Asam laurat yang akan digunakan dalam sintesis monolaurin ini harus memenuhi persyaratan sebagai bahan baku yang meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas (ALB), dan bilangan peroksida. Tujuan analisa bahan baku ini adalah untuk melihat mutu asam lemak terhadap karakteristik katalis yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis bahan baku, kadar air asam laurat adalah 0,3369 ± 0,017 % (bk). Semakin rendah kadar air yang terkandung dalam bahan baku maka semakin baik, hal ini dikarenakan keberadaan air dalam bahan baku dapat menghidrolisis enzim sehingga mengganggu jalannya reaksi esterifikasi. Kandungan air awal sistem reaksi, jumlah enzim dan rasio mol substrat merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi hasil esterifikasi (Linko et al., 1995). Kadar asam lemak bebas (ALB) bahan baku adalah 98,9108 ± 0,3389 % , hal ini menunjukkan kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada bahan baku 98,9% adalah asam laurat. Bilangan peroksida bahan baku asam laurat adalah 1,226± 0.07 meq O2/kg. Menurut De Greyt et al.
(1997), syarat bilangan peroksida yang terdapat pada bahan baku lebih rendah dari 10 meq O2
Komposisi asam lemak dalam bahan baku asam laurat dapat diketahui kemurniannya dengan gas chromatography (GC). Asam laurat yang digunakan sebagai bahan baku berdasarkan hasil kromatogram GC hanya memiliki satu puncak pada waktu retensi 7,312 (Gambar 29a). Berdasarkan hasil GC kandungan bahan baku adalah 100% asam laurat. Namun, hasil analisis ALB menunjukkan kandungan asam laurat 99%, sedangkan 1% sisanya kemungkinan asam lemak bebas lainnya dikarenakan bahan baku yang digunakan adalah asam lemak teknis. Asam lemak lainnya tidak muncul pada kromatogram GC dikarenakan jumlah yang terlalu kecil sehingga tidak terdeteksi oleh detektor FID.
/kg.
Asam laurat merupakan asam lemak yang banyak terdapat pada minyak kelapa dan minyak inti sawit. Asam laurat merupakan hasil fraksinasi atau hidrogenasi dari pembuatan minyak kelapa atau minyak inti sawit. Menurut Kitu (2000), kandungan terbesar Destilat Asam Lemak Minyak Kelapa adalah asam laurat (49,34%) dan asam miristat (21,76%). Sedangkan pada minyak inti sawit
didominasi oleh asam laurat (46-52 %) dan asam miristat (14-17%). Semakin murni bahan baku asam lemak bebas maka reaksi esterifikasi diharapkan dapat berjalan secara optimal, sehingga akan menghasilkan produk MAG yang tinggi.
Selain bahan baku asam laurat, katalis yaitu enzim Novozyme® 435 dianalisis pH dan Aw. Hasil pengukuran pH dan Aw berturut-turut adalah 4,375 ±
0,021 dan 0,62 ± 0,004 pada suhu 29,5oC. Hasil pengukuran Aw enzim tersebut sedikit lebih rendah dari hasil pengukuran penelitian Imelda (1999) dan Pertiwi (1998) yaitu masing-masing 0,672 dan 0,691. Sedangkan pH enzim pada penelitian ini lebih rendah dari pada hasil pengukuran pH enzim penelitian Pertiwi (1998) yaitu 5,4. Berdasarkan info dari Novo Nordisk Bioindustrial Ltd. Novozyme® 435 mempunyai aktivitas inesterifikasi 10000 PLU/g (Propyl Laurate Units/gram). Aktivitas esterifikasi Novozyme® 435 adalah 442,14 mM asam /g.menit (Imelda, 1999). Bentuk granula memiliki ukuran partikel 0,3-0,9 mm dan mempunyai bulk density mendekati 430 kg/m3
Sintesis MAG dengan Reaksi Esterifikasi Secara Batch
. Sedangkan carrier yang digunakan untuk imobilisasi enzim adalah suatu resin acrylic makroporous (Enzymtech, 2011).
Pada penelitian ini terlebih dahulu dilakukan uji coba reaksi berdasarkan penelitian terdahulu (Haryati et al., 2007, tidak dipublikasikan). Tahapan awal dalam melakukan uji coba penelitian adalah pencarian rasio antara jumlah substrat dan pelarut yang belum diketahui, oleh karena itu dilakukan terlebih dahulu percobaan dengan tujuan mencari rasio jumlah subtsrat dan pelarut yang efektif dan menghasilkan kadar serta rendemen yang maksimal. Jumlah substrat yang digunakan adalah 10 gr, 20 gr, dan 50 gr, sedangkan volume reaktan, dosis enzim, suhu dan waktu reaksi tetap. Hasil dari reaksi kemudian dianalisis menggunakan gas chromatography (GC). Berdasarkan kromatogram GC pada Gambar 17, jumlah substrat 10 gram didapatkan kadar MAG sebesar 71,41% dengan rendemennya sebesar 69,94%, sedangkan jumlah substrat 20 gram didapatkan kadar MAG sebesar 78,73% dengan rendemennya 79,19%. Jumlah substrat 50 gram didapatkan kadar MAG sebesar 77,33% dengan rendemennya sebesar 82,26%.
Keterangan:
A. Jumlah substrat 10 g; B. Jumlah substrat 20 g; C. Jumlah substrat 50 g Gambar 17 Kadar monoasilgliserol dan rendemen hasil reaksi esterifikasi
enzimatis secara batch
Berdasarkan data kadar monoasilgliserol dan rendemen tersebut maka jumlah substrat 50 gram adalah jumlah yang paling efektif terhadap pelarut untuk menghasilkan kadar monoasilgliserol dan rendemen yang paling tinggi. Produk MAG yang dihasilkan dari proses penggunaan 50 g substrat dianalisis secara kuantitatif menggunakan GC-MS Pyrolisis. Kromatogram GC-MS Pyrolisis disajikan pada Gambar 18. Monteiro et al. (2003), melaporkan bahwa reaksi esterifikasi enzimatis asam laurat dan gliserol (1:5 mol/mol) dan campuran pelarut n-hexane/ tert-butanol (1:1 v/v) menghasilkan monolaurin dan sedikit dilaurin. Migrasi asil terlihat dari GC-MS dengan adanya produk sylanized (turunan Trimethylsilyl (TMS) ester) (Gambar 19). Candida antarctica (Novozyme® 435) umumnya dianggap sebagai lipase spesifik, di bawah reaksi pelarut yang tepat. Lipase ini bekerja pada letak spesifik tertentu dan produk yang selektif.
Gambar 18 Kromatogram GC-MS pyrolisis produk MAG pada reaksi esterifikasi enzimatis secara batch
Gambar 19 Produk hasil reaksi esterifikasi asam laurat dan gliserol : Monolaurin; 2 Dilaurin: 3 dan 4 berturut-turut turunan silanyzed (TMS ester) (Monteiro et al., 2003)
Setelah didapatkan formula rasio jumlah substrat dan pelarut terbaik dengan proses batch, kemudian dilakukan konversi proses esterifikasi enzimatis secara circulated packed bed reactor. Reaksi esterifikasi berlangsung secara sirkulasi, dimana reaktor berisi substrat mengalir menuju reaktor enzim yang jumlahnya tetap kemudian kembali ke reaktor substrat sampai waktu dan suhu reaksi tercapai. Reaksi esterifikasi terjadi selama kontak antara enzim dan substrat yang lewat. Waktu dimana molekul melalui reaktor enzim dengan kecepatan alir tertentu disebut residence time (Yang et al., 2005). Levenspiel (1972), menyebutkan bahwa residence/Space time analog dengan waktu reaksi pada sistem batch dan didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk mengolah reaktan sebanyak satu volume reaktor pada kondisi tertentu Sedangkan, pada penelitian ini residence time didefinisikan sebagai waktu ketika substrat melewati reaktor enzim sehingga reaksi esterifikasi terjadi ketika substrat kontak dengan enzim. Residence time pada penelitian ini dinyatakan dengan rumus:
dimana t adalah residence time (menit), V adalah volume reaktor enzim (ml), dan F adalam kecepatan alir (ml/menit). Residence time pada penelitian ini adalah 23,57 menit. Viskositas fluida merupakan faktor penting dalam efisiensi reaksi. Pelarut berperan penting dalam reduksi viskositas. Yang, et al. (2005) yang melaporkan bahwa pada residence time 30-40 menit kandungan MAG pada reaksi gliserolisis yang dikatalisis oleh enzim novozyme® 435 secara circulated packed bed reactor mencapai 70%. Sehingga diharapkan dengan residence time lebih lama maka kadar MAG produk lebih tinggi dari 70%. Laju aliran substrat ditentukan berdasarkan pendekatan hasil penelitian Soekopitojo (2003) serta hasil uji coba reaksi dimana dengan space time dan kecepatan tersebut reaktan baru dapat mengalir menuju reaktor enzim. Soekopitojo (2003) menentukan space time dengan cara mengalirkan substrat ke reaktor enzim kemudian diperhitungkan dengan kecepatan tersebut berapa ml substrat yang keluar menuju wadah produk selama waktu tertentu. Kecepatan alir adalah jumlah ml produk yang tertampung dibagi dengan waktu yang telah ditentukan. Semakin lambat aliran reaktan, maka kontak dengan enzim semakin lama, sehingga reaksi akan berjalan lebih efektif
untuk menghasilkan MAG yang tinggi. Pada penelitian ini reaksi enzimatis berjalan circulated packed bed reactor dengan sirkulasi hingga tercapai waktu reaksi, kemudian ditampung pada wadah produk.
Reaktor packed bed dibuat berjaket dari bahan gelas dengan volume kerja 15 mililiter kemudian diisi enzim Novozyme®
Pemilihan jenis pelarut merupakan faktor penting dalam reaksi esterifikasi enzimatis, antara lain adalah kelarutan substrat dan produk dalam pelarut, hidrofobisitas pelarut, reaktivitas pelarut, densitas, viskositas, tekanan permukaan, toksisitas, mudah/tidaknya terbakar, masalah pembuangannya ke lingkungan, serta tentunya masalah biaya (Dordick, 1989). Dari berbagai faktor tersebut, yang mendapatkan perhatian sangat besar adalah masalah hidrofobisitas pelarut (Hariyadi, 1995). Jadi, aktivitas katalisis yang tinggi umumnya diamati pada pelarut yang hidrofobik, sementara pelarut yang hidrofilik tidak mendukung munculnya aktivitas katalisis. parameter hidrofobisitas yang dipakai adalah nilai log P dari pelarut yang digunakan. Nilai P diberi batasan sebagai koefisien partisi suatu pelarut pada suatu sistem dua fase yang terdiri dari 1-oktanol dan air (Persamaan 1).
435 sebanyak 4,6 gram. Reaksi esterifikasi enzimatis secara circulated packed bed reactor mula-mula dilakukan berdasarkan hasil konversi proses reaksi esterifikasi secara batch, namun mengalami kesulitan pada saat proses reaksi berlangsung, yaitu ketidaklarutan gliserol. Lipase menunjukkan stabilitas dan aktivitas yang baik pada pelarut hidrofobik dengan 2< log P < 4, seperti n-hexane (Laane et al., 1987), namun pada medium tersebut gliserol tidak larut.
...(1)
Nilai P ini dapat ditentukan dengan mudah melalui percobaan atau pun dengan perhitungan menggunakan konstanta hidrofobisitas gugus-gugus atau fragmen- fragmen yang telah ditentukan sebelumnya (Rekker, 1977). Nilai log P suatu campuran pelarut-pelarut dapat ditentukan dengan memakai rumus empiris yang diajukan oleh Hilhorst et al. (1984), proporsional dengan fraksi molar (X), sesuai dengan persamaan 2 berikut ini:
...(2)
Nilai log P juga telah diusulkan untuk digunakan sebagai alat untuk menduga posisi baru keseimbangan suatu sistem reaksi dengan menggunakan sistem pelarut yang lain (Hailing, 1990). Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah heksan dengan nilai log P nya adalah 3,5, sedangkan log P tert butanol adalah 0,4 (Damstrup et al., 2006). Nilai log P dari pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,33. Hal ini berarti pelarut pada penelitian ini cenderung hidrofilik.
Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor, substrat dan pelarut direaksikan terlebih dahulu dalam erlenmeyer pada orbital shaker suhu 50o
Campuran reaktan diagitasi selama 15 menit, kemudian dimasukkan ke dalam reaktor reaktan dan dialirkan ke reaktor enzim. Sampling mulai dilakukan pada jam ke-2, karena setelah reaktor beroperasi selama 2 jam mencapai kondisi steady state (Soekopitojo, 2003) dan menurut Yang et al. (2005), komposisi MAG tinggi pada sistem tert butanol sekitar 60-70% diagitasi pada tangki setelah 2 jam reaksi berlangsung. Hasil kadar MAG bisa dilihat pada Gambar 20.
C dan putaran 200 rpm selama ±15 menit, hal ini bertujuan agar asam laurat meleleh dan bereaksi terlebih dahulu dengan gliserol dan pelarutnya sehingga larut sempurna dan telah mencapai suhu reaksi. Namun, selama 55 jam diagitasi dalam orbital shaker gliserol tidak larut. Kemudian uji coba reaksi esterifikasi enzimatis secara circulated packed bed reactor dilakukan dengan kondisi gliserol tidak larut tersebut.
Berdasarkan data pada kadar MAG sampling jam ke-2 dan ke-4 pada 3 kali ulangan tidak konsisten kadar monoasilgliserolnya. Hal ini kemungkinan dikarenakan ketidaklarutan gliserol dalam reaktannya. Ketidaklarutan gliserol menyebabkan proses tidak berjalan efektif, karena tidak diketahui berapa persen jumlah gliserol yang telah bereaksi dengan asam laurat. Gliserol yang tidak larut mengalir terlebih dahulu ke reaktor enzim dan mengendap di bagian bawah reaktor. Sehingga, pada proses reaksi terjadi penumpukan gliserol pada selang dan reaktor enzim, sehingga pada pencucian masih terdapat kadar MAG yang tinggi sebesar 79,21%.
Keterangan:
(A) Sampling jam ke-2; (B) Sampling jam ke-4; (C) Sampling Hasil Pencucian Reaktor Enzim
Gambar 20 Kromatogram GC reaksi esterifikasi circulated packed bed reactor dengan kondisi gliserol tidak larut
Penumpukan produk pada reaktor enzim karena tertahannya gliserol. Gliserol sering mengikat partikel enzim, sehingga reaksi antara molekul asam laurat dengan enzim menjadi sulit (Yang et al., 2005). Kondisi tersebut akan berdampak pada produk MAG yang tidak konsisten pula. Pada penelitian pendahuluan menggunakan Packed Bed Reactor (PBR) ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimum meliputi suhu dan waktu reaksi yang optimum untuk menghasilkan produk MAG yang tertinggi.
Percobaaan untuk melarutkan gliserol dalam reaktan kemudian dilakukan dengan tiga metode, antara lain: Metode I, dengan cara meningkatkan rasio jumlah substrat dan pelarut dari kondisi awal yaitu 1:8,8. Rasio antara jumlah substrat dan pelarut yang digunakan adalah 1:10; 1:20; 1:30; 1:40; dan 1:50 diagitasi selama 30 menit dalam orbital shaker. Berdasarkan hasil percobaan tersebut rasio 1:50 menunjukkan gliserol larut sempurna. Namun rasio tersebut tidaklah efektif karena jumlah substratnya sangat sedikit, hal tersebut akan berpengaruh pada hasil rendemen yang didapatkan. Secara ekonomis pun pelarut
yang digunakan lebih banyak sehingga biaya reaksi lebih mahal. Metode II, reaksi dilakukan dengan cara melarutkan gliserol sesuai kondisi reaksi batch yang optimum yaitu dengan meraksikan jumlah substrat 50 gram dan total pelarutnya 440 ml selama 55 jam diagitasi dalam orbital shaker, reaksi ini tetap menunjukkan gilserol yang tidak larut sempurna. Metode III, dilakukan dengan cara mengubah komposisi pelarut saja, sedangkan kondisi reaksi yang lainnya tetap dan dilakukan dengan orbital shaker selama 30 menit. Kelarutan gliserol sempurna diperoleh kurang dari 10 menit dengan metode III.
Percobaan reaksi esterifikasi enzimatis secara circulated packed bed reactor dengan menggunakan komposisi pelarut yang dihasilkan pada metode III, rasio jumlah substrat (1:5 mol/mol) dan pelarut tetap yaitu 1:8,8 sebagai bahan perbandingan dengan reaksi secara circulated packed bed reactor dengan kondisi gliserol yang tidak larut. Hasil uji coba tersebut menunjukkan komposisi MAG pada sampling jam ke-2 dengan 2 siklus (A) sebesar 83,91% dan jam ke-4 dengan 4 siklus (B) sebesar 79,38% (Gambar 21).
Berdasarkan komposisi MAG pada reaksi circulated packed bed reactor baik yang gliserol larut maupun tidak larut memiliki kesamaan yaitu sampling jam ke-2 tinggi sekitar 80%, kemudian reaksi setelah jam ke-4 nya menurun. Oleh karena itu waktu reaksi 2 jam menjadi titik tengah untuk optimasi reaksi, sedangkan suhu 50o
Volume reaktan yang diujicobakan pada penelitian ini adalah 50 ml dan 100 ml dengan perbandingan pelarut heksan dan tert butanol berdasarkan metode III. Kondisi reaksi pada kedua volume reaktan adalah tetap. Percobaan dilakukan dengan membandingkan hasil reaksi yaitu komposisi MAG dan rendemen. Hasil C dipilih menjadi titik tengah dikarenakan beberapa penelitian sintesis MAG secara enzimatis terdahulu dilakukan pada suhu tersebut antara lain: Nuraeni (1998), Pertiwi (1998), Imelda (1999), Watanabe et al. (2003), dan Damstrup et al. (2005), dan suhu yang konstan selama proses selalu dijaga dengan menggunakan circulated water bath agar pengaruh suhu terhadap proses esterifikasi dapat diminimalkan. Circulated water bath akan memanaskan aliran air sesuai dengan suhu yang telah diatur. Aliran tersebut akan menuju ke wadah reaktan berjaket kemudian ke jaket reaktor enzim dan selanjutnya akan kembali ke waterbath. Jadi aliran air sebagai media pemanasan bersifat kontinyu dan tertutup.
reaksi menunjukkan pada volume reaktan 50 ml menghasilkan komposisi MAG 81,12% dan rendemen 67,17%, sedangkan penggunaan volume reaktan 100 ml menghasilkan komposisi MAG 74,96%, DAG 1,84%, dan rendemen 77,9%. Berdasarkan hasil reaksi esterifikasi, maka tidak ada perbedaan yang nyata dari hasil kromatogram GC. Oleh karena itu untuk efisiensi biaya pelarut maka pada penelitian ini digunakan volume 50 ml.
Keterangan:
A Komposisi Monoasilgliserol pada sampling jam ke-2 B Komposisi Monoasilgliserol pada sampling jam ke-4 C Asam Lemak Bebas pada sampling jam ke-2
D Asam Lemak Bebas pada sampling jam ke-4
Gambar 21 Komposisi MAG dan asam lemak bebas pada sampling jam ke-2 (A) dan ke-4 (B) reaksi esterifikasi circulated packed bed reactor
Optimasi Sintesis MAG dengan Reaksi Esterifikasi
Circulated packed bed reactor
Berdasarkan penelitian pendahuluan reaksi esterifikasi circulated packed bed reactor, maka ditentukan kisaran suhu dan waktu untuk memperoleh respon yang optimum dapat dilihat pada Tabel 8. Tahap ini dilakukan dengan mengikuti rancangan Central Composite Design (CCD) dari respon surface methods (RSM) yang memberikan persamaan kuadratik yang dapat menunjukkan pengaruh faktor suhu dan waktu reaksi terhadap respon komposisi MAG, rendemen, jumlah MAG. Seluruh perlakuan terdiri dari 13 unit percobaan dimana setiap perlakuan mengikuti rancangan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya pada metode penelitian dan setting perlakuannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 8 Perlakuan dan kode perlakuan untuk menghasilkan respon maksimum
Perlakuan Kode perlakuan
-1,414 -1 0 1 1,414
Suhu 45 oC 46,5 oC 50oC 53,5 oC 55 oC
Waktu 1jam 1,3 jam 2 jam 2,7 jam 3 jam Komposisi 13 unit percobaan dapat dilihat pada Tabel 9. Nilai komposisi MAG, rendemen, dan jumlah MAG yang telah diperoleh dari 13 unit percobaan selanjutnya dianalisis dengan RSM (response surface methods) untuk memperoleh suhu dan waktu reaksi optimum yang menghasilkan komposisi MAG maksimum.
Komposisi MAG merupakan respon yang utama pada penelitian ini. Persamaan model untuk respon MAG sebagai berikut:
Y= - 61,700 + 6,088 X1+3,259 X2 – 0,065 X12 + 0,017 X1X2 – 1,792 X2
Dimana X
2
1 adalah suhu reaksi dan X2 adalah waktu reaksi. Hasil analisis
ANOVA menggunakan program SAS menunjukkan bahwa model permukaan tanggap memiliki nilai R2= 0,5408 artinya persamaan ini dapat menjelaskan sekitar 54,08% total variabel bebas yang dipelajari (suhu dan waktu reaksi) terhadap variabel tak bebas (MAG).
Tabel 9 Komposisi 13 reaksi esterifikasi pada reaktor Circulated packed bed reactor Kode Suhu Kode Waktu MAG (%) Rendemen (%) Jumlah MAG -1 -1 86,75 67,82 1,39 -1 1 79,16 63,04 1,17 1 -1 80,82 60,83 1,16 1 1 73,4 88,79 1,54 -1.414 0 73,94 70,75 1,06 1.414 0 79,04 75 1,39 0 -1.414 79,38 55,65 1,04 0 1.414 77,84 76,78 1,4 0 0 81,72 71,17 1,3 0 0 79,63 73,22 1,34 0 0 79,82 78,64 1,4 0 0 82,9 88,3 1,53 0 0 81,12 67,21 1,69
Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa nilai prediksi MAG pada titik stasioner adalah 82,96% (maksimum). Nilai MAG maksimum diperoleh pada suhu 46,92oC dan waktu 1,1 jam.
Gambar 22 Permukaan tiga dimensi optimasi parameter komposisi monoasilgliserol (MAG) 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
Gambar 22 menunjukkan pengaruh suhu dan waktu reaksi terhadap MAG. Berdasarkan Gambar tersebut tampak kurva pada sumbu Y (waktu reaksi) lebih cembung daripada kurva pada sumbu X (suhu reaksi). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh waktu lebih besar dibanding dengan pengaruh suhu reaksi dalam meningkatkan MAG. Pada sumbu Y tampak MAG akan mencapai maksimum pada waktu reaksi 1,1 jam, namun MAG akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu lebih dari 1,1 jam. Pada sumbu X tampak bahwa MAG akan mencapai maksimum pada suhu reaksi 46,92oC, namun akan semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya suhu reaksi yang lebih dari 46,92 o
Gambar 23 adalah kontur dua dimensi MAG. Berdasarkan gambar tersebut tampak titik belok kurva pada sumbu Y (waktu reaksi) lebih tajam dibanding titik belok kurva pada sumbu X (suhu reaksi). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh waktu reaksi lebih besar dalam meningkatkan MAG produk dibanding dengan pengaruh suhu reaksi. Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa MAG pada titik stasioner menunjukkan nilai maksimum yaitu sebesar 82,96%.
C.
Gambar 23 Kontur dua dimensi Optimasi Parameter Komposisi Monoasilgliserol (MAG)
Berdasarkan hasil analisis respon rendemen, persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Y = 48,859 + 4,639 X1 – 120,524 X2 – 0,104 X12 + 3,340 X1X2 – 9,271 X2
40
42
44
46
48
50
52
54
56
58
60
0
1
2
3
2 Suhu (oC) Waktu (J am )Dimana X1 adalah suhu dan X2 adalah waktu reaksi. Hasil analisis ANOVA
menggunakan program SAS menunjukkan bahwa model permukaan tanggap memiliki nilai R2= 0,7137, artinya persamaan ini dapat menjelaskan sekitar 71,37% total variabel bebas yang dipelajari (suhu dan waktu reaksi) terhadap variabel tak bebas (rendemen). Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa nilai prediksi rendemen pada titik stasioner adalah 73,65% (saddle point). Nilai rendemen diperoleh pada suhu 46o
Hasil analisis RSM divisualisasikan dalam bentuk gambar permukaan tiga dimensi dan kontur dua dimensi rendemen seperti tampak pada Gambar 24 dan 25. Gambar 24 menunjukkan pengaruh suhu dan waktu terhadap rendemen. Berdasarkan Gambar 24 terlihat bahwa kurva pada sumbu Y (waktu) lebih cembung dibanding dengan kurva pada sumbu X (suhu). Hal ini berarti pengaruh waktu reaksi lebih besar dari pada suhu reaksi dalam meningkatkan rendemen. Kondisi titik stasioner saddle point menunjukkan karakterisasi dari model permukaan tanggap dimana diduga terdapat dua perlakuan optimum yang dapat menghasilkan rendemen optimum.
C dan waktu 1,8 jam.
Berdasarkan Gambar 25, rendemen akan optimum pada dua perlakuan yaitu pada suhu 44oC dan waktu 1,5 jam serta suhu 48,2oC dan waktu 1,8 jam. Semakin meningkatnya suhu di atas 48,2oC maka rendemen akan semakin menurun. Kontur pada Gambar 25 titik belok pada sumbu Y (waktu reaksi) lebih tajam dibanding titik belok kurva pada sumbu X (suhu reaksi). Hal ini berarti pengaruh waktu reaksi lebih besar dalam meningkatkan rendemen produk dibandingkan pengaruh suhu. Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa rendemen pada titik stationer menunjukkan nilai 73.75%.
Gambar 26 Kontur dua dimensi optimasi rendemen
Rendemen pada penelitian ini adalah persen dari berat hasil dibagi dengan berat produk hasil perhitungan stokiometri. Kenaikan suhu akan menyebabkan kenaikan asam lemak bebas dan diasilgliserol (DAG) yang terdapat dalam rendemen hasil sintesis. Hal ini terjadi dikarenakan reaksi esterifikasi telah mengalami reaksi lanjut dimana migrasi asil semakin banyak terjadi. Reaksi gliserolisis minyak bunga matahari pada suhu 30, 35, 40, 45, dan 50o C dalam sistem packed bed reactor menunjukkan bahwa kenaikan suhu menyebabkan kecenderungan meningkatnya pembentukan MAG. Rendemen MAG konstan setelah suhu 40o C dan TAG telah terkonversi seluruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tidak signifikan pengaruhnya pada sistem packed bed ini, namun hal ini dikarenakan telah tercapainya rendemen 75% pada kesetimbangan reaksi (Yang et al., 2005). Suhu (oC) Waktu (J am ) 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58 60 0 1 2 3
Gliserol mempengaruhi stabilitas dan homogenitas sistem. Pada penelitian ini rasio molar substrat antara asam laurat dan gliserol adalah 1:5. Semakin rendah gliserol menyebabkan semakin rendahnya MAG karena rendemen yang dihasilkan menjadi rendah. Rendemen reaksi esterifikasi juga ditentukan oleh waktu reaksi, karena reaksi esterifikasi merupakan reaksi kesetimbangan maka pada waktu tertentu reaksi dapat berjalan ke arah sebaliknya.
Jumlah MAG merupakan hasil dari rendemen dikalikan dengan berat hasil reaksi. Jumlah MAG menunjukkan kadar MAG sebenarnya yang terdapat pada hasil reaksi. Persamaan kuadratik dari respon jumlah MAG adalah sebagai berikut:
Y= 15,74-0,5X1 – 2,44 X2 + 0,0038 X2 + 0,076 X1X2- 0,29 X2
Dimana X
2
1 adalah suhu reaksi dan X2 adalah waktu reaksi.
Gambar 26 Permukaan tiga dimensi optimasi jumlah monoasilgliserol
0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.475 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
Hasil analisis ANOVA menggunakan program SAS menunjukkan bahwa model permukaan tanggap memiliki nilai R2= 0,8318 artinya persamaan kuadratik dapat menjelaskan sekitar 83% total variabel bebas (suhu dan waktu reaksi) terhadap variabel tak bebas (jumlah MAG). Hasil analisis kanonik menunjukkan bahwa jumlah MAG pada titik stasioner adalah saddle point (1,4755 gram). Jumlah MAG diperoleh pada suhu 47,23o
Berdasarkan Gambar 27 tampak bahwa terdapat dua daerah kontur yang terpisah. Kontur pertama memiliki nilai maksimum pada suhu waktu 1.75 jam dan suhu 45.5
C dan waktu reaksi 1,9 jam. Model tiga dimensi permukaan tanggap untuk respon jumlah MAG dapat dilihat pada Gambar 26. Berdasarkan Gambar tersebut tampak kurva pada sumbu Y . Pada (waktu reaksi) lebih cembung dibanding dengan kurva pada sumbu X (suhu reaksi). Hal ini berarti bahwa pengaruh waktu reaksi lebih besar dibandingkan dengan pengaruh suhu reaksi dalam meningkatkan jumlah MAG produk.
o
C, kemudian daerah kontur dua memiliki nilai maksimum pada waktu 2