji tersebut, penemuan individu semai kepuh masih tergolong rendah yaitu hanya 61 individu/ha.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab biji kepuh tidak mampu berkembang adalah adanya gangguan satwa liar, hewan ternak dan serangan hama. Biji kepuh, saat masih di pohon kerap dimakan oleh bajing atau jenis rodensia (satwa pengerat) lainnya, bahkan setelah jatuh ke tanah biji kepuh terkadang dimakan oleh babi hutan. Belum lagi ternak warga seperti kambing, kerbau, sapi dan kuda yang kerap berteduh di bawah pohon kepuh, menyebabkan biji kepuh yang jatuh di sekitar indukan tidak mampu hidup karena terus terinjak atau terganggu oleh aktivitas ternak tersebut.

Penemuan di lapangan, pada daerah kering biji kepuh yang jatuh relatif tidak dapat tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa biji kepuh memerlukan perlakuan yaitu pematahan dormasi. Biji kepuh paling tidak memiliki tiga lapisan kulit yang dapat memperlambat dalam proses persemaian. Menurut Sumantri dan Supriatna (2010) serta Zanzibar (2011), benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit, sehingga untuk mengecambahkannya memerlukan perlakuan pendahuluan.

Perlakukan pendahuluan yang dapat diterapkan untuk pematahan dormansi kepuh adalah pemberian air hangat selama 60 detik kemudian direndam dalam air dingin selama 12 - 24 jam. Benih yang sudah mendapat perlakuan pendahuluan dapat langsung dikecambahkan pada media tabur berupa campuran tanah dan pasir (1:1) dengan cara menanam bagian benih dalam media tabur tersebut. Cara lain yang pernah dilakukan peneliti saat memilih biji (benih) yang siap tanam

2 3 0 61 2 4 4 1 3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 Pohon Tiang Pancang Semai Ti ng ka t P er tu m bu ha n Jumlah Individu/ha

24

(berkualitas) ialah dengan merendamnya dalam air hangat atau air dingin beberapa waktu kemudian dipilih biji yang tenggelam.

Permasalahan regenerasi kepuh selanjutnya adalah rendahnya penemuan individu pada tingkat pancang. Kondisi ini dapat berdampak pada putusnya laju regenerasi kepuh. Putusnya laju regenerasi kepuh ditengah tidak adanya upaya pelestarian serta aktivitas perambahan dan alih fungsi lahan yang tidak kunjung henti, lambat laun dapat mengancam dan berakibat kepunahan pada kepuh.

Serangan hama penyakit pada kepuh juga menjadi masalah. Penemuan di lapangan kepuh di serang hama serangga. Serangga ini berasal dari ordo Hemiptera dan famili Pyrrhocoridae (Gambar 9).

Gambar 9 Hama penyakit pada batang kepuh Penyebaran dan pola sebaran spasial kepuh

Kepuh merupakan salah satu spesies yang memiliki wilayah sebaran yang luas di Asia Tenggara. Penyebarannya sampai Malaysia, Filipina, Afrika Timur, India, Srilangka, Thailand, Australia dan Hawaii. Menurut Orwa et al. (2009), kepuh pernah ditemukan di beberapa negara seperti Banglades, Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Kenya, Myanmar, Oman, Pakistan, Somalia, Tanzania, Thailand, Uganda, Yaman, Republik Zanzibar serta Ghana dan Poerto Rico.

Keberadaan kepuh di Indonesia relatif menyebar merata di beberapa pulau seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan Papua (Sumantri dan Supriatna 2010). Tumbuhan kepuh di Sumbawa dahulu kala (pengakuan orang-orang tua/sesepuh) mudah ditemukan. Sampai tahun 80-an, Kab. Sumbawa sangat tergantung dengan biji kepuh sebagai salah satu sumber bahan bakar lampu (dila), khususnya mereka yang tinggal di daerah dataran rendah atau pesisir utara Kab. Sumbawa, tersebar mulai Kec. Sekongkang (sekarang menjadi bagian Kab. Sumbawa Barat) sampai Kec. Empang (ujung bagian timur Kab. Sumbawa pada saat itu). Sebagai kebutuhan upacara adat (pengantan “pernikahan”, besunat “khitanan” dan lain-lain), biji kepuh selalu digunakan oleh masyarakat Sumbawa pada saat itu. Pada era 80-an masyarakat Sumbawa dapat menemukan khusus kebun kepuh atau lebih dikenal dengan nama “keban gelumpang”.

26

Kondisi penyebaran kepuh, kini tidak merata. Sejak awal tahun 90-an terutama saat krisis moneter dan adanya larangan penebangan kayu jenis tertentu menyebabkan kepuh mulai dilirik untuk memenuhi kebutuhan kayu dan kebutuhan ekonomi lainnya. Kondisi inilah yang menjadi awal kepuh semakin langka, menyebar secara sporadis di daerah tertentu yang tidak berpenghuni atau daerah yang penduduknya masih meyakini bahwa pohon kepuh sebagai pohon keramat serta daerah dengan penduduk yang masih rutin menggunakan tumbuhan kepuh.

Penyebaran kepuh secara sporadis kini masih dapat ditemukan di beberapa kecamatan. Beberapa diantaranya ialah Sumbawa (ibukota kabupaten), Unter Iwes, Moyo Utara, Moyo Hilir, Moyo Hulu, Lenangguar, Lopok, Plampang, Empang dan Tarano (Gambar 10). Beberapa kecamatan lainnya diakui masih ada pohon kepuh namun ternyata saat didatangi tumbuhan tersebut kini sudah tidak ada karena ditebang.

Berdasarkan pola sebarannya, kepuh di tiga kecamatan yaitu Empang, Lenangguar dan Moyo Utara cenderung mengelompok. Pola sebaran berkelompok dapat mengindikasikan bahwa secara sosio ekologis keberadaan makanan/minuman (unsur hara) terkonsentrasi pada lokasi tertentu. Selain itu secara sosio biologis sebaran mengelompok juga menunjukkan bahwa ada interaksi sosial/asosiasi diantara tumbuhan tersebut. Menurut Krebs (1998), tumbuhan dalam fase awal perkembangannya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan interaksi dengan tumbuhan lain. Oleh karenanya populasi tumbuhan di alam umumnya menyebar mengelompok dan hanya sedikit menyebar dalam pola lainnya.

Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), faktor yang dapat mempengaruhi pola sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan oleh aksi lingkungan (jenis tanah, angin, intensitas cahaya dan air), (b). faktor sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti teritorial, (c). faktor co-aktif, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi intraspesifik (d). faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada beberapa faktor sebelumnya.

Pada kasus kepuh di Kab. Sumbawa nampak bahwa kepuh relatif memilih lokasi yang berdekatan dengan sumber air. Selain itu kepuh ditemukan pada areal- areal pematang sawah, kebun maupun di hutan yang lebih terbuka, terkena cahaya matahari langsung. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga kepuh cenderung mengelompok. Data pola sebaran kepuh tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Pola sebaran kepuh di tiga kecamatan

Kecamatan Id Mu Mc Id-Mc n-Mc Mc-1 Ip Pola Sebaran

Empang 2.78 -0.29 2.71 0.07 22.29 1.71 0.52 Mengelompok Lenangguar 4.44 -0.29 2.71 1.74 22.29 1.71 1.00 Mengelompok Moyo Utara 12.50 -2.87 6.12 6.38 18.88 5.12 0.67 Mengelompok Keterangan: Id= indeks dispersi Morisita, Mu= uniform Indeks, Mc= clumped indeks, Ip= indeks

Morisita standar

Pola sebaran individu tumbuhan di alam mengikuti tiga pola yaitu acak, seragam/teratur dan mengelompok (Krebs 1998; Odum 1994; Ludwig dan

27 Reynolds 1988). Mengetahui pola sebaran tumbuhan penting sebagai data dasar pengelolaan yaitu penempatan tumbuhan pada dimensi ruang. Selain itu pola sebaran dapat menunjukkan lokasi preferensi tumbuhan tersebut. Pola sebaran acak mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen atau menunjukkan pola perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola sebaran acak cenderung lebih aman terhadap upaya pengelolaan tumbuhan. Pola sebaran seragam/teratur menunjukkan interaksi yang negatif antara individu, seperti persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).

Berdasarkan ketiga bentuk sebaran di atas, dalam bidang ekologi terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk sebaran spasial tumbuhan. Beberapa diantaranya ialah metode ratio ragam dengan nilai tengah, metode sebaran (poisson, binom positif dan binom negatif), metode indeks/ordinal, serta metode Average Nearest Neighbor. Metode ini pada prinsipnya akan menghasilakan hasil yang sama.

Salah satu pembuktian pola sebaran dilakukan menggunakan metode Average Nearest Neighbor. Menggunakan bantuan ArcGis setiap titip GPS yang diambil di lapangan dianalisis berdasarkan jarak rata-rata dari masing-masing titik dengan titik terdekatnya. Pada dasarnya metode ini hampir sama dengan indeks Morisita. Perbedaanya adalah pada metode Average Nearest Neighbor memiliki interval yang seimbang dari pada indeks Morisita, menyebabkan sistem ini lebih adil menilai pola sebaran tumbuhan khususnya tumbuhan yang berada pada margin interval. Artinya setiap pola sebaran dalam sistem ini memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Berbeda halnya dengan indeks Morisita, peluang sebaran acak hanya terjadi saat nilai IP=0. Salah satu hasil analisis pola sebaran menggunakan metode Average Nearest Neighbor tersaji pada Gambar 11.

28

Asosiasi interspesifik

Asosiasi interspesifik adalah pola interaksi yang terjadi antar spesies. Asosiasi interspesifik juga dapat diartikan sebagai pola interaksi antar spesies yang saling menguntungkan atau sebaliknya sehingga dapat menghasilkan pola tertentu. Pola asosiasi interspesifik kepuh di alam relatif positif.

Pola interaksi positif pada tumbuhan kepuh menunjukkan bahwa interaksi yang terbentuk cenderung saling menguntungkan. Berdasarkan tingkat asosiasi/nilai besarnya asosiasi menggunakan indeks Jaccard menunjukkan bahwa asosiasi yang terbentuk relatif lemah. Nilai yang terbentuk berkisar antara 0 - 0.67 dengan nilai rata-rata asosiasi yaitu 0.38. Nilai inilah yang menunjukkan bahwa tingkat asosiasi yang terbentuk tidak kuat. Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0 - 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Pola asosiasi tumbuhan kepuh terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 menjelaskan bahwa kepuh di Kec. Empang tidak membentuk asosiasi dengan spesies manapun. Kondisi ini memberi arti bahwa keberadaan kepuh di kecamatan ini tidak dipengaruhi atau mempengaruhi spesies manapun di sekitarnya. Asosiasi yang terbentuk juga menguatkan dugaan bahwa bentuk pola sebaran kepuh di kecamatan ini yakni mengelompok, bukan karena terdapat interaksi diantara kepuh dengan spesies lainnya, melainkan karena faktor abiotik seperti jenis tanah, pH tanah, angin maupun faktor lainnya seperti makanan dan minuman (unsur hara) yang terkonsentrasi pada lokasi tertentu.

Dokumen terkait