Penelitian ini membutuhkan panelis terlatih untuk memberikan penilaian pada uji sensori dalam menentukan kadar air kritis. Nilai kadar air kritis tersebut merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung umur simpan tepung lidah buaya.
Dalam penelitian ini, mutu sensori yang diamati berupa mutu tekstur (penggumpalan). Oleh karena itu, seleksi panelis terlatih yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur. Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah calon panelis yang memperoleh jawaban benar sekurang-kurangnya 50% dari seluruh uji segitiga yang diberikan. Berdasarkan uji segitiga, dari 24 orang panelis yang mengikuti pengujian diperoleh 14 orang yang lolos menjadi calon panelis terlatih (Lampiran 4). Namun, berdasarkan waktu dan motivasi masing-masing individu yang lolos, dari 14 orang tersebut, hanya terpilih 8 orang yang bersedia menjadi calon panelis terlatih. Jumlah tersebut tidak bermasalah karena dalam syaratnya, panelis terlatih yang dibutuhkan untuk uji rating adalah minimal 8 orang dan maksimal 12 orang (Meilgaard et al. 1999)
Calon panelis terlatih yang telah diseleksi telah mengikuti rangkaian pelatihan berupa Focus Grup Discussion (FGD) dan uji rating secara kontinu sehingga dapat secara layak dikatakan terlatih dalam hal penilaian tepung lidah buaya. Hasil dari proses FGD panelis untuk menentukan karakteristik awal dari tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 5.
Setelah itu, calon panelis melakukan FGD lagi untuk menentukan persentase tingkat penggumpalansampel tepung lidah buaya tersebut yang sudah tidak dapat diterima lagi dari segi kenampakannya (visual). Hasil dari FGD tersebut menunjukkan bahwa panelis sudah tidak dapat menerima sampel tepung lidah buaya pada tingkat penggumpalan sebesar 70%. Pada kondisi tingkat penggumpalan tersebut, tingkat kelarutan tepung lidah buaya rendah karena gumpalan-gumpalan tepung yang teksturnya sudah menjadi padat dan agak basah. Tabel 5 Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD calon
panelis terlatih
Kriteria Hasil FGD
Kenampakan (visual) Warna putih keabu-abuan, bentuk
bubuk
Rasa Sedikit manis
Aroma Tidak terdapat aroma khas
Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal danAktivitas Air) Kadar air awal tepung lidah buaya dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Hasil analisis kadar air dinyatakan dalam bobot kering. Nilai kadar air awal yang diperoleh adalah 1.92 g H2O/g padatan (Lampiran 5). Nilai yang diperoleh cukup rendah karena dalam proses pembuatan tepung lidah buaya digunakan metode pengeringan spray drying pada suhu yang tinggi yaitu 120oC.
Pada produk tepung-tepungan atau bubuk lainnya, seperti tepung penyalut berbasis tepung jagung, tepung kedelai, kopi instan, dan bubuk lada hitam, nilai kadar air awal sangat bervariasi, namun masih dapat dikatakan rendah. Kadar air awal untuk tepung penyalut berbasis tepung jagung adalah 0.09 g H2O/g padatan (Sugiyono et al.2010), tepung kedelai 6.80 g H2O/g padatan (Arpah et al. 2002), kopi instan 4.61 g H2O/g padatan (Sudibyo et al. 2010), dan bubuk lada hitam 10.27 g H2O/g padatan (Rahayu et al. 2005). Nilai kadar air awal ini bervariasi dapat disebabkan karena perbedaan metode pengeringan, proses pengolahan, atau karakteristik awal bahan.
Sementara itu, nilai aktivitas air (aw) dianalisis menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi dengan garam jenuh yang memiliki kelembaban 75%. Hasil dari pengukuran aw berkisar antara 0-1. Hasil yang diperoleh menunjukkan sampel tepung lidah buaya memiliki aw sebesar 0.25 pada suhu 29.9 – 30.2oC.
Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan tepung lidah buaya tersebut aman dari pertumbuhan mikroba khususnya kapang dan kamir.Pada umumnya kapang dan kamir dapat tumbuh pada bahan pangan yang memiliki nilai aw di atas 0.60 -0.70 (Labuza, 1982). Labuza (1982) menyatakan hubungan antara aw dan mutu pangan yang dikemas yaitu pada selang aw sekitar 0.70 – 0.75 atau lebih, mikroba berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi tidak layak dikonsumsi.
Salah satu faktor dalam penentuan umur simpan suatu bahan pangan adalah sifat alamiah dari bahan itu sendiri (Syarief dan Halid 1993). Pada produk bubuk, kadar air dan aw merupakan sifat penting yang mempengaruhi mutu mikrobiologis, kimia, maupun fisik. Aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis. Semakin tinggi aw pada suatu bahan, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk tumbuh di dalamnya. Tingginya kandungan aw juga mengakibatkan oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan aw yang rendah (Herawati 2005).
Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya
Penentuan kadar air kritis ditentukan dengan melakukan penyimpanan sampel dalam sorption chamber (suhu 30oC RH 97.1%) dan diamati setiap 12 jam selama 48 jam. Batas kritis tepung lidah buaya yang telah ditentukan dari hasil FGD panelis terlatih adalah sampel dengan tingkat penggumpalan sama dengan atau lebih dari 70% dari keadaan semula (kontrol).
Berdasarkan hasil percobaan, terdapat peningkatan kadar air sampel tepung lidah buaya selama penyimpanan pada 0, 12, 24, 36, dan 48 jam (Gambar 5). Kenaikan kadar air ini disebabkan oleh penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam sampel. Semakin meningkatnya waktu penyimpanan, penampakan sampel
juga mengalami perubahan menjadi semakin menggumpal dan basah. Kadar air kritis merupakan kadar air dimana produk pangan mencapai kondisi mulai tidak diterima lagi secara sensori. Pada produk bubuk dengan flowability tinggi, kadar air dan aktivitas air rendah, caking atau penggumpalan akibat penyerapan uap air merupakan permasalahan yang sangat berpengaruh pada mutu. Awal terjadinya
caking ditandai dengan perubahan sampel menjadi basah (Chung et al. 2000). Hasil uji rating menunjukkan batas kritis penolakan panelis terlatih pada saat 48 jam penyimpanan sampel di dalam chamber. Menurut penilaian panelis terlatih tersebut, tingkat penggumpalan sampel telah melebihi batas kritis penolakan sebesar 74.08% (Gambar 6). Seluruh panelis terlatih (8 orang) juga menyatakan tidak dapat lagi menerima sampel dari segi penampakan atau penggumpalannya. Hasil perhitungan kadar air dan penilaian uji rating dapat dilihat di Lampiran 7 dan 8.
Gambar 5 Grafik perubahan kadar air tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam
Gambar 6 Grafik tingkat penggumpalan tepung lidah buaya berdasarkan uji rating panelis terlatih 1.50 1.71 1.99 2.15 2.48 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0 12 24 36 48 K ad ar ai r ( g H2 O /g p ad at an )
Waktu Penyimpanan (jam)
28.83 46.83 60.00 64.42 74.08 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 12 24 36 48 T in g k a t P e n g g u mp a la n ( %)
Selanjutnya, untuk melihat apakah diantara kelima sampel yang disimpan selama 0, 12, 24, 36, dan 48 jam yang digunakan untuk menentukan titik kritis penolakan ini terdapat perbedaan yang signifikan dilakukan uji ANOVA (Analysis of Variance) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 9). Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa kenaikan kadar air mempengaruhi kenampakan (penggumpalan).
Hasil uji ANOVA (Lampiran 9) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata diantara sampel-sampel tersebut. Dari uji lanjut Duncan diperoleh bahwa sampel kontrol dan sampel pada perlakuan 12 jam masing-masing berbeda nyata dengan keempat sampel lainnya. Sementara itu, sampel dengan perlakuan 24 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 36 jam dan sampel dengan perlakuan 36 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 48 jam. Jadi, dapat dikatakan titik kritis berada diantara 24 jam hingga 48 jam. Namun, hasil penilaian panelis terlatih, menyatakan titik kritis berada pada perlakuan 48 jam.
Nilai kadar air kritis ditentukan berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam (Gambar 7). Hasil FGD panelis terlatih menunjukkan titik kritis penggumpalan tepung lidah buaya berada pada tingkat penggumpalan 70%, sehingga berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tersebutkadar air kritis tepung lidah buaya sebesar 2.29 g H2O/g padatan.
Gambar 7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam
Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan
Percobaan dilakukan dengan menyimpan sampel pada suhu ruang (30 ± 1oC) dan digunakan 7 jenis larutan garam jenuh, antara lain: NaOH, MgCl2, K2CO3, NaBr, NaCl, KCl, K2SO4. Pemilihan garam ini bertujuan agar dapat mewakili tiap daerah pada kurva sorpsi isotermis, yaitu daerah monolayer (daerah A), multilayer (daerah B), dan daerah kondensasi kapiler (daerah C). Penggunaan larutan garam jenuh dapat mempertahankan RH secara konstan selama jumlah
y = 0,0209x + 0,8222 R² = 0,937 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 K ad ar ai r ( g H2 O /g p ad at an ) Tingkat penggumpalan (%)
garam yang digunakan masih di atas tingkat jenuh (Syarief dan Halid 1993). Kelembaban relatif dari larutan garam dan nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC
Jenis Larutan
Garam ERH (%) Aw
Kadar air kesetimbangan (g H2O/g padatan) NaOH 6.80 0.07 1.84 MgCl2 32.40 0.32 1.90 K2CO3 43.20 0.43 1.98 NaBr 56.00 0.56 2.35 NaCl 75.10 0.75 2.56 KCl 83.60 0.84 2.97
Selama penyimpanan, sampel tepung lidah buaya ada yang mengalami proses penambahan dan pengurangan bobot sampel. Sampel yang disimpan pada RH (Relative Humidity/ kelembaban relatif) rendah mengalami penurunan bobot, sedangkan pada RH tinggi, sampel akan mengalami penambahan bobot. Sampel yang disimpan pada RH 6.80, 32.40, 43.20, dan 56.00% bobotnya cenderung berkurang hingga tercapainya kondisi kesetimbangan. Sampel pada kondisi tersebut mengalami proses pelepasan uap air ke lingkungan. Hal ini disebabkan sampel pada kondisi tersebut memiliki aktivitas air yang lebih tinggi dari kelembaban relatif lingkungannya sehingga untuk mencapai kondisi kesetimbangan sampel melepaskan uap air ke lingkungan. Sementara itu, sampel yang disimpan pada RH 75.10, 83.60,dan 97.10% mengalami penambahan bobot sampel karena proses absorpsi uap air dari lingkungan ke dalam bahan pangan.
Penurunan dan penambahan bobot ini menunjukkan fenomena hidratasi. Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antar bahan pangan dengan molekul air di udara lingkungannya (Syarif & Halid 1993). Interaksi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan antara RH sampel dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi hingga terjadi kesetimbangan di antara keduanya.
Proses absorpsi dan desorpsi uap air antara bahan pangan dan lingkungan ini terjadi hingga tercapainya kondisi kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan antara sampel dengan lingkungan berbagai RH ditandai dengan hasil penimbangan yang konstan. Waktu tercapainya kadar air kesetimbangan ini berbeda-beda pada tiap RH dan berkisar antara 5 – 7 hari. Pada RH 97.10% (K2SO4), kadar air kesetimbangan tidak dapat tercapai. Sebelum tercapai kadar air kesetimbangan, pada hari ke-delapan, sampel tepung lidah buaya sudah berubah bentuk menjadi cair dan seperti jelly. Oleh karena wujud sampel telah berubah dari bentuk semula yang berupa bubuk, maka nilai RH 97.10% tidak digunakan dalam perhitungan dan pembuatan kurva sorpsi isotermis air tepung lidah buaya. Pada penyimpanan produk pangan kering, kadar air bahan cenderung cepat mengalami peningkatan ketika disimpan pada RH yang relatif tinggi. Oleh karena itu, kadar air
kesetimbangan dan kadar air kritis lebih cepat tercapai pada penyimpanan dengan kondisi RH yang relatif tinggi (Widowati et al. 2010).`
Nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya dalam berbagai RH yang terlihat pada Tabel 6 tersebut jika diplotkan dengan nilai aw atau RH akan membentuk kurva sorpsi isotermis. Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan kurva sorpsi isotermis (Gambar 8) berbentuk menyerupai sigmoid. Dari kurva sorpsi isotermis yang terbentuk, didapatkan persamaan garis linear: y = 1.4525x + 1.5474 dengan nilai R² = 0,8590. Menurut Syarief dan Halid (1993), kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap produk pangan.
Gambar 8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Berdasarkan kurva tersebut, ditentukan nilai slope atau kemiringan kurva untuk perhitungan umur simpan. Slope atau kemiringan kurva sorpsi isotermis ditentukan dengan mengasumsikan bahwa kurva tersebut berbentuk garis lurus (Labuza 1982) atau dengan menggunakan regresi linier pada kurva. Untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis air yang mulus, data hubungan kadar air kesetimbangan dengan aw diuji terlebih dahulu dengan menggunakan lima model persamaan, yaitu model Halsey, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Pemilihan model-model persamaan ini karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada rentang nilai aw yang luas (Isse et al. 1993).
Untuk memudahkan perhitungan, model-model persamaan tersebut dimodifikasi menjadi persamaan linier. Model persamaan dan linearisasi persamaan sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat di Tabel 7. Setelah perhitungan, model persamaan tersebut menghasilkan model persamaan kurva sorpsi isotermis untuk tepung lidah buaya yang diperlihatkan pada Tabel 8.
Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan dengan menggunakan model persamaan tersebut dan perbandingannya dengan hasil percobaan diperlihatkan pada Tabel 9.Hasil plot yang menunjukkan perbandingan antara nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan menggunakan model sorpsi isotermis diperlihatkan pada Gambar 9.
y = 1.4525x + 1.5474 R² = 0.859 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 K ad ar ai r ( g H2 O /g p ad at an ) Aktivitas air
Tabel 7 Linearisasi persamaan sorpsi isotermis
Model Bentuk Umum
Bentuk Linear Linearisasi (Y = a X + b) Halseya) log[ln(1/aw)] = log P(1) –
P(2) log Me
Y = log (ln(1/aw)) X = log Me
a = log P(1) b = -P(2) Chen Claytonb) ln [ln(1/aw)] = ln P(1) –
P(2) Me
Y = ln (ln(1/aw)) X = Me
a = ln P(1) b = -P(2) Hendersonc) Log[ln(1/(1-aw)] = log
P(1) + P(2) log Me Y = log (ln(1/(1-aw))) X = log Me a = log P(1) b = P(2) Caurieb) ln Me = ln P(1) – P(2) aw Y = ln Me X = aw a = ln P(1) b = -P(2) Oswinc) ln Me = ln P(1) + P(2) ln(aw/(1-aw)) Y = ln Me X = ln(aw/(1-aw)) a = ln P(1) b = P(2) a) Isse et al. (1983) b) Lamauro (1984)
c) Chirife and Iglesias (1978)
Tabel 8 Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Model Persamaan Persamaan Kurva R2
Chen Clayton ln [ln(1/aw)] = -3.0551 - 2.9888 Me 0.992
Caurie ln Me = 1.5988 - 0.7756 aw 0.994
Oswin ln Me = 1.617 + 1.2985 ln[aw/(1-aw)] 0.993
Halsey log[ln(1/aw)] = 0.6252 + 1.8218 log Me 0.949
Henderson log [ln(1/(1-aw))] = 0.3040 + 1.8349 log Me 0.997 Tabel 9 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan berbagai
model sorpsi isotermis
aw
Kadar Air Kesetimbangan(g H2O/g padatan) Percobaan Oswin Halsey Henderson Chen
Clayton Caurie 0.07 1.85 1.68 0.87 0.42 -3.29 1.57 0.32 1.90 2.08 1.19 0.93 -4.05 1.33 0.43 1.98 2.19 1.32 1.10 -4.31 1.25 0.56 2.35 2.32 1.51 1.30 -4.64 1.15 0.75 2.56 2.56 1.96 1.66 -5.25 1.02 0.84 2.97 2.72 2.32 1.87 -5.66 0.97
Pada Gambar 9 terlihat beberapa model yang memberikan hasil perhitungan yang menyimpang jauh dari nilai hasil percobaan, namun ada model yang memberikan hasil perhitungan yang hanya sedikit menyimpang dari hasil percobaan. Model Caurie memberikan hasil perhitungan yang hampir berimpit dengan kurva hasil percobaan, sedangkan model Chen Clayton menunjukkan penyimpangan hasil perhitungan yang paling jauh dengan hasil percobaan. Model yang terpilih sesuai dengan hasil percobaan dapat diketahui dengan mencari nilai MRD (Mean Relative Determination) masing-masing model persamaan.
Hasil perhitungan nilai MRD dari masing-masing model persamaan untuk tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil tersebut, hanya satu model persamaan yang memiliki nilai MRD < 5 yaitu model Oswin dengan nilai MRD 0.2842, artinya model tersebut dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dengan tepat. Sementara itu, keempat model persamaan lainnya, memiliki nilai MRD > 10 yang artinya model tersebut tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Gambar 9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model persamaan
Berdasarkan kurva model yang terpilih yaitu model Oswin, ditentukan nilai kemiringan kurva dengan cara menarik garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal (Mo), kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan (Me), dan kadar air kritis (Mc) (Gambar 10). Nilai kemiringan kurva (b) berdasarkan model persamaan tersebut adalah 1.2451.
-6.00 -5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900 K ad ar ai r ( g H2 O /g p ad at an ) Aktivitas air
Caurie Oswin Halsey Henderson Chen Clayton Percobaan
Gambar 10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis
Tabel 10 Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Model Persamaan MRD Chen Clayton 300.41 Caurie 43.41 Oswin 0.28 Halsey 34.17 Henderson 48.31
Dengan menggunakan persamaan linear kurva sorpsi isotermis, maka dapat ditentukan kadar air kesetimbangan (Me) pada RH tertentu. RH yang dipilih berdasarkan pada kondisi RH penyimpanan dimana umur simpan ditentukan. Kondisi penyimpanan dimana umur simpan ditentukan adalah kondisi RH 75, 80, dan 85%, maka nilai kadar air kesetimbangan untuk tepung lidah buaya pada kondisi tersebutberturut-turut adalah 2.59, 2.66, dan 2.72 g H2O/g padatan. Nilai-nilai ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan umur simpan dengan persamaan Labuza (1982).
Kondisi PenyimpananTepung Lidah Buaya
Faktor-faktor di luar unsur sifat fisik produk yang dapat mempengaruhi umur simpan suatu produk pangan, antara lain permeabilitas kemasan (k/x), luas kemasan (A), kelembaban relatif, dan tekananuap air jenuh (Po). Faktor-faktor ini berpengaruh ketika masa penyimpanan produk pangan.
Jenis kemasan yang digunakan adalah oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE), dan metalized plastic. Berdasarkan informasi dari
y = 0.77x - 1.2451 R² = 1 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 K ad ar ai r ( g H 2 O /g p ad at an ) Aktivitas air
produsen tepung lidah buaya, kemasan yang digunakan di pasaran adalah jenis kemasan LDPE. Penggunaan jenis kemasan OPP dan metalized plastic dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh perbedaan permeabilitas uap air kemasan dalam memperpanjang umur simpan. Nilai permeabilitas ketiga jenis kemasan ini diperoleh dari studi literatur.
Berdasarkan hasil studi literatur, nilai WVTR dari jenis kemasan metalized plastic adalah 0.4416 g/m2.hari dan jenis kemasan OPP adalah 3.6400 g/m2.hari (Syalfina 2007). Dari hasil perhitungan WVTR dibagi tekanan uap air jenuh, nilai permeabilitas kemasan (k/x) ketiga jenis kemasan dapat dilihat pada Tabel 11. Permeabilitas uap air (k/x) adalah laju transmisi uap air dibagi dengan tekanan uap air jenuh pada saat ditetapkan. Laju transmisi uap air atau Water Vapor Transmission Rate (WVTR) yang merupakan jumlah uap air yang melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan selama satu satuan waktu pada kondisi suhu dan kelembaban relatif yang konstan (Syarief et al. 1989).
Perbedaan nilai permeabilitas kemasan (k/x) tersebut disebabkan perbedaan karakteristik kemasan seperti, bahan penyusunnya dan besar pori-pori kemasan. Semakin besar permeabilitas kemasan, maka semakin mudah migrasi uap air ke dalam kemasan (Kusnandar 2006). Semakin rendah nilai permeabilitas kemasan (k/x), semakin kecil difusi uap air dan gas yang melalui kemasan tersebut.Menurut Robertson (1993), kemasan metalized plastic memiliki barrier yang tinggi terhadap uap air dan gas. Dari ketiga jenis kemasan tersebut, kemasan metalized plastic memiliki permeabilitas terhadap uap air yang paling rendah, sehingga diharapkan dapat lebih memperpanjang umur simpan produk yang dikemas.
Tabel 11 Nilai permeabilitas (k/x) tiga jenis kemasan
Jenis Kemasan Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg)
LDPE 0.5 (Arpah 2002)
OPP 0.0740 (Syalfina 2007)
Metalized plastic 0.0090 (Syalfina 2007)
Faktor lain dari kemasan yang perlu diketahui adalah luas kemasan (A) primer yang digunakan. Luas kemasan didapatkan dari tinggi kemasan yang dikurangi sisa sealingdikalikan dengan lebar kemasan. Produk tepung lidah buaya dijual di pasaran dalam kemasan kecil untuk isi produk sebanyak 15 gram dengan luas kemasan sebesar 0.0084 m2.
Bobot padatan awal per kemasan (Ws) merupakan bobot awal tepung lidah buaya yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Bobot padatan tepung lidah buaya per kemasan (Ws) adalah sebesar 5.1393 gram. Perhitungan luas kemasan dan bobot padatan per kemasan dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13.
Kondisi lingkungan penyimpanan merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan umur simpan. Setelah didistribusikan kepada konsumen, diasumsikan produk akan disimpan dalam kondisi konstan ± 30oC dengan kelembaban relatif (RH) 75, 80, atau 85%. Dalam penentuan umur simpan, faktor lingkungan yang mempengaruhi perhitungan adalah tekanan uap air jenuh. Tekanan uap air jenuh (Po) dipengaruhi oleh suhu. Berdasarkan Labuza (1982), tekanan uap air jenuh
(Po) untuk suhu 30OC adalah 31.824 mmHg. Perhitungan umur simpan akan didasarkan pada kondisi-kondisi tersebut.
Umur Simpan Tepung Lidah Buaya
Hasil rekapitulasi variabel-variabel yang digunakan untuk menghitung umur simpan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 12. Pada pendekatan kurva sorpsi isotermis, parameter-parameter persamaan Labuza (1982) ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (Mc, Mi, Me, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x, A), dan lingkungan luar atau dalam pengemas (Po dan b).
Hasil perhitungan umur simpan tepung lidah buaya pada berbagai macam jenis kemasan dan RH dapat dilihat pada Tabel 13. Perhitungan umur simpan dapat dilihat di Lampiran 15. Pada kemasan LDPE, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 38, 33, dan 29 hari. Pada kemasan OPP, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, pada kemasan metalized plastic, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 2095, 1828, dan 1624 hari.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, selain variabel umur simpan, faktor kemasan dan kondisi ruang penyimpanan juga mempengaruhi lamanya umur simpan. Pengaruh faktor kemasan dan RH penyimpanan ini terhadap umur simpan tepung lidah buaya berdasarkan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 17) adalah berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.
Tabel 12 Variabel umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan pada RH 75, 80, dan 85%
Parameter Satuan LDPE OPP Metalized plastic
Mi g H2O/g padatan 1.92 1.92 1.92 Me RH 75% g H2O/g padatan 2.59 2.59 2.59 RH 80% g H2O/g padatan 2.66 2.66 2.66 RH 85% g H2O/g padatan 2.72 2.72 2.72 Mc g H2O/g padatan 2.29 2.29 2.29 k/x g/m2.hari.mmHg 0.50 0.07 0.01 A m2 0.0084 0.0084 0.0084 Ws gram 5.14 5.14 5.14 Po mmHg 31.82 31.82 31.82 b g H2O/ g bk 1.24 1.24 1.24
Tabel 13 Umur simpan tepung lidah buaya pada tiga jenis kemasan dan berbagai nilai RH Jenis Kemasan Umur Simpan RH 75% RH 80% RH 85%
Hari Bulan Hari Bulan Hari Bulan
LDPE 38 1.26 33 1.10 29 0.97
OPP 255 8.49 222 7.41 197 6.58
Metalized
Plastic 2095 69.84 1828 60.95 1624 54.13
Berdasarkan hasil yang diperoleh, umur simpan tepung lidah buaya lebih pendek pada kelembaban relatif (RH) yang lebih tinggi. Kondisi lingkungan menunjukkan banyaknya kandungan uap air di udara. Kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan kondisi dengan kelembaban relatif yang rendah. Tingginya kandungan uap air tersebut pada produk tepung atau bubuk dapat meningkatkan kadar air produk, menurunkan flowability, dan meningkatkan kohesivitas granular, sehingga mempercepat pencapaian titik kritis penolakan atau penggumpalan. Bagi konsumen adanya penggumpalan pada produk tepung-tepungan adalah tanda kualitas dan keamanan produk yang rendah (Chung et al.2000). Selain itu, suhu yang tinggi juga mempengaruhi nilai tekanan uap air dan kelembaban, maka dengan meningkatnya suhu, akan mempercepat pencapaian titik kritis (Ganesan et al. 2008).
Berdasarkan perhitungan umur simpan tepung lidah buaya pada Tabel 13, produk yang dikemas dengan metalized plastic memiliki umur simpan yang lebih panjang dibanding kemasan lain. Semakin kecil nilai permeabilitas uap air kemasan, semakin panjang umur simpan produk yang dikemas. Permeabilitas kemasan metalized plastic merupakan yang paling rendah dibandingkan kemasan LDPE dan OPP. Besarnya nilai permeabilitas menunjukkan besarnya difusi uap air dari lingkungan ke dalam kemasan. Semakin besar nilai permeabilitas kemasan, semakin besar pori-pori kemasan dan membantu mempercepat proses