• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi Kepuh (Sterculia Foetida L) Di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi Kepuh (Sterculia Foetida L) Di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

KONSERVASI KEPUH (Sterculia foetida L.) DI KABUPATEN SUMBAWA

NUSA TENGGARA BARAT

ARYA ARISMAYA METANANDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Kepuh (Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

(4)

RINGKASAN

ARYA ARISMAYA METANANDA. Konservasi Kepuh (Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ERVIZAL AM ZUHUD dan AGUS HIKMAT.

Kepuh merupakan tumbuhan multiguna yang mulai terancam punah. Informasi tentang kondisi populasi dan pemanfaatan spesies ini belum banyak tersedia. Penelitian ini disusun dengan tujuan menganalisis potensi populasi kepuh dan karakteristik habitatnya di Kabupaten Sumbawa. Selain itu, mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh serta merumuskan strategi konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa.

Analisis potensi populasi kepuh meliputi klasifikasi dan morfologi, proses pertumbuhan dan perkembangan, populasi aktual, penyebaran dan pola sebaran serta asosiasi interspesifik. Adapun data karakteristik habitat yaitu ketinggian, kelerengan, curah hujan dan kelembaban, tutupan lahan, status kepemilikan lahan, jenis tanah serta komposisi dan dominansi spesies lain. Data kearifan lokal masyarakat terdiri dari demografi responden, berbagai bentuk pemanfaatan kepuh serta kearifan lainnya tentang kepuh. Selain itu juga dirumuskan strategi konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa menggunakan analisis SWOT.

Pengumpulan data potensi populasi dan karakteristik habitat kepuh dilakukan dengan mengeksplorasi keberadaan kepuh di 12 kecamatan serta pembuatan petak tunggal di tiga kecamatannya yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara, dengan luas masing-masing 1 ha yang setiap petaknya terdiri dari 25 plot berukuran 20 m X 20 m. Pemilihan lokasi penempatan petak didasarkan atas keterwakilan (representasi) kompleksitas tutupan lahan alami di hutan. Adapun pemilihan lokasi awal dimulainya analisis vegetasi didasarkan atas penemuan pohon kepuh (sebagai poros tengah petak) berdasarkan hasil eksplorasi atau keterangan masyarakat. Guna menguji bahwa luasan petak cukup mewakili areal yang di survey juga dianalisis menggunakan kurva spesies area (KSA), yang hasilnya menunjukkan bahwa luasan 1 ha di setiap kecamatan lebih dari cukup mewakili vegetasi sekitar kepuh.

Data kearifan lokal masyarakat tentang kepuh diperoleh dari hasil wawancara

dengan teknik snowball sampling di tiga kecamatan yaitu di Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara. Rata-rata responden yang diwawancarai

pada tahap ini berjumlah 26 orang (sebanyak 27 orang di Kec. Empang, 25 orang di Kec. Lenangguar dan 26 orang di Kec. Moyo Utara). Selain itu beberapa warga di tiga kecamatan tersebut secara acak juga diminta mengisi kuisioner berkaitan tentang sikap masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh. Adapun jumlah responden pada tahap ini mengikuti rumus Slovin dengan galat sebesar 15% yaitu 45 KK di Kec. Empang, 44 KK di Kec. Lenangguar dan 44 KK di Kec. Moyo Utara. Berdasarkan hasil eksplorasi, pembuatan petak tunggal, wawancara, overlay

(5)

Hasil eksplorasi dan pembuatan petak tunggal, menemukan 169 individu kepuh (65 semai, 5 pancang, 14 tiang, 85 pohon) di 12 kecamatan. Kepuh ditemukan dengan pola sebaran mengelompok dan cenderung tidak berasosiasi dengan spesies manapun. Berdasarkan karakteristik habitat, kepuh banyak ditemukan pada habitat dataran rendah dan pantai di ketinggian 0 - 400 mdpl.

Kepuh tidak memiliki preferensi kelerengan tertentu untuk tumbuh, namun karena membutuhkan cukup air sehingga kepuh lebih mudah tumbuh di areal yang datar dan landai. Kepuh juga dapat tumbuh di areal dengan kelembaban yang sedang dan tinggi. Beragamnya habitat serta kondisi abiotik tempat tumbuh, menjadikan kepuh terkadang ditemukan dengan bentuk yang berbeda, baik ukuran daun, jumlah biji serta warna pada cangkang kepuh.

Sebagian besar kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa merupakan individu yang tumbuh di lahan milik pribadi. Kondisi ini disatu sisi menjadikan kepuh lebih aman dari aksi illegal logging namun disisi lain akibat kurangnya perhatian atau minat terhadap konservasi kepuh bisa jadi kepuh menjadi tidak terurus. Berdasarkan jenis tanah, kepuh di Kabupaten Sumbawa lebih banyak ditemukan di tanah berkapur dengan kelembaban yang rendah. Salah satu spesies pohon yang banyak tumbuh di sekitar kepuh ialah Lagerstroemia speciosa.

Kearifan lokal masyarakat Sumbawa saat ini mulai banyak bergeser. Bila dulu masyarakat terbiasa menggunakan kepuh sebagai bumbu masak, kini menjadi ketidaklaziman di beberapa kecamatan. Pemanfaatan kepuh umumnya kini hanya ditemukan di bagian selatan dan timur Kabupaten Sumbawa yaitu untuk kebutuhan pangan, obat, bahan bakar nabati, perhiasan, bahan bangunan, upacara adat, kerajinan tangan, permainan tradisional, pakan ternak, jasa lingkungan dan lain-lain. Adapun demografi masyarakat yang mengetahui manfaat kepuh tersebut didominasi oleh profesi petani dengan umur berkisar 50 - 59 tahun.

Pendekatan strategi konservasi kepuh diawali dengan melihat sikap (tend to act), masyarakat Sumbawa terhadap kepuh. Terkait sikap, persoalan konservasi kepuh di Sumbawa disebabkan ketidaktahuan masyarakat umum akan banyaknya manfaat tumbuhan ini, begitu pula dengan teknik budidaya dan sumber bibit. Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan tidak adanya minat masyarakat terhadap konservasi kepuh. Dilain sisi berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi yang tepat diterapkan ialah strategi agresif yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada.

Kekuatan konservasi kepuh ada pada beragamnya manfaat tumbuhan ini dengan karakteristiknya yang muda tumbuh di berbagai tipe habitat. Peluang pengembangan kepuh ialah masyarakat mau menanam kepuh selama ketersedian bibit dapat dijamin serta adanya pandangan bahwa tumbuhan ini perlu dilestarikan. Oleh karena itu beberapa rekomendasi (rencana aksi) yang dapat diterapkan sebagai strategi pengembangan konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa ialah pembangunan budidaya kepuh (nursery), pengembangan ekonomi kreatif berbahan dasar kepuh serta sosialisasi dan publikasi manfaat kepuh. Rencana aksi ini dapat diawali dari Kec. Empang karena masyarakatnya lebih banyak tahu dan memanfaatkan kepuh bahkan diperjualbelikan di pasar.

(6)

SUMMARY

ARYA ARISMAYA METANANDA. Conservation of Kepuh (Sterculia foetida

L.) in Sumbawa Regency West Nusa Tenggara. Supervised by ERVIZAL AM ZUHUD and AGUS HIKMAT.

Kepuh is a multipurpose plant that starting to extinct. Information about the condition of population and utilization of this species has not been widely known. This research was conducted to analyze the potential population and habitat characteristic of kepuh in Sumbawa Regency. In addition, to identify the local wisdom of the community on utilizing this species and to formulate the conservation strategy of kepuh in Sumbawa Regency.

Data collection of kepuh potential population including classification and morphology, process of the growth and development, the actual population, spread and distribution pattern, also the interspecific association. The data of habitat characteristics including altitude, slope, rainfall, humidity, land cover, status of land ownership, soil type, also the domination and composition of other species. The data of local wisdom consisting respondent demography, various utilization of kapuh and other local wisdom of kepuh. It also was formulated a conservation strategy of kepuh in Sumbawa using SWOT analysis.

Data collection of kepuh potential population and habitat characteristics was conducted with exploring kepuh existence in 12 districts, also by making single quadrats in 3 districts, (Empang District, Lenangguar District and North Moyo District), total of sampling area of 1 ha and each plots consisting of 25 plots with the size 20 m x 20 m. The location for plot placement was based on the representation of the complexity of natural land cover in the forest. The choice of start location of vegetation analysis was based on where kepuh trees found (as the central axis plots), results of exploration or information from the community. To test that plot sizes adequately represent area in survey were also analyzed using species-area curve (SAC). The result shows that 1 ha area on each district is more than enough to represent the surrounding vegetation of kepuh.

Tha data of local wisdom of kepuh was collected from the interview with snowball sampling technique in 3 districts (Empang District, Lenangguar District and North Moyo District). The average number of respondent in this stage is 26 people (27 people in Empang District, 25 people in Lenangguar District and 16 people in North Moyo District). In addition, some respondents in 3 districts was chosen randomly to fill in a questionnaire about communities interest on the effort of kepuh conservation. The number of respondents on this stage is based on slovin formula with error at 15% which are 45 families in Empang District, 44 families in Lenangguar District and 44 families in North Moyo District.

Based on results of exploration, single quadrat method, interviews, overlay of maps and literature review showed that kepuh have the rate of rapid growth at the beginning of growth but slows down when it has grown. Kepuh is one of a species which is widespread, distributed evenly in Indonesia. This species also receives great pressures. Starting from the illegal logging to the change of lowland-use which is the habitat of kepuh for residential, office area, and others.

(7)

Distribution patterns of kepuh was clumped and tended not to be associated with any other species. Based on the habitat characteristics, kepuh was many found in lowland and coastal on the altitude 0 - 400 meters above sea level.

Kepuh does not have any preference of slope for grow, but it requires enough water so it is more likely to grow on a flat and ramp area. Kepuh also can be grown in areas with moderate to high humidity. The habitat diversity and abiotic condition where kepuh found, make into kepuh has a different shapes, size of leafs, number of seeds and the color of the shells.

Most kepuh in Sumbawa Regency was found growing in a personal land property. This condition in one side is safer from illegal logging, but on the other side with the lack of concern of interest on kepuh conservation leads to the neglection of kepuh. Based on soil type, kepuh in Sumbawa Regency was more found on lime soil with low humidity. One species likely found near kepuh is Lagerstroemia speciosa.

The local wisdom of Sumbawa’s community is now changing. Back then, community was familiar to use kepuh for seasoning, now it is not known anymore in some districts. The utilization of kepuh is usually found on the southern and eastern area of Sumbawa Regency for food, medicine, biofuel, jewelry, building materials, traditional ceremonies, handicrafts, traditional games, animal feed, environmental services, and others. As for the demographic of people who knows about the utilization of kepuh is dominated by farmers with age range 50 - 59 years.

The approach of kepuh conservation strategy starts by seeing Sumbawa’s community attitude on kepuh. Regarding the attitude, the issue of kepuh conservation in Sumbawa was caused by the lack of knowledge about the benefits of this species, also the cultivation technique and soure of seeds. These issues causes the absence of interest on kepuh conservation. On other side, based on SWOT analysis, the strategy which can be applied is aggresive strategy with the meaning to use all power that we have to take the existing opportunities.

The power of kepuh conservation is on the diversity of its benefits and the characteristic of this species which grows easily on various types of habitats. Opportunity on the development of kepuh is that the community is willing to plant this species as long as the availability of the seeds are guarenteed and the existing perspective that this species needs to be preserved. Therefore, some recommendation (action plan) that can be implemented as a strategy for kepuh conservation in Sumbawa Regency is the development of kepuh cultivation (nursery), creative economy development made from kepuh, and also publication of kepuh benefits. This action plan can be started from Empang District because the community has more knowledge about kepuh and already utilize it, even selling it at the market.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

KONSERVASI KEPUH (Sterculia foetida L.) DI KABUPATEN SUMBAWA

NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

@(@4H "*=0=H H 96=*;C%=0H *:@/H H (0H %&@:%>*6H !@5&%D%H @=%H"*6,,%;%H%;%?H

%5%H H

H ;E%H;0=5%E%H*?%6%6(%H H H

0=*>@1@0H 94*/H

950=0H *5&05&06,H

;9+H;H;C0G%4HH !H *>@%H

*>B%H ;9.%5H!>B(0H

96=*;C%=0H 09(0C*;=0>%=H";9:03%H

;H<HA;/%7@)(06H%=F@(H!H

"%6,,%4H#20%6H H%6@%;0H H

03*?%/@0H 94*/H

;H !'H

8,,9>%H

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berlangsung sejak bulan Juni 2014 - Mei 2015, berjudul “Konservasi Kepuh (Sterculia foetida L.)di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Dr Ir Agus Hikmat, M.ScF selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Istomo, M.Si atas masukan dan saran serta kesediaannya menjadi penguji luar dalam sidang tesis saya. Kepada Tajuddin SH (Camat Lenangguar) dan Tata Kostara S.Sos. (Camat Empang), ucapan terima kasih karena telah banyak membantu selama di lapangan dan memberi izin penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

METODE 7

Waktu dan Lokasi Penelitian 7

Alat dan Bahan 7

Jenis Data yang Dikumpulkan 8

Metode Pengumpulan Data 9

Metode Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Potensi Populasi Kepuh 17

Karakteristik Habitat Kepuh 30

Etnobotani Kepuh 42

Strategi Konservasi Kepuh 60

SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 72

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan

data kepuh 8

2 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies 13

3 Konsep matriks SWOT 16

4 Pola sebaran kepuh di tiga kecamatan 26

5 Asosiasi kepuh di lokasi penelitian 28

6 Data curah hujan dalam mm/tahun di lokasi penelitian 32

7 Nilai INP tiga tertinggi di lokasi penelitian 40

8 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan komunitas pada tiga habitat

(kecamatan) di Kab. Sumbawa 42

9 Bagian kepuh yang digunakan untuk berbagai keperluan di

Kab. Sumbawa 44

10 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kulit batang kepuh

sebagai obat 50

11 Perbandingan biodisel biji kepuh dengan minyak nabati lainnya 51

12 Sifat fisiko-kimia kepuh dan jarak 52

13 Nilai AVE, Cronbach’s Alpha, dan R2 peubah laten 62

14 Penilaian faktor internal dan eksternal dalam konservasi kepuh 66

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Lokasi penelitian di Kab. Sumbawa 7

3 Sketsa plot inventarisasi yang dibuat serta penempatannya 9

4 Diagram analisis SWOT 16

5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan

(30 cm) 19

6 Tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh 21

7 Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter 22

8 Populasi kepuh pada masing-masing tingkat pertumbuhan 23

9 Hama penyakit pada batang kepuh 24

10 Peta sebaran kepuh berdasarkan kecamatan di Kab. Sumbawa 25

11 Pola sebaran kepuh di Kecamatan Empang 27

12 Habitat kepuh berdasarkan ketinggian di Kab. Sumbawa 30

13 Peta kelas lereng di Kab. Sumbawa 31

14 Penyebaran kepuh berdasarkan tutupan lahan di Kab. Sumbawa 33 15 Proporsi habitat kepuh berdasarkan tipe tutupan lahan di

Kab. Sumbawa 34

16 Sistem pembukaan lahan kering dengan cara membakar di

Kab. Sumbawa 35

17 Komposisi habitat kepuh berdasarkan status kepemilikan lahan 36 18 Penyebaran kepuh berdasarkan jenis tanah di Kab. Sumbawa 37

19 Komposisi famili tumbuhan di sekitar kepuh 39

(15)

21 Proporsi kondisi pertumbuhan spesies lain di sekitar kepuh 39

22 Komposisi mata pencaharian responden 42

23 Karakteristik responden: kelompok umur (kiri) dan tingkat pendidikan

(kanan) 43

24 Tahapan pembuatan sira wir sampai menjadi masakan sepat 45

25 Minyak Sumbawa 46

26 Jimat dari kepuh 48

27 Batu akik dari bahan kepuh 53

28 (A). Istana Dalam Loka; (B). Rumah penduduk 54

29 Kayu kepuh yang sudah dipotong 55

30 Berbagai hasil kerajinan yang menggunakan bahan kayu kepuh 56

31 Model PLS-SEM yang dibangun 61

32 Nilai hubungan setiap peubah laten terkait konservasi kepuh 62

33 Kedudukan konservasi kepuh dalam analisis SWOT 66

DAFTAR LAMPIRAN

1 Indikator setiap stimulus yang diuji 77

2 Daftar spesies yang ditemukan di sekitar habitat kepuh 80

3 Nilai INP tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di masing-masing

kecamatan 82

4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai

obat 100

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan spesies tumbuhan yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Spesies ini dikenal multi manfaat dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat baik pangan, obat-obatan, pakan ternak, bahan bakar nabati/biofuel, berbagai kerajinan tangan serta kayu konstruksi. Kulit buah kepuh dalam bidang pangan digunakan sebagai bahan kue (Purwati 2010) dan olahan biji kepuh digunakan sebagai penyedap rasa alami (etnis Samawa). Penggunaan kepuh sebagai penyedap rasa alami perlu mendapat perhatian, sebagai alternatif ditengah merebaknya berbagai merek penyedap kemasan dengan kandungan kimia sintetik.

Kepuh juga potensial sebagai penghasil bahan bakar nabati (biofuel). Keberadaan kepuh sebagai biofuel turut menunjang aspek ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang prosesnya cenderung tidak ramah lingkungan. Bawa (2010) dan Purwati (2010) menyatakan bahwa biji kepuh terdiri atas beberapa jenis asam lemak, dapat digunakan sebagai ramuan berbagai produk industri seperti kosmetik, sabun, sampo, pelembut kain, cat dan plastik. Daun kepuh, dalam bidang kesehatan digunakan sebagai obat rematik, luka, demam, TBC, radang selaput lendir mata dan pusing kepala (Didin 1986; Heyne 1987; Purwati 2010; Yuniastuti 2013). Kulit batangnya digunakan untuk sakit perut, abortivum (obat penggugur), obat lumpuh (Bawa 2010) serta akarnya untuk rajasinga dan kencing nanah (Sastroamidjojo 1997).

Secara ekologis, pohon kepuh berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis burung, kalong dan lebah madu. Pohon kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi karena dengan tajuknya yang lebar dan perakarannya yang kuat mampu menahan air tanah.

Permasalahan saat ini, kepuh belum dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat luas justru lebih banyak mengenal kepuh sebagai tumbuhan mistik, tumbuhan genderuwo yang tidak lazim untuk digunakan. Informasi mengenai kegunaan kepuh belum banyak diketahui dan digali oleh masyarakat. Sementara itu dilain sisi spesies ini di beberapa daerah mulai jarang ditemukan (Yuniastuti et al. 2009). Seakan berpacu dengan kondisi yang ada, dengan habitat utama di dataran rendah, kepuh pun harus bertahan ditengah ancaman perluasan pembangunan atau pemukiman penduduk. Fakta kurangnya informasi, ancaman serta kelangkaan kepuh perlu mendapatkan perhatian dan upaya pelestarian serius. Upaya pelestarian yang dimaksud ialah upaya konservasi kepuh.

(18)

2

Ekosistemnya bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Peraturan perundang-undangan juga menjelaskan bahwa tujuan dari pengelolaan sumberdaya alam, guna meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut dibutuhkan peran aktif masyarakat, tidak hanya pemerintah. Melalui konsep pengelolaan kolaboratif (P.19/Menhut-II/2007), masyarakat bersama pemerintah turut secara aktif berperan sebagai subyek pengelolaan.

Peran serta masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi sangat diperlukan. Pengelolaan konservasi tumbuhan yang berkelanjutan dapat tercapai manakala sistem-sistem lokal yang berbasis pada masyarakat lokal dan kearifan tradisional diperkuat, yaitu dengan merubah orientasi tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati yang cenderung “makro‐nasional‐global” (devisa negara, penerimaan pendapatan pemerintah pusat dan daerah) ke tujuan “mikro‐lokal” (Zuhud 2012). Lebih lanjut Zuhud (2012) menjelaskan bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati ke depan sepatutnya berakar kepada pengetahuan dan teknologi indigenous masyarakat lokal dalam unit-unit pengelolaan yang rasional. Model pengelolaan yang menghargai dan menerapkan cipta, rasa dan karsa serta kekhasan masyarakat lokal setempat lebih sesuai dikembangkan di Indonesia.

Menurut Zuhud (2007), membangun konservasi kawasan/wilayah sama halnya membangun sikap dan perilaku masyarakat pro konservasi. Fakta tentang kelangkaan dan kepunahan kepuh di beberapa tempat merupakan indikasi belum terbentuknya sikap konservasi masyarakat terhadap kepuh. Sikap ini didorong kuat oleh tri-stimulus amar pro konservasi, yaitu kristalisasi atau kesatuan utuh dari stimulus alamiah, stimulus manfaat, dan stimulus religius-rela (Zuhud 2007). Konsep ini menjadi alat/instrument guna menemukan faktor penentu minat masyarakat sehingga pro terhadap konservasi kepuh.

Salah satu kelompok masyarakat yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan penelitian ini adalah masyarakat etnis Samawa yang berada di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Sejak dahulu masyarakat Sumbawa terbiasa menggunakan kepuh sebagai bahan obat dan pangan (Supardi et al. 2006). Bermacam-macam penyakit medis maupun non medis dapat menggunakan bahan dari pohon kepuh. Kepuh juga sering digunakan sebagai bahan rumah panggung yang menjadi ciri khas bangunan di tanah Samawa. Kepuh oleh masyarakat etnis Samawa digunakan sebagai penyedap alami hampir di semua jenis masakan khas Sumbawa. Hal ini berlangsung sampai saat ini, walupun cenderung berkurang.

(19)

3 Rumusan Masalah

Salah satu spesies tumbuhan yang memerlukan upaya pelestarian dan pengembangan adalah kepuh (Sterculia foetida L.). Spesies ini dengan sebarannya yang cukup luas, di beberapa daerah ternyata mulai langka. Kepuh merupakan spesies multi manfaat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuh sangat potensial digunakan sebagai obat (akar, batang, daun hingga buah) juga bahan bakar nabati (biji). Berdasarkan informasi, berbagai suku di Indonesia telah lama menggunakan kepuh sebagai bahan pangan (biji), obat-obatan dan kayu konstruksi. Walaupun demikian saat ini informasi tersebut belum banyak tersebarluaskan dan menjadi pengetahuan masyarakat luas.

Kondisi kepuh menunjukkan sinyal permasalahan konservasi/upaya pelestarian di Indonesia saat ini yakni ketidakberlanjutan pengetahuan lokal atau estafet local and traditional knowledge. Proses konservasi menjadi sulit ketika proses dari masa lalu tidak bersambung ke masa kini. Pengalaman-pengalaman atau kearifan tradisional yang diterapkan oleh nenek moyang terdahulu, kini banyak ditinggalkan dan dianggap kuno. Budaya lokal nenek moyang kini telah banyak berganti dengan budaya modern.

Fakta ini dapat dibuktikan dari keberadaan kepuh di Kabupaten Sumbawa. Masyarakat Sumbawa di zaman dahulu menggunakan biji kepuh sebagai pelita dikala listrik belum masuk. Biji kepuh juga digunakan sebagai bumbu masak hampir disetiap masakan khas Sumbawa seperti sepat, singang, sira wir atau juga masakan khas Sumbawa lainnya. Batang kepuh yang besar kerap digunakan sebagai bahan papan guna membangun rumah panggung, yang menjadi ciri khas bangunan rumah Sumbawa. Begitu banyak manfaat kepuh ini nampaknya tidak diiringi dengan kerelaan masyarakat untuk membudidayakannya. Hal inilah yang disinyalir menjadi penyebab kelangkaan kepuh di Kabupaten Sumbawa.

Kegiatan budidaya/pelestarian atau konservasi biodiversitas mutlak membutuhkan peran serta masyarakat. Pelibatan atau peran serta masyarakat akan terwujud manakala ada kerelaan masyarakat tersebut untuk melakukannya. Tingkat kerelaan sangat ditentukan dari keinginan, harapan juga reward terhadap masyarakat tersebut.

Berdasarkan kerelaan inilah selanjutnya konservasi kepuh dapat terwujud. Kondisi alamiah (ekologi) dan manfaat kepuh (pangan, pakan, obat, kayu konstruksi, bahan bakar nabati, ekologis, hidrologis, ekonomis dan lainnya) menjadi modal dalam membangun kerelaan masyarakat di Kabupaten Sumbawa untuk kembali pada kearifan yang telah diajarkan leluhur Sumbawa dimasa lalu. Maka itu terkait upaya konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa, disusunlah beberapa pertanyaaan yang dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana potensi populasi kepuh di Kabupaten Sumbawa saat ini?

2. Bagaimana karakteristik habitat kepuh di Kabupaten Sumbawa dan seperti apa habitat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kepuh?

3. Bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh di Kabupaten Sumbawa?

(20)

4

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis potensi populasi kepuh di Kabupaten Sumbawa 2. Menganalisis karakteristik habitat kepuh di Kabupaten Sumbawa

3. Mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh di Kabupaten Sumbawa

4. Merumuskan strategi konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan publikasi dan sosialisasi serta penyadartahuan pada pihak yang lebih luas tentang strategi konservasi tumbuhan khususnya kepuh dengan berpedoman pada potensi yang ada pada masyarakat setempat. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk membangun strategi konservasi spesies-spesies tumbuhan langka lainnya yang ada di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Tuhan Sang Maha Pencipta, telah sedemikian rupa melengkapi bumi ini guna memenuhi kebutuhan hidup manusia, tidak ada satupun dalam penciptaan-Nya yang sia-sia. Semuanya diciptakan dengan maksud dan tujuan tertentu agar manusia berfikir dan mengambil pelajaran dibalik penciptaan-Nya tersebut. Begitu pula dengan keberadaan kepuh, dibalik keberadaannya yang menyebar merata, menjadi tanda bahwa kepuh memiliki manfaat dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.

Saat ini paradigma back to nature semakin popular bahkan menjadi indikator setiap perusahaan dalam mempromosikan produknya. Semangat kembali ke alam disikapi dengan menggunakan berbagai produk tanpa bahan pengawet atau produk yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sejalan dengan itu, kalangan akademisi pun kini kian memperdalam penelitian dengan menggali sumber daya alam untuk kemaslahatan orang banyak. Berbagai spesies tumbuhan kini digali dan dieksplorasi termasuk kearifan lokal masing-masing etnis/suku tersebut dalam memanfaatkannya (kajian etnobotani).

Kepuh sebagai tumbuhan dengan sebaran yang cukup luas, tersebar di wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia (Orwa et al. 2009; Sumantri dan Supriatna 2010), harusnya mampu dibaca sebagai tanda dari Tuhan bahwa tumbuhan ini disiapkan untuk kebutuhan orang banyak di berbagai tempat. Makna lain dari tanda tersebut dapat ditafsirkan bahwa tumbuhan kepuh memiliki banyak manfaat yang bisa digunakan oleh banyak orang. Fakta tentang manfaat tumbuhan kepuh, telah dibuktikan dari beberapa hasil penelitian, mulai dari fungsi ekologis juga fungsi ekonomis, baik kebutuhan papan juga kebutuhan pangan (Yuniastuti

et al. 2009).

(21)

5 berbeda. Pemanfaatan kepuh oleh kelompok masyarakat (etnis) di Indonesia ini menunjukkan adanya kearifan yang dikenal dengan istilah etnobotani (Soekarman dan Riswan 1992).

Keberadaan kepuh yang mulai langka serta sulit bergenerasi (Yuniastuti et al. 2009), seharusnya mampu dibaca oleh manusia sebagai perintah dari Tuhan untuk menjaganya, memeliharanya, mengembangkannya agar tetap lestari. Kemampuan membaca, menyadari tanda-tanda inilah yang menyebabkan banyak diantara plasma nutfah Indonesia terus mengalami kepunahan tanpa disadari, termasuk salah satunya kepuh. Peristiwa ini pun popular dikenal dengan sebutan the Tragedy of the Commons (Hardin 1968) yaitu dampak yang timbul ketika manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup yang lain.

Kondisi alamiah (ekologi) tentang kelangkaan kepuh serta berbagai manfaat kepuh seperti terurai di atas, saat ini belum banyak terpublikasikan dan tersebarluaskan sehingga minat dan sikap untuk mengkonservasi spesies ini menjadi tidak ada. Menggunakan kepuh, cenderung tidak lagi menjadi budaya masyarakat Sumbawa. Hal ini tentunya berdampak pada kerelaan masyarakat untuk memelihara spesies ini. Kurangnya kerelaan tersebut pada kenyataannya mempengaruhi jumlah populasi kepuh di alam. Faktor kemampuan regenerasi, penebangan liar serta alih fungsi kawasan menjadi ancaman terhadap kelestarian kepuh dan bukan tidak mungkin keberadaan kepuh ke depan dapat punah di alam.

Sikap rela (tend to act) seseorang akan muncul manakala ada nilai yang didapatkan dari kerelaannya tersebut. Menurut Notoatmodjo (2003) terdapat 4 (empat) tingkatan sikap sampai pada seseorang begitu rela terhadap suatu hal yaitu menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan bertanggungjawab (responsible). Pada tingkat bertanggung jawab inilah seseorang tersebut, atas dasar kerelaan hati, minat dan sikapnya dapat diharapkan melestarikan kepuh.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo 2003). Sementara itu dalam teori Rosenberg, sikap merupakan buah dari gabungan serta konsistensi antara kognitif dan afektif seseorang. Oleh karena itu mengubah sikap, maka komponen afektif diubah terlebih dahulu kemudian akan mengubah komponen kognitif serta diakhiri dengan perubahan sikap (Azwar 2007).

Sikap atau kesadaran seseorang terhadap lingkungan sekitar, sangat tergantung pada kepekaannya dalam melihat alam. Kondisi ekologi, biologi dan manfaat dari sumber daya alam, menjadi sinyal penentu sikap seseorang. Begitu juga stimulus alamiah (ekologi) serta manfaat kepuh tersebut seperti pangan, obat, pakan, kayu konstruksi, bahan bakar nabati, ekologis dan hidrologis menjadi modal dalam membangun kerelaan sikap masyarakat di Kabupaten Sumbawa untuk mengkonservasi kepuh.

(22)

6 4. Bersisa hanya induk pohon 5. Sebaran mengelompok

Nilai-nilai kebenaran dari alam, kebutuhan keberlanjutan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

(23)

7

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 - Mei 2015. Lokasi penelitian

adalah 12 kecamatan di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yaitu Kec. Sumbawa, Kec. Unter Iwes, Kec. Moyo Utara, Kec. Moyo Hilir, Kec. Moyo

Hulu, Kec. Lenangguar, Kec. Lopok, Kec. Lape, Kec. Maronge, Kec. Plampang, Kec. Empang dan Kec. Tarano (Gambar 2). Beberapa kecamatan yaitu Kec. Moyo Utara, Kec. Lenangguar dan Kec. Empang lebih didalami untuk keperluan kajian etnobotani. Kecamatan-kecamatan ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di lokasi ini masih ditemukan individu kepuh dan terdapat aktivitas pemanfaatan kepuh oleh masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan terdiri atas kegiatan analisis spasial, analisis vegetasi (struktur vegetasi) dan wawancara. Peralatan tersebut antara lain buku lapang, alat tulis, tape recorder, kamera, global positioning system (GPS), pita ukur, kompas, tambang dan laptop. GPS digunakan untuk menentukan titik koordinat kepuh (lokasi penyebaran dan bentuk sebaran). Pita ukur, haga meter, kompas dan tambang digunakan untuk mengetahui struktur vegetasi kepuh dan sekitarnya.

(24)

8

Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data antara lain Arc. GIS 10.1

dan Erdas Imagine 9.1 untuk data spasial, MS. Excel 2013 untuk pencatatan dan tabulasi data serta R-Studio untuk running PLS-SEM. Bahan yang digunakan dalam

analisis meliputi citra landsat 8, ASTER GDEM dan peta administrasi Kab. Sumbawa, peta tutupan lahan dan peta tanah.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulannya disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan data kepuh

(25)

9

Metode Pengumpulan Data

Survey lapangan

Survey lapangan ditujukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kepuh, populasi aktual kepuh, penyebaran dan pola sebarannya, ketinggian habitat kepuh (menggunakan GPS), kelerengan, kelembaban, tutupan lahan, status kepemilikan lahan, jenis tanah serta komposisi vegetasi di sekitar kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, INP, ukuran diameter, serta asosiasi kepuh dengan spesies lainnya.

Penemuan kepuh didasarkan atas hasil ekplorasi dan keterangan masyarakat yang diverifikasi di lapangan dari 12 kecamatan. Data penemuan kepuh berdasarkan hasil ekplorasi tersebut kemudian dikembangkan dengan membuat petak tunggal (melakukan analisis vegetasi) di areal yang dirasa representatif guna menduga populasi kepuh pada luasan tertentu serta mengetahui vegetasi sekitar kepuh.

Penempatan petak tunggal yang dikatakan representatif saat lokasi inventarisasi cukup mewakili komunitas (kompleksitas vegetasi dan tutupan lahan), sehingga petak terpilih di lapangan adalah lokasi alami pertumbuhan kepuh di hutan dan bukan di lahan milik pribadi. Secara administrasi lokasi terpilih dalam pembuatan petak tunggal adalah Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara. Ketiga lokasi ini juga dianggap mewakili areal administrasi, secara berturut-turut yaitu di bagian timur, selatan dan utara Kab. Sumbawa.

Jumlah petak tunggal yang dibuat sebanyak tiga yaitu masing-masing satu petak di setiap kecamatannya. Dalam satu petak terdapat 25 plot dengan masing-masing plotnya berukuran 20 m x 20 m, sehingga luas satu petak ialah 1 ha atau 10 000 m2. Terhadap validitas keterwakilan komunitas, jumlah plot/luasan petak yang dibuat juga diuji menggunakan kurva spesies area.

Masing-masing plot di bagi dalam kuadran pengukuran, guna memudahkan penghitungan spesies lainnya di sekitar kepuh. Ukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk pancang dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 1998). Berbeda untuk spesies lainnya, inventarisasi kepuh dilakukan di seluruh bagian petak di lokasi tersebut baik ukuran semai, pancang, tiang maupun pohon, tanpa membedakan ukuran luasan. Sketsa plot yang dibuat serta penempatannya disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Sketsa plot inventarisasi yang dibuat serta penempatannya Pohon kepuh berdasarkan info masyarakat dan eksplorasi

20 m 5 m

2 m 10 m

(26)

10

Data ketinggian habitat kepuh, kelerengan, tutupan lahan serta jenis tanah diperoleh dari titik GPS kepuh yang di overlay menggunakan data peta yang dimiliki. Data ini bersumber dari Planologi Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional serta citra landsat 8 dan ASTER GDEM.

Wawancara

Menurut Salerno et al. (2005) wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan keterangan lisan melalui percakapan dengan orang atau responden tentang topik penelitian. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini secara keseluruhan dengan teknik semi terstruktur. Penerapan teknik wawancara ini dengan memberikan pilihan jawaban pada beberapa pertanyaan namun juga ada pertanyaan yang tidak disediakan pilihan jawaban sehingga dapat terlihat keragaman pendapat dalam menjawab setiap pertanyaan atau diharap responden menjawab sesuai pengetahuan mereka (Mardalis 2004).

Adapun penentuan jumlah sampel responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni responden untuk data etnobotani dan responden untuk menilai sikap (tend to act) masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh (sikap masyarakat pro konservasi). Adapun responden yang dipilih untuk menghimpun data etnobotani kepuh, menggunakan metode snowball sampling.

Metode ini diterapkan dengan mencari tokoh kunci (key informan) yang dianggap mengetahui banyak informasi tentang kepuh. Sebanyak satu atau dua orang tokoh kunci tersebut seperti camat, kepala desa atau dukun diwawancarai, kemudian berdasarkan informasi dari tokoh kunci tersebut diperbanyak dengan menambahkan informan lainnya berdasarkan arahan dari tokoh kunci sebelumnya (Denzin dan Lincoln 2009). Hal ini dilakukan sampai pada kondisi data/informasi yang didapatkan jenuh (tidak ada tambahan informasi baru).

Jumlah responden yang diambil untuk menghimpun data etnobotani, berbeda tiap kecamatannya yaitu 27 orang di Kec. Empang, 25 orang di Kec. Lenangguar dan sebanyak 26 orang di Kec. Moyo Utara. Jumlah responden pada tahap ini ditentukan saat data jenuh.

Guna menilai sikap masyarakat pro konservasi, wawancara dilakukan secara acak (simple random sampling) (Sugiyono 2013). Pemilihan metode secara acak dimaksudkan untuk mengetahui respon/sikap secara berimbang, tingkat kerelaan masyarakat umum terhadap upaya konservasi kepuh. Melalui pemilihan metode secara acak diharapkan menghasilkan gambaran yang lebih beragam terhadap pengharapan dan pandangan masyarakat sehingga nantinya dapat dirumuskan secara lebih komprehensif strategi konservasi kepuh. Mereka yang mengkonservasi kepuh diharapkan tidak hanya individu-individu yang mengetahui manfaat kepuh, namun melalui metode ini nantinya setiap/semua masyarakat dalam wilayah administrasi ditemukan kepuh, juga mau melestarikan tumbuhan ini.

Oleh karena itu sampling frame dalam pengumpulan data sikap masyarakat ini dilakukan secara acak di wilayah yang bersinggungan/di sekitar lingkungannya terdapat kepuh. Metode ini diterapkan dengan mengundi setiap daftar KK di tiga kecamatan (Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara), kemudian dilakukan wawancara dengan bantuan kuisioner terhadap responden tersebut.

(27)

11

bahwa 15% sudah dapat mewakili populasi, adanya keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian. Rumus Slovin yang digunakan dalam penentuan jumlah sampel masyarakat (Sevilla et al. 1993), sebagai berikut:

n= N

(1+Ne2

)

Keterangan:

n

= Jumlah sampel masyarakat

N = Total populasi (jumlah seluruh KK dalam kecamatan dimana kepuh ditemukan)

e

= Error tolerance (toleransi terjadinya galat “% kelonggaraan ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel”; taraf signifikansi)

Berdasarkan rumus Slovin di atas diperoleh jumlah responden dalam menilai sikap masyarakat pro konservasi yaitu 45 KK di Kec. Empang (dari total 6398 KK), 44 KK di Kec. Lenangguar (dari total 1727 KK) dan 44 KK di Kec. Moyo Utara (dari total 2445 KK). Penentuan responden di lapangan diperoleh berdasarkan pengundian nomor rumah (RT) di masing-masing desa, kemudian dikunjungi berdasarkan nomor rumah (RT) yang terpilih tersebut.

Pembuatan peta

Pembuatan peta terdiri dari peta administrasi (lokasi penelitian), peta tutupan lahan, peta kelerengan, peta ketinggian dan peta tanah. Peta administrasi dibuat setelah format JPEG image peta administrasi yang diperoleh dari Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kab. Sumbawa, diolah terlebih dahulu. Mula-mula menggunakan Arc. GIS 10.1, peta format JPEG image didigitasi sehingga diperoleh batas masing-masing kecamatan di Kab. Sumbawa.

Peta tutupan lahan Kab. Sumbawa diperoleh dari data Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2014. Data tutupan lahan Kab. Sumbawa ini kemudian diolah menggunakan

Arc GIS 10.1 sehingga menjadi layout peta tutupan lahan. Peta tutupan lahan ini diklasifikasikan menjadi daerah hutan (lahan kering primer, lahan kering sekunder, mangrove primer, mangrove sekunder, dan hutan tanaman), belukar rawa, pemukiman, sawah, savana, pertanian (lahan kering ditambah semak dan pertanian lahan kering), semak belukar, tanah terbuka, tambak dan tubuh air.

Data ketinggian dan kelerengan Kab. Sumbawa berupa data digital elevation model (DEM) yang diolah menggunakan Arc GIS 10.1. Peta ketinggian tersebut diklasifikasikan dengan interval 200 m. Sementara peta kelerengan dibagi menjadi kelas datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam.

Adapun data tanah diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional yang di overlay

dengan DEM Kab. Sumbawa. Data tersebut menyajikan pemetaan tanah pada level

(28)

12

Kajian pustaka

Kajian pustaka dimaksudkan untuk menguatkan pemahaman dan landasan teori penelitian ini. Pustaka ini bersumber dari jurnal, buku, artikel, laporan atau data lainnya yang sudah ada, berhubungan dengan informasi kepuh baik klasifikasi dan morfologi kepuh, pertumbuhan dan perkembangan kepuh, kondisi populasi saat ini termasuk preferensi habitat kepuh di alam. Data lainnya adalah pemanfaatan kepuh oleh berbagai masyarakat di Indonesia juga di dunia.

Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskripitf kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Secara rinci beberapa analisis data yang digunakan.

Pola sebaran spasial kepuh

Analisis pola sebaran spasial digunakan untuk memetakan distribusi kepuh yang ditemukan di lapangan. Data lapangan berupa titik koordinat kepuh kemudian di overlay dengan peta administrasi, peta tutupan lahan, peta ketinggian, peta kelerengan dan peta tanah. Selain itu analisis pola sebaran kepuh juga menggunakan indeks Morisita yang terstandar (standardized morisita’s index) (Morisita 1962 dalam Krebs 1998) dan metode Average Nearest Neighbor pada program ArcGis. Indeks Morisita tersebut dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Id=n[ ∑x 2-x

∑x 2-x]

Keterangan :

Id = Indeks dispersi Morisita

n = Jumlah plot

x = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot

Indeks Morisita yang diperoleh selanjutnya dicari dua titik kritisnya melalui uji χ2

untuk mencari derajat pengelompokannya.

Uniform Indeks= Mu= χ0.975

2 -n+x i

∑xi -1

Clumped Indeks= Mc= χ0.025

2 -n+x i

∑xi -1

Keterangan: χ 2

0.975 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97.5% area ke sebelah kanan kurva

χ 2

0.025 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2.5% area ke sebelah kanan kurva

ΣXi = Jumlah individu dalam kuadrat i (i = 1 s/d n)

(29)

13 Berdasarkan hasil indeks Mc atau Mu di atas maka indeks morisita standar (IP)

dihitung berdasarkan salah satu dari empat persamaan berikut ini: 1. Jika Id ≥ Mc > 1 : Ip=0.5+0.5 In-Md-Mcc

2. Jika Mc > Id ≥ 0 : Ip=0.5 MId- 1

u- 1

3. Jika 1 > Id> Mu : Ip=-0.5 MIdu- 1- 1

4. Jika 1 > Mu> Id : Ip=-0.5+0.5 IdM-Mu

u

Indeks Morisita yang distandarkan (IP) ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika IP = 0

maka pola penyebaran acak. Jika IP < 0 maka pola penyebaran seragam dan jika IP > 0 maka pola penyebaran mengelompok.

Komposisi vegetasi

Komposisi vegetasi digunakan untuk mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan di sekitar kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, indeks nilai penting (INP), ukuran diameter, asosiasi kepuh dengan spesies lainnya serta koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS). Beberapa analisis yang digunakan seperti tersaji di bawah ini.

Kerapatan =Jumlah dari suatu spesiesLuas petak contoh

Kerapatan relatif % =Kerapatan dari suatu spesiesKerapatan seluruh spesies x 100% Frekuensi =Jumlah plot ditemukannya suatu spesiesJumlah seluruh plot contoh Frekuensi relatif % =Frekuensi dari suatu spesiesFrekuensi seluruh spesies x 100% Dominansi =Jumlah bidang dasar dari suatu spesiesLuas plot contoh Dominansi relatif % =Dominansi dari suatu spesiesDominansi seluruh spesies x 100% INP % = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif

Asosiasi antara kepuh dengan spesies lain dilakukan secara berpasangan dengan masing-masing spesies tersebut. Asosiasi dilakukan dengan menggunakan kontingensi untuk setiap pasangan spesies seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies Spesies A

Ada Tidak ada

Kepuh Ada a b m=a+b

Tidak ada c d n=c+d

(30)

14

Keterangan:

a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A

b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh d = Jumlah plot pengamatan tidak ditemukan kedua spesies

Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara kepuh dengan spesies A adalah:

H0 = Tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A

H1 = Terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A

Hipotesa tersebut diuji dengan menggunakan persamaan uji Chi-Square (Ludwig dan Reynolds 1988) yaitu:

χ hitung2 =Ʃ

[F x -E x ]2

E x

Nilai χ hitung2 akan dibandingkan dengan nilai χ t2abel pada selang kepercayan

95%. Jika χ hitung2 ≤ χ t2abel pada selang kepercayan 95%, maka kesimpulannya terima

H0, artinya tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A. Jika χ hitung2 > χ t2abel

pada selang kepercayaan 95%, maka kesimpulannya terima H1, artinya terdapat

asosiasi antara kepuh dengan spesies A.

Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan untuk a, F (x) dengan nilai harapan E (x). Jika F (x) > E (x), maka asosiasi bersifat positif. Jika F (x) < E (x), maka asosiasi bersifat negatif.

Besarnya nilai asosiasi antara kepuh dengan spesies tumbuhan lainnya dilakukan dengan pendekatan indeks Jaccard (IJ) (Ludwig dan Reynolds 1988). Nilai indeks berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Persamaan untuk indeks Jaccard adalah:

IJ= a+b+ca Keterangan:

IJ = Indeks Jaccard

a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A

b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh

Koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS) diuji menggunakan Motyka’s Index of Similarity. Adapun persamaan koefisien kesamaan komunitas tersebut ialah:

2W

IS = x 100% A+B

Keterangan:

W = Jumlah spesies yang sama pada masing-masing tingkat pertumbuhan A = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan A

B = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan B yang diperbandingkan

Keterangan:

(31)

15 Strategi konservasi kepuh

Penyusunan strategi konservasi kepuh diawali dengan analisis terhadap sikap masyarakat sehingga diketahui kecenderungan aksi (tend to act) seseorang terhadap konservasi kepuh. Analisis sikap masyarakat ini menggunakan permodelan SEM (Structural Equation Modeling) dengan PLS (Partial Least Squares) atau PLS-SEM. PLS dapat menguji teori yang lemah dan data dengan ukuran contoh kecil. PLS tidak membutuhkan banyak asumsi seperti multikolinearitas (Latan dan Ghozali 2012). PLS selain dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan antar peubah laten, juga dapat mengkonfirmasi teori yang ada (Ken 2013).

Menggunakan bantuan software R-Studio, analisis ini menghasilkan model pengukuran/outher model (kekuatan indikator mempengaruhi variabel laten) dan model struktural/inner model (kekuatan estimasi antar variabel laten, eksogen terhadap endogen) yang tepat/merepresentasikan upaya konservasi kepuh. Hal ini karena software R-Studio merupakan program yang baik untuk menganalisis data dan sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu (ilmu perilaku, ekonomi pemasaran, pengembangan organisasi, pengelolaan sistem informasi dan strategi bisnis) (Ken 2013), selain itu software R-Studio merupakan salah satu program open source yang tidak perlu izin atau license tertentu (Sanchez 2013).

Analisis PLS-SEM (Latan dan Ghozali 2012) dimulai dengan konseptualisasi model yaitu mengembangkan dan mendefinisikan variabel laten secara konseptual berdasarkan literatur, kemudian menentukan indikator (variabel manifes) yang merepresentasikan variabel laten serta melakukan uji validasi dan uji reliabilitas. Konseptual yang dibangun menggunakanvariabel sikap (tend to act) (endogen) dan stimulus alamiah, stimulus manfaat serta stimulus religius rela (eksogen).

Kelestarian kepuh diukur dari sikap serta seberapa besar minat masyarakat dalam konservasi kepuh. Pendekatan sikap (tend to act) menggunakan indikator tingkat perhatian, motif dan rasa senang seseorang (Winkel 1983). Indikator setiap stimulus diperoleh dari keterangan warga saat wawancara (Lampiran 1).

Menggunakan skala Likert (Simamora 2005), nilai setiap indikator disusun secara bertingkat dan berjumlah ganjil, yaitu sangat setuju (5), setuju (4), netral (3), tidak setuju (2) dan sangat tidak setuju (1). Nilai ini juga disesuaikan terhadap kondisi pertanyaan yakni negatif atau positif. Uji validitas menggunakan confirmatory faktor analysis (CFA), dengan melihat nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA). Nilai KMO yang dikehendaki > 0.05 dan uji reliabilitas dilihat dari nilai Cronbach’s Alpha > 0.70 (Ghozali 2013).

Tahap ke dua menentukan metode analisis algoritma. Metode analisis yang digunakan adalah centroid. Tahap ke tiga yaitu menentukan metode resampling. Metode resempling yang digunakan yaitu bootstrapping (menggunakan seluruh sampel asli untuk melakukan resempling kembali). Tahap ke empat menggambarkan diagram jalur. Diagram jalur (diagram path) mampu menjelaskan pola hubungan antara peubah laten dengan indikatornya.

(32)

16

(inner model) dilakukan dengan melihat nilai R2 pada variabel endogen dan koefisien parameter jalur (path coeficient parameter).

Analisis selanjutnya dalam penyusunan strategi konservasi kepuh menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT akan melihat faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (ancaman dan peluang) (Rangkuti 1998). Diagram analisis SWOT tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram analisis SWOT

Data faktor internal dan eksternal diperoleh berdasarkan hasil studi literatur, wawancara dan hasil survey lapang yang teraktualisasi dalam nilai skala likert yang diperoleh. Adapun konsep matriks SWOT tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Konsep matriks SWOT Internal

Eksternal Strengths (kekuatan) Weaknesses (kelemahan)

Opportunities Nilai 1-5 pada skala likert kemudian dikonversi secara berimbang. Nilai ini kemudian dianggap sebagai bobot untuk memudahkan dalam penilaian. Kriteria dengan bobot 3 mendapatkan nilai 1, bobot 4 mendapatkan nilai 2. Untuk membedakan nilai kelemahan untuk faktor internal dan ancaman untuk faktor eksternal bertanda negatif (-), sedangkan nilai kekuatan untuk faktor internal dan peluang pada faktor eksternal bertanda positif.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Populasi Kepuh

Klasifikasi dan morfologi kepuh

Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan spesies dalam famili Malvaceae, berdasarkan identifikasi yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat diklasifikasikan (National Tropical Botanical Garden 2003):

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida SubKelas : Dilleniidae Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Sterculia

Spesies : Sterculia foetida L.

Sterculia foetida di Indonesia secara umum dikenal dengan nama kepuh. Beberapa daerah mengenal tumbuhan ini dengan nama kabu-kabu (Batak), kapok/kepuh/kepoh (Jawa), kalumpang (Madura), gelumpang/kalumpang (Sumbawa), wuwu (Bima), kalumea (Kendari), kajumpang (Waengapu), wuhak kepo (Solor), kalumea (Tolaki), wuhak (Sulawesi Tenggara), kailupa furu (Ternate), kailipa buru (Tidore) dan plani (Wetar) (Datta 1996; Heyne 1987; Tantra 1976). Beberapa negara mengenal kepuh dengan nama jangli badam (Bengali), letpan-shaw (Burmese), wild almond tree/bastard poon tree/hazel sterculia/ java olive/stinky sterculia (English), virhoi/asakshara/badam janjal/sembadam/goldaru/jangli badam (Hindi) dan kelumpang (Malaysia) (Orwa et al. 2009).

Kepuh merupakan pohon berukuran besar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi mencapai 45 m, diameter 90 - 125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriatna 2010). Batangnya lurus, bercabang banyak dengan bentuk simpodial. Batang memiliki ciri khas tegak dengan kulit mengelupas. Warna batang luar abu-abu, coklat muda sampai tua.

Menurut Sumantri dan Supriatna (2010), daun kepuh berbentuk majemuk menjari/menyirip dengan 7 - 9 anak daun (foliolum). Foliolum berbentuk lanset, panjang helaian daun (lamina) antara 5 - 21 cm, lebar daun antara 3 - 9 cm dengan warna permukaan atas daun hijau sampai hijau tua dengan tekstur agak kasar sampai kasar karena tidak memiliki lapisan lilin. Tangkai daun (petiolus) relatif pendek dengan ukuran 12.5 - 37 cm, ukuran daun dapat mencapai 5 - 22 cm dengan ketebalan antara 0.025 - 0.06 cm (Yuniastuti et al. 2009).

(34)

18

Bunga kepuh memiliki bau yang khas. Beberapa orang menganggap bau tersebut menarik, namun sebagian besar lainnya mengakui bahwa bau yang dikeluarkan oleh bunga kepuh seperti bau busuk. Bahkan ada keyakinan masyarakat tertentu di bagian selatan Kab. Sumbawa bahwa bau yang dikeluarkan tersebut membawa penyakit seperti demam dan lain-lain.

Mengacu pada asal muasal nama kepuh, maka nama ilmiah kepuh berkaitan erat dengan aroma yang dikeluarkan dari bunga kepuh. Menurut Orwa et al. (2009), nama ilmiah kepuh didasarkan pada kata latin “Stercus”, yang berarti kotoran, yang mengacu pada bau bunga dan daun. Sifat bau busuk ditekankan dalam nama spesies, “foetida” yang berarti busuk.

Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut Herdiana (2005), karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya berbentuk paruh. Ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih, mempunyai pericarp yang tebal (7 - 8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh tergantung individu dan faktor tempat tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu 4 - 6 bulan. Biji berwarna hitam mengkilat, banyak mengandung minyak. Jumlah biji kering sebanyak 493 - 495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan berbuah setiap tahun. Musim berbuah kepuh di Kab. Sumbawa umumnya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober.

Proses pertumbuhan dan perkembangan kepuh

Tahapan pertumbuhan kepuh di Kab. Sumbawa dimulai pada bulan November-Desember saat banyak cangkang kepuh mulai menganga dan bijinya jatuh ke tanah. Pada interval bulan ini menjadi waktu yang baik bagi awal perkembangan kepuh, mengingat intensitas hujan di Kab. Sumbawa mulai meningkat. Intensitas hujan di Kab. Sumbawa mencapai puncaknya pada bulan Januari yaitu 446 mm (BPS Kab. Sumbawa 2014).

Semai kepuh mulai bermunculan setelah biji berjatuhan dangan kondisi tanah relatif basah atau tergenang air. Hal ini karena pertumbuhan kepuh dimulai dari proses perkecambahan biji. Pertumbuhan kepuh menjadi semai mencapai puncaknya pada bulan Januari sampai awal bulan Februari. Pada bulan ini, jumlah semai dapat mencapai puluhan bahkan ratusan di sekitar satu indukan pohon. Menurut Yuniastuti et al. (2009), kepuh dapat tumbuh dengan cepat. Laju pertumbuhannya cukup pesat pada tahap awal kemudian melambat karena memerlukan cahaya yang cukup dan tempat yang lebih luas saat mulai membesar (Orwa et al. 2009).

(35)

19

komposisi yang paling efektif untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek (Prihatin 2000).

Proses kepuh dari semai menjadi pancang memerlukan waktu sampai satu tahun. Pengalaman peneliti saat memelihara semai kepuh dengan ukuran tinggi 20 cm menggunakan media tanam tanah:pasir yaitu 1:1, selama 3 bulan pertama pertumbuhannya meningkat, tingginya mencapai 30 cm (Gambar 5). Selama proses ini perlakuan yang diberikan hanya berupa penyiraman teratur tanpa ada pemberian pupuk tertentu.

Gambar 5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan (30 cm)

Masa yang paling riskan bagi perkembangan kepuh di Kab. Sumbawa ialah peralihan pertumbuhan dari semai menjadi pancang. Pada fase pertumbuhan ini tidak banyak individu yang berkembang menjadi pancang apalagi menjadi tiang dan pohon. Permasalahan pada tingkat semai bukan hanya terjadi di Kab. Sumbawa namun juga terjadi di tempat lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ada masalah pada tahap pertumbuhan kepuh yang perlu diperhatikan.

Permasalahan lainnya dalam pertumbuhan dan perkembangan kepuh ialah potensi biji menjadi anakan kepuh belum maksimal. Banyak diantara biji yang jatuh, hanya membusuk dan tidak bergenerasi kembali. Menurut Zanzibar (2011), biji kepuh mempunyai watak semi ortodok dengan kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga viabilitasnya akan cepat menurun jika disimpan pada suhu kamar dan relatif lebih aman jika disimpan pada suhu rendah. Kadar air biji yang aman untuk penyimpanan berkisar antara 6 - 10%, kondisi tersebut dapat diperoleh dengan cara diangin-anginkan selama 2 - 3 hari pada ruang kamar (T: 250C, Rh: 70 - 90%) kemudian biji dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam ruangan dingin (DCS atau refrigerator).

Pada fase pertumbuhan pancang tidak diketahui persis lama waktu pertumbuhan menjadi tiang, namun demikian dapat diyakini seperti yang diungkapkan oleh para tetua di Kab. Sumbawa bahwa fase ini memerlukan waktu bertahun-tahun. Sama halnya dengan pancang ke tiang, proses pertumbuhan dan

(36)

20

perkembangan menuju tingkat pohon pun demikian, memerlukan waktu yang lama tergantung pada kondisi abiotik di mana tumbuhan kepuh tumbuh.

Kendala lainnya dalam pertumbuhan kepuh ialah hama dan penyakit. Pada awal pertumbuhannya, kepuh di India diserang larva Sylepta balteata mencapai 70 - 80% (Orwa et al. 2009). Hasil penemuan di lapangan, batang kepuh yang masih hidup juga dihinggapi serangga. Serangga tersebut berasal dari ordo Hemiptera dan famili Pyrrhocoridae. Jenis serangga dari famili Pyrrhocoridae termasuk hama penyakit yang menyerang tanaman (Ernawati dan Utami 2010). Jenis serangga ini lebih banyak diketahui hidup pada kulit batang yang mati.

Pertumbuhan dan perkembangan kepuh dapat meningkat dengan berbagai cara. Selain dengan cara merekayasa faktor abiotik atau memberikan horman tertentu seperti auksin, giberelin, sitokinin atau hormon yang lainnya, dapat juga dengan melakukan pemangkasan/pemotongan ujung batang dan melukai bagian batang sampai mengenai daerah kambium. Hal ini berfungsi merangsang hormon-hormon tersebut bekerja secara baik.

Melalui pemotongan ujung batang, maka dominansi apikal akan hilang artinya auksin yang dihasilkan oleh ujung batang akan mendominasi pertumbuhan batang utama, sehingga pertumbuhan cabang relatif sedikit. Cara ini juga diyakini dapat membuat batang pohon nampak lebih lurus. Selanjutnya melukai batang sama halnya dengan membantu merangsang hormon giberelin berkerja dengan baik. Hormon giberelin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan batang lebih besar dan terbentuknya buah tanpa biji. Adapun tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh sebagai berikut:

1. Tahap awal dimulainya pertumbuhan kepuh yaitu biji yang sudah matang kemudian jatuh ke tanah yang basah atau sedikit tergenang air.

2. Setelah biji jatuh, dalam seminggu sampai dua minggu biji tersebut berubah menjadi kecambah ditandai dengan munculnya radikula, hipokotil dan akar. Pada tahap ke dua ini, benih mulai berbentuk semai ditandai dengan munculnya daun (1 - 2 helai) namun masih terdapat kotiledon.

3. Kepuh menjadi semai (anakan pohon). Pada tahap ini laju pertumbuhan relatif lebih cepat dalam kondisi yang normal.

4. Semai terus bertambah besar dan tinggi. Pada tahap ini semai kepuh memerlukan cahaya matahari yang cukup.

5. Selama ± satu tahun selanjutnya kepuh berkembang menjadi pancang. 6. Paling tidak tiga tahun selanjutnya, kepuh sudah dapat menjadi tiang.

7. Kepuh menjadi individu dewasa. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan pohon kepuh dapat memakan waktu 7 - 8 tahun bahkan lebih.

8. Pohon kepuh mulai berbunga. Tidak semua kepuh pada tingkat pertumbuhan pohon langsung berbunga. Terkadang satu pohon kepuh memerlukan waktu sampai belasan tahun agar dapat berbunga. Di Kabupaten Sumbawa bunga kepuh biasa muncul mulai pada bulan Juni dan puncaknya di bulan Agustus. 9. Buah kepuh mulai muncul yaitu sekitar bulan Juli (pencilan) dan mencapai

puncak pada bulan Oktober. Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan menjadi hitam saat sudah tua. 10. Kepuh yang sudah tua dicirikan dari cangkangnya membuka. Terdapat banyak

biji di dalamnya yang saat jatuh berpeluang menjadi individu baru.

(37)

1

2

3

4

8 9 10

7 6

5

(38)

22

Populasi aktual

Potensi kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa secara keseluruhan berjumlah 169 individu. Jumlah ini merupakan akumulasi dari hasil eksplorasi di 12 kecamatan di luar plot pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon serta jumlah individu yang ditemukan di dalam petak tunggal pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil eksplorasi, kepuh pada tingkat semai tidak ditemukan, pancang sebanyak 5 individu serta tiang dan pohon sebanyak 84 individu. Hasil inventarisasi di petak tunggal berukuran masing-masing 1 Ha di tiga kecamatan yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara menemukan sebanyak 80 individu kepuh.

Berdasarkan kelas diameter potensi kepuh (tiang dan pohon) di Kab. Sumbawa mencapai diameter > 100 cm. Sebagian besar kepuh ditemukan dengan diameter 20 - 29 cm dan diameter di atasnya untuk kelipatan 10 cm terus berkurang (Gambar 7).

Gambar 7 Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter

Berdasarkan tingkat pertumbuhan diperoleh bahwa laju regenerasi kepuh tidak berjalan normal. Kerapatan yang tinggi pada tingkat semai yaitu 61 ind/ha tidak diikuti dengan pertumbuhan pada tingkat pancang (Gambar 8).

Gambar 8 tersebut menunjukkan bahwa terdapat masalah dalam laju regenerasi kepuh. Permasalahan pertumbuhan ini tidak hanya pada peralihan antara semai ke pancang, namun pertumbuhan dari biji menjadi semai (anakan baru). Permasalahan pertama ialah jumlah biji yang potensial menjadi anakan baru dihitung dari jumlah biji yang jatuh, tidak semuanya mampu berkembang dan menjadi semai. Permasalahan kedua ialah cenderung terputusnya laju regenerasi kepuh pada pertumbuhan pancang. Permasalahan lainnya kepuh kerap terserang

14

<20 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 >100

(39)

23 hama penyakit. Jumlah individu kepuh dari hasil inventarisasi menggunakan petak tunggal di tiga kecamatan tersaji pada Gambar 8.

Gambar 8 Populasi kepuh pada masing-masing tingkat pertumbuhan Sebagai gambaran bila rata-rata hasil penemuan tidak kurang dari 10 biji dalam satu cangkang (bahkan ada yang mencapai 28 biji), kemudian dalam satu tangkai terdapat paling sedikit lima cangkang maka akan didapatkan sebanyak 50 biji kepuh. Jumlah ini akan bertambah bila ditambahkan dengan cangkang-cangkang lain dari ranting yang berbeda. Cangkang kepuh diprediksi dalam satu kali musim panen (buah), menghasilkan ribuan biji. Namun demikian dari sekian banyak biji tersebut, penemuan individu semai kepuh masih tergolong rendah yaitu hanya 61 individu/ha.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab biji kepuh tidak mampu berkembang adalah adanya gangguan satwa liar, hewan ternak dan serangan hama. Biji kepuh, saat masih di pohon kerap dimakan oleh bajing atau jenis rodensia (satwa pengerat) lainnya, bahkan setelah jatuh ke tanah biji kepuh terkadang dimakan oleh babi hutan. Belum lagi ternak warga seperti kambing, kerbau, sapi dan kuda yang kerap berteduh di bawah pohon kepuh, menyebabkan biji kepuh yang jatuh di sekitar indukan tidak mampu hidup karena terus terinjak atau terganggu oleh aktivitas ternak tersebut.

Penemuan di lapangan, pada daerah kering biji kepuh yang jatuh relatif tidak dapat tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa biji kepuh memerlukan perlakuan yaitu pematahan dormasi. Biji kepuh paling tidak memiliki tiga lapisan kulit yang dapat memperlambat dalam proses persemaian. Menurut Sumantri dan Supriatna (2010) serta Zanzibar (2011), benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit, sehingga untuk mengecambahkannya memerlukan perlakuan pendahuluan.

(40)

24

(berkualitas) ialah dengan merendamnya dalam air hangat atau air dingin beberapa waktu kemudian dipilih biji yang tenggelam.

Permasalahan regenerasi kepuh selanjutnya adalah rendahnya penemuan individu pada tingkat pancang. Kondisi ini dapat berdampak pada putusnya laju regenerasi kepuh. Putusnya laju regenerasi kepuh ditengah tidak adanya upaya pelestarian serta aktivitas perambahan dan alih fungsi lahan yang tidak kunjung henti, lambat laun dapat mengancam dan berakibat kepunahan pada kepuh.

Serangan hama penyakit pada kepuh juga menjadi masalah. Penemuan di lapangan kepuh di serang hama serangga. Serangga ini berasal dari ordo Hemiptera dan famili Pyrrhocoridae (Gambar 9).

Gambar 9 Hama penyakit pada batang kepuh Penyebaran dan pola sebaran spasial kepuh

Kepuh merupakan salah satu spesies yang memiliki wilayah sebaran yang luas di Asia Tenggara. Penyebarannya sampai Malaysia, Filipina, Afrika Timur, India, Srilangka, Thailand, Australia dan Hawaii. Menurut Orwa et al. (2009), kepuh pernah ditemukan di beberapa negara seperti Banglades, Djibouti, Eritrea, Ethiopia, Kenya, Myanmar, Oman, Pakistan, Somalia, Tanzania, Thailand, Uganda, Yaman, Republik Zanzibar serta Ghana dan Poerto Rico.

(41)

Gambar

Gambar 5   Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan
Gambar 6  Tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh
Gambar 7  Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter
Gambar 9  Hama penyakit pada batang kepuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya Sarana dan Prasarana Budidaya yang mendukung Dinas Kelautan, Perikanan dan Petemakan Kabupaten Sumbawa Barat selalu memberikan pelatihan dan bimbingan kepada para

Strategi pengembangan sumber daya manusia aparatur yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa yaitu: a.. Meningkatkan kualitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: sektor unggulan Kabupaten Sumbawa berdasarkan keterkaitan antarsektor adalah sektor pertanian bahan pangan, peternakan, perikanan

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan dengan aplikasi SIG di di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, berhasil ditentukan kawasan yang sesuai untuk budi daya rumput

tersebut Kajian Potensi Sumber Daya Perikanan di Kecamatan Ampenan Kota Mataram merupakan salah satu langkah awal untuk menggali data dan informasi yang dilakukan secara

Maksud dari kegiatan inventarisasi dan evaluasi bahan galian non logam yang dilakukan di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa tersebut adalah untuk mendapatkan

MEMORANDUM PROGRAM 2015 - 2019 BIDANG PU / CIPTA KARYA KABUPATEN SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT.. Swasta

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan dengan aplikasi SIG di di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa, berhasil ditentukan kawasan yang sesuai untuk budi daya rumput