• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Spasial Lutung Jawa (T.auratus)

T.auratus merupakan salah satu satwa primata yang terdapat di TNGC,

keberadaan T.auratus merupakan salah satu indikator bahwa kawasan konservasi TNGC merupakan habitat yang cocok bagi perkembangbiakan T.auratus dan primata lainnya. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, diketahui bahwa persebaran di TNGC tersebar pada 28 lokasi yang mencangkup 9 dari 11 Resort di Wilayah Seksi Kuningan dan Majalengka. Data rincian sebaran T.auratus di SPTN Kuningan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan

Blok/Resort Tipe Hutan Jumlah

Populasi

Titik Koordinat Lokasi

X/E Y/S Ciayakan/Mandiraancan Dataran rendah 34 108,44643o 6,88426o Cibunian/Cigugur 17 108,42712o 6,93864o Cigowong Kuta/Cigugur 8 108,42096o 6,94200o Cipariuk/Mandirancan 8 108,44565o 6,88375o Cadas Poleng/Cigugur Subpegunungan 4 108,42704o 6,93836o Cigedong /Mandirancan 4 108,44578o 6,88386o Kinina/Cigugur 8 108,42615o 6,93875o

Kondang Amis /Cilimus 6 108,44872o 6,89950o

Kopi Gede/Jalaksana 4 108,41432o 6,93864o

Sayana Atas/Jalaksana 4 108,41382o 6,93888o

P. Badak/Cigugur Pegunungan 12 108,40336o 6,92606o

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebaran lokasi T.auratus di Seksi Kuningan terbesar dijumpai pada tipe hutan dataran rendah yaitu di Blok Ciayakan dan Blok Cibunian. Kedua lokasi memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu topografi berupa lembah yang cukup luas, terdapat mata air yang mengalir sepanjang tahun serta keberadaan tumbuhan pakan yang banyak. Jenis tumbuhan pakan di Blok Cibunian sebanyak 53 jenis dan di Blok Ciayakan sebanyak 52 jenis. Selain itu kedua blok oleh masyarakat sekitar merupakan daerah yang ―dikramatkan‖, sehingga masyarakat sangat jarang ke lokasi tersebut. Kearifan lokal masyarakat disekitar Blok Ciayakan dan Blok Cibunian juga terlihat dari adanya kepercayaan dan larangan untuk mengambil kayu di kedua blok meskipun kayu tersebut mati ataupun roboh secara alami. Dampak positif dari kearifan lokal masyarakat di sekitar terhadap populasi T.auratus adalah jumlah populasi besar dan tersedianya tumbuhan pakan.

Perjumpaan dengan T.auratus pada tipe hutan subpegunungan di SPTN Kuningan dijumpai di enam Blok, Jumlah populasi terbesar dijumpai di Blok Kinina, rata-rata jumlah populasi di setiap blok pada tipe hutan subpegunungan adalah 4,1. Jumlah populasi pada tipe hutan subpegunungan lebih kecil

dibandingkan pada tipe hutan dataran rendah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap lokasi di sekitar blok-blok yang dijumpai merupakan daerah yang berada pada daerah bekas lokasi hutan tanaman industri yang dulu dikelola oleh Perum Perhutani. Perjumpaan koloni T.auratus pada tipe hutan pegunungan di SPTN Kuningan hanya dijumpai di Blok Pangguyangan Badag sebanyak 12 ekor. Jumlah tersebut kemungkinan bisa lebih besar, hal ini terjadi karena keterbatasan pengamatanyng disebabkan kondisi topografi yang curam, vegetasi yang rapat serta sensitifitas T.auratus yang tinggi.

Sebaran lokasi perjumpaan dengan T.auratus di wilayah Seksi Majalengka adalah Resort Sangiang, Argalingga, Gunung Wangi, Argamukti, dan Resort Bantaragung. Data rincian sebaran T.auratus di SPTN Majalengka pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka

Blok/Resort Tipe Hutan Jumlah

Populasi

Titik Koordinat Lokasi

X/E Y/S

Gunung Garaswatu/Gunung Wangi

Dataran Rendah

8 108,21002o 6,51245o

Gunung Larang /Bantar

Agung 5 108,37925o 6,88922o Situ Sangiang/Sangiang 38 108,20203o 6,56417o Arpesi/Argamukti Subpegunungan 8 108,43556o 6,85736o Batu gajah/Argalingga 6 108,22104o 6,53581o Batu Segara/Argamukti 4 108,22200o 6,54112o Lempah Masawa/Bantar Agung 2 108,38217o 6,91044o

Lempah terong /Argalingga 2 108,38031o 6,90836o

Loji/Argamukti Pegunungan 9 108,42581o 6,86278o Bedeng/Argamukti 2 108,15630o 6,55201o Cikolomberan/Argamukti 8 108,22292o 6,55084o Grogol/Argamukti 4 108,22241o 6,55455o Kebon teh/Argamukti 2 108,22231o 6,55455o Kolepat/Argalingga 4 108,38364o 6,91717o Legok Jumena/Argamukti 6 108,22231o 6,54209o Mongormasi/Argamukti 2 108,22289o 6,54090o Sayang kaak/Argamukti 5 108,22134o 6,55173o

Keberadan T.auratus di TNGC hampir menyebar merata pada setiap resort, untuk wilayah pengelolaan seksi kuningan terdapat di empat resort dan terdapat lima resort di wilayah seksi Majalengka. Koloni T.auratus tidak dijumpai pada dua resort yaitu Resort Darma dan Resort Pesawahan. Berdasarkan Informasi dari kantor Balai TNGC, wilayah kerja Resort Pesawahan sering terjadi kebakaran hutan pada musim kemarau. Hal ini menyebabkan berkurangnya tumbuhan-tumbuhan sebagai sumber pakan serta habitat T.auratus dan P.comata sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Chivers (1988), primata sangat peka terhadap gangguan habitatnya. Tidak di jumpai T.auratus di Resort Darma terjadi

karena terjadinya fragmentasi habitat akibat pengelolaan pada masa lalu intensif oleh Perum Perhutani sebelum menjadi Taman Nasional.

Langkanya penelitian terkait populasi T.auratus di TNGC menyulitkan peneliti dalam mendapatkan gambaran tentang penyebaran populasi T.auratus di TNGC secara lebih lengkap. Tidak hanya di TNGC, penelitian tentang ekologi dan penyebaran primata di kawasan konservasi dan kawasan lainnya, baik penelitian pada tingkat populasi maupun di tingkat individu masih terbatas (Supriatna et al. 1994). Penelitian sebelumnya terkait penyebaran T.auratus di TNGC baru terbatas pada SPTN Wilayah Majalengka yaitu di daerah Situ Sangiang Resor Sangiang, merupakan lokasi dengan jumlah koloni terbesar (Setya

et. Al. 2011).

Masih terdapatnya T.auratus di TNGC menandakan bahwa kawasan konservasi ini masih mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi kelompok ini. Menurut Caughley & Sinclair (1994), ada beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran mahluk hidup yaitu iklim, subtrat, supply makanan, habitat, predator, dan patogen. Menurut Mac Fadyen (1963), salah satu faktor yang menentukan penyebaran satwa adalah terkait dengan kebutuhan biologi satwa itu sendiri, terutama kebutuhan pakan dan reproduksi. Baik pada skala zoogeografi maupun ekologi, penyebaran satwa merupakan hasil interaksi antara dua jenis faktor, yakni sejarah penyebaran masa lalu dan kebutuhan biologi dari satwa itu sendiri. Faktor-faktor yang menentukan penyebaran spasial satwa sering menjadi hal yang misterius bagi manusia (MacFadyen 1963).

Berkelompok merupakan salah satu strategi satwa untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, terutama dari predator (Cowlishaw & Dunbar 2000). Berkelompok juga dapat meningkatkan peluang dalam mendeteksi keberadaan predator karena adanya kewaspadaan kolektif. Dengan bertambahnya ukuran kelompok, kemampuan mangsa dalam mendeteksi pemangsa akan semakin besar (Cowlishaw & Dunbar 2000). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tidak menjumpai individu soliter. Ukurankelompok rata-rata T.auratus di TNGC berkisar 4--17 individu. Ukuran kelompok T.auratus rata-rata di TNGC umumnya berbeda dengan pendapat Medway (1970) yang menyatakan bahwa individu anggota koloni lutung budeng antara 6 – 23 ekor. Akan tetapi jumlah tersebut lebih besar dari hasil penelitian Rowe (1996) yang mengatakan bahwa setiap koloni lutung terdiri dari 13 ekor.

Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas untuk mendukung organisme disebut daya dukung habitat (Indrianto 2006). Lokasi T.auratus di TNGC memiliki ketinggian yang bervariasi mulai 424 mdpl hingga 1895 mdpl. TNGC berdasarkan klasifikasi tipe habitat dari Van Steenis (2006) memiliki empat tipe ekosistem, yakni: hutan dataran rendah (<1000 mdpl), hutan subpegunungan (1.000–1.500 mdpl), hutan pegunungan (1.500–2.400 mdpl), dan hutan subalpin (2.400-3.078 mdpl). Meskipun demikian, keempat tipe ekosistem tersebut tidak seluruhnya digunakan oleh T.auratus sebagai habitat. T.auratus hanya menempati tiga tipe ekosistem sebagai habitatnya, yakni: hutan dataran rendah, hutan subpegunungan, dan hutan pegunungan.

Pada penelitian ini, karakteristik habitat yang diamati difokuskan pada vegetasi, karena T.auratus merupakan satwa arboreal yang aktifitas hariannya sebagian besar dilakukan pada tajuk pohon. Oleh karena itu aktifitas T.auratus sangat bergantung dengan kondisi vegetasi yang terdapat di habitatnya. Vegetasi habitat selain menyediakan sumber pakan juga menyediakan tempat berlindung dari kondisi perubahan cuaca. Habitat tersusun oleh komponen biotik seperti kualitas dan kuantitas makanan, pemangsaan dan penyakit, komponen fisik seperti suhu udara, hujan, kelembaban dan komponen edapik seperti kedalaman, kelembaban dan kimia tanah (Bailey 1984). Keberadaan komponen-komponen tersebut pada suatu tempat menyebabkan tempat tersebut layak bagi suatu spesies (Caughley &Sinclair 1994). Selain itu, keberadaan komponen-komponen tersebut juga akan menentukan karakteristik habitat satwa liar (Bailey 1984). Karena memiliki karakteristik yang berbeda, setiap spesies satwa memerlukan kondisi habitat yang berbeda (Husch et al. 2003).

Jenis tumbuhan yang ditemukan pada habitat T. auratus di hutan dataran rendah sebanyak 55 jenis, tergolong ke dalam 25 famili. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang sebanyak 35 jenis, tingkat tiang sebanyak 23 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 36 jenis. Tingkat pertumbuhan yang memiliki keanekaragaman paling tinggi adalah tingkat tiang dan yang paling rendah adalah tingkat pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’), pada tingkat pancang sebesar 2,52, tingkat tiang sebesar 2,95 dan tingkat pohon sebesar 3,42.Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan yang paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang sebesar 1220,00 ind/ha, tingkat tiang sebesar 320 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 178,75 ind/ha. Jenis yang memiliki kerapatan paling tinggi pada tingkat pancang adalah kipare

Glochidion macrocarpus Bl, tingkat tiang adalah Beunying Ficus fistulosa

Reinw, dan tingkat pohon adalah Mara Macaranga rhicinoides. Ketiga jenis di atas, selain memiliki kerapatan tertinggi, juga merupakan jenis tumbuhan yang dominan. Tajuk pohon pada wilayah jelajah T.auraus pada tipe hutan dataran rendah memiliki rata-rata ketinggian sebesar 36,3 meter, dengan ketinggian terendah 22 m dan yang tertinggi adalah 50 meter. Rata-rata diameter pohon adalah 26,6 cm dengan diameter terkecil adalah 17 cm dan yang terbesar adalah 130 m.

Jumlah jenis tumbuhan pada hutan subpegunungan sebanyak 116 jenis, tergolong ke dalam 38 famili. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pancang sebanyak 79 jenis, tingkat tiang sebanyak 49 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 89 jenis. Vegetasi tingkat tiang memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada tingkat pancang sebesar 2,96, tingkat tiang sebesar 3,38 dan tingkat pohon sebesar 3,56. Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, tingkat tiang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pinus, Pinus mercusii. Ketiga jenis tersebut, selain memiliki kerapatan tertinggi, juga merupakan jenis tumbuhan dominan.

Bentuk tajuk vegetasi di wilayah jelajah T.auraus memiliki rata-rata ketinggian pohon sebesar 37,4 meter, dengan ketinggian terendah 19 m dan yang tertinggi adalah 55 meter. Rata-rata diameter pohon adalah 31,2 cm dengan

diameter terkecil adalah 21 cm dan yang terbesar adalah 142 cm. Jumlah jenis tumbuhan pada habitat T.auratus di tipe hutan pegunungan sebanyak 84 jenis, tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis pada tingkat pancang sebanyak71 jenis, tingkat tiang sebanyak 62 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 66 jenis. Vegetasi tingkat pohon memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat tiang dan pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) tingkat pancang sebesar 3,24 tingkat tiang sebesar 3,49 dan tingkat pohon sebesar 3,42 Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertingi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC sebanyak, tingkat tiang tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC

Jumlah jenis tumbuhan pakan pada habitat T.auratus di hutan dataran rendah sebanyak 53 jenis. Dengan perincian jumlah tingkat pancang sebanyak 24 jenis, tingkat tiang sebanyak 15 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 23 jenis. Kerapatan pakan tingkat pancang tertinggi adalah jenis saninten sebesar 964 ind/ha, tingkat tiang tertinggi adalah jenis mara sebesar 342 ind/ha, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis kihiur sebesar 214 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan dataran rendah dengan menggabungan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Pola penyebaran pakan dengan menghitung masing-masing jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam. Selain itu, terdapat juga jenis pakan yang pola penyebarannya tidak dapat diidentifikasi karena hanya terdapat satu individu dari semua plot pengamatan.

Jumlah jenis tumbuhan pakan di hutan subpegunungan sebanyak 54 jenis, jumlah jenis tumbuhan pakan tingkat pancang sebanyak 39 jenis, tingkat tiang 30 jenis, dan tingkat pohon 44 jenis. Kerapatan pakan tingkat pancang sebesar 897 ind/ha, tingkat tiang sebesar 236 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 97 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan subpegunungan dengan menggabungkan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Pola penyebaran pakan dengan menghitung masing-masing jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam.

Jumlah jenis tumbuhan pakan pada habitat T.auratus di hutan pegunungan sebanyak 42 jenis. Jenis tumbuhan pakan tingkat pancang sebanyak 32 jenis, tingkat tiang sebanyak 26 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 41 jenis.Kerapatan pakan tingkat pancang di hutan pegunungan sebesar 1254 ind/ha, tingkat tiang sebesar 421 ind/ha, dan tingkat pohon 273 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan pegunungan dengan menggabungkan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Sebagaimana pada tipe hutan dataran rendah dan hutan subpegunungan, pola penyebaran pakan di hutan pegunungan dengan menghitung setiap jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam.

Tumbuhan pakan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup, T.auratus merupakan primata pemakan tumbuhan, sehingga kondisi ketersediaan tumbuhan sumber pakan dalam wilayah jelajah kelompok sangat penting. Menurut Napier dan Napier (1985), penggunaan ruang pada primata tergantung pada sumberdaya pakan yang dikandungnya. Kualitas dan kuantitas makanan yang diperlukan oleh satwa liar berbeda menurut jenis, perbedaan kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan kondisi geografis.

Pemanfaatan jenis tumbuhan pakan oleh T.auratus di TNGC secara keseluruhan lokasi yang diamati mencakup tiga tipe hutan yaitu tipe hutan dataran rendah, tipe hutan subpegunungan dan tipe hutan pegunungan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa T.auratus menggunakan sebanyak 82 jenis tumbuhan yang terdiri dari daun 54 jenis, buah 8 jenis, daun dan buah 15 jenis, dan daun dan bunga 15 jenis. Komposisi pemanfaatan tumbuhan pakan oleh T.auratus pada saat pengamatan dapat dilihat di Gambar 2.

Gambar 2. Proporsi bagian tumbuhan pakan yang dimakan T.auratus Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kompoisisi bagian tumbuhan yang dimakan oleh T.auratus di TNGC terdiri dari 65% daun, 17% daun dan buah, 11 % buah, dan 7% daun dan bunga. Hal ini berbeda dengan hasil Hendratmoko (2009) yaitu jenis pakan T.auratus di Cagar Alam Papandayan teridentifikasi sebanyak 70 jenis tumbuhan sumber pakan yang terdiri dari 0,8% batang, 38,5% pucuk, 21,3 daun, 7,9% bunga dan 31,5%. Penelitian Kool (1993) diketahui bahwa pakan lutung di Cagar Alam Papandayan 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak. Buah-buahan dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Berdasarkan Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) bahwa kadar tanin berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Supriatna & Hendras (2000) terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan

T.auratus sering berkompetisi dengan kompetitor.

Penyebaran pakan akan mempengaruhi pergerakan satwa dalam mencari pakan, dasar penggunaan habitat oleh primata tergantung pada stok pakan, penyebaran pakan, serta pergantian musim buah. Menurut Bailey (1984), tunas, daun, bunga, buah merupakan bagian tumbuhan dimana nutrien terkumpul. Berdasarkan hasil penelitian Farida dan Harun (2000) diketahui bahwa di kawasan TNBTS diketahui sebanyak 44 jenis (26 suku) tumbuhan sumber pakan, jumlah tersebut lebih sedikit apabila dibandingkan dengan hasil penelitian di TN Halimun. Sebanyak 74 spesies tumbuhan dari 33 suku merupakan pakan Lutung,

Daun 65% Buah 11% Daun&Buah 17% Daun&Bunga 7%

Owa dan Surili, sedangkan di TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP), telah diketahui sebanyak 48 jenis dan 27 famili tumbuhan yang merupakan pakan

T.auratus, terbanyak famili Moraceae. Farida dan harun (2000) menyatakan

bahwa tumbuhan pakan T.auratus di hutan Kawah Kamojang Jawa Barat, didapatkan sebanyak 42 jenis tumbuhan pakan yang termasuk ke dalam 31 famili, sedangkan di Unocal Geothermal Gunung Salak diketahui jumlah tumbuhan pakan sebanyak 23 jenis.

Menurut Colishaw dan Dunbar (2000), T.auratus merupakan pemakan tumbuhan yang mendapat energi dari daun yang tersedia melimpah tapi merupakan makanan berkualitas rendah karena hanya sedikit mengandung nutrisi. Daun relatif sulit dicerna karena keberadaan dinding sel dan selulosa. Untuk itu diperlukan adanya adaptasi antara lain dengan fermentasi. Menurut Napier dan Napier (1985), seperti halnya colobine lainnya mempunyai perut yang besar dan lambung terbagi dalam kompartemen. Sistem pencernaan tersebut memungkinkannya mencerna sejumlah besar daun tua dengan cara fermentasi dalam fore-stomach untuk memecahkan selulose. Dengan demikian satwa ini mampu makan dari berbagai jenis tumbuhan yang tidak bisa dimakan oleh satwa lain. Menurut Supriyatna dan Wahyono (2000), makanan T.auratus terdiri dari 66 jenis tumbuhan, dimana 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya serangga.

Penelitian Kool (1992) di CA Pangandaran juga menemukan bahwa

T.auratus makan daun muda, tunas, buah, dan jarang makan daun tua. Tumbuhan

pakan penting adalah Ficus sinuata, Ficus sumatrana, dan Vitex pinnata. Prosentase pakan T.auratus di TNGC 27-37 % adalah buah-buahan mentah dan 10 -12 % buah masak. Buah-buahan mempunyai kadar tanin dan fenol yang lebih tinggi dari dedaunan. Kadar tanin dalam makanan bermanfaat untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. T.auratus memilih daun muda karena cenderung mengandung protein lebih tinggi, tanin dan lignin lebih rendah, dan lebih mudah dicerna (Farida dan Harun 2000). Sehingga selain melakukan pemilihan tumbuhan yang bernutrisi baik, dimungkinkan juga memilih tumbuhan yang mengandung toksin rendah. T.auratus sering mengunjungi lokasi yang terdapat jenis pakan yang disukai. Menurut Bailey (1984) jumlah dan kualitas pakan yang dibutuhkan setiap individu satwa liar bervariasi, dipengaruhi antara lain oleh faktor jenis kelamin, kelas umur dan fisiologi pencernaan.

Sebaran Spasial Surili (P.comata)

Surili (P.comata) merupakan primata endemik Pulau Jawa Bagian Barat perjumpaan dengan kelompok primata dapat dipengaruhi oleh kelimpahan pakan (Napier & Napier 1985). Ukuran kelompok juga akan mempengaruhi wilayah jelajah (Supriatna & Wahyono 2000). Menurut Clutton-Brock & Harvey (1977), wilayah jelajah kelompok primata cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya total biomassa kelompok. Akan tetapi, peningkatan ukuran kelompok pada jenis colobine asia ketika terjadi kelangkaan daun muda tidak menyebabkan peningkatan luas wilayah jelajah karena jenis ini mampu beralih memanfaatkan dedaunan tua (Yeager & Kirkpatrick 1998). P.comata dengan ukuran kelompok 4-19 individu memiliki wilayah jelajah sekitar 9-20 ha (Supriatna & Wahyono 2000). Lokasi penyebaran di TNGC dijumpai di 28 lokasi

atau blok, yang mencakup delapan resort pada dua wilayah seksi pengelolaan (Kuningan dan Majalengka). Data lokasi penyebaran spasial P.comata di TNGC secara lengkap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran spasial P.comata di SPTN Kuningan

Nama Lokasi Tipe Hutan Ukuran

Kelompok

Koordinat Loksi

X/E Y/S

Cipariuk/Mandirancan Dataran Rendah 10 108,44565o 6,88375o

Cibunian/Cigugur Sub Pegunungan 12 108,42712o 6,93864o Cigowong Hilir/Cigugur 7 108,42096o 6,94200o Lembah Cilengkrang/jalaksana 12 108,44419o 6,88778o Manduraga/Cilimus 5 108,43697o 6,88311o Sayana/Jalaksana 2 108,41382o 6,93888o Cadas Poleng/Cigugur 6 108,42704o 6,93836o Kinina/Cigugur 10 108,42615o 6,93875o Mata Air Cigedong/Mandirancan 6 108,44578o 6,88386o

Pos Pendakian Kondang

Amis/Cilimus 4 108,44439o 6,88647o Sayana Atas/jalaksana 4 108,41382o 6,93888o Cigowong Kuta/Cigugur Pegunungan 2 108,40676o 6,93116o Pangguyangan Badak/Cigugur 3 108,40336o 6,92606o

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebaran lokasi P.comata di Seksi Kuningan terbesar dijumpai pada tipe hutan subpegunungan yaitu di Blok Cibunian dan Cilengkrang. Kedua lokasi memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu topografi berupa lembah yang cukup luas, terdapat mata air yang mengalir sepanjang tahun serta keberadaan tumbuhan pakan yang banyak. Jenis tumbuhan pakan di Blok Cibunian sebanyak 53 jenis dan di Blok Cilengkrang sebanyak 48 jenis. Jumlah koloni terkecil dijumpai pada tipe hutan pegunungan. Akan tetapi pengamat meyakini bahwa jumlah tersebut adalah jumlah minimal, masih banyak

P.comata yang belum dijumpai. Hal ini terjadi karena sensitifitas P.comata yang

tinggi terhadap kehadiran manusia dan keterbatasan pengamatan yang disebabkan oleh kondisi topografi curam dan vegetasi yang rapat.

Sebaran spasial lokasi perjumpaan dengan P.comata di wilayah Seksi Majalengka adalah Resort Sangiang, Argalingga, Gunung Wangi, Argamukti, dan Resort Bantaragung. Rincian sebaran P.comata di SPTN Majalengka pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran spasial P.comata di SPTN Majalengka

Nama Lokasi Tipe Hutan Ukuran

Kelompok

Koordinat Lokasi

X/E Y/S

Awi Lega/Bantar Agung

Dataran Rendah 3 108,38467o 6,88836o Gunung Larang/Bantar Agung 13 108,37925o 6,88922o Haur Cucuk/Argalingga 8 108,22002o 6,52494o Parahu/Bantar Agung 3 108,37925o 6,88922o Pasir Ipis/Argalingga 12 108,22212o 6,51323o Arpesi/Argamukti Sub Pegunungan 2 108,43556o 6,85736o Kalawija/Argamukti 8 108,22201o 6,54112o Saninten/Argalingga 4 108,21473o 6,50572o Arban Gn. Pucuk/Argamukti Pegunungan 5 108,40408o 6,82628o Dilem/Argalingga 4 108,39592o 6,90986o Grogol/Argamukti 18 108,38364o 6,91717o Gunung Pucuk /Argamukti 15 108,39418o 6,92258o Kolepat /Argalingga 8 108,38364o 6,91717o Mongor Buntu/Argamukti 11 108,42581o 6,86278o

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah koloni terbesar pada tipe hutan dataran rendah dijumpai di Blok Gunung Larang sebanyak 13 ekor, di tipe hutan subpegunungan kolini terbesar dijumpai di Blok Kalawija sebanyak 8 ekor, dan jumlah koloni terbesar pada tipe hutan pegunungan adalah di Blok Grogol sebanyak 18 ekor. Pada saat pengamatan di lapangan pengamat tidak menjumpai individu P.comata yang menyendiri (soliter) akan tetapi dijumpai secara berkelompok dengan jumlah minimal dua ekor.

Jenis tumbuhan yang ditemukan pada habitat P.comata di hutan dataran rendah sebanyak 55 jenis, tergolong ke dalam 25 famili. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang sebanyak 35 jenis, tingkat tiang sebanyak 23 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 36 jenis. Tingkat pertumbuhan yang memiliki keanekaragaman paling tinggi adalah tingkat tiang dan yang paling rendah adalah tingkat pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’), pada tingkat pancang sebesar 2,52, tingkat tiang sebesar 2,95 dan tingkat pohon sebesar 3,42.Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan yang paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang sebesar 1220,00 ind/ha, tingkat tiang sebesar 320 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 178,75 ind/ha. Jenis yang memiliki kerapatan paling tinggi pada tingkat pancang adalah kipare

Dokumen terkait