• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Study of Cohabitation In The Use of Spaces P.comata (Trachypithecus Auratus) with Surili (Presbytis Comata Desmarest, 1822) on Mount Ciremai National Park.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Study of Cohabitation In The Use of Spaces P.comata (Trachypithecus Auratus) with Surili (Presbytis Comata Desmarest, 1822) on Mount Ciremai National Park."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOHABITASI PENGGUNAAN RUANG

LUTUNG JAWA DENGAN SURILI DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG CIREMAI PROVINSI JAWA BARAT

WAKIDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Kohabitasi Penggunaan Ruang Lutung Jawa dengan Surili di Taman Nasional Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Wakidi NIM E351110011

(4)

RINGKASAN

Studi kohabitasi penggunaan ruang Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) dengan Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822) Di Taman Nasional Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO BAMBANG W

Informasi tentang penggunaan ruang dan pemanfaatan sumber pakan spesies yang berkohabitasi sangat penting bagi konservasi satwa liar. Studi primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui pola penggunaan ruang oleh Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata), 2) Mengetahui luas relung ekologi (Niche Breadth) Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata), 3) Mengetahui besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche

overlap ecologi) Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata),

Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan Oktober 2012 sampai dengan Bulan Februari 2013. Dalam penelitian ini dihitung besarnya derajat asosiasi interspesifik antara Lutung Jawa dengan Surili dengan menggunakan Indeks

Jaccard. Pengumpulan data dilakukan dengan melalui pengamatan langsung dan

wawancara dengan petugas lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu focal animal sampling pada lokasi yang diduga terdapat Lutung Jawa, Surili maupun daerah yang terjadi kohabitasi antara Lutung Jawa dengan Surili di TNGC. Unit contoh penelitian ini adalah Lutung Jawa, Surili dan pohon yang digunakan oleh kedua spesies baik sendiri maupun digunakan secara bersamaan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peta TNGC, 1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter, 1 buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buah phiban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia perangkat lunak Arcview 3.3 dan SPSS 16.0 for Windows.

Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa sebaran sapsial aktifitas dalam dimensi ruang berupa rata-rata pemanfaatan ruang horizontal pada wilayah jelajah T.auratus adalah 5,14 ha, untuk P.comata 5,31 ha. Luas jelajah P.comata lebih besar dibandingkan dengan luas jelajah T.auratus hal ini disebabkan oleh keberadaan jenis sumber pakan P.comata (75 jenis) lebih sedikit dibandingkan jumlah jenis pakan T.auratus (82 jenis) menyebabkan pergerakan P.comata dalam mencari pakan akan lebih jauh dibandingkan pergerakan T.auratus. Sedangkan untuk pemanfaatan ruang vertikal rata-rata ketinggian yang dimanfaatkan oleh

T.auratus 27,72 m, sedangkan rata-rata ketinggian yang dimanfaatkan oleh

P.comata 27,5 m. Penggunaan ruang vertikal oleh T.auratus dan P.comata

memiliki kesamaan, hal ini terkait dengan keberadaan sumber pakan pada strata tajuk pohon pakan, diketahui bahwa kedua spesies merupakan jenis primata pemakan daun.

Perhitungan luas relung ekologi (Niche Breadth) dalam penggunaan sumberdaya pakan oleh T.auratus adalah 0,7811 pada taraf nyata (selang kepercayaan 95%), batas bawah dan atas nilai FT T.auratus adalah.. 0,7090 < FT< 0,8439 sedangkan luas relung ekologi .P.comata adalah 0,7615 nilai FT

(5)

atas nilai FT P.comata adalah 0,6834 < FT< 0,8298. Luas relung ekologi

T.auratus lebih besar dibandingkan luas relung ekologi P.comata. Perhitungan

nilai luas relung dengan memperhatikan sumberdaya pakan yang dipergunakan oleh kedua spesies.

Besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche overlap ecologi) spesies

T.auratus dan P.comata. sebesar 0,999. Tumpang tindih relung( niche overlape)

terjadi karena penggunaan sumber daya pakan oleh kedua spesies memiliki banyak kesamaan. Akan tetapi dalam penggunaan sumberdaya pakan yang sama dilakukan secara bergantian dengan periode waktu berbeda sehingga tidak terjadi konflik antara T.auratus dan P.comata.

(6)
(7)

SUMMARY

WAKIDI The Study of Cohabitation In The Use of Spaces P.comata (Trachypithecus Auratus) with Surili (Presbytis Comata Desmarest, 1822) on Mount Ciremai National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and NOVIANTO BAMBANG W.

The Information on the use of space and the utilization of species feed resource which is critical cohabitating to the wildlife conservation. Primate studies have successfully demonstrated obvious difference regarding the selection of feed and the utilization of the habitat in the recess. This research aimed at 1 ) finding out the use patterns of space by Javan Lutung (T.Auratus ) and Surili (

P.Comata ) 2 ) finding out the broad-ecological niches (niche breadth ) Javan

Lutung (T.Auratus ) and Surili (P.Comata) 3 ) finding out the overlapping ecological niches ( niche overlap ecology ) Javan Lutung (T.Auratus ) and Surili (

P.Comata )

This study has been carried out in October 2012 until February 2013. This study calculates the amount of interspesific degrees association between Javan Lutung and Surili by using Index Jaccard. Collecting data is completed by direct observation and interview with the field agents. The method used in this study is

focal animal sampling on the estimated site of Javan Lutung, Surili as well as the

regional that cohabitation happened between Javan Lutung and Surili in TNGC. The samplings of this study are Javan Lutung, Surili, and trees that are used either individually or simultaneously. The equipments used in this study are TNGC map, Shunto compass, 1 piece of binoculars 8x21 Konica, 1 hagameter, 1 GPS

receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 piece of meter ribbon, 2 phiban, 1 digital

camera Olympus E420, 1 stopwatch, rope software Arcview 3.3 and SPSS 16.0

for Windows.

The results of the analysis and discussion show that distribution of spatial activity in spatial dimensions are the average of horizontal space on T.auratus ranges 5,14 ha, and on P.comata 5,31 ha. The Broad range of P.Comata is larger than the broad range of T.Auratus, it is caused by the existence of the feed resources P.Comata (75 types) is smaller than those kinds of feed T.Auratus ( 82 types ) that cause motion P.Comata in finding feed will be further than movement of T.Auratus.Whereas the utilization of vertical space of average height that utilized by T. Auratus is 27,72 m, while the average altitude is utilized by P.

Comata is 27.5 m.The use of vertical space by T. Auratus and S. Comata have in

common. This is related to the existence of a source of feed on the feed tree canopy strata. It is known that the two species of primate is a species of leaf-eaters.

(8)

FT. P. Comata is 0,6834 < FT < 0,8298. The broad ecological niches of T.

Auratus is larger than the broad ecological niches of P. Comata. The calculation

of the value of the niche area of feed resources by taking into account that is used by both species.

The magnitude of overlapping ecological niche (Niche overlap ecology) T.

Auratus and S. Comata species is 0,999. The overlap of the niche (niche overlape)

occurred because of the use of feed resource by both species have much in common. However, in the use of the identical feed resources is done alternately with different time periods so that no conflicts between T. Auratus and P. Comata.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

STUDI KOHABITASI PENGGUNAAN RUANG LUTUNG

JAWA DENGAN SURILI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG

CIREMAI PROVINSI JAWA BARAT

WAKIDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak 12 Oktober 2012 hingga 28 Februari 2013 ialah kohabitasi spesies, dengan judul Studi Kohabitasi Penggunaan Ruang Lutung Jawa

(Trachypithecus auratus) dengan Surili (Prespbhytis comata) Di Taman Nasional

Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa,DEA dan Bapak Dr.Ir. Novianto Bambang W,M.Si. selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Nyoto Santoso,MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Taman Nasinal Gunung Ciremai berserta Staf, yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Istriku (Maya Indah Nurjanah,S.Pd.) dan anakku (Aliyah Fatinah Ramadhan) serta seluruh keluarga besar, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Tujuan penelitian 2

Manfaat penelitian 2

Kerangka pemikiran 3

2 METODE PENELITIAN 3

Lokasi dan Waktu 3

Alat dan bahan 3

Jenis data 4

Metode pengumpulan data 4

Metode Analisis data 9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Sebaran spasial Lutung Jawa di TNGC 13

Sebaran spasial Surili di TNGC 19

Penggunaan ruang horizontal 24

Penggunaan ruang vertikal 27

Luas relung ekologi 33

Karakteristik pohon media kohabitasi 35

Implikasi terhadap pengelolaan TNGC 36

4 SIMPULAN DAN SARAN 38

Simpulan 38

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 42

(16)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan 13

2 Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka 14

3 Sebaran spasial P.comata di SPTN Kuningan 20

4 Sebaran spasial P.comata di SPTN Majalengka 21

5 Luas wilayah jelajah T.auratus di TNGC 24

6 Luas wilyah jelajah P.comata di TNGC 25

7 Penggunaan ruang horizontal T.auratus dan P. comata yang

berkohabitasi di TNGC 27

8 Rata-rata posisi ketinggian aktifitas harian T.auratus 29 9 Rata-rata posisi ketinggian aktifitas harian P.comata 31 10 Karekteristik pohon media kohabitasi antara T.auratus 37

11 Bentuk tajuk dan keberadaan pakan 37

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk petak analisis vegetasi metode jalur berpetak 8 2 Proposi bagian tumbuhan pakan yang dimakan T.auratus 18 3 Proporsi bagian tumbuhan pakan yang dimakan P.comata 23 4 Wilayah jelajah T.auratus. Dan P.comata yang berkohabitasi 26

5 Grafik posisi ketinggian aktifitas T.auratus 28

6 Grafik posisi ketinggian aktifitas P.comata 31

7 Grafik rata-rata posisi ketinggian aktifitas T auratus

Dan P.comata yang berkohabitasi pada setiap strata pohon 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang pada Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan dataran

rendah 42

(17)

3 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan dataran rendah 44 4 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang pada

Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan 45 5 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat tiang pada

Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan 47 6 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada

Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan subpegunungan 48 7 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pancang

pada Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan 50 8 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat tiang pada

Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan 52 9 Kerapatan dan Indeks Keanekaragaman Shannon (H) tingkat pohon pada

Habitat lutung dan surili yang berkohabitasi di hutan pegunungan 54 10 Analisis Luas relung ekologi Lutung Jawa ( T.auratus) 56

11 Analisis Luas relung ekologi Surili (P.comata) 58

12 AnalisisTumpang Tindih relung ekologi T.auratus dengan P.comata 60

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerusakan hutan di indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, kerusakan tersebut memiliki dampak secara masif terhadap kelestarian satwa liar dan terganggunya ekosistem. Akibat terjadinya kerusakan habitat, mendorong satwa-satwa saling berbagi sumberdaya baik dengan cara kompetisi, asosiasi maupun kohabitasi. Indonesia memiliki 40 jenis primata yang berasal dari lima family (Suku), yaitu Pongidae (orangutan), Hylobatidae (owa dan siamang),

Cercophytecidae (monyet dan lutung), Tarsiidae (tarsius/binatang hantu) dan

Nycticidae (kukang/ malu-malu) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Jenis-jenis

primata tersebut tersebar di beberapa pulau besar Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara serta pulau-pulau di sekitarnya

Primata merupakan satwa yang sensitif terhadap perubahan habitat, karena satwa jenis ini sangat bergantung dengan vegetasi hutan, mengingat sumber makananya sebagian besar adalah tumbuhan (Chivar & Raemakers,1980). Menurut Ungar (1995) primata adalah subyek penting dalam mempelajari relung karena kemudahan dalam mengumpulkan data perilaku makan dan strategi pencarian pakan secara detail. Hasil studi tentang primata telah berhasil menunjukkan perbedaan yang jelas mengenai pemilihan pakan dan pemanfaatan habitat dalam relung. Spesies primata membedakan pakannya seperti frugifory

dan folyvory(Clutton-Brock & Harvey 1977), namun sering juga perbedaan pakan

karena alasan lainnya. Sebagai contoh, buah-buahan dipilih primata berdasarkan kemasakannya, ukuran, keasaman dan komposisi kimiawinya (Ungar, 1995). Selain itu ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam pemilihan pakan oleh primata(Kay 1984).

Nilai yang terkandung pada ekologi satwa liar adalah pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas. Teori relung (niche) menyatakan bahwa spesies yang berkohabitasi akan beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan interspesifik dalam memanfaatkan sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Hutchinson (1957) diacu dalam Odum (1993) mengemukakan istilah relung dasar

(fundamental niche) yang merupakan relung ekologi maksimal suatu organisme

dalam keadaan tak berkompetisi dengan sesamanya serta istilah relung nyata

(realized niche) sebagai relung hypervolume organisme dalam keadaan

(20)

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, dengan luas  15.500 Ha. Sebagian kawasan TNGC sebelumnya merupakan wilayah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat seluas 816.603 Ha. Pengelolaan oleh Perum Perhutani menyebabkan sebagian vegetasi hutan di TNGC merupakan hutan tanaman industri. Kondisi hutan yang homogen menyebabkan satwa-satwa kekurangan keanekaragaman pakan (Ungar 1995). Diantara jenis satwa yang terpengaruh terhadap sistem pengelolan tersebut adalah Lutung (Trachypithecus auratus) dan Surili (Presbytis

comata Desmarest, 1822). T. auratus dan P. comata adalah spesies yang

berkohabitasi di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC). Pada primata yang berkohabitasi, persaingan intraspesifik pencarian pakan berkembang seiring dengan semakin besarnya koloni melalui persaingan interferensi (Isbell 1991). Namun data tentang pengaruh eksploitasi pada persaingan spesies yang berkohabitasi masih sangat sedikit (Connell 1983). Oleh karena itu penelitian tentang kohabitasi T. auratus dan P. comata di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC) sangat penting dilakukan.

Tujuan

Penelitian tentang kohabitasi T. auratus dan P.comata di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Jawa Barat bertujuan untuk :

1. Mengetahui pola penggunaan ruang oleh T.auratus dan P. comata

2. Mengetahui luas relung ekologi (Niche Breadth) T.auratus dan P.comata 3. Mengetahui besarnya tumpang tindih relung ekologi (Niche overlap ecologi)

T.auratus dengan P.comata

Manfaat Penelitian

Penelitian tentang kohabitasi penggunaan ruang T.auratus dan P.comata di TNGC diperoleh data tentang sebaran populasi T.auratus dan P.comata, pola penggunaan ruang vertikal, ruang horizontal, luas relung dan tumpang tindih relung, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Sebagai salah satu faktor penting dalam rencana pengelolaan TNGC b. Sebagai acuan untuk penyusunan rencana ekowisata di TNGC

c. Salah satu dasar dalam pengelolaan spesies T.auratus dan P.comata di TNGC.

(21)

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini mengkaji kohabitasi T.auratus dengan P.comata. Kajian ini penting karena di kawasan TNGC kedua primata ini secara umum mempunyai kesamaan sumber pakan dan penggunaan habitat secara bersama yang berimbas pada konservasi sumberdaya. Interaksi interspesifik di antara keduanya seperti persaingan dalam memanfaatkan sumber pakan dan pembagian sumberdaya menjadi salah satu isu perdebatan tentang teori ekologi dan praktek pengelolaan satwa liar.

Kohabitasi yang berlangsung lama menimbulkan terjadinya proses seleksi alam yang mendorong terjadinya perbedaan kesesuaian ekologis spesies dalam komunitas. Akibat selanjutnya adalah terjadinya pemisahan relung (Pianka 1988). Kohabitasi memaksa spesies beradaptasi terhadap lingkungannya untuk mengurangi atau menghindari persaingan interspesifik pada sumberdaya yang terbatas (Pianka 1981). Persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional pada komunitas, serta posisi di dalam gradien suhu, kelembaban, pH, tanah dan keadaan lainnya disebut relung ekologi (Odum 1971).

Grinnell (1928) menyatakan bahwa tidak mungkin dua spesies yang hidup bersama pada suatu habitat dapat menempati relung ekologi yang identik dalam waktu yang lama. Fleagle (1978) menyatakan bahwa relung ekologi kebanyakan merupakan pemanfaatan mikrohabitat oleh suatu spesies yang disebut relung ruang (spatial niche). Studi tentang ekologi satwa liar dipandang penting karena membandingkan segala hal yang berhubungan dengan makanan dan perilaku spesies yang berkohabitasi pada kondisi lingkungan yang mirip (Porter 2001). Penelitian ini berusaha mengukur besarnya tumpang tindih penggunaan ruang, baik secara horizontal maupun vertikal dan mengkaji tingkat kesamaan pemanfaatan tumbuhan sumber pakan antara T.auratus dengan P.Comata.

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di TNGC yang meliputi Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah Kuningan, dan SPTN Wilayah Majalengka pengambilan data dilakukan pada Bulan Oktober 2012 hingga Februari 2013.

Alat Penelitian

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta TNGC, 1 buah kompas Shunto, 1 buah teropong binokuler 8x21 Konica, 1 buah hagameter,1 buah GPS receiver Garmin Maps 76 CSX, 1 buah pita meter, 2 buah

phi ban, 1 buah kamera digital Olympus E420, 1 buah stopwatch, tali rafia, 1 botol

(22)

sheet, bagian tumbuhan yang tidak teridentefikasi, perangkat lunak ArcView 3.3 dan SPSS 16.0 for Windows serta komputer.

Jenis Data Data primer

Data-data primer yang dikumpulkan yaitu : data penggunaan ruang secara vertikal, penggunaan ruang secara horizontal, karakteristik pohon yang menjadi media kohabitas dan karakteristik habitat T.auratus dan P.comata.

Data sekunder :

Data-data sekunder yang dikumpulkan yaitu : peta digital TNGC, daftar jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan dari text book, skripsi, tesis, desertasi, jurnal dan laporan penelitian.

Metode Pengumpulan Data Data Primer

Data primer ekologi diperoleh dengan pendekatan pengamatan langsung

(observational approach) yang merupakan hasil observasi semua unit contoh

(sampling unit) pada kawasan TNGC. Unit contoh untuk penggunaan ruang dan

pemanfaatan tumbuhan sumber pakan adalah pohon yang digunakan T.auratus atau P.comata, juga penggunaan pohon oleh keduannya. Pengamatan aktivitas satwa menggunakan metode Consentration count. Unit contoh pengamatan aktivitas satwa yaitu individu satwa, baik T.auratus atau P.comata, yang dibedakan berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin.

Penetapan Plot Pengamatan

(23)

Pengamatan Aktifitas Satwa

Pengamatan aktifitas satwa berdasarkan perilaku harian dilaksanakan dengan metode scan Techniques dan Ad Libitum. Dengan Scan Techniqu, pengamatan dilakukan terhadap aktifitas primata yang terlihat waktu 30 menit dimana durasi pengambilan data adalah 10 menit. Dengan metode Ad Libitum, pencatatan data dilakukan tanpa ada batasan waktu. Tempat satwa dalam melakukan aktifitas diamati, kemudian frekuensi satwa pada ketinggian tertentu dalam melakukan aktifitas dipersentasekan terhadap frekuensi aktifitas tersebut. Aktifitas yang diamati digolongkan ke dalam 4 aktifitas, yaitu

a. Inative. Perilaku ini meliputi aktifitas diam, seperti : istirahat, memonitoring

ataupun memberikan perhatian pada sesuatu.

b. Feeding. Perilaku ini merupakan aktifitas mencari makan.

c. Traveling. Perilaku berpindah tempat yang meliputi : berjalan, berlari ataupun

meloncat.

d. Social. Perilaku ini meliputi: mencari kutu, berpelukan dan bermain. Perilaku

ini melibatkan anggota kelompok lainnya.

Pengamatan ini dilakukan untuk melihat berbagai aktifitas yang dilakukan kedua spesies pada suatu lokasi yang telah ditentukan. Tehnik pengamatannya adalah

a. Waktu pengamatan pada interval 06.00-18.00 yang dilakukan secara berselang-seling pagi atau sore sesuai dengan pengamatan pendahuluan b. Pengamat berjalan lamban pada jalur pengamatan, sambil mengamati kiri,

kanan, dan di atas jalur. Juga jika memungkinkan dilakukan pengintaian agar tidak terdeteksi oleh T.auratus atau P.comata,

c. Satwa yang teramati dicatat jumlah, lokasi, dan aktifitas selama kurang dari 10 menit. Pendeskripsian lokasi dengan metode recoqnaissance (pengamatan sepintas), pemotretan, dan catat koordinat dengan GPS (tujuannya untuk memetakan keberadaan satwa), jejak T.auratus atau P.comata, (kotoran, bekas makan) yang teramati dicatat kondisi jejak dan keterangan-keterangan lainnya dalam tally sheet serta didokumentasikan.

Pemanfatan Ruang Vertikal

Pemanfaatan ruang vertikal oleh T.auratus dan P.comata, diukur berdasarkan ketinggian tajuk pohon secara absolut dan relatif. Pada ruang vertikal absolut menurut Rahayuni (2007) ketinggian pemanfaatan ruang pohon oleh satwa dikatagorikan menjadi beberapa interval.

Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur posisi ketinggian aktivitas T.auratus atau P.comata pada pohon saat sendirian dan berada secara bersamaan. Data yang dikumpulkan meliputi :

1. Waktu pengumpulan data meliputi hari, tanggal dan kondisi cuaca.

2. Posisi ketinggian aktifitas satwa. Data posisi ketinggian aktivitas satwa diukur dalam meter (m) meliputi posisi ketinggian aktifitas satwa pada strata tajuk hutan tropis di TNGC. Penggolongan strata tajuk hutan A (> 30 m), B (26-30 m), C (21-25 m), D (16-20), E (11-15 m), F(6-10 m), dan G (< 5 m). 3. Lama aktifitas. Aktifitas satwa terdiri dari aktifitas berpindah, makan,

(24)

kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktifitas yang termasuk dalam aktifitas makan meliputi makan, minum dan foraging. selanjutnya, aktifitas istirahat yang diamati meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Sedangkan aktifitas sosial yang diamati meliputi social grooming, kawin, bermain, berkelahi, belajar berkelahi dan belajar kawin.

4. Peubah pohon yang diamati meliputi ukuran tajuk dan bentuk tajuk yang di tuliskan secara deskriptif

Pemanfatan Ruang Horizontal

Data penggunaan ruang secara horizontal berupa bentuk lintasan, panjang lintasan dan wilayah jelajah dikumpulkan dengan cara mengambil titik koordinat wilayah jelajah lutung atau surili dengan menggunakan Global Position Sistem (GPS) mulai dari lokasi tidur hingga kembali ke pohon tempat tidurnya. Selain itu juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah T.auratus dan P.comata daerah tumpang tindih wilayah jelajah keduanya serta daerah yang tidak terdapat kedua satwa tersebut.

Pemanfaatan Pohon Pakan

Pemanfaatan pohon pakan T.auratus dan P.comata meliputi parameter-parameter sebagai berikut:

a. Tinggi pohon dan ketinggian tempat pada pohon sewaktu satwa makan. b. Jenis dan bagian makanan yang dimakan, berupa daun, buah dan biji, serta

bunga. Penggolongan buah dan biji dalam satu kesatuan dilakukan untuk memudahkan pengamatan, karena pada saat aktifitas makan sulit diketahui secara pasti apakah satwa tersebut hanya memakan buah saja, biji saja atau pun buah dan biji sekaligus.

Jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan sekaligus dicatat untuk penghitungan luas relung (niche) ekologi masing-masing jenis berdasarkan pemanfaatan sumberdaya pakan. Selanjutnya. Tabel resource matrix dibuat untuk penghitungan luas niche ekologi serta tumpang tindih relung ekologi dalam hal pakan.

Karakteristik Pohon Tidur

Pengamatan terhadap pohon yang digunakan oleh T.auratus atau P.comata ditandai oleh perjumpaan pada awal pagi. Pada saat pengamatan satwa diasumsikan belum berpindah dari pohon tidur. Parameter yang diamati meliputi: jenis, ketinggian pohon, bentuk percabangan, hubungannya dengan tajuk pohon sekitarnya dan komposisi individu dalam satu pohon.

Karakteristik Pohon Media Kohabitasi

(25)

(TP), diameter setinggi dada (DBH), tinggi bebas cabang (TBC), diameter tajuk (DT), tinggi tajuk (TT), bentuk tajuk (BT) dan keberadaan pakan (KP). Bentuk tajuk (BT) dibedakan dalam tujuh bentuk dasar yaitu irregular, vase, oval,

pyramidal, fastigate/columnar, round dan weeping (Grey & Deneke 1978).

Habitat Lutung Jawa (T.auratus) dan Surili (P.comata)

Habitat merupakan komponen penting bagi T.auratus, P.comata dan satwa liar lainnya sebagai tempat mereka makan, minum, berkembang biak hingga kegiatan sosial. Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwa liar (Alikodra, 2002). Pada penelitian ini akan dikumpulkan data habitat baik abiotik maupun biotik.

Komponen abiotik yang dikaji dalam penelitian ini meliputi ketinggian, sumber air, kelerengan, jarak dengan pemukiman, jarak dengan perkebunan, jarak dengan jalan umum dan aktivitas manusia. Teknik pengumpulan data komponen abiotik adalah sebagai berikut:

a. Kelerengan lahan. Pengukuran kelerengan lahan dilakukan dengan cara menelaah peta kontur, peta rupa bumi, dan peta kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

b. Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan GPS.

c. Jarak terhadap jalan, sumber air, pemukiman dan lahan pertanian atau perkebunan diperoleh dengan mencatat titik koordinat jalan, sumber air, lokasi pemukiman, perkebunan/pertanian masyarakat, dengan menggunakan GPS. Titik koordinat tersebut dipetakan dalam peta kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai selanjutnya diukur jaraknya terhadap titik koordinat dimana

T.auratus atau P.comata ditemukan. .

Karakteristik Habitat

Data karakteristik habitat diperoleh melalui analisis vegetasi. Arsitektur tegakan digambarkan oleh keadaan sebaran, komposisi jenis, diameter dan tinggi pohon, luas tajuk dan proyeksi tajuk. Untuk mendapatkan pola arsitektur tegakan di habitat primata, dilakukan pemetaan sebaran jenis pohon, tinggi pohon, tinggi bebas cabang, lebar tajuk, diameter pohon dan proyeksi tajuk terhadap permukaan tanah. Analisis vegetasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi vegetasi habitat T.auratus atau P.comata di Taman Nasional Gunung Ceremai. Melalui kegiatan ini diperoleh tingkat kerapatan, keragaman dan kelimpahan spesies.

Banyaknya petak sampel minimum dalam penelitian ini adalah sepuluh petak. Jumlah petak sampel ini sama sebagaimana disarankan Gotelli & Ellison (2004): untuk mengatasi permasalahan penentuan jumlah sampel, banyaknya sampel minimal adalah tiga ulangan, baik bersifat snapshot maupun trajectory. Penentuan ini tidak didasarkan pada teori dasar observasi lapangan, melainkan lebih didasarkan pada pengalaman di lapangan (Gotelli & Ellison 2004). Supaya bisa menggambarkan kondisi habitat yang diamati, penempatan kesepuluh petak pengamatan sampel mempertimbangkan aktivitas kelompok T.auratus atau

(26)

vegetasi ditempatkan pada titik perjumpaan dan lintasan.Penempatan petak lagi pada lokasi yang topografi dan penutupan lahan yang berbeda, tetapi masih di dalam habitat T.auratus dan P.comata. Pertimbangan-pertimbangan demikian diharapkan bisa mewakili setiap kondisi habitat yang diamati.

Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan jalur berpetak. Dalam metode ini terlebih dahulu di tentukan arah yang akan dilakukan analisis vegetasi pada titik tertentu sebagi titik pengamatan dengan intensitas sampling (IS) 2% dari luas wilayah jelajah masing-maasing jenis. Petak sampel vegetasi ditempatkan pada titik perjumpaan dan lintasan T.auratus dan P.comata, dan beberapa petak lagi ditempatkan pada lokasi yang topografi dan penutupan lahan yang berbeda, tetapi masih di dalam habitat T.auratus dan P.comata, dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan tesebut diharapkan bisa mewakili setiap kondisi habitat T.auratus dan P.comata yang diamati. Data yang diambil adalah jenis tiang, pancang dan pohon. Pengambilan data tingkat pancang, tiang dan pohon dilakukan karena menurut Gunawan et al. (2008), T.auratus banyak memanfaatkan strata B (20–30 m) dan C (4–20 m) untuk berbagai aktifitasnya, dan tidak pernah terlihat pada strata D (ketinggian 1-4 m) dan E (ketinggian <1 m) dengan asumsi yang sama juga diterapkan pada spesies T.auratus. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut:

a. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,50 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm;

b. Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm; c. Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih

A B C

Gambar 1. Bentuk petak analisis vegetasi metode jalur berpetak Keterangan :

A. Petak pengukuran tingkat tiang ukuran 5 m x 5 m

B. Petak pengukuran tinggkat pancang ukuran 10 m x 10 m C. Petak pengukuran tingkat pohon ukuran 20 m x 20 m

Tumbuhan Sumber Pakan

Data jenis tumbuhan sumber pakan meliputi nama daerah, nama latin, famili dan bagian yang dimakan. Data ini berupa daftar semua tumbuhan yang potensial sebagai sumber pakan T.auratus atau P.comata berdasarkan penelitian sebelumnya yang berupa skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan jurnal.

Data Sekunder

(27)

MetodeAnalisis Data Penggunaan Ruang Vertikal

Informasi aktifitas T.auratus dan P.comata dianali is dengan dua cara yaitu deskriptif dan kuantitatif . Data informasi secara deskriptif untuk menggambarkan seluruh jenis aktifitas T.auratus atau P.comata yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan. Sedangkan data informasi secara kuantitatif untuk menjelaskan hubungan frekuensi dan intensitas a ktifitas yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan. Analisis data penggunaan ruang secara vertikal ini meliputi :

Ketinggian Aktifitas Lutung dan Surili

Data posisi ketinggian aktifitas lutung dan surili (berpindah, makan, sosial dan istirahat) pada unit contoh (pohon) diolah dengan Independent-Samples T Test dengan hipotesis yang digunakan adalah :

H0 = rata-rata posisi ketinggian setiap aktifitas lutung atau surili pada pohon tidak berbeda nyata, dan

H1 = rata-rata posisi ketinggian setiap aktifitas lutung atau surili pada pohon berbeda nyata.

Hipotesis di uji dengan metode khi-kuadrat, dengan persamaan sebagai berikut:

X2 = Keterangan:

Oij = Nilai amatan ke-ij Eij = Nilai harapan ke-ij

Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan Uji khi-kuadrat (X2), jika X2hitung > X2tabel maka H1 diterima, selang kepercayaan yang di pakai adalah 95 %.

Analisis Waktu Aktifitas

Data pengamatan waktu aktifitas T.auratus dan P.comata pada unit contoh (pohon) dianalisis dengan Independent-Samples T Test dengan hipotesis yang digunakan adalah:

1. Waktu yang digunakan T.auratus dan P.comata penggunaan waktu aktifitas lutung dan surili adalah : H0 = penggunaan waktu oleh semua individu adalah sama H1 = penggunaan waktu oleh semua individu adalah tidak sama.

2. Penggunaan waktu oleh T.auratus dan P.comata berdasarkan ketinggian pohon adalah :

H0 = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian pohon adalah sama.

H1 = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas ketinggian pohon adalah tidak sama

(28)

X2 =

Keterangan:

Oij = Nilai amatan ke-ij Eij = Nilai harapan ke-ij

Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan khi-kuadrat (X2), jika X2hitung > X2tabel maka H1 diterima, selang kepercayaan yang di pakai adalah 95%.

Penggunaan Ruang Horizontal

Penggunaan ruang horizontal yang dilakukan oleh T.auratus dan P.comata didasarkan pada pengamatan pergerakan yang dihitung sebagai jarak-lurus antara dua titik yang berkesinambungan pada peta panjang lintasan harian T.auratus dan

P.comata didapat dengan menghitung jumlah pergerakan (total panjang garis

lurus dari titik-titik yang berurutan) selama pengamatan, sedangkan untuk mendapatkan luasan wilayah jelajah, metode analisis yang digunakan adalah metode minimum convex polygon (MCP), yang merupakan wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer ArcView GIS 3.2. Analisis dilakukan dengan cara menghubungkan titik-titik koordinat terluar (maximum

convex polygon) tempat lutung dan surili beraktivitas. Berdasarkan hasil analisis

akan diperoleh luas penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah masing-masing koloni lutung atau surili. Selain itu juga dilakukan analisis vegetasi pada wilayah jelajah T.auratus, wilayah jelajah P.comata dan daerah tumpang tindih wilayah jelajah keduanya.

Analisis Luas Relung (Niche Breadth)

Perhitungan dan analisis luas relung T.auratus dan P.comata dilakukan dengan persamaan Smith (1978) dalam krebs (1982), pengukuran luas relung

(niche breadth) dilakukan dengan memasukan keberadaan sumberdaya yang

digunakan oleh spesies dengan rumus:

Keterangan:

Pj : proposi sumberdaya yang digunakan individu yang dijumpai Aj : Proporsi sumberdaya-j terhadap total sumberdaya

Untuk sampel yang besar dengan selang kepercayaan 95 % untuk FT diperoleh dengan menggunakan arcsine transformation sebagai berikut.

(29)

Keterangan: X = Arcsin (FT)

Y = Jumlah total individu yang dipelajari =  Nj

Derajat Asosiasi Interspesifik dan Tumpang Tindih Relung (Niche Overlap) Derajat Asosiasi Interspesifik

Asosiasi interspesifik antara T.auratus dan P.comata dihitung dengan menggunakan Indeks Jaccard (JI). Pemilihan Indeks Jaccard dikarenakan indeks ini lebih teliti dan tidak bias baik pada populasi besar maupun kecil (Goodall 1973). Indeks ini mengindikasikan ada tidaknya asosiasi antara T.auratus dengan

P.comata. Asosiasi interspesifik yang dihitung meliputi asosiasi jenis tumbuhan

sumber pakan, asosiasi penggunaan jenis pohon dan asosiasi posisi ketinggian aktifitas. Indeks Jaccard = 0 berarti tidak ada asosiasi dan jika indeks = 1 berarti terdapat asosiasi maksimal.

Keterangan: Ji = Indeks Jaccard

a = jumlah unit contoh yang digunakan T.auratus bersamaan dengan P.comata b = jumlah unit contoh yang hanya digunakan T.auratus

c = jumlah unit contoh yang hanya digunakan P.comata

Tumpang Tindih Relung (Niche overlap)

Perhitungan tumpang tindih relung (niche overlap percentage) dan indeks tumpang tindih relung dengan menggunakan persamaan Morisita (Simplified

Morisita’s Index). Pemilihan indeks Morisita karena indeks ini merupakan indeks terbaik dan tidak terpengaruh oleh pengulangan dengan persamaan sebagai berikut:

CH =

Keterangan :

Ch = indeks tumpang tindih relung Morisita antara spesies j dengan spesies k

pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesies j

pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesies k

n = jumlah jenis sumberdaya pohon

Persentase tumpang tindih relung dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

(30)

Keterangan :

Pjk = persentase tumpang tindih relung antara spesies j dengan spesies k

Pij = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh spesies-j

Pik = proporsi sumberdaya i dari total sumberdaya yang dimanfaatkan oleh

spesies k

n = jumlah total sumberdaya yang ada

Tumpang tindih penggunaan ruang secara horizontal atau wilayah jelajah dihitung dengan menggunakan persentase tumpang tindih relung dengan cara menampalkan peta wilayah jelajah koloni T.auratus dengan koloni P.comata. Berdasarkan hasil penampalan kedua peta tersebut maka diketahui luas daerah yang tumpang tindih.

Analisis Vegetasi

Komposisi jenis dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif tumbuhan yang mencerminkan tingkat penyebaran, dominansi dan kelimpahannya dalam suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah kerapatan masing-masing jenis saja. Nilai-nilai ini dapat dinyatakan dalam nilai mutlak maupun nilai relatif, yang dirumuskan mengikuti :

Analisis Kerapatan Jenis Pakan

Kerapatan (K) =

Analisa Keanekaragaman Jenis Pakan

Keanekaragaman jenis pakan, menggunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978) :

H’ = -

pi

.

ln

pi

Dimana :

H’ = Indeks Keragaman Shannon-Wiener Pi = Proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)

Keterangan untuk Nila H’

H’<1 = Kondisi Keragaman Rendah H’ =1 – 3 = Kondisi Keragaman Sedang

(31)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Spasial Lutung Jawa (T.auratus)

T.auratus merupakan salah satu satwa primata yang terdapat di TNGC,

keberadaan T.auratus merupakan salah satu indikator bahwa kawasan konservasi TNGC merupakan habitat yang cocok bagi perkembangbiakan T.auratus dan primata lainnya. Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, diketahui bahwa persebaran di TNGC tersebar pada 28 lokasi yang mencangkup 9 dari 11 Resort di Wilayah Seksi Kuningan dan Majalengka. Data rincian sebaran T.auratus di SPTN Kuningan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan

Blok/Resort Tipe Hutan Jumlah

Cibunian/Cigugur 17 108,42712o 6,93864o

Cigowong Kuta/Cigugur 8 108,42096o 6,94200o

Cipariuk/Mandirancan 8 108,44565o 6,88375o

Cadas Poleng/Cigugur

Subpegunungan

4 108,42704o 6,93836o

Cigedong /Mandirancan 4 108,44578o 6,88386o

Kinina/Cigugur 8 108,42615o 6,93875o

Kondang Amis /Cilimus 6 108,44872o 6,89950o

Kopi Gede/Jalaksana 4 108,41432o 6,93864o

Sayana Atas/Jalaksana 4 108,41382o 6,93888o

P. Badak/Cigugur Pegunungan 12 108,40336o 6,92606o

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebaran lokasi T.auratus di Seksi Kuningan terbesar dijumpai pada tipe hutan dataran rendah yaitu di Blok Ciayakan dan Blok Cibunian. Kedua lokasi memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu topografi berupa lembah yang cukup luas, terdapat mata air yang mengalir sepanjang tahun serta keberadaan tumbuhan pakan yang banyak. Jenis tumbuhan pakan di Blok Cibunian sebanyak 53 jenis dan di Blok Ciayakan sebanyak 52 jenis. Selain itu kedua blok oleh masyarakat sekitar merupakan daerah yang ―dikramatkan‖, sehingga masyarakat sangat jarang ke lokasi tersebut. Kearifan lokal masyarakat disekitar Blok Ciayakan dan Blok Cibunian juga terlihat dari adanya kepercayaan dan larangan untuk mengambil kayu di kedua blok meskipun kayu tersebut mati ataupun roboh secara alami. Dampak positif dari kearifan lokal masyarakat di sekitar terhadap populasi T.auratus adalah jumlah populasi besar dan tersedianya tumbuhan pakan.

(32)

dibandingkan pada tipe hutan dataran rendah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap lokasi di sekitar blok-blok yang dijumpai merupakan daerah yang berada pada daerah bekas lokasi hutan tanaman industri yang dulu dikelola oleh Perum Perhutani. Perjumpaan koloni T.auratus pada tipe hutan pegunungan di SPTN Kuningan hanya dijumpai di Blok Pangguyangan Badag sebanyak 12 ekor. Jumlah tersebut kemungkinan bisa lebih besar, hal ini terjadi karena keterbatasan pengamatanyng disebabkan kondisi topografi yang curam, vegetasi yang rapat serta sensitifitas T.auratus yang tinggi.

Sebaran lokasi perjumpaan dengan T.auratus di wilayah Seksi Majalengka adalah Resort Sangiang, Argalingga, Gunung Wangi, Argamukti, dan Resort Bantaragung. Data rincian sebaran T.auratus di SPTN Majalengka pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka

Blok/Resort Tipe Hutan Jumlah

Situ Sangiang/Sangiang 38 108,20203o 6,56417o

Arpesi/Argamukti

Subpegunungan

8 108,43556o 6,85736o

Batu gajah/Argalingga 6 108,22104o 6,53581o

Batu Segara/Argamukti 4 108,22200o 6,54112o

Lempah Masawa/Bantar

Agung 2 108,38217o 6,91044o

Lempah terong /Argalingga 2 108,38031o 6,90836o

Loji/Argamukti

Pegunungan

9 108,42581o 6,86278o

Bedeng/Argamukti 2 108,15630o 6,55201o

Cikolomberan/Argamukti 8 108,22292o 6,55084o

Grogol/Argamukti 4 108,22241o 6,55455o

Kebon teh/Argamukti 2 108,22231o 6,55455o

Kolepat/Argalingga 4 108,38364o 6,91717o

Legok Jumena/Argamukti 6 108,22231o 6,54209o

Mongormasi/Argamukti 2 108,22289o 6,54090o

Sayang kaak/Argamukti 5 108,22134o 6,55173o

(33)

karena terjadinya fragmentasi habitat akibat pengelolaan pada masa lalu intensif oleh Perum Perhutani sebelum menjadi Taman Nasional.

Langkanya penelitian terkait populasi T.auratus di TNGC menyulitkan peneliti dalam mendapatkan gambaran tentang penyebaran populasi T.auratus di TNGC secara lebih lengkap. Tidak hanya di TNGC, penelitian tentang ekologi dan penyebaran primata di kawasan konservasi dan kawasan lainnya, baik penelitian pada tingkat populasi maupun di tingkat individu masih terbatas (Supriatna et al. 1994). Penelitian sebelumnya terkait penyebaran T.auratus di TNGC baru terbatas pada SPTN Wilayah Majalengka yaitu di daerah Situ Sangiang Resor Sangiang, merupakan lokasi dengan jumlah koloni terbesar (Setya

et. Al. 2011).

Masih terdapatnya T.auratus di TNGC menandakan bahwa kawasan konservasi ini masih mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi kelompok ini. Menurut Caughley & Sinclair (1994), ada beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi penyebaran mahluk hidup yaitu iklim, subtrat, supply makanan, habitat, predator, dan patogen. Menurut Mac Fadyen (1963), salah satu faktor yang menentukan penyebaran satwa adalah terkait dengan kebutuhan biologi satwa itu sendiri, terutama kebutuhan pakan dan reproduksi. Baik pada skala zoogeografi maupun ekologi, penyebaran satwa merupakan hasil interaksi antara dua jenis faktor, yakni sejarah penyebaran masa lalu dan kebutuhan biologi dari satwa itu sendiri. Faktor-faktor yang menentukan penyebaran spasial satwa sering menjadi hal yang misterius bagi manusia (MacFadyen 1963).

Berkelompok merupakan salah satu strategi satwa untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, terutama dari predator (Cowlishaw & Dunbar 2000). Berkelompok juga dapat meningkatkan peluang dalam mendeteksi keberadaan predator karena adanya kewaspadaan kolektif. Dengan bertambahnya ukuran kelompok, kemampuan mangsa dalam mendeteksi pemangsa akan semakin besar (Cowlishaw & Dunbar 2000). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan tidak menjumpai individu soliter. Ukurankelompok rata-rata T.auratus di TNGC berkisar 4--17 individu. Ukuran kelompok T.auratus rata-rata di TNGC umumnya berbeda dengan pendapat Medway (1970) yang menyatakan bahwa individu anggota koloni lutung budeng antara 6 – 23 ekor. Akan tetapi jumlah tersebut lebih besar dari hasil penelitian Rowe (1996) yang mengatakan bahwa setiap koloni lutung terdiri dari 13 ekor.

(34)

Pada penelitian ini, karakteristik habitat yang diamati difokuskan pada vegetasi, karena T.auratus merupakan satwa arboreal yang aktifitas hariannya sebagian besar dilakukan pada tajuk pohon. Oleh karena itu aktifitas T.auratus sangat bergantung dengan kondisi vegetasi yang terdapat di habitatnya. Vegetasi habitat selain menyediakan sumber pakan juga menyediakan tempat berlindung dari kondisi perubahan cuaca. Habitat tersusun oleh komponen biotik seperti kualitas dan kuantitas makanan, pemangsaan dan penyakit, komponen fisik seperti suhu udara, hujan, kelembaban dan komponen edapik seperti kedalaman, kelembaban dan kimia tanah (Bailey 1984). Keberadaan komponen-komponen tersebut pada suatu tempat menyebabkan tempat tersebut layak bagi suatu spesies (Caughley &Sinclair 1994). Selain itu, keberadaan komponen-komponen tersebut juga akan menentukan karakteristik habitat satwa liar (Bailey 1984). Karena memiliki karakteristik yang berbeda, setiap spesies satwa memerlukan kondisi habitat yang berbeda (Husch et al. 2003).

Jenis tumbuhan yang ditemukan pada habitat T. auratus di hutan dataran rendah sebanyak 55 jenis, tergolong ke dalam 25 famili. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang sebanyak 35 jenis, tingkat tiang sebanyak 23 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 36 jenis. Tingkat pertumbuhan yang memiliki keanekaragaman paling tinggi adalah tingkat tiang dan yang paling rendah adalah tingkat pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’), pada tingkat pancang sebesar 2,52, tingkat tiang sebesar 2,95 dan tingkat pohon sebesar 3,42.Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan yang paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang sebesar 1220,00 ind/ha, tingkat tiang sebesar 320 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 178,75 ind/ha. Jenis yang memiliki kerapatan paling tinggi pada tingkat pancang adalah kipare

Glochidion macrocarpus Bl, tingkat tiang adalah Beunying Ficus fistulosa

Reinw, dan tingkat pohon adalah Mara Macaranga rhicinoides. Ketiga jenis di atas, selain memiliki kerapatan tertinggi, juga merupakan jenis tumbuhan yang dominan. Tajuk pohon pada wilayah jelajah T.auraus pada tipe hutan dataran rendah memiliki rata-rata ketinggian sebesar 36,3 meter, dengan ketinggian terendah 22 m dan yang tertinggi adalah 50 meter. Rata-rata diameter pohon adalah 26,6 cm dengan diameter terkecil adalah 17 cm dan yang terbesar adalah 130 m.

Jumlah jenis tumbuhan pada hutan subpegunungan sebanyak 116 jenis, tergolong ke dalam 38 famili. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pancang sebanyak 79 jenis, tingkat tiang sebanyak 49 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 89 jenis. Vegetasi tingkat tiang memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada tingkat pancang sebesar 2,96, tingkat tiang sebesar 3,38 dan tingkat pohon sebesar 3,56. Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, tingkat tiang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pinus, Pinus mercusii. Ketiga jenis tersebut, selain memiliki kerapatan tertinggi, juga merupakan jenis tumbuhan dominan.

(35)

diameter terkecil adalah 21 cm dan yang terbesar adalah 142 cm. Jumlah jenis tumbuhan pada habitat T.auratus di tipe hutan pegunungan sebanyak 84 jenis, tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis pada tingkat pancang sebanyak71 jenis, tingkat tiang sebanyak 62 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 66 jenis. Vegetasi tingkat pohon memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat tiang dan pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) tingkat pancang sebesar 3,24 tingkat tiang sebesar 3,49 dan tingkat pohon sebesar 3,42 Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertingi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC sebanyak, tingkat tiang tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC

Jumlah jenis tumbuhan pakan pada habitat T.auratus di hutan dataran rendah sebanyak 53 jenis. Dengan perincian jumlah tingkat pancang sebanyak 24 jenis, tingkat tiang sebanyak 15 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 23 jenis. Kerapatan pakan tingkat pancang tertinggi adalah jenis saninten sebesar 964 ind/ha, tingkat tiang tertinggi adalah jenis mara sebesar 342 ind/ha, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis kihiur sebesar 214 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan dataran rendah dengan menggabungan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Pola penyebaran pakan dengan menghitung masing-masing jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam. Selain itu, terdapat juga jenis pakan yang pola penyebarannya tidak dapat diidentifikasi karena hanya terdapat satu individu dari semua plot pengamatan.

Jumlah jenis tumbuhan pakan di hutan subpegunungan sebanyak 54 jenis, jumlah jenis tumbuhan pakan tingkat pancang sebanyak 39 jenis, tingkat tiang 30 jenis, dan tingkat pohon 44 jenis. Kerapatan pakan tingkat pancang sebesar 897 ind/ha, tingkat tiang sebesar 236 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 97 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan subpegunungan dengan menggabungkan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Pola penyebaran pakan dengan menghitung masing-masing jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam.

Jumlah jenis tumbuhan pakan pada habitat T.auratus di hutan pegunungan sebanyak 42 jenis. Jenis tumbuhan pakan tingkat pancang sebanyak 32 jenis, tingkat tiang sebanyak 26 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 41 jenis.Kerapatan pakan tingkat pancang di hutan pegunungan sebesar 1254 ind/ha, tingkat tiang sebesar 421 ind/ha, dan tingkat pohon 273 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan pegunungan dengan menggabungkan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Sebagaimana pada tipe hutan dataran rendah dan hutan subpegunungan, pola penyebaran pakan di hutan pegunungan dengan menghitung setiap jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam.

(36)

Pemanfaatan jenis tumbuhan pakan oleh T.auratus di TNGC secara keseluruhan lokasi yang diamati mencakup tiga tipe hutan yaitu tipe hutan dataran rendah, tipe hutan subpegunungan dan tipe hutan pegunungan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa T.auratus menggunakan sebanyak 82 jenis tumbuhan yang terdiri dari daun 54 jenis, buah 8 jenis, daun dan buah 15 jenis, dan daun dan bunga 15 jenis. Komposisi pemanfaatan tumbuhan pakan oleh T.auratus pada saat pengamatan dapat dilihat di Gambar 2.

Gambar 2. Proporsi bagian tumbuhan pakan yang dimakan T.auratus

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kompoisisi bagian tumbuhan yang dimakan oleh T.auratus di TNGC terdiri dari 65% daun, 17% daun dan buah, 11 % buah, dan 7% daun dan bunga. Hal ini berbeda dengan hasil Hendratmoko (2009) yaitu jenis pakan T.auratus di Cagar Alam Papandayan teridentifikasi sebanyak 70 jenis tumbuhan sumber pakan yang terdiri dari 0,8% batang, 38,5% pucuk, 21,3 daun, 7,9% bunga dan 31,5%. Penelitian Kool (1993) diketahui bahwa pakan lutung di Cagar Alam Papandayan 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak. Buah-buahan dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Berdasarkan Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) bahwa kadar tanin berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Menurut Supriatna & Hendras (2000) terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan

T.auratus sering berkompetisi dengan kompetitor.

Penyebaran pakan akan mempengaruhi pergerakan satwa dalam mencari pakan, dasar penggunaan habitat oleh primata tergantung pada stok pakan, penyebaran pakan, serta pergantian musim buah. Menurut Bailey (1984), tunas, daun, bunga, buah merupakan bagian tumbuhan dimana nutrien terkumpul. Berdasarkan hasil penelitian Farida dan Harun (2000) diketahui bahwa di kawasan TNBTS diketahui sebanyak 44 jenis (26 suku) tumbuhan sumber pakan, jumlah tersebut lebih sedikit apabila dibandingkan dengan hasil penelitian di TN Halimun. Sebanyak 74 spesies tumbuhan dari 33 suku merupakan pakan Lutung,

Daun 65% Buah

11% Daun&Buah

17%

Daun&Bunga 7%

(37)

Owa dan Surili, sedangkan di TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP), telah diketahui sebanyak 48 jenis dan 27 famili tumbuhan yang merupakan pakan

T.auratus, terbanyak famili Moraceae. Farida dan harun (2000) menyatakan

bahwa tumbuhan pakan T.auratus di hutan Kawah Kamojang Jawa Barat, didapatkan sebanyak 42 jenis tumbuhan pakan yang termasuk ke dalam 31 famili, sedangkan di Unocal Geothermal Gunung Salak diketahui jumlah tumbuhan pakan sebanyak 23 jenis.

Menurut Colishaw dan Dunbar (2000), T.auratus merupakan pemakan tumbuhan yang mendapat energi dari daun yang tersedia melimpah tapi merupakan makanan berkualitas rendah karena hanya sedikit mengandung nutrisi. Daun relatif sulit dicerna karena keberadaan dinding sel dan selulosa. Untuk itu diperlukan adanya adaptasi antara lain dengan fermentasi. Menurut Napier dan Napier (1985), seperti halnya colobine lainnya mempunyai perut yang besar dan lambung terbagi dalam kompartemen. Sistem pencernaan tersebut memungkinkannya mencerna sejumlah besar daun tua dengan cara fermentasi dalam fore-stomach untuk memecahkan selulose. Dengan demikian satwa ini mampu makan dari berbagai jenis tumbuhan yang tidak bisa dimakan oleh satwa lain. Menurut Supriyatna dan Wahyono (2000), makanan T.auratus terdiri dari 66 jenis tumbuhan, dimana 50% daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya serangga.

Penelitian Kool (1992) di CA Pangandaran juga menemukan bahwa

T.auratus makan daun muda, tunas, buah, dan jarang makan daun tua. Tumbuhan

pakan penting adalah Ficus sinuata, Ficus sumatrana, dan Vitex pinnata. Prosentase pakan T.auratus di TNGC 27-37 % adalah buah-buahan mentah dan 10 -12 % buah masak. Buah-buahan mempunyai kadar tanin dan fenol yang lebih tinggi dari dedaunan. Kadar tanin dalam makanan bermanfaat untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. T.auratus memilih daun muda karena cenderung mengandung protein lebih tinggi, tanin dan lignin lebih rendah, dan lebih mudah dicerna (Farida dan Harun 2000). Sehingga selain melakukan pemilihan tumbuhan yang bernutrisi baik, dimungkinkan juga memilih tumbuhan yang mengandung toksin rendah. T.auratus sering mengunjungi lokasi yang terdapat jenis pakan yang disukai. Menurut Bailey (1984) jumlah dan kualitas pakan yang dibutuhkan setiap individu satwa liar bervariasi, dipengaruhi antara lain oleh faktor jenis kelamin, kelas umur dan fisiologi pencernaan.

Sebaran Spasial Surili (P.comata)

(38)

atau blok, yang mencakup delapan resort pada dua wilayah seksi pengelolaan (Kuningan dan Majalengka). Data lokasi penyebaran spasial P.comata di TNGC secara lengkap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran spasial P.comata di SPTN Kuningan

Nama Lokasi Tipe Hutan Ukuran

Kelompok

Koordinat Loksi

X/E Y/S

Cipariuk/Mandirancan Dataran Rendah 10 108,44565o 6,88375o

Cibunian/Cigugur

Sub Pegunungan

12 108,42712o 6,93864o

Cigowong Hilir/Cigugur 7 108,42096o 6,94200o

Lembah

Cilengkrang/jalaksana 12 108,44419o 6,88778o

Manduraga/Cilimus 5 108,43697o 6,88311o

Sayana/Jalaksana 2 108,41382o 6,93888o

Cadas Poleng/Cigugur 6 108,42704o 6,93836o

Kinina/Cigugur 10 108,42615o 6,93875o

Mata Air

Cigedong/Mandirancan 6 108,44578o 6,88386o

Pos Pendakian Kondang

Amis/Cilimus 4 108,44439o 6,88647o

Sayana Atas/jalaksana 4 108,41382o 6,93888o

Cigowong Kuta/Cigugur

Pegunungan

2 108,40676o 6,93116o

Pangguyangan

Badak/Cigugur 3 108,40336o 6,92606o

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebaran lokasi P.comata di Seksi Kuningan terbesar dijumpai pada tipe hutan subpegunungan yaitu di Blok Cibunian dan Cilengkrang. Kedua lokasi memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu topografi berupa lembah yang cukup luas, terdapat mata air yang mengalir sepanjang tahun serta keberadaan tumbuhan pakan yang banyak. Jenis tumbuhan pakan di Blok Cibunian sebanyak 53 jenis dan di Blok Cilengkrang sebanyak 48 jenis. Jumlah koloni terkecil dijumpai pada tipe hutan pegunungan. Akan tetapi pengamat meyakini bahwa jumlah tersebut adalah jumlah minimal, masih banyak

P.comata yang belum dijumpai. Hal ini terjadi karena sensitifitas P.comata yang

tinggi terhadap kehadiran manusia dan keterbatasan pengamatan yang disebabkan oleh kondisi topografi curam dan vegetasi yang rapat.

(39)

Tabel 4. Sebaran spasial P.comata di SPTN Majalengka

Nama Lokasi Tipe Hutan Ukuran

Kelompok

Haur Cucuk/Argalingga 8 108,22002o 6,52494o

Parahu/Bantar Agung 3 108,37925o 6,88922o

Pasir Ipis/Argalingga 12 108,22212o 6,51323o

Arpesi/Argamukti

Sub Pegunungan

2 108,43556o 6,85736o

Kalawija/Argamukti 8 108,22201o 6,54112o

Saninten/Argalingga 4 108,21473o 6,50572o

Arban Gn. Pucuk/Argamukti

Pegunungan

5 108,40408o 6,82628o

Dilem/Argalingga 4 108,39592o 6,90986o

Grogol/Argamukti 18 108,38364o 6,91717o

Gunung Pucuk

/Argamukti 15 108,39418o 6,92258o

Kolepat /Argalingga 8 108,38364o 6,91717o

Mongor Buntu/Argamukti 11 108,42581o 6,86278o

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah koloni terbesar pada tipe hutan dataran rendah dijumpai di Blok Gunung Larang sebanyak 13 ekor, di tipe hutan subpegunungan kolini terbesar dijumpai di Blok Kalawija sebanyak 8 ekor, dan jumlah koloni terbesar pada tipe hutan pegunungan adalah di Blok Grogol sebanyak 18 ekor. Pada saat pengamatan di lapangan pengamat tidak menjumpai individu P.comata yang menyendiri (soliter) akan tetapi dijumpai secara berkelompok dengan jumlah minimal dua ekor.

Jenis tumbuhan yang ditemukan pada habitat P.comata di hutan dataran rendah sebanyak 55 jenis, tergolong ke dalam 25 famili. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang sebanyak 35 jenis, tingkat tiang sebanyak 23 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 36 jenis. Tingkat pertumbuhan yang memiliki keanekaragaman paling tinggi adalah tingkat tiang dan yang paling rendah adalah tingkat pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’), pada tingkat pancang sebesar 2,52, tingkat tiang sebesar 2,95 dan tingkat pohon sebesar 3,42.Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan yang paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang sebesar 1220,00 ind/ha, tingkat tiang sebesar 320 ind/ha, dan tingkat pohon sebesar 178,75 ind/ha. Jenis yang memiliki kerapatan paling tinggi pada tingkat pancang adalah kipare

Glochidion macrocarpus Bl, tingkat tiang adalah Beunying Ficus fistulosa

(40)

Jumlah jenis tumbuhan pada hutan subpegunungan sebanyak 116 jenis, tergolong ke dalam 38 famili. Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pancang sebanyak 79 jenis, tingkat tiang sebanyak 49 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 89 jenis. Vegetasi tingkat tiang memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) pada tingkat pancang sebesar 2,96, tingkat tiang sebesar 3,38 dan tingkat pohon sebesar 3,56. Tingkat pertumbuhan yang memiliki kerapatan paling tinggi adalah tingkat pancang, dan paling rendah adalah tingkat pohon. Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, tingkat tiang tertinggi adalah jenis kileho Saurauia pendula Bl, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pinus, Pinus mercusii. Ketiga jenis tersebut, selain memiliki kerapatan tertinggi, juga merupakan jenis tumbuhan dominan.

Bentuk tajuk vegetasi di wilayah jelajah P.comata memiliki rata-rata ketinggian pohon sebesar 37,4 meter, dengan ketinggian terendah 19 m dan yang tertinggi adalah 55 meter. Rata-rata diameter pohon adalah 31,2 cm dengan diameter terkecil adalah 21 cm dan yang terbesar adalah 142 cm. Jumlah jenis tumbuhan pada habitat P.comata di tipe hutan pegunungan sebanyak 84 jenis, tergolong dalam 34 famili. Jumlah jenis pada tingkat pancang sebanyak71 jenis, tingkat tiang sebanyak 62 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 66 jenis. Vegetasi tingkat pohon memiliki keanekaragaman paling besar dibanding tingkat tiang dan pancang. Indeks keanekaragaman Shannon (H’) tingkat pancang sebesar 3,24 tingkat tiang sebesar 3,49 dan tingkat pohon sebesar 3,42 Kerapatan tumbuhan tingkat pancang tertingi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC sebanyak, tingkat tiang tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis pasang Castanopsis tungurut A.DC

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap vegetasi P.comata diketahui bahwa tajuk vegetasi pada wilayah jelajah P.comata memiliki rata-rata ketinggian pohon sebesar 46,4 meter, dan yang terendah adalah 18 m. Rata-rata diameter pohon adalah 27.66 cm dengan diameter terkecil adalah 18 cm dan diameter terbesar adalah 142 cm. Jumlah jenis tumbuhan pakan pada habitat P.comata di hutan dataran rendah sebanyak 34 jenis, jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pancang sebanyak 29 jenis, tingkat tiang sebanyak 33 jenis, dan tingkat pohon sebanyak 28 jenis. Kerapatan tumbuhan pakan tingkat pancang tertinggi adalah jenis saninten sebesar 964 ind/ha, tingkat tiang tertinggi adalah jenis mara sebesar 342 ind/ha, dan tingkat pohon tertinggi adalah jenis kihiur sebesar 214 ind/ha. Pola penyebaran pakan tingkat pancang, tiang, dan pohon pada tipe hutan dataran rendah dengan menggabungan semua jenis tumbuhan pakan pada setiap petak adalah mengelompok. Pola penyebaran pakan dengan menghitung masing-masing jenis tumbuhan adalah mengelompok dan seragam

Gambar

Tabel 1. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Kuningan
Tabel 2. Sebaran spasial T.auratus di SPTN Majalengka
Gambar 2. Proporsi bagian tumbuhan pakan yang dimakan T.auratus
Tabel 3. Sebaran spasial P.comata di SPTN Kuningan
+7

Referensi

Dokumen terkait