Dalam proses ekstraksi karagenan menggunakan alkali, karena alkali mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhydro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Towle, 1973). Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis karagenan (Guiseley et a.l, 1980). KOH dipilih karena efek kation terhadap kappa karagenan yang menghasilkan gel lebih kuat dibandingkan dengan
alkali lain seperti NaOH dan Ca(OH)2.
Pengendapan karagenan hasil ekstraksi yang telah mengalami filtrasi dapat dilakukan dengan alkohol (Glicksman, 1983). Alkohol yang dapat digunakan adalah methanol, etanol dan isopropil alkohol. Kebanyakan karagenan yang dipakai dalam pangan diisolasi dengan pengendapan selektif oleh isopropil alkohol karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental (Anonim, 2000). Hanya satu kekurangan isopropil alkohol yaitu lebih mahal dibanding methanol dan etanol.
Hasil analisis terhadap mutu karagenan yang diekstrak dari rumput laut Eucheuma cottonii dan karagenan komersial dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Spesifikasi mutu karagenan
Parameter Karagenan Ekstraksi Karagenan Komersial Kadar Air (%) Kadar Abu (%)
Kadar Abu tak larut asam (%)
Kekuatan Gel (gram/cm2)
Titik Pembentukan Gel (0C)
Titik Leleh (0C) Viskositas (cPs) 8,14 27,17 0,128 475 37,6 63,4 25 18,9 18,92 0,0015 30 10,5 20 30
Karagenan komersial adalah karagenan yang telah distandardisasi oleh masing-masing produsen. Standardisasi biasanya dilakukan dengan mencampur berbagai jenis karagenan dan atau mencampur dengan sukrosa atau garam serta dextrose untuk meningkatkan kemampuan pembentukan gel dan pengental (Marcel, 1999).
Titik jendal dan titik leleh karagenan berkaitan dengan kekuatan gel. Karagenan hasil ekstraksi mempunyai kekuatan gel yang tinggi, sehingga titik jendal dan titik lelehnya tinggi pula. Sedangkan karagenan komersial mempunyai kekuatan gel yang rendah, sehingga titik jendal dan titik lelehnya rendah. Konsistensi gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi dan adanya ion-ion. Kekuatan gel yang rendah dari karagenan komersial diduga karena perbedaan tipe karagenan, adanya bahan-bahan yang ditambahkan pada karagenan komersial sehingga mengurangi kemurnian karagenan tersebut.
Kadar air karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO, FCC maupun EEC yaitu maksimum 12 %. Sedangkan kadar air karagenan komersial yang digunakan dalam penelitian ini melebihi standar yang ditetapkan. Hal ini diduga, karagenan komersial sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama atau mungkin cara penyimpanan yang kurang baik, sehingga terjadi penyerapan uap air. Kadar abu karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian maupun karagenan komersial memenuhi kisaran yang ditetapkan yaitu 15 – 40 %. Demikian juga kadar abu tak larut asam, standar yang ditetapkan maks 2. Viskositas pada larutan 1,5%
min 5 cps.
Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara umum karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian ini lebih baik dari pada karagenan komersial diduga karena karagenan komersial sudah mengalami penyimpanan yang lebih lama serta adanya penambahan bahan-bahan tertentu pada karagenan komersial.
Pembuatan dan Penentuan Konsentrasi Bahan Penyusun Edibel Film Komposit dari Karagenan
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat larutan film edibel komposit dari karagenan adalah karagenan, tapioka, beeswax, gliserol dan air destilata. Penentuan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 %, beeswax 0,3 % dilakukan berdasarkan uji coba pendahuluan dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurrochmawati (2003) dan Harris (1998). Pembuatan edibel film komposit dari karagenan hasil ekstraksi dalam penelitian ini dengan penggunaan karagenan 1, 2 dan 3 %, tapioka 0,5 % dan beeswax 0,3 % menghasilkan larutan film edibel dengan kekentalan yang sesuai untuk pembentukan film. Secara sensory larutan dengan penambahan karagenan kurang dari 1 % menghasilkan larutan yang sangat encer dan membentuk film yang sangat tipis sehingga sulit dilepas dari cetakan dan mudah robek. Sedangkan penggunaan karagenan lebih dari 3 % menghasilkan larutan yang kental dan membentuk film dengan ketebalan yang tidak merata.
Pada proses pembuatan edibel film, mula-mula air destilata dipanaskan
sampai suhu 40 0C, ditambahkan karagenan dan dilakukan pengadukan
sampai larut. Pada suhu 60 0C kemudian ditambahkan tepung tapioka yang
sudah dilarutkan dalam air destilata sambil diaduk selama 15 menit sampai homogen. Penambahan tapioka secara langsung dalam air panas, menyebabkan tapioka menggumpal sehingga larutan menjadi kurang
homogen. Penambahan tapioka pada suhu 60 0C, hal ini disesuaikan dengan
suhu gelatinisasi pati dimana pada suhu 60 sampai 85 0C ini air akan
menembus lapisan luar granula pati dan granula mulai menggelembung. Granula dapat menggelembung hingga volumenya lima kali lipat volume semula. Pada suhu kira-kira granula pati pecah dan isinya terdispersi merata keseluruh air sekelilingnya. (Gaman, PM dan Sherrington, KB. 1994).
Penambahan tapioka pada suhu dibawah 60 0C film yang dihasilkan sangat
tidak baik, lapisan permukaan tidak rata dan terbentuk garis-garis melingkar yang sangat jelas.
Penambahan gliserol pada saat suhu larutan masih panas (+ 90 0C) dan
dan dibiarkan selama 15 menit. Dipanaskan lagi dan pada suhu 64 0C kemudian ditambahkan beeswax, sambil terus dilakukan pengadukan. Setelah beeswax larut, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk menghilangkan
kotoran-kotoran. Pemanasan dilanjutkan sehingga suhu mencapai 90 0C dan
dilakukan deggasing. Selanjutnya larutan dicetak dengan menggunakan TLC Spreader, setelah itu dilakukan pengeringan dalam oven 50 0C selama 1 jam dan selanjutnya dibiarkan dalam suhu ruangan selama 24 jam. Kemudian edibel film diangkat dari cetakan dan disimpan dalam kertas aluminium foil.
Pencetakan edibel film dapat dilakukan dengan metode pencetakan dengan alat atau dengan penuangan. Pada pembuatan edibel film komposit ini, pencetakan dilakukan dengan cara penyebaran larutan diatas cetakan kaca dengan ketebalan terkontrol dengan menggunakan TLC spreader.
Sifat edibel film yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan-bahan pembentuknya. Dalam pembuatan larutan film edibel ini digunakan air destilata sebagai pelarut. Penggunaan air destilata bertujuan untuk menghindari kemungkinan adanya pengaruh kotoran, logam atau zat terlarut lain yang dapat mengganggu pembentukan lapisan. Karagenan, tepung tapioca, beeswax adalah bahan-bahan yang digunakan untuk membuat edibel film komposit dengan penambahan pemlastis yaitu gliserol.
Menurut Krochta (1994), edibel film komposit diformulasikan untuk menggabungkan kelebihan-kelebihan edibel film dari lemak dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahan-kelemahan dari masing-masing komponen tersebut. Ketika fungsi sebagai penahan uap air dikehendaki diperlukan komponen lemak, sementara komponen hidrokoloid memberikan daya tahan yang baik.
Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid komersial dari rumput laut merah (Rhodophyceae) yang penting dalam produk pangan dan industri. Hal ini karena kemampuannya dalam mengubah sifat fungsional produk yang diinginkan. Beberapa sifat fungsional karagenan dalam produk pangan diantarannya adalah sebagai pencegah kristalisasi, pengemulsi, penstabil, pengental, pembentuk gel, koloid pelindung dan penggumpal (Glicksman, 1982). Karagenan mempunyai karakteristik khas yang tidak bisa digantikan
oleh gum lain, food grade, aman untuk dikonsumsi dan non toxic materials. Karagenan termasuk dalam 12 golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan, karena sampai saat ini karagenan merupakan bahan tambahan pangan pengental yang penting dalam produk makanan olahan (Direktorat Jenderal Industri dan Pedagang Kecil Menengah, 2002). Pemilihan tepung tapioka sebagai bahan campuran adalah berdasarkan penelitian Harris (1999) yang menunjukkan bahwa edibel film dari tapioka mempunyai penampakan lebih baik dari pada edibel film dari pati aren dan sagu. Edibel film dari tapioka mempunyai karakteristik lebih baik terhadap Aw, ketebalan, derajat kejernihan, kuat tarik, persen pemanjangan, laju transmisi gas O dan CO , tetapi mempunyai laju transmisi uap air lebih tinggi.
Gliserol merupakan bahan tambahan pangan yang bersifat humektan artinya bahan pangan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat mempertahankan kadar air dalam makanan. Gliserol berfungsi sebagai pemlastis akan mengurangi kerapatan dan gaya antar molekul pati-gliserol, sehingga film yang terbentuk lebih fleksibel dan halus. Tetapi gliserol yang berlebihan menyebabkan film lunak dan lengket sehingga sukar diangkat dari cetakan. Hal ini disebabkan gliserol bersifat mengikat air dan melunakkan permukaan. Penambahan gliserol pada edible film komposit dari karagenan lebih dari 2 ml membuat larutan cepat menjendal sehingga edibel film yang terbentuk kurang merata. Hal ini disebabkan penambahan gliserol akan meningkatkan viskositas larutan. Selain itu juga karena sifat karagenan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi. Untuk itu pada penelitian ini digunakan penambahan gliserol 1 ml dimaksudkan untuk mendapatkan edibel film yang tipis dan merata serta diharapkan akan menghasilkan edibel film dengan nilai laju tranmisi uap air dan Aw yang rendah.
Beeswax fungsinya adalah untuk menahan laju transmisi uap air. Hal ini disebabkan karena pada waktu pengeringan, beeswax membentuk jaringan kristal sehingga dapat berfungsi sebagai penahan uap air. Menurut
Deberaufort et al. (1993), laju transmisi uap air akan menurun dengan
meningkatnya sifat hidrofobik. Kamper dan Fennema (1984), juga menyatakan bahwa lemak merupakan komponen yang paling efektif sebagai
penahan uap air. Penambahan beeswax dapat menurunkan aw karena beeswax bersifat hidrofobik sehingga mampu menurunkan konsentrasi uap air dalam film (Gontard et al. 1996).
Secara sensory/organoleptik, mutu edibel film komposit dari karagenan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Deskripsi edibel film komposit dari karagenan ekstraksi Konsentrasi karagenan,
tapioka, beeswax
Deskripsi
1% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, sangat tipis,
mudah robek, tidak elastis
2% ; 0,5% ; 0,3 % bening, rapi, ketebalan cukup,
elastis
2,5% ; 0,5% ; 0,3 % buram, kurang rapi, tebal, kaku
Dengan demikian komponen penyusun utama yang digunakan untuk pembuatan larutan film pada penelitian selanjutnya dicoba dengan penggunaan karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 % ; tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 % beeswax 0,3 dan 0,5 %
Karakterisasi dan pemilihan Kombinasi Formula Edibel Film Pada tahap ini dilakukan pembuatan edibel film sebelum diaplikasikan pada produk dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik edibel film komposit terpilih. Adapun komponen penyusun utama yang digunakan adalah karagenan 1,5 ; 2 dan 2,5 %, tapioka 0,3 ; 0,5 dan 0,7 % ; beeswax 0,3 dan 0,5 % dan gliserol 1 %. Teknik formulasi pembuatan edibel film komposit memiliki beberapa tahap diantaranya pembentukan suspensi pati (karagenan dan tapioka), pencampuran larutan pembentuk film yaitu suspensi pati, gliserol dan beeswax, pemanasan, penghilangan gas terlarut, penyaringan, pencetakan, pengeringan, pendinginan, pelepasan film dari cetakan dan penyimpanan film.
Pemilihan kombinasi formula edibel film komposit yang akan diaplikasikan pada produk didasarkan pada hasil analisis statistik.
Persen Pemanjangan
Persen Pemanjangan adalah perubahan panjang maksimum yang dialami edibel film pada saat mulai sobek (Krochta, 1992). Hasil pengukuran persen pemanjangan edibel film komposit dari karagenan berkisar antara 0,9% sampai dengan 4,8%. Rekapitulasi data persen pemanjangan dapat dilihat pada Lampiran 1a.
0 1 2 3 4 5 6 1,5% ;0,3 % 1,5% ;0,5 % 1,5% ;0,7 % 2,0% ;0,3 % 2,0% ;0,5 % 2,0% ;0,7 % 2,5% ;0,3 % 2,5% ;0,5 % 2,5% ;0,7 %
Kombinasi Karagenan; Tapioka
P e rs en P e rpa n ja ng an (%) Beeswax 0,3 % Beeswax 0,5 %
Gambar 4 Persen pemanjangan edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.
Dari gambar 4 terlihat bahwa persen pemanjangan tertinggi diperoleh dari perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,5 %. Penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan sifat mekanik (persen pemanjangan) dari edibel film. Menurut Carriedo (1994), gel yang dihasilkan dari karagenan dapat digunakan dalam pelapisan (coating) makanan. Untuk dapat menghasilkan edibel film yang baik dapat digunakan kombinasi karagenan dan locust bean gum karena mampu membentuk struktur double heliks yang mampu
meningkatkan elastisitas gel yang dihasilkan. Persentase pemanjangan edibel film dikatakan baik jika nilainya lebih dari 50% dan dikatakan jelek jika nilainya kurang dari 10% (Krochta dan Johnston, 1997 dalam Suryaningrum, 2005). Pada konsentrasi karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan 0,7% dapat menurunkan persen pemanjangan. Hal ini diduga karena meningkatnya prosentase padatan terhadap volume air. Hasil penelitian Poeloengasih dan Marseno (2003) mengenai edibel film dari protein biji kecipir menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka berpengaruh terhadap penurunan persen pemanjangan. Sedangkan menurut Suryaningrum, 2005 pembuatan edibel film dari karagenan dengan perlakuan tanpa penambahan tapioka dan penambahan volume larutan pengencer menghasilkan persen pemanjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tapioka.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka ; karagenan beeswax; tapioka beeswax ; karagenan, tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap persen pemanjangan film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % belum memberikan pengaruh terhadap persen pemanjangan film yang dihasilkan, karena konsentrasi tapioka dan beeswax yang ditambahkan dalam jumlah yang relatif kecil. Dari masing-masing perlakuan, hanya penambahan konsentrasi karagenan yang berpengaruh terhadap persen pemanjangan. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penggunaan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan persen pemanjangan.
Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik adalah tekanan regangan maksimum yang dapat diterima film sampai film putus. Hasil pengukuran kekuatan tarik edibel film komposit
dari karagenan berkisar antara 352,37 sampai dengan 990,48 kgf/cm2.
Rekapitulasi data kekuatan tarik dapat dilihat pada Lampiran 2a.
0 200 400 600 800 1000 1200 1,5% ;0,3 % 1,5% ;0,5 % 1,5% ;0,7 % 2,0% ;0,3 % 2,0% ;0,5 % 2,0% ;0,7% 2,5% ;0,3 % 2,5% ;0,5 % 2,5% ;0,7 %
Kombinasi Karagenan; Tapioka
K e ku atan Tar ik (kgf/cm 2 ) Beeswax 0,3 % Beeswax 0,5 %
Gambar 5 Kekuatan tarik edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa kekuatan tarik tertinggi diperoleh dari perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,3 %. Pada konsentrasi karagenan 1,5 dan 2% penambahan tapioka belum berpengaruh pada penurunan kekuatan tarik. Hal ini diduga pada kombinasi konsentrasi tersebut molekul karagenan dan tapioka mampu berikatan dengan baik, sehingga membentuk gel yang kuat sehingga kekuatan tarik meningkat. Hasil penelitian Nurrochmawati (2003) menunjukkan bahwa penambahan tepung tapioka berpengaruh terhadap penurunan kekuatan tarik, pada penelitian ini terjadi pada konsentrasi karagenan 2,5%. Pada konsentrasi karagenan 2,5% dengan penambahan tapioka 0,5 dan 0,7% dapat menurunkan kekuatan tarik. Hal ini diduga karena meningkatnya prosentase padatan terhadap volume air.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tapioka, beeswax, interaksi antara karagenan tapioka; karagenan beeswax; tapioka beeswax ; karagenan tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap kekuatan tarik film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan beeswax 0,3 ; 0,5 % dari volume air destilata belum memberikan pengaruh terhadap kekuatan tarik film yang dihasilkan, karena jumlah tapioka dan beeswax yang ditambahkan relatif kecil. Dari masing-masing perlakuan, hanya penggunaan karagenan yang berpengaruh terhadap kekuatan tarik. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penggunaan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan kekuatan tarik.
Laju Transmisi Uap Air
Hasil pengukuran laju transmisi uap air edibel film komposit dari
karagenan berkisar antara 746,2 sampai dengan 1117,4 g/m2/hari. Rekapitulasi
data laju transmisi uap air dapat dilihat pada Lampiran 3a.
0 200 400 600 800 1000 1200 1,5% ;0,3% 1,5% ;0,5 % 1,5% ;0,7 % 2,0% ;0,3% 2,0% ;0,5 % 2,0% ;0,7 % 2,5% ;0,3% 2,5% ;0,5 % 2,5% ;0,7 %
Kombinasi Karagenan; Tapioka
Laju Transmisi Uap Air
( g/m
2 /hari)
Beeswax 0,3 % Beeswax 0,5 %
Gambar 6 Laju transmisi uap air edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.
Lemak dalam hal ini beeswax merupakan komponen yang ditambahkan untuk memperbaiki sifat edibel film sebagai penahan uap air. Menurut Guilbert dan Biquet (1996) didalam Permanasari (1998) komponen lemak seperti wax, emulsifier dan asam lemak dalam edibel film komposit berpengaruh dalam menurunkan laju transmisi uap air karena sifat lemak yang memiliki polaritas rendah dan struktur kristal yang padat. Namun dari Gambar 6 terlihat bahwa penambahan beeswax kadang-kadang dapat meningkatkan laju transmisi uap. Hal ini diduga disebabkan oleh homogenitas larutan dan distribusi sustansi hidrofobik yang kurang merata. Laju transmisi uap air terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan komposit karagenan 2,0 % ; tapioka 0,7 % dan beeswax 0,3 %. Penggunaan karagenan 2 %, tapioka 0,7 % dan beeswax 0,3 % diduga pada kombinasi konsentrasi ini, molekul karagenan, tapioka, dan beeswax mampu berikatan secara baik yang menyebabkan laju transmisi uap air menjadi rendah.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi beeswax, interaksi antara karagenan tapioka, karagenan beeswax tidak berpengaruh terhadap laju transmisi uap air film. Sedangkan konsentrasi karagenan, tapioka, interaksi antara tapioka beeswax; interaksi antara karagenan tapioka beeswax berpengaruh terhadap laju transmisi uap air film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tapioka 0,3 ; 0,5 ; 0,7 % dan karagenan 1,5 ; 2,0 dan 2,5 % memberikan pengaruh terhadap laju transmisi uap air film yang dihasilkan. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penambahan karagenan 1,5 % berbeda dengan 2,0 dan 2,5 %. Penambahan tapioka 0,3 dan 0,5 % berbeda dengan 0,7 %. Perbedaan pengaruh interaksi antara tapioka beeswax terhadap laju transmisi uap air dapat dilihat pada Lampiran 4b sedangkan pengaruh interaksi karagenan tapioka dan beeswax terhadap laju transmisi uap air dapat dilihat pada Lampiran 5a. Penambahan konsentrasi karagenan dan tapioka yang digunakan menyebabkan bertambahnya ketebalan sehingga laju transmisi uap air menjadi lebih rendah.
Ketebalan
Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap
penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemas. Hasil pengukuran ketebalan edibel film komposit dari karagenan berkisar antara 0,05 sampai dengan 0,079 mm. Rekapitulasi data ketebalan dapat dilihat pada Lampiran 5b. 0 200 400 600 800 1000 1200 1,5%;0 ,3% 1,5%;0 ,5% 1,5%;0 ,7% 2,0%;0 ,3% 2,0%;0 ,5% 2,0%;0 ,7% 2,5%;0 ,3% 2,5%;0 ,5% 2,5%;0 ,7%
Kombinasi Karagenan; Tapioka
Ketebalan (mm)
Beeswax 0,3% Beeswax 0,5%
Gambar 7 Ketebalan edibel film komposit dari beberapa kombinasi karagenan, tapioka dan beeswax.
Dari Gambar 7 terlihat bahwa ketebalan tertinggi diperoleh dari perlakuan komposit karagenan 2,5 % tapioka 0,3 % dan beeswax 0,3%. Hal ini diduga pada penambahan tapioka 0,5 dan 0,7 % beeswax 0,5 %, prosentase total padatan meningkat terhadap volume air yang menyebabkan proses gelatinisasi berlangsung kurang baik. Hal ini diduga berpengaruh terhadap penurunan ketebalan film yang dihasilkan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tapioka, interaksi antara karagenan tapioka; karagenan beeswax; tapioka beeswax ; karagenan tapioka dan beeswax tidak berpengaruh terhadap ketebalan film. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi tapioka 0,3%, 0,5%, 0,7% dari volume larutan belum memberikan pengaruh terhadap
ketebalan film yang dihasilkan, karena jumlah konsentrasi tapioka relatif kecil. Penambahan konsentrasi karagenan berpengaruh terhadap ketebalan film. Selanjutnya hasil uji berganda Duncan memperlihatkan bahwa penambahan konsentrasi karagenan 1,5% berbeda dengan konsentrasi 2,0 dan 2,5 %. Hal ini berkaitan dengan jumlah karagenan yang digunakan, dimana penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan jumlah total padatan terlarut bertambah sehingga ketebalan film meningkat. Penambahan konsentrasi beeswax berpengaruh terhadap ketebalan film, namun berdasarkan hasil uji homogenitas memperlihatkan bahwa penambahan beeswax 0,3% tidak berbeda dengan 0,5%.
Secara umum edibel film komposit yang dihasilkan memiliki sifat-sifat mekanis yang baik, terutama kekuatan tarik film dan lemah sebagai penahan uap air. Polisakarida (karagenan dan pati) merupakan komponen hidrokoloid yang dapat membentuk film dengan sifat-sifat mekanis yang baik tetapi lemah sebagai penahan uap air. Pembentukan edibel film komposit dengan penambahan lemak dimaksudkan untuk memperbaiki sifat film sebagai penahan uap air. Guilbert dan Biquet (1989) dalam Alberto, J et al (2000) mengemukakan bahwa permeabilitas uap air menurun dengan meningkatnya komponen hydrofobisitas dan lilin merupakan komponen hidrofobisitas yang paling efektif. Dalam penelitian ini, komponen hidrofobisitas (lemak) yang ditambahkan relatif kecil dan ketebalan film yang dihasilkan juga sangat tipis, sehingga kurang berpengaruh terhadap perbaikan sifat film sebagai penahan uap air. Selain itu juga disebabkan oleh homogenitas larutan dan penyebaran komponen hidrofobik yang kurang merata.
Perbaikan penampakan film diperoleh dengan system multikomponen dimana hydrokoloid (polisakarida) membentuk jaringan yang kontinyu dan kohesif sementara substansi hidrofobik (lemak) memberikan sifat sebagai penahan uap air. Pada pembuatan edibel film komposit dari karagenan, lemak ditambahkan dengan cara didispersikan sehingga dapat dikategorikan sebagai film emulsi. Menurut Alberto, J et al (2000) film emulsi mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya hanya memerlukan satu tahap pengeringan dan dapat diaplikasikan pada makanan pada suhu ruang.
Perbandingan Edibel Film yang Dihasilkan dengan Edibel Film Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya mengenai edibel film. Beberapa penelitian tentang edibel film yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan edibel film penelitian sebelumnya Bahan Pembentuk Edibel Film P Ktbl (mm) PP (%) KT (kgf/cm2) LTUA gr/m2/hari Peneliti Protein Bungkil Kedelai, CMC dan MC, Beeswax Karagenan , Tapioka Karagenan, Tapioka, Beeswax PEG S G 0,46 s/d 0,48 0,84 s/d 0,92 0,05 s/d 0,079 14,36 s/d 29,1 0 s/d 15 0,9 s/d 4,8 117,24 s/d 194,91 0 s/d 14,5 352,37 s/d 990,48 282,05 s/d 324,36 - 746,2 s/d 1117,4 Tirtawijaya (1998) Nurochmawati (2003) Penelitian
P : Pemlastis; Ktbl : ketebalan ; PP: Persen Pemanjangan; KT : Kekuatan Tarik; LTUA : Laju Transmisi Uap Air; PEG : Polietilen Glikol; S : Sorbitol; G : Gliserol
Berpedoman pada JIS (Japanesse Industrial Standard) 2 1707 – 1975 dalam Utami (1998), plastik film untuk kemasan makanan yang dikategorikan film adalah yang mempunyai ketebalan maksimal 0,25 mm, persen
pemanjangan minimal 70%, kekuatan tarik minimal 4 kgf/cm2 dan nilai laju
transmisi uap air maksimal 7 gr/m2/hari. Jika dikonversikan dengan ketebalan
yang disebutkan dalam JIS tersebut (0,25 mm) dengan nilai persen pemanjangan dan laju transmisi uap air dianggap linier dengan ketebalan. Dibandingkan dengan edibel film dari protein bungkil kedelai, CMC dan MC, beeswax ; karagenan dan tapioka, film yang dihasilkan dalam penelitian ini mempunyai persen pemanjangan yang hampir sama dengan film dari protein kedelai tetapi lebih baik dari pada film dari karagenan dan tapioka. Kekuatan tarik film penelitian merupakan yang terbaik bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, hal ini diduga oleh pengaruh kekuatan gel dari karagenan dan penambahan gliserol yang hanya berjumlah 1 %. Dimana penambahan gliserol dalam jumlah 1 % dalam penelitian ini menyebabkan kekuatan intermolekuler masih tinggi. Demikian juga dengan laju transmini uap air,
film penelitian merupakan yang terbaik. Hal ini diduga molekul karagenan mampu berinteraksi dengan tapioka dan lemak dengan baik yang dapat