PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA
DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS
ANNISA SITA LARASATI
F24070004
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013 Annisa Sita Larasati
ABSTRAK
ANNISA SITA LARASATI. Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan BUDI NURTAMA.
Tanaman lidah buaya (Aloe vera) banyak digunakan dalam industri farmasi dan pangan. Pengolahan lidah buaya menjadi tepung lidah buaya merupakan salah satu upaya pemanfaatan dan pengawetan tanaman lidah buaya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan plastik, yaitu LDPE, OPP, dan metalized plastic dengan metode akselerasi model kadar air kritis. Paramater mutu kritis yang diamati pada produk tepung lidah buaya adalah perubahan tekstur yaitu penggumpalan. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi dan pelatihan panelis terlatih dan tahap kedua adalah tahap penentuan umur simpan. Hasil perhitungan umur simpan dengan kemasan LDPE pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 38, 33, dan 29 hari. Untuk kemasan OPP pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, untuk kemasan
metalized plastic pada kondisi RH 75, 80, dan 85 % berturut-turut adalah 2095, 1828, dan 1624 hari. Berdasarkan hasil penelitian, faktor kemasan dan RH penyimpanan berpengaruh dalam memperpanjang umur simpan produk tepung lidah buaya. Kemasan dengan permeabilitas terkecil, yaitu metalized plastic, memberikan umur simpan yang lebih panjang dibandingkan kemasan yang lain. Namun, berdasarkan pertimbangan segi ekonomi dan umur simpannya, tepung lidah buaya sebaiknya disimpan dalam kemasan OPP pada RH 75% yang memberikan umur simpan selama 255 hari.
Kata kunci: kadar air kritis, penggumpalan, tepung lidah buaya, umur simpan
ABSTRACT
ANNISA SITA LARASATI. Shelf Life Predicting of Aloe vera Powder Using Critical Water Content Method. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan BUDI NURTAMA.
LDPE packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 38, 33, and 29 days. In OPP packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 255, 222, and 197 days. Meanwhile, in metalized plastic packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 2095, 1828, and 1624 days. Packaging and RH condition are influential to prolong shelf life of Aloe vera powder. Metalized plastic, packaging with the smallest permeability, give the longer shelf life than the other packaging. But, based on economical factor and its shelf life factor, Aloe vera powder should be stored in OPP packaging in RH 75% which provides shelf life 255 days.
PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA
DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS
ANNISA SITA LARASATI F24070004
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis
Nama : Annisa Sita Larasati NIM : F24070004
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
(Prof. Dr. Winiati P.Rahayu) (Dr.Ir. Budi Nurtama, MAgr)
NIP : 195608131982012001 NIP : 195904151986011001
Diketahui oleh Ketua Departemen
(Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP. 19680526 199303 1 004
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis dengan baik dan semaksimal mungkin. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salam kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai, terutama kepada :
1. Prof. Dr.Winiati P. Rahayu sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, motivasi, segala pelajaran hidup dari awal penulis menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
2. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas kesabaran, nasihat, saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
4. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam mendidik penulis. Terima kasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan perhatian yang telah diberikan selama ini. Keluarga besar dari Bapak dan Ibu yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan dan kelancaran penulis selama menyelesaikan pendidikan di IPB.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta laboran-laboran ITP (Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin, Bu Rub, Bu Sri, dan Mbak Vera) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.
6. Sahabat-sahabat saya, Dhina, Reny, Lia, Tami, Imel, Ria, Alya, Chintya ‘Dono’, Fitri, Hanna, Irwan, Desir, Mike, Lukman dan seluruh teman-teman ITP 44. Terimakasih banyak atas segala suka dan duka yang telah dialami bersama.
7. Seluruh teman-teman ITP 45, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya.
8. Teman-teman sebimbingan, Jeslyn, Wiwit, Punjung, dan Reggy atas kebersamaan dan dukungan kalian.
9. Para panelis terlatih atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung.
10. Teman-teman TPB dan Nabila Community, Irin, Vidya, Risty, Zuzu, Ana, Citra, Nia, Leni, terima kasih atas kebersamaannya.
12. Para dokter dan suster di Normah Medical Specialis Centre, serta seluruh pihak yang telah membantu selama penulis berjuang melawan penyakit di Kuching, Malaysia.
13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang kalian berikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK iii
HALAMAN PENGESAHAN vi
KATA PENGANTAR iiv
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya 3
Tepung Lidah Buaya 5
Pendugaan Umur Simpan 6
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) 8
Kadar Air dan Aktivitas Air 11
Kurva Sorpsi Isotermis Air 12
Penggumpalan (Caking) 14
METODE 15
Bahan dan Alat 15
Metode Penelitian 15
Rancangan Percobaan 20
HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Seleksi dan Pelatihan Panelis 22
Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal dan Aktivitas Air) 23
Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya 23
Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan 25
Kondisi Penyimpanan Tepung Lidah Buaya 30
SIMPULAN DAN SARAN 35
Simpulan 35
Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 40
DAFTAR TABEL
1 Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan 4
2 Nutrisi dalam lidah buaya 4
3 Spesifikasi tepung lidah buaya 6
4 Kelembaban relatif dan aw pada berbagai larutan garam jenuh pada
suhu 30oC 19
5 Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD panelis
terlatih 22
6 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan
garam jenuh pada suhu 30oC 26
7 Linearisasi persamaan sorpsi isotermis 28
8 Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya 28 9 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan
berbagai model sorpsi isotermis 28
10 Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan
kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya 30
11 Nilai permeabilitas (k/x) tiga jenis kemasan 31
12 Variabel umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan
pada RH 75, 80, dan 85% 32
13 Umur simpan tepung lidah buaya pada tiga jenis kemasan dan berbagai
nilai RH 33
DAFTAR GAMBAR
1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot
plan 7
2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum 13
3 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis 14
4 Diagram alir penelitian 17
5 Grafik kadar air kritis tepung lidah buaya 24
6 Grafik tingkat penggumpalan tepung lidah buaya berdasarkan uji rating
panelis terlatih 24
7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam 25
8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya 27
9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model
persamaan 29
10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk
DAFTAR LAMPIRAN
1 Formulir uji segitiga seleksi panelis terlatih 41
2 Lembar kerja uji segitiga seleksi panelis terlatih 42 3 Formulir uji rating skala garis dalam penentuan kadar air kritis 43
4 Hasil penilaian panelis uji segitiga 44
5 Kadar air awal tepung lidah buaya 45
6 Kadar air dalam penentuan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya 45 7 Hasil pengukuran kadar air kritis tepung lidah buaya 46
8 Hasil uji rating kadar air kritis 47
9 Hasil uji ANOVA penilaian uji rating kadar air kritis tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20 49 10 Data perubahan kadar air tepung lidah buaya dalam berbagai
kelembaban relatif (RH) 51
11 Contoh perhitungan mencari konstanta model sorpsi isotermis 52 12 Hasil perhitungan bobot padatan per kemasan (Ws) 54
13 Hasil perhitungan luas kemasan (A) 54
14 Hasil pengukuran aktivitas air tepung lidah buaya 55
15 Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya 55
16 Rekapitulasi faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan umur
simpan tepung lidah buaya 56
17 Hasil uji ANOVA pengaruh jenis kemasan dan RH penyimpanan terhadap umur simpan tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman lidah buaya (Aloe vera) telah lama dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan. Sejak dahulu lidah buaya telah digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tanaman ini digunakan sebagai bahan baku dalam industri kosmetik dan farmasi. Dalam perkembangannya, lidah buaya juga telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan karena kandungan senyawa nutrisi dan komponen aktifnya yang baik bagi kesehatan manusia.
Tanaman lidah buaya dari jenis Aloe vera chinensis merupakan salah satu komoditi spesifik Kalimantan Barat dan produk unggulan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah tanaman/luas tanam dan produksi lidah buaya di Kalimantan Barat terus meningkat. Tahun 1996 jumlah populasi tanaman sebanyak 109520 pohon atau sekitar 14.80 Ha dengan produksi 140.18 ton/bulan dan jumlah ini terus meningkat pada tahun 2000 menjadi 397750 pohon atau 53.75 Ha dengan produksi 509.12 ton/bulan (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat 2009). Semakin meningkatnya produksi tanaman lidah buaya ini menuntut pula dilakukannya pengolahan yang lebih lanjut untuk meningkatkan nilai ekonomisnya.
Kandungan nutrisi dan komponen aktif lidah buaya banyak terkandung di dalam daging daun lidah buaya atau yang biasa disebut gel lidah buaya. Namun, sifat gel lidah buaya ini mudah rusak dan tercemar bakteri sehingga tidak tahan lama. Hal ini mendorong dilakukannya upaya untuk mempertahankan kandungan dalam gel yaitu dengan cara mengolahnya menjadi bubuk atau tepung. Selain itu, pengolahan gel lidah buaya ini menjadi tepung dapat meningkatkan nilai tambah atau ekonomisnya.
Lidah buaya dalam bentuk tepung mempunyai beberapa keuntungan, yaitu kandungan nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan. Penggunaan tepung lidah buaya saat ini tidak hanya terbatas pada industri kosmetik dan farmasi, tetapi juga untuk produksi makanan dan minuman kesehatan.
Salah satu parameter mutu produk yang sangat kritis untuk diperhatikan adalah umur simpan produk. Pencantuman waktu kedaluwarsa atau umur simpan pada label produk pangansangat bermanfaat bagi konsumen. Dari pencantuman waktu kedaluwarsa tersebut maka konsumen mendapat informasi tentang batas waktu penggunaan produk tersebut. Produsen dan distributor produk juga memperoleh manfaat dari ketersediaan informasi mengenai umur simpan ini. Bagi produsen dapat membantu dalam pengawasan mutu barang tersebut, sedangkan bagi distributor atau penjual dapat mengatur stok barangnya di pasaran. Oleh karena itu, ketersediaan informasi mengenai tanggal kedaluwarsa yang tercantum pada label produk perlu diperhatikan oleh produsen, tidak terkecuali produsen pengolah tepung lidah buaya
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode
Metode ESS adalah penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu hingga mencapai mutu kedaluwarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat, namun pelaksanaannya lama dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak. Metode ASLT adalah penentuan waktu kedaluwarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat.
Penentuan umur simpan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode ASLT. Model yang dipakai adalah dengan pendekatan kadar air kritis. Pemakaian metode ini didasarkan pada waktu pelaksanaan yang singkat dan metode pengukuran yang sederhana.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan plastik untuk menjamin mutu produk. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mempelajari model pendugaan umur simpan dengan metode ASLT pendekatan kadar air kritis pada parameter mutu perubahan tekstur (penggumpalan atau caking) untuk menentukan umur simpan tepung lidah buaya.
2. Mengetahui pengaruh tiga jenis kemasan (LDPE, OPP, dan metalized plastic) terhadap umur simpan tepung lidah buaya dalam kondisi penyimpanan pada suhu ruang (30 ± 1 oC).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain:
1. Memperoleh informasi mengenai umur simpan (hari) tepung lidah buaya berdasarkan parameter mutu perubahan tekstur (penggumpalan atau caking) pada penyimpanan suhu ruang (30 ± 1 oC).
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya
Tanaman lidah buaya sangat potensial dibudidayakan di lahan gambut seperti di Propinsi Kalimantan Barat khususnya di Kotamadya Pontianak yaitu di Siantan Hulu. Tanaman lidah buaya yang telah diusahakan seluas 75 Ha dan potensi pengembangannya mencapai 19,950 Ha yang tersebar di empat kabupaten. Produksi lidah buaya rata-rata 6 - 7.5 ton/ha setiap kali panen dan dapat dipanen 3 - 4 kali per tahun. Pemasaran lidah buaya selain untuk pasar lokal juga sudah banyak dijual keluar Kalimantan Barat yaitu Jakarta dan Malaysia dalam bentuk daun segar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat 2009).
Tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak merupakan varietas terunggul di Indonesia bahkan diakui keunggulannya di dunia. Tanaman jenis ini setiap pelepahnya memiliki berat sekitar 0.8 – 1.2 kg dan dapat dipanen setiap bulan sejak bulan ke 10 -12 setelah penanaman hingga tahun ke 5. Mutu panen setiap pelepah sebagian besar tergolong mutu A yaitu tanpa cacat atau terhindar dari serangan hama penyakit daun. Berbeda dengan tanaman lidah buaya yang dibudidayakan di luar Pontianak, seperti di Amerika dan Cina, setiap pelepahnya memiliki berat hanya berkisar 0.5 - 0.6 kg dan dipanen hanya 1 kali setahun karena kendala musim dingin (Sulaeman 2008).
Bagian dari tanaman lidah buaya yang sering dimanfaatkan dalam berbagai macam industri adalah bagian pelepah atau daunnya. Penggunaan tanaman lidah buaya yang cukup besar di dalam industri dikarenakan komponen-komponen yang dimilikinya cukup lengkap dan bermanfaat. Komponen tersebut terdapat dalam cairan bening yang seperti jeli dan cairan yang berwarna kekuningan. Cairan bening seperti jeli ini diperoleh dengan membelah daun lidah buaya atau biasa disebut gel lidah buaya. Gel lidah buaya merupakan bagian daging daun lidah buaya yang terdapat di bawah kulit, tidak berwarna, kenyal, bergetah, dan saling berikatan membentuk jaringan.
Wahjono (2002) mengungkapkan bahwa daun lidah buaya sebagian besar, 95%, mengandung air, sisanya mengandung bahan aktif (active ingredients) sebanyak 75 komponen, seperti: minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin, enzim dan glikoprotein. Daun lidah buaya ini juga banyak mengandung senyawa nutrisi yang sangat dibutuhkan tubuh, seperti asam amino (essensial dan non essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon (Morsy 1982).
Dalam gel lidah buaya ini mengandung zat anti bakteri dan anti jamur yang dapat menstimulasi fibroblast yaitu sel-sel kulit yang berfungsi menyembuhkan luka. Selain kedua zat tersebut, gel lidah buaya juga mengandung salisilat, zat peredam sakit, dan anti bengkak seperti yang terdapat dalam aspirin (Furnawanthi, 2003).
Pada setiap 100 gram gel lidah buaya terdapat komponen nutrisi seperti yang tertera pada Tabel 1. Secara lengkap komponen-komponen nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan
No. Komponen Nilai
1. Air (%) 95.51
2. Total Padatan terlarut, terdiri atas:
a. Lemak (%) 0.0670
b. Karbohidrat (%) 0.0430
c. Protein (%) 0.0380
d. Vitamin A (IU) 4.5940
e. Vitamin C (mg) 3.4760
Sumber : Aloevera Center 2004
Tabel 2 Nutrisi dalam lidah buaya
No. Item Nutrisi
1. Vitamin A, B1, B2, B12, C, E
2. Mineral kolin, inositol, asam folat, kalsium, magnesium, potassium, sodium, manganese, cooper, chloride, iron, zinc, chromium
3. Enzim amylase, catalase, cellulose,
carboxypedidas, dan carboxyphelolase
4. Asam amino arginine, asparagine, aspartate acid, analine, serine, glutamic acid, theorinine, valine, glycine, lycine, tyrosine, phenylalanine, proline, histidine, leucine, dan isoleucine
Sumber: Aloevera Center 2004
Berdasarkan beberapa sifat fisikokimia tersebut lidah buaya dapat digunakan di dalam industri yang secara garis besar dapat dibagi menjadi empat jenis industri (Aloevera Center 2004), yaitu:
1. Industri pangan, sebagai makanan tambahan (food supplement), produk yang langsung dikonsumsi dan sebagai penghasil flavour.
2. Industri farmasi dan kesehatan, sebagai anti inflamasi, anti oksidan, laksatif, anti mikrobial dan molusisidal, anti kanker, imunomodulator dan hepatoprotector. Paten yang telah dilakukan beberapa negara maju antara lain: CAR 1000, CARN 750, Polymannoacetate, Aliminase, Alovex dan Carrisyn. 3. Industri kosmetika, sebagai bahan baku lotion, krem, lipstik, shampo dan
kondisioner.
Namun, di samping manfaatnya yang sangat banyak, gel lidah buaya memiliki kelemahan dalam proses pengolahannya. Gel lidah buaya merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan terutama oleh peristiwa oksidasi. Oksidasi menyebabkan gel lidah buaya mengalami reaksi pencoklatan browning. Oleh karena itu, pada proses pengolahan lidah buaya, terjadinya perubahan sifat fisikokimia tersebut dihindari semaksimal mungkin agar kualitas produk terjaga dan kandungan senyawa nutrisinya tidak rusak (Morsy 1982).
Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak ini mendorong dilakukannya upaya-upaya pengolahan lidah buaya menjadi bubuk atau tepung (Aloe powder). Upaya-upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan dalam gel juga untuk memberikan nilai tambah, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk daun segar yang harganya relatif murah (Furnawanthi 2003).
Tepung Lidah Buaya
Lidah buaya diolah menjadi tepung lidah buaya sebagai produk
intermediate atau komponen campuran yang digunakan secara luas dalam berbagai macam makanan dan minuman, misalnya minuman kesehatan, dodol, dan kerupuk. Bentuk bubuk yang mudah larut sangat menguntungkan karena selain praktis, juga lebih stabil dan tidak mudah rusak sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan campuran dalam produk makanan dan minuman instan dibandingkan dalam bentuk cairan atau gel.
Tepung lidah buaya mempunyai beberapa keuntungan, yaitu kandungan nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi. Rasio bahan baku dan tepung yang dihasilkan yaitu sekitar 150:1 atau 150 kg daun menghasilkan 1 kg tepung (Furnawanthi 2003).
Saat ini, kebutuhan pokok lidah buaya di dunia, terutama dalam bentuk tepung, masih didatangkan dari Amerika dan Australia. Adapun standar mutu dari tepung lidah buaya yang berasal dari salah satu penghasil tepung lidah buaya,
Terry Laboratories, Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tepung lidah buaya dapat dibuat dengan pengeringan secara freeze drying
dan spray drying. Tepung lidah buaya yang dibuat dengan menggunakan freeze drying menggunakan alat freeze dryer yang bekerja pada suhu dan tekanan yang sangat rendah. Dengan suhu rendah ini, komponen yang mudah rusak terhadap panas dapat dipertahankan dan mempunyai sifat rekonstitusi yang baik. Sementara itu, cara spray drying dilakukan dengan mengalirkan udara panas baik secara searah atau berlawanan arah. Dilihat dari produk yang dihasilkan, produk hasil
freeze drying memiliki kualitas yang lebih baik namun harganya relatif lebih mahal daripada spray drying.
Pada pembuatan tepung lidah buaya dilakukan penambahan tepung gula dan
filler. Tepung gula adalah gula yang dihancurkan hingga berukuran 100-200 mesh (Gestner dalam Sulistyo 1988). Dalam pembuatan tepung lidah buaya diperlukan penambahan filler karena total padatan terkandung dalam lidah buaya sangat kecil (2%). Oleh karena itu, filler berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya (Widodo dan Widiantara 2005). Beberapa filler yang dikenal adalah maltodekstrin, dekstrin, gum arab, dan CMC (karboksimetilselulosa).
Spesifikasi Spray dried gel
aloe powder
Freeze dried gel aloe powder
Penampakan Fine Crystaline
powder
Fine Crystaline powder
Warna Krem muda, coklat
keabu-abuan
Densitas pada 25oC 0,990-1,010 0,990-1,010 Kapang dan kamir (cfu/g) < 100 < 100
Patogen Negatif Negatif
Sumber: Terry Laboratories (2002) diacu dalam Furnawanthi (2003)
Menurut Widodo dan Widiantara (2005), tepung instan lidah buaya yang dibuat menggunakan spray drier skala pilot plan terbaik pada suhu 150oC dengan konsentrasi maltodekstrin 7% dan konsentrasi tepung gula 3%. Pada kondisi tersebut, diperoleh tepung berwarna putih, tidak lengket, tingkat kandungan kalsiumnya 54,54% dan tingkat kelarutannya 96,90%, dan rendemen yang dihasilkan 1,5%. Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot plan dapat dilihat pada Gambar 1.
Proses pembuatan tepung lidah buaya instan komersial ini juga tidak banyak berbeda dengan proses pembuatan tepung lidah buaya menurut Widodo dan Widiantara (2005). Perbedaannya hanya pada proses perendaman dalam larutan CaCl21% yang tidak dilakukan di perusahaan tersebut, serta komposisi filler dan suhu spray drier. Dalam pembuatan tepung lidah buaya komersial ini suhu spray drier yang digunakan adalah 120oC dan filler yang digunakan hanya gula sebanyak 30% (b:b) dari total daging lidah buaya.
Efek dari proses pengeringan dalam pengolahan tepung lidah buaya menurut Krokida et al. (2011) adalah kerusakan sebagian komponen polisakarida acemannan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap konsentrasi mineral-mineral yang terkandung di dalamnya, terutama kalsium (Ca). Oleh karena itu, proses pengeringan dapat dilakukan untuk proses pengawetan gel lidah buaya dan pengolahan lainnya.
Pendugaan Umur Simpan
Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association
diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).
Gambar 1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot plan (Widodo dan Widiantara 2005)
Pengupasan dan pemotongan Daun lidah buaya
Pencucian
Perendaman dalam larutan CaCl2 1%, 10 menit
Pencucian menggunakan air mengalir
Pencampuran menggunakan mixer
Pemblenderan
Pemblansiran suhu 80oC, 5 menit
Maltodekstrin 7%
Pengeringan dengan spray drier suhu 150oC
Pengayakan 80 mesh
Tepung lidah buaya Tepung gula 3%
Air 1:1 (v:v)
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible
selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kedaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus yang berarti bahan pangan tersebut telah kedaluwarsa atau telah melampaui masa simpan optimum.
Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Spiegel 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut.
Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain:
1. Kondisi atmosfer ruangan (terutama suhu dan kelembaban) dimana produk pangan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia dan fisik.
3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat.
Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)
Dalam menganalisa penurunan mutu perlu dilakukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut mencerminkan keadaan mutu produk yang dikemas. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji sensori, uji kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Pada produk pangan kering, seperti bubuk dan tepung-tepungan, parameter penurunan mutu didasarkan pada parameter yang paling sensitif terhadap mutu suatu produk (Syarief dan Halid 1993).
Adanya perbedaan faktor yang menyebabkan kerusakan produk, maka penggunaan metode ASLT dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model kadar air kritis dan model Arrhenius.
Pendekatan Model Kadar Air Kritis
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara sensori. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara sensori disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu sensori yang akan spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis antara lain biskuit, wafer, produk konfeksioneri, makanan ringan (snack dan
chips), dan produk instan.
a. Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis
Bahan pangan bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan juga sebaiknya dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorpsi). Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan (Winarno 2004).
Kurva sorpsi isotermis yang didapat dapat diasumsikan linear, kemudian dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva sorpsi isotermis. Selanjutnya Labuza (1982) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan dengan model kadar air kritis sebagai berikut:
Me = kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan) Mi = kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
Mc = kadar air kritis produk (g H2O/g padatan)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
b = kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara Mi dan Mc)
Parameter-parameter persamaan Labuza (1982) diatas dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu : unsur sifat fisik produk (Me, Mi, Mc, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x dan A), dan unsur lingkungan (RH penyimpanan dan b). b. Pendekatan Kadar Air Kritis yang Dimodifikasi
Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi digunakan untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang memiliki kandungan sukrosa tinggi (Labuza and Schimdl 1985). Pada kondisi akselerasi, kadar air kesetimbangan sulit tercapai, hal ini dapat dilihat dengan semakin naiknya kadar air tanpa batas pada RH tertentu. Pada kondisi tersebut kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier. Oleh karena itu, Labuza and Schimdl (1985) memodifikasi persamaan Labuza menjadi seperti berikut :
� = (��−��)��
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)
Pendekatan Model Arrhenius
vitamin C. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk
snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instan, tepung-tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar 2006).
Untuk menganalisis penurunan mutu diperlukan beberapa pengamatan, yaitu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Pada umumnya model ini menggunakan tiga kombinasi suhu dan selama penyimpanan suhu dijaga tetap stabil. Apabila keadaan suhu dianggap stabil, maka laju penurunan mutu dapat dicari dengan menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut:
�=�0���(−��/��) (1.3) dimana :
k = konstanta laju penurunan mutu
k0 = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu) Ea = energi aktivasi
T = suhu mutlak (oC+273)
R = konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986 kal/mol.K)
Menurut Syarief dan Halid (1993), semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan suatu produk, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi yang digunakan untuk menggunakan model Arrhenius adalah:
1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.
3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya.
4. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap.
Kadar Air dan Aktivitas Air
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen (Syarief dan Halid 1993).
Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran aktivitas air (water activity = aw), yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu, aw dapat pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi aw suatu bahan, maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya mikroba dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Halid 1993).
Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara awdan mutu pangan yang dikemas:
1. Produk dikatakan tidak aman pada selang aw sekitar 0.7 sampai 0.75 dan di atas selang tersebut mikroba berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun.
2. Pada selang aw sekitar 0.6 sampai 0.7 kapang dapat mulai tumbuh.
3. Pada selang aw sekitar 0.35 sampai 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya.
4. Pada selang aw sekitar 0.4 sampai 0.5, produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilangan air selama distribusi atau penyimpanan, akan mudah hancur, rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.
Kurva Sorpsi Isotermis Air
Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara sekitarnya. Secara umum, kondisi tersebut digambarkan dengan kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau aw pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Andrade et al. (2011) juga menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermis bahan pangan menggambarkan hubungan termodinamika antara aktivitas air dan kelembaban relatif kesetimbangan dari suatu produk pangan pada suhu dan tekanan yang konstan.
Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari. Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias 1978).
Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid atau menyerupai huruf S (Syarief dan Halid 1993). Kurva sorpsi isotermis dapat menggambarkan proses adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (melepaskan air) dari suatu bahan pangan. Perbedaan atau ruang yang terdapat diantara dua kurva tersebut didefinisikan sebagai proses hysteresis (Gambar 2).
perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Oleh karena itu, bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 2004).
Keterangan: A = daerah monolayer
B = daerah multilayer
C = daerah kondensasi kapiler
Gambar 2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum (diolah dari Mathlouthi dan Roge 2003)
Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung dari tujuan pemakai (Labuza 1968). Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut:
1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang aw yang berbeda. 2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis
yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya.
sigmoid yang terdapat pada bahan yang mudah larut dan menunjukkan aw dengan kecenderungan tren asymptotic dibandingkan tipe 1. Tipe 3 dikenal sebagai sorpsi isotermis Flory-Huggins menunjukkan proses adsorpsi dari pelarut atau plasticizer, seperti gliserol, yang berada di atas suhu transisi gelas. Tipe 4 kurva isotermisnya mendeskripsikan proses adsorpsi padatan hidrofilik yang menggembung hingga hidratasi maksimum tercapai. Tipe 5 adalah model sorpsi isotermis B.E.T (Brunauer, Emmet, Teller), adsorpsi multilayer tipe ini digunakan untuk proses adsorpsi uap air pada arang dan berhubungan dengan sorpsi isotermis tipe 2 dan 3. Jenis kurva sorpsi isotermis yang biasa ditemukan pada produk pangan adalah sorpsi isotermis tipe 2 dan 4.
Gambar 3 Tipe – tipe kurva sorpsi isotermis (Brunauer et al. 1940 diacu dalam Mathlouthi dan Roge 2003)
Penggumpalan (Caking)
Penggumpalan merupakan masalah serius bagi industri tepung. Pada tepung instan kering seperti bumbu instan, sup instan, dan kopi instan, fenomena penggumpalan dapat menurunkan kelarutan, aktivitas enzim, oksidasi lemak, perubahan aroma dan kekambaan. Bagi konsumen, fenomena penggumpalan adalah indikator rendahnya mutu dan keamanan produk (Chung et al. 2000).
tahap aglomerasi, dimana fenomena penggumpalan belum dapat dideteksi secara kasat mata, pengaruhnya pada sifat fisik tepung dapat meningkatkan densitas kamba, penurunan dispersibility dan flowability (Chung et al. 2000). Perubahan awal sifat fisik seperti ini dapat meningkatkan biaya pengolahan dan distribusi.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian, yaitu (i) tepung lidah buaya diperoleh dari sumber komersial yang diproduksi di Kecamatan Siantan Hulu, Pontianak, Kalimantan Barat (ii) bahan pengemas untuk analisis pendugaan umur simpan tepung lidah buaya dengan metode ASLT yang berupa kemasan jenis oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE), dan metalized plastic, (iii) tepung beras merk Rose Brand untuk uji sensori, serta (iv) bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan larutan garam jenuh yang terdiri dari: akuades, NaOH, MgCl2, K2CO3, NaBr, NaCl, KCl, dan K2SO4.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain alat untuk analisis penentuan umur simpan, yaitu oven, aw-meter, neraca analitik, hot plate, desikator, cawan porselen, cawan aluminium, glass chamber, pencapit logam, aluminium foil, ayakan 80 dan 100 mesh, peralatan gelas dan lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan metode. Tahap-tahap metode penelitian yang dilakukan berdasarkan Gambar 4.
Seleksi dan pelatihan panelis (Meilgaard et al. 1999)
Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperoleh delapan orang panelis yang bersedia dilatih. Menurut Meilgaard et al. (1999), tahap-tahap seleksi panelis meliputi pre-screening dan acuity test. Langkah pre-screening ditempuh melalui pengisian kuesioner. Tujuan pre-screening adalah untuk menjaring individu yang dapat menskala dan berfikir secara terkonsep.
Acuity test yang dilakukan pada penelitian ini hanya menggunakan satu metode pengujian, yaitu uji segitiga. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini mutu sensori yang diamati hanya berupa mutu tekstur (caking). Oleh karena itu, seleksi yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur. a. Uji segitiga
Gambar 4 Diagram alir penelitian
b. Pelatihan Panelis
Setelah seleksi dilakukan, diperoleh delapan orang kandidat panelis terlatih, maka dilakukanlah serangkaian proses pelatihan dalam bentuk Focus Grup Discussion (FGD) dan uji rating. Pelatihan panelis dilakukan selama 1 minggu (5 kali tatap muka, 2 jam). Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut tekstur (penggumpalan atau daya mawur).
Diskusi fokus grup (FGD) dilakukan oleh panel leader bersama dengan para panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk tepung lidah buaya menjadi tidak diterima. Dalam proses pelatihan, panelis pertama-tama diberikan penjelasan mengenai tujuan dari pelatihan dan hal-hal apa saja yang dilakukan ketika pelatihan dan pengujian sampel. Panelis juga diberi penjelasan dan pengenalan mengenai tepung lidah buaya, proses pengolahan, dan
Penentuan kadar air awal
Penentuan variabel-Penentuan kadar air kritis
Penentuan umur simpan tepung lidah buaya Seleksi panelis:
• Uji segitiga
Panelis Sampel tepung lidah
karakteristiknya. Kemudian, panelis melakukan FGD untuk menentukan karakteristik awal dari tepung lidah buaya tersebut.
Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau mengidentifikasi produk yang diperkirakan sudah tidak dapat lagi diterima oleh konsumen dengan simulasi kerusakan produk. Sampel dirusak dengan cara menyimpan produk pada desikator yang berisi larutan K2SO4 jenuh dengan RH 97,1% pada suhu ruang (30 ± 1oC) hingga keseluruhan sampel menggumpal. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan 10% hingga 90% dari 5 gram sampel tersebut adalah gumpalan-gumpalan sampel yang telah dirusak. Kemudian, panelis melakukan pengamatan dan mengidentifikasi sampel tepung lidah buaya yang telah mengalami kerusakan dengan tingkat penggumpalan sebesar 10% hingga lebih dari 90%. Penentuan produk kritis tersebut didasarkan pada terjadinya kesepakatan diantara panelis melalui proses FGD. Produk kritis yang sudah disepakati kemudian diberi penilaian secara subjektif untuk dijadikan batas skor nilai mutu yang ditolak atau biasa disebut dengan nilai kritis.
Setiap pertemuan panelis dilatih menggunakan uji rating skala garis pada atribut tekstur dengan sampel tepung lidah buaya tingkat penggumpalan 60, 70, dan 80%. Hal ini dilakukan hingga hasil penilaian yang diperoleh calon panelis telah konsisten dan mereka menjadi terbiasa dalam menilai kenampakan sampel tepung lidah buaya ini. Proses tersebut telah terpenuhi selama 5 kali pertemuan.
Penentuan umur simpan pendekatan kadar air kritis
a. Penentuan kadar air awal / Mi (AOAC 1999)
Kadar air awal tepung lidah buaya dianalisis dengan metode oven (AOAC 1999). Cawan bersih kosong dikeringkandalam oven bersuhu ± 105oC selama tiga jam. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (W1). Dua hingga tiga gram sampel (W2) yang telah dihaluskan, ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan. Kemudian cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama kurang lebih 3 jam sampai mencapai berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W3). Kadar air dinyatakan dalam satuan g H2O/g padatan yang dihitung dengan rumus:
% �������� (�����������) = (�1+�2)−�3
(�3−�1) � 100% (2.1) % �������� (���������ℎ) = (�1+�2)−�3
�2 � 100% (2.2)
b. Penentuan kadar air kritis (modifikasi Chung et al. 2000)
Penentuan titik Days Until Caking (DUC) dilakukan berdasarkan metode Chung et al. (2000) dengan modifikasi pada suhu penyimpanan, waktu penyimpanan, dan metode pengujian sensori. Kadar air ketika sampel mencapai titik DUC merupakan nilai kadar air kritis sampel. Persiapan analisis kadar air kritis tepung lidah buaya dilakukan dengan menyimpan terlebih dahulu tepung lidah buaya sebanyak 300 gram (tanpa kemasan). Sampel disimpan dalam
dilihat flowability-nya dengan perlakuan pengadukan dan penuangan membentuk kerucut.
Sampel diamati secara sensori setiap 12 jam selama 48 jam dengan pengujian yang dilakukan oleh 8 orang panelis terlatih. Kemudian secara bersamaan kontrol dan sampel yang telah mengalami penyimpanan dalam desikator disajikan kepada panelis agar dapat ditentukan mutu kritisnya. Parameter mutu yang diujikan terhadap sampel adalah parameter perubahan tekstur (penggumpalan). Nilai batas mutu kritis sampel ditentukan melalui Focus Group Discussion (FGD) para panelis terlatih yaitu tingkat penggumpalan lebih dari 70%. Pengujian sensori yang dilakukan adalah uji rating skala garis untuk melihat persentase tingkat penggumpalan sampel yang telah diberi perlakuan. Pada uji ini, sampel yang diamati sebanyak lima macam. Sampel disajikan secara bersamaan untuk kemudian dinilai tingkat penggumpalannya pada skala garis 15 cm. Lembar kerja uji rating kadar air kritis dapat dilihat di Lampiran 3. Sampel yang telah mencapai mutu kritis adalah sampel dengan rata-rata persen tingkat penggumpalan lebih dari atau sama dengan nilai batas mutu kritis hasil FGD panelis terlatih. Setiap pengamatan dilakukan pula pengukuran kadar air dengan metode oven (AOAC 1999).
c. Pembuatan pola kurva sorpsi isotermis (Bell and Labuza 2000)
Pembuatan kurva sorpsi isotermis menggunakan tujuh jenis larutan garam jenuh yang mewakili berbagai nilai RH yang ditempatkan dalam glass chamber. Garam yang digunakan beserta RH-nya dapat dilihat pada Tabel 4. Sekitar 5,0 gram tepung lidah buaya (duplo) diletakkan pada cawan aluminium kering kosong yang telah diketahui beratnya (tanpa kemasan). Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam glass chamber yang berisi larutan garam jenuh yang membentuk RH lingkungan yang berbeda-beda dan disimpan pada suhu ruang (30 ± 1oC).
Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya setiap hari pada waktu yang sama sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut kurang dari 2,0 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan kurang dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross 2000 diacu dalam Adawiyah 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Kurva sorpsi isotermis air dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai RH kesetimbangan atau aktivitas air (aw).
NaCl 75.1 0.751
KCl 83.6 0.836
K2SO4 97.1 0.971
Sumber: Greenspan (1977) diacu dalam Bell and Labuza (2000)
Untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus, data hubungan kadar air kesetimbangan dengan aw diuji dengan menggunakan lima model persamaan, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton (Isse et al. 1983). Uji ketepatan model dilakukan dengan menghitung Mean Relative Determination (MRD), yaitu membandingkan data kadar air hasil percobaan dengan data hasil prediksi.
��� = 100 Mpi = kadar air hasil perhitungan n = jumlah data
Jika nilai MRD < 5, maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10, maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Model yang terpilih digunakan untuk menentukan nilai kemiringan (slope) kurva sorpsi isotermis (b), yaitu dengan cara menarik garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal (Mo), kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan (Me), dan kadar air kritis (Mc).
d. Penentuan variabel-variabel pendukung dalam penentuan umur simpan
Variabel- variabel pendukung yang dibutuhkan untuk menentukan umur simpan sesuai dengan persamaan Labuza antara lain: permeabilitas kemasan (k/x), bobot padatan per kemasan (Ws), luas kemasan (A), dan tekanan uap murni pada suhu 30oC (Po).
Penentuan permeabilitas kemasan (k/x) dilakukan dengan studi pustaka dan nilai tekanan uap air murni diperoleh dari tabel uap air Labuza (1982). Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dan lebar kemasan kemudian dikali dua untuk kedua sisi kemasan. Luas kemasan dinyatakan dalam satuan meter persegi (m2).
Penentuan bobot padatan per kemasan (Ws) diperoleh dari persamaan sebagai berikut:
�� =�� (%�����/100) (2.6)
e. Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya (Labuza 1982)
Umur simpan tepung lidah buaya dihitung dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (1.1). Umur simpan tepung lidah buaya dihitung dengan memasukkan data-data hasil percobaan ke dalam persamaan Labuza (1.1). Umur simpan ditentukan pada suhu 30oC di nilai RH penyimpanan 75, 80, dan 85%. Umur simpan dinyatakan dalam satuan hari.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap ketiga ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 kali ulangan, terdiri dari 2 faktor, yaitu jenis bahan kemasan terdiri dari 3 taraf yaitu LDPE (A1),OPP (A2), dan metalized plastic (A3), dan nilai RH penyimpanan terdiri dari 3 taraf yaitu 75% (B1), 80% (B2), dan 85% (B3), sehingga terdapat 9 kombinasi perlakuan dan 18 unit percobaan.
Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS seri 17.1.
Model Statistik yang digunakan dalam RAL adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + ßj + (αß)ij + εijk
dimana:
Yijk = variabel yang diukur µ = rata-rata umum
αi = pengaruh aditif dari taraf jenis kemasan ke-i ßj = pengaruh aditif dari taraf cara pengemasan ke-j (αß)ij = pengaruh interaksi faktor a dan ß
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi dan Pelatihan Panelis
Penelitian ini membutuhkan panelis terlatih untuk memberikan penilaian pada uji sensori dalam menentukan kadar air kritis. Nilai kadar air kritis tersebut merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung umur simpan tepung lidah buaya.
Dalam penelitian ini, mutu sensori yang diamati berupa mutu tekstur (penggumpalan). Oleh karena itu, seleksi panelis terlatih yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur. Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah calon panelis yang memperoleh jawaban benar sekurang-kurangnya 50% dari seluruh uji segitiga yang diberikan. Berdasarkan uji segitiga, dari 24 orang panelis yang mengikuti pengujian diperoleh 14 orang yang lolos menjadi calon panelis terlatih (Lampiran 4). Namun, berdasarkan waktu dan motivasi masing-masing individu yang lolos, dari 14 orang tersebut, hanya terpilih 8 orang yang bersedia menjadi calon panelis terlatih. Jumlah tersebut tidak bermasalah karena dalam syaratnya, panelis terlatih yang dibutuhkan untuk uji rating adalah minimal 8 orang dan maksimal 12 orang (Meilgaard et al. 1999)
Calon panelis terlatih yang telah diseleksi telah mengikuti rangkaian pelatihan berupa Focus Grup Discussion (FGD) dan uji rating secara kontinu sehingga dapat secara layak dikatakan terlatih dalam hal penilaian tepung lidah buaya. Hasil dari proses FGD panelis untuk menentukan karakteristik awal dari tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 5.
Setelah itu, calon panelis melakukan FGD lagi untuk menentukan persentase tingkat penggumpalansampel tepung lidah buaya tersebut yang sudah tidak dapat diterima lagi dari segi kenampakannya (visual). Hasil dari FGD tersebut menunjukkan bahwa panelis sudah tidak dapat menerima sampel tepung lidah buaya pada tingkat penggumpalan sebesar 70%. Pada kondisi tingkat penggumpalan tersebut, tingkat kelarutan tepung lidah buaya rendah karena gumpalan-gumpalan tepung yang teksturnya sudah menjadi padat dan agak basah. Tabel 5 Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD calon
panelis terlatih
Kriteria Hasil FGD
Kenampakan (visual) Warna putih keabu-abuan, bentuk
bubuk
Rasa Sedikit manis
Aroma Tidak terdapat aroma khas
Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal danAktivitas Air)
Kadar air awal tepung lidah buaya dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Hasil analisis kadar air dinyatakan dalam bobot kering. Nilai kadar air awal yang diperoleh adalah 1.92 g H2O/g padatan (Lampiran 5). Nilai yang diperoleh cukup rendah karena dalam proses pembuatan tepung lidah buaya digunakan metode pengeringan spray drying pada suhu yang tinggi yaitu 120oC.
Pada produk tepung-tepungan atau bubuk lainnya, seperti tepung penyalut berbasis tepung jagung, tepung kedelai, kopi instan, dan bubuk lada hitam, nilai kadar air awal sangat bervariasi, namun masih dapat dikatakan rendah. Kadar air awal untuk tepung penyalut berbasis tepung jagung adalah 0.09 g H2O/g padatan (Sugiyono et al.2010), tepung kedelai 6.80 g H2O/g padatan (Arpah et al. 2002), kopi instan 4.61 g H2O/g padatan (Sudibyo et al. 2010), dan bubuk lada hitam 10.27 g H2O/g padatan (Rahayu et al. 2005). Nilai kadar air awal ini bervariasi dapat disebabkan karena perbedaan metode pengeringan, proses pengolahan, atau karakteristik awal bahan.
Sementara itu, nilai aktivitas air (aw) dianalisis menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi dengan garam jenuh yang memiliki kelembaban 75%. Hasil dari pengukuran aw berkisar antara 0-1. Hasil yang diperoleh menunjukkan sampel tepung lidah buaya memiliki aw sebesar 0.25 pada suhu 29.9 – 30.2oC.
Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan tepung lidah buaya tersebut aman dari pertumbuhan mikroba khususnya kapang dan kamir.Pada umumnya kapang dan kamir dapat tumbuh pada bahan pangan yang memiliki nilai aw di atas 0.60 -0.70 (Labuza, 1982). Labuza (1982) menyatakan hubungan antara aw dan mutu pangan yang dikemas yaitu pada selang aw sekitar 0.70 – 0.75 atau lebih, mikroba berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi tidak layak dikonsumsi.
Salah satu faktor dalam penentuan umur simpan suatu bahan pangan adalah sifat alamiah dari bahan itu sendiri (Syarief dan Halid 1993). Pada produk bubuk, kadar air dan aw merupakan sifat penting yang mempengaruhi mutu mikrobiologis, kimia, maupun fisik. Aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis. Semakin tinggi aw pada suatu bahan, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk tumbuh di dalamnya. Tingginya kandungan aw juga mengakibatkan oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan aw yang rendah (Herawati 2005).
Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya
Penentuan kadar air kritis ditentukan dengan melakukan penyimpanan sampel dalam sorption chamber (suhu 30oC RH 97.1%) dan diamati setiap 12 jam selama 48 jam. Batas kritis tepung lidah buaya yang telah ditentukan dari hasil FGD panelis terlatih adalah sampel dengan tingkat penggumpalan sama dengan atau lebih dari 70% dari keadaan semula (kontrol).
juga mengalami perubahan menjadi semakin menggumpal dan basah. Kadar air kritis merupakan kadar air dimana produk pangan mencapai kondisi mulai tidak diterima lagi secara sensori. Pada produk bubuk dengan flowability tinggi, kadar air dan aktivitas air rendah, caking atau penggumpalan akibat penyerapan uap air merupakan permasalahan yang sangat berpengaruh pada mutu. Awal terjadinya
caking ditandai dengan perubahan sampel menjadi basah (Chung et al. 2000). Hasil uji rating menunjukkan batas kritis penolakan panelis terlatih pada saat 48 jam penyimpanan sampel di dalam chamber. Menurut penilaian panelis terlatih tersebut, tingkat penggumpalan sampel telah melebihi batas kritis penolakan sebesar 74.08% (Gambar 6). Seluruh panelis terlatih (8 orang) juga menyatakan tidak dapat lagi menerima sampel dari segi penampakan atau penggumpalannya. Hasil perhitungan kadar air dan penilaian uji rating dapat dilihat di Lampiran 7 dan 8.
Gambar 5 Grafik perubahan kadar air tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam
Selanjutnya, untuk melihat apakah diantara kelima sampel yang disimpan selama 0, 12, 24, 36, dan 48 jam yang digunakan untuk menentukan titik kritis penolakan ini terdapat perbedaan yang signifikan dilakukan uji ANOVA (Analysis of Variance) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 9). Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa kenaikan kadar air mempengaruhi kenampakan (penggumpalan).
Hasil uji ANOVA (Lampiran 9) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata diantara sampel-sampel tersebut. Dari uji lanjut Duncan diperoleh bahwa sampel kontrol dan sampel pada perlakuan 12 jam masing-masing berbeda nyata dengan keempat sampel lainnya. Sementara itu, sampel dengan perlakuan 24 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 36 jam dan sampel dengan perlakuan 36 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 48 jam. Jadi, dapat dikatakan titik kritis berada diantara 24 jam hingga 48 jam. Namun, hasil penilaian panelis terlatih, menyatakan titik kritis berada pada perlakuan 48 jam.
Nilai kadar air kritis ditentukan berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam (Gambar 7). Hasil FGD panelis terlatih menunjukkan titik kritis penggumpalan tepung lidah buaya berada pada tingkat penggumpalan 70%, sehingga berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tersebutkadar air kritis tepung lidah buaya sebesar 2.29 g H2O/g padatan.
Gambar 7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam
Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan
Percobaan dilakukan dengan menyimpan sampel pada suhu ruang (30 ± 1oC) dan digunakan 7 jenis larutan garam jenuh, antara lain: NaOH, MgCl2, K2CO3, NaBr, NaCl, KCl, K2SO4. Pemilihan garam ini bertujuan agar dapat mewakili tiap daerah pada kurva sorpsi isotermis, yaitu daerah monolayer (daerah A), multilayer (daerah B), dan daerah kondensasi kapiler (daerah C). Penggunaan larutan garam jenuh dapat mempertahankan RH secara konstan selama jumlah
garam yang digunakan masih di atas tingkat jenuh (Syarief dan Halid 1993). Kelembaban relatif dari larutan garam dan nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC
Jenis Larutan
Garam ERH (%) Aw
Kadar air kesetimbangan (g H2O/g padatan)
Selama penyimpanan, sampel tepung lidah buaya ada yang mengalami proses penambahan dan pengurangan bobot sampel. Sampel yang disimpan pada RH (Relative Humidity/ kelembaban relatif) rendah mengalami penurunan bobot, sedangkan pada RH tinggi, sampel akan mengalami penambahan bobot. Sampel yang disimpan pada RH 6.80, 32.40, 43.20, dan 56.00% bobotnya cenderung berkurang hingga tercapainya kondisi kesetimbangan. Sampel pada kondisi tersebut mengalami proses pelepasan uap air ke lingkungan. Hal ini disebabkan sampel pada kondisi tersebut memiliki aktivitas air yang lebih tinggi dari kelembaban relatif lingkungannya sehingga untuk mencapai kondisi kesetimbangan sampel melepaskan uap air ke lingkungan. Sementara itu, sampel yang disimpan pada RH 75.10, 83.60,dan 97.10% mengalami penambahan bobot sampel karena proses absorpsi uap air dari lingkungan ke dalam bahan pangan.
Penurunan dan penambahan bobot ini menunjukkan fenomena hidratasi. Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antar bahan pangan dengan molekul air di udara lingkungannya (Syarif & Halid 1993). Interaksi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan antara RH sampel dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi hingga terjadi kesetimbangan di antara keduanya.
kesetimbangan dan kadar air kritis lebih cepat tercapai pada penyimpanan dengan kondisi RH yang relatif tinggi (Widowati et al. 2010).`
Nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya dalam berbagai RH yang terlihat pada Tabel 6 tersebut jika diplotkan dengan nilai aw atau RH akan membentuk kurva sorpsi isotermis. Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan kurva sorpsi isotermis (Gambar 8) berbentuk menyerupai sigmoid. Dari kurva sorpsi isotermis yang terbentuk, didapatkan persamaan garis linear: y = 1.4525x + 1.5474 dengan nilai R² = 0,8590. Menurut Syarief dan Halid (1993), kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap produk pangan.
Gambar 8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Berdasarkan kurva tersebut, ditentukan nilai slope atau kemiringan kurva untuk perhitungan umur simpan. Slope atau kemiringan kurva sorpsi isotermis ditentukan dengan mengasumsikan bahwa kurva tersebut berbentuk garis lurus (Labuza 1982) atau dengan menggunakan regresi linier pada kurva. Untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis air yang mulus, data hubungan kadar air kesetimbangan dengan aw diuji terlebih dahulu dengan menggunakan lima model persamaan, yaitu model Halsey, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Pemilihan model-model persamaan ini karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada rentang nilai aw yang luas (Isse et al. 1993).
Untuk memudahkan perhitungan, model-model persamaan tersebut dimodifikasi menjadi persamaan linier. Model persamaan dan linearisasi persamaan sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat di Tabel 7. Setelah perhitungan, model persamaan tersebut menghasilkan model persamaan kurva sorpsi isotermis untuk tepung lidah buaya yang diperlihatkan pada Tabel 8.
Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan dengan menggunakan model persamaan tersebut dan perbandingannya dengan hasil percobaan diperlihatkan pada Tabel 9.Hasil plot yang menunjukkan perbandingan antara nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan menggunakan model sorpsi isotermis diperlihatkan pada Gambar 9.
y = 1.4525x + 1.5474
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90
Tabel 7 Linearisasi persamaan sorpsi isotermis
Model Bentuk Umum
Bentuk Linear Linearisasi (Y = a X + b) Hendersonc) Log[ln(1/(1-aw)] = log
P(1) + P(2) log Me
c) Chirife and Iglesias (1978)
Tabel 8 Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Model Persamaan Persamaan Kurva R2
Chen Clayton ln [ln(1/aw)] = -3.0551 - 2.9888 Me 0.992
Caurie ln Me = 1.5988 - 0.7756 aw 0.994
Oswin ln Me = 1.617 + 1.2985 ln[aw/(1-aw)] 0.993
Halsey log[ln(1/aw)] = 0.6252 + 1.8218 log Me 0.949
Henderson log [ln(1/(1-aw))] = 0.3040 + 1.8349 log Me 0.997
Tabel 9 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan berbagai model sorpsi isotermis
aw
Kadar Air Kesetimbangan(g H2O/g padatan)
Percobaan Oswin Halsey Henderson Chen
Pada Gambar 9 terlihat beberapa model yang memberikan hasil perhitungan yang menyimpang jauh dari nilai hasil percobaan, namun ada model yang memberikan hasil perhitungan yang hanya sedikit menyimpang dari hasil percobaan. Model Caurie memberikan hasil perhitungan yang hampir berimpit dengan kurva hasil percobaan, sedangkan model Chen Clayton menunjukkan penyimpangan hasil perhitungan yang paling jauh dengan hasil percobaan. Model yang terpilih sesuai dengan hasil percobaan dapat diketahui dengan mencari nilai MRD (Mean Relative Determination) masing-masing model persamaan.
Hasil perhitungan nilai MRD dari masing-masing model persamaan untuk tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil tersebut, hanya satu model persamaan yang memiliki nilai MRD < 5 yaitu model Oswin dengan nilai MRD 0.2842, artinya model tersebut dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dengan tepat. Sementara itu, keempat model persamaan lainnya, memiliki nilai MRD > 10 yang artinya model tersebut tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Gambar 9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model persamaan
Berdasarkan kurva model yang terpilih yaitu model Oswin, ditentukan nilai kemiringan kurva dengan cara menarik garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal (Mo), kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan (Me), dan kadar air kritis (Mc) (Gambar 10). Nilai kemiringan kurva (b) berdasarkan model persamaan tersebut adalah 1.2451.
-6.00
0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0.700 0.800 0.900
Gambar 10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis
Tabel 10 Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
Model Persamaan MRD
Chen Clayton 300.41
Caurie 43.41
Oswin 0.28
Halsey 34.17
Henderson 48.31
Dengan menggunakan persamaan linear kurva sorpsi isotermis, maka dapat ditentukan kadar air kesetimbangan (Me) pada RH tertentu. RH yang dipilih berdasarkan pada kondisi RH penyimpanan dimana umur simpan ditentukan. Kondisi penyimpanan dimana umur simpan ditentukan adalah kondisi RH 75, 80, dan 85%, maka nilai kadar air kesetimbangan untuk tepung lidah buaya pada kondisi tersebutberturut-turut adalah 2.59, 2.66, dan 2.72 g H2O/g padatan. Nilai-nilai ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan umur simpan dengan persamaan Labuza (1982).
Kondisi PenyimpananTepung Lidah Buaya
Faktor-faktor di luar unsur sifat fisik produk yang dapat mempengaruhi umur simpan suatu produk pangan, antara lain permeabilitas kemasan (k/x), luas kemasan (A), kelembaban relatif, dan tekananuap air jenuh (Po). Faktor-faktor ini berpengaruh ketika masa penyimpanan produk pangan.
Jenis kemasan yang digunakan adalah oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE), dan metalized plastic. Berdasarkan informasi dari
y = 0.77x - 1.2451
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00