• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Estimation Of Demography Parameter And Use Spatial Pattern Of Surili (Presbytis comata) In Ciremai Mount National Park

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Estimation Of Demography Parameter And Use Spatial Pattern Of Surili (Presbytis comata) In Ciremai Mount National Park"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN POLA

PENGGUNAAN RUANG SURILI (Presbytis comata)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

RAHMAT HIDAYAT

PROGRAM MAYOR KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Rahmat Hidayat

(3)

RINGKASAN

RAHMAT HIDAYAT. Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO BAMBANG W.

Surili merupakan primata endemik Jawa Barat (Kool, 1992). Statusnya masuk dalam kategori satwa dilindungi (PP No. 7 Tahun 1999), endangered species

(IUCN) serta masuk dalam kategori Appendiks II (CITES). Data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) diperlukan sebagai salah satu dasar dalam pengelolaan kawasan, diantaranya untuk pengelolaan spesies, pembinaan habitat, penyusunan atau revisi zonasi dan Rencana Pengelolaan Taman Nasional.

Penelitian bertujuan untuk menduga parameter demografi surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang meliputi ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex ratio dan komposisi umur dan mengidentifikasi pola penggunaan ruang surili pada pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Penelitian dilaksanakan di kawasan TNGC selama lima bulan yaitu mulai bulan Oktober 2012 sampai Februari 2013. Sebanyak 28 titik pengamatan yang dilakukan pengambilan data parameter demografi, serta 4 titik untuk pengamatan pola penggunaan ruang hariannya. Data parameter demografi dikumpulkan dengan metode konsentrasi dan data pola penggunaan ruang dikumpulkan dengan metode

focal animal sampling.

Hasil penelitian menunjukkan jumlah individu total dari 28 titik pengamatan yaitu 164 individu, dengan sebaran 48 individu pada habitat hutan dataran rendah dengan kisaran ukuran kelompok (8,00 ± 4,50), 56 individu di habitat hutan sub pegunungan dengan kisaran ukuran kelompok (5,6 ± 2,49) dan 60 individu di habitat hutan pegunungan dengan kisaran ukuran kelompok (5,00 ± 2,07). Sex rasio total dari 28 titik pengamatan adalah 1 : 2, dengan struktur umur tahunan Dewasa : Muda : Anak 7 : 10 : 11. Nilai natalitas total dari 28 titik pengamatan yaitu 0,125 dengan nilai mortalitas tertinggi yaitu dari muda menuju dewasa sebesar 0,34.

Rata-rata luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe habitat hutan dataran rendah yaitu 1,13 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 516,80 m. Blok Kalawija dan Blok Saninten sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan memiliki rata-rata luas wilayah jelajah hariannya berturut-turut yaitu sebesar 2,08 ha dan 3,32 ha, dengan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 935,25 m dan 1092,29 m. Selanjutnya di Blok Cigowong sebagai perwakilan tipe habitat hutan pegunungan memiliki rata-rata wilayah jelajah hariannya sebesar 5,48 ha, dengan rata-rata-rata-rata panjang lintasan hariannya aalah 1188,3 m.

(4)

RAHMAT HIDAYAT. The Estimation Of Demography Parameter And Use Spatial Pattern Of Surili (Presbytis comata) In Ciremai Mount National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and NOVIANTO BAMBANG W.

Surili is an endemic primates of West Java. Its status is protected species based on PP. 7 of 1999, endangered species (IUCN) as well as classified in to Appendix II category, CITES. Data about demography parameter and use space pattern of Surili in Ciremai Mount National Park is necessary as one of the basic case in area management, including for species management, habitat development, drafting or revision zoning and the national park management plan.

The research aimed to observation estimate of demography parameter of Surili in Ciremai Mount National Park Area which includes population size, natality, mortality, sex ratio and age composition and to identify use spatial pattern of surili there. Research was conducted at the Ciremai Mount National Park area for five months from Oktober 2012 to Februari 2013. As many as 28 observation points of demography parameter, and 4 points observation of its daily use space pattern. Data of demography parameter taken by concentration count method and data of use spatial pattern taken by focal animal sampling method.

Total number of individuals from 28 points observation as many as 164 individuals, with the distribution of 48 individuals in the lowland forest with an average group size (8.00 ± 4.50), 56 individuals in the sub-montane forest with an average group size (5.6 ± 2.49) and 60 individuals in the mountain forest with an average group size (5.00 ± 2.07). Sex ratio total at 28 observation points was 1 : 2, with annual age (Adult : Adult Hood : Kid) 7 : 10 : 11. Value of total natality at 28 observation points was 0.125, with highest mortality value from adult hood to adult was 0,34 .

Average of Surili daily cruising area in block Haurcucuk (representative type of lowland forest) was 1.13 ha, with an average daily track length of 516.80 m. Block Kalawija and Saninten (representative type of sub-montane forest), their average daily ranges in series were 2.08 ha and 3.32 ha, with an average daily track length of 935.25 m and 1092.29 m. Next on the block Cigowong (representative type of mountain forests), its average daily cruising area was 5.48 ha, with average daily track length was 1188,3m.

(5)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PENGGUNAAN RUANG SURILI (Presbytis comata)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

RAHMAT HIDAYAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Alloh S.W.T atas segala segala limpahan karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai bulan Februari 2013 ini dengan judul Pendugaan Parameter Demografi dan Pola Penggunaan Ruang Surili (Presbytis comata) di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yanto Santosa, DEA dan Bapak Dr Ir Novianto Bambang W, MSI selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai dan seluruh staf/pegawai Balai Taman Nasional Gunung Ciremai serta Mang Ojo di Babakan Kaler yang telah memberikan izin, waktu dan bantuan selama pengambilan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istriku Anis Kurniawati,SPd, anak-anakku ( Sina Hafidh Rimbawan Hidayat dan Ilman Sulthon Hidayat), adik-adikku serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Bioekologi Surili 5

Parameter Demografi 6

Pola Penggunaan Ruang. 7

3 METODE PENELITIAN 9

Tempat dan Waktu 9

Alat dan Bahan 9

Data Yang Dikumpulkan 9

Metode Pengambilan Data 10

Metode Analisa Data. 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Parameter Demografi 17

Penggunaan Ruang Harian 26

Faktor Dominan Habitat 39

5 SIMPULAN DAN SARAN 42

Simpulan 42

Saran 42

(11)

\

DAFTAR TABEL

1 Pembagian kelas lereng 13

2 Komposisi kelompok surili di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 18 3 Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat

pengamatan surili di TNGC 20

4 Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat

pengamatan surili di TNGC 21

5 Kelas lereng pada tiap tipe habitat lokasi penelitian surili di TNGC 21 6 Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di

Kawasan TNGC 24

7 Peluang hidup dan mortalitas surili di tiga tipe habitat lokasi

penelitian di Kawasan TNGC 26

8 Luas wilayah jelajah harian serta panjang lintasan harian surili pada

empat blok pengamatan di kawasan TNGC 26

9 Jumlah jenis pakan tiang dan jumlah jenis pohon pada empat blok

pengamatan penggunaan ruang 34

10 Jumlah jenis vegetasi pakan, satwa pesaing dan ketinggian tempat

serta kelas lereng pada empat blok pengamatan di kawasan TNGC 35

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 4

2 Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi 13 3 Sebaran pengamatan/penemuan kelompok surili di Kawasan TNGC 19 4 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk 27 5 Model panjang lintasan harian surili di Blok Haur Cucuk 28 6 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Kalawija 29 7 Model panjang lintasan harian surili di Blok Kalawija 29 8 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Saninten 30 9 Model panjang lintasan harian surili di Blok Saninten 31 10 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Cigowong 32 11 Model panjang lintasan harian surili di Blok Cigowong 32 12 Diagram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan

waktu pengamatan 37

13 Diagram proporsi waktu aktifitas pada setiap ketinggian berdasarkan

jenis aktifitas 38

14 Surili jantan dan betina dewasa sedang beristirahat 38

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji korelasi ukuran kelompok dengan parameter demografi 49 2 Rekapitulasi hasil uji t parameter demografi antar tipe habitat 50 3 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah

harian dengan jumlah satwa predator dan jumlah satwa pesaing 51 4 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah

harian dengan ketinggian tempat dan kelerengan 52

5 Hasil uji korelasi panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah

harian dengan faktor vegetasi dan pakan 53

6 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan

dataran rendah 55

7 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan dataran

rendah 57

8 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan dataran

rendah 59

9 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan sub

pegunungan 61

10 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan sub

pegunungan 64

11 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan sub

pegunungan 66

12 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pancang di habitat hutan

pegunungan 69

13 Kerapatan dan keanekaragaman jenis tiang di habitat hutan

pegunungan 71

14 Kerapatan dan keanekaragaman jenis pohon di habitat hutan

pegunungan 73

15 Daftar jenis pakan surili yang ditemukan pada lokasi penelitian 75

15 Hasil uji Regresi Partial Least Square 77

16 Jumlah satwa predator, pesaing dan kelas lereng pada titik

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Surili (Presbytis comata) Desmarest, 1822 merupakan primata endemik Pulau Jawa bagian Barat (Kool 1992). Pemerintah RI menetapkan status surili sebagai satwa dilindungi melalui SK Mentan No. 247/Kpts/Um/1979, SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991, PP No 7 Tahun 1999, dan UU No. 5 Tahun 1990. CITES menggolongkan surili ke dalam Appendiks II dan IUCN mengkategorikan surili sebagai endangered species. Selanjutnya berdasarkan Permenhut No: P.57/Menhut-II/2008, surili termasuk dalam salah satu daftar spesies kelompok primata yang perlu mendapatkan aksi konservasi prioritas tinggi.

Surili umumnya dapat dijumpai pada hutan primer maupun sekunder, mulai dari hutan pantai, hutan bakau, sampai hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl. Berdasarkan Putra (1993), Supriatna dan Wahyono (2000) di Jawa Barat habitat surili ditemukan diantaranya di Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Kawah Kamojang, CA Rawa Danau, CA Gunung Papandayan, CA Gunung Patuha, CA Situ Patenggang, dan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tampomas.

Surili dengan melihat status konservasi dan perannya di ekosistem, merupakan salah satu satwa yang termasuk dalam keystone species (spesies kunci). Keystone species merupakan spesies yang memainkan peranan yang penting di dalam struktur, fungsi atau produktifitas dari habitat atau ekosistem (habitat, tanah, dan pemencar biji). Hilangnya jenis ini akan mengakibatkan perubahan yang hebat terhadap populasi jenis lain atau proses ekosistem; serta yang memiliki fungsi yang vital dalam komunitasnya (Roberge, J. & Angelstam 2004).

Ancaman terbesar terhadap kelestarian populasi surili adalah karena rusaknya habitat alami dari spesies surili tersebut, yang diakibatkan oleh eksploitasi dan konversi hutan alam di Jawa Barat. Pada tahun 1986 diperkirakan terdapat 8.040 ekor surili (Kool 1992) namun pada tahun 1999 jumlahnya tersisa 2.500 ekor saja (IUCN). Surili seperti halnya satwa primata lainnya merupakan satwa sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan di sekitar habitatnya (Prasanai et al., 2008). Hal ini berarti satwa ini akan terancam punah dalam waktu dekat apabila tempat yang menjadi habitatnya rusak dan tidak segera dilakukan sistem pengelolaan yang baik terhadap habitatnya maupun spesies dari surili tersebut. Selain tingkat gangguan habitat, permasalahan lainnya yang menjadi ancaman bagi kelestarian surili adalah penelitian-penelitian yang terkait surili masih sedikit dilakukan, sehingga informasi yang menyangkut surili masih terbatas, hal ini tentunya akan memberikan keterbatasan dalam menentukan strategi konservasi bagi satwa surili tersebut ke depannya.

(14)

Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu lokasi penyebaran habitat surili di Jawa Barat (Gunawan H dan Bismark M. 2007).

Seperti halnya di wilayah penyebaran surili pada umumnya, populasi surili di kawasan TNGC sama mengalami ancaman kelestarian, yang diakibatkan oleh rusaknya habitat dan juga kegiatan penelitian yang terkait surili yang masih kurang. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan habitat surili di TNGC adalah aktifitas perambahan dan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman serta kebakaran hutan yang menjadi ancaman tahunan. Selanjutnya penelitian terkait surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah dilakukan yaitu baru penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2007) tentang keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan penelitian yang dilakukan oleh Supartono (2010) yang mengkaji karakteristik habitat dan distribusi surili. Padahal menurut Permenhut No: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 menyebutkan bahwa penelitian yang diperlukan untuk konservasi surili adalah distribusi, populasi, habitat, ekologi, dan genetik.

Surili di Taman Nasional Gunung Ciremai, merupakan salah satu satwa yang mendapat perhatian tinggi atau dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan, disamping macan kumbang dan burung elang jawa. Hal ini dikarenakan atau terkait dengan status dan juga peran dari surili dalam sebuah eksositem hutan seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Sebagai satwa yang dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan maka keberadaan data yang lengkap, benar dan terkini terkait spesies surili perlu segera dimiliki oleh pengelola kawasan. Salah satu data dasar penting yang perlu segera diteliti dan belum dikaji adalah data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang surili. Data tentang parameter demografi dan pola penggunaan ruang merupakan data yang penting sebagai dasar dalam menyusun maupun merevisi zonasi serta Rencana Pengelolaan Taman Nasional.

(15)

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menduga parameter demografi surili pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang meliputi ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex rasio dan komposisi umur.

2. Mengidentifikasi pola penggunaan ruang surili pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengelola (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai) dalam menyusun atau merevisi rencana pengelolaan kawasan khususnya yang terkait dengan pengelolaan habitat dan spesies surili.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak pengelola (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai) dalam penyusunan maupun revisi zonasi.

Kerangka Pemikiran

(16)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Surili

Ancaman terhadap Habitat&populasi

TNGC

Perambahan Kebakaran Hutan Isolasi Habitat

Kelestarian Populasi surili Pola penggunaan ruang

P.57/Menhut-II/2008 (Primata Prioritas Tinggi)

 Primata Endemik Jawa Barat

 Satwa Dilindungi (PP No 7 Th 1999)

 Endangered Spesies (IUCN)

 Apendix II (CITES)

Pengelolaan

( i h bi )

Parameter demografi

Habitat surili Penelitian surili

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Surili

Klasifikasi dan Taksonomi

Surili secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam dunia animalia, filum chordata, subvilum vertebrata, kelas mamalia, ordo primata, subordo Anthropoidae, superfamili Cercopithecidae, famili Cercopithecidae, subfamili colobinae, genus presbytis, species presbytis comata Desmarest, 1822, subspecies

P. comata comata Desmarest, 1822, dan P. comata fredericae (Ankel-Simons 2007).

Selanjutnya Napier & Napier (1967) mengklasifikasikan surili sebagai berikut: kingdom Animalia, phylum Chordata, subphylum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Primates, subordo Anthropoidea, superfamili Cercopithecoidea, famili Cercopithecidae, subfamili Colobinae, genus Presbytis, dan spesies

Presbytis aygula Linnaeus, 1758. Presbytis aygula memiliki nama asli

Semnopithecus comatus Desmarest, 1822, dan memiliki sinonim S. fulvogriseus

Desmoulins, 1825 dan S. nigrimanus Geoffroy, 1843 (Maryanto et al. 2008). P. aygula juga pernah dikenal dengan nama Simia fascicularis Raffles, 1821 dan P. mitrata Eschscholtz, 1821 (Brandon-Jones et al. 2004). Nama P. aygula pada tahun 1983 diubah menjadi P.comata Desmarest, 1822 (Groves 1993, Brandon-Jones et al. 2004).

Morfologi

Secara morfologi, tubuh surili hampir sama dengan monyet, namun surili memiliki bentuk kepala yang bulat, hidung yang pesek dan perut yang besar. Rambut yang menutupi tubuh cukup panjang dan tebal, rambut di kepala memiliki jambul berujung runcing, alis meremang kaku mengarah ke depan (Napier & Napier 1967). Surili memiliki ukuran tungkai yang kecil dan ramping serta ekor yang lebih panjang dibanding ukuran kepala-badan ( Legakul dan McNeely 1977) dengan tebal ekor seragam dari pangkal sampai ujungnya (Napier & Napier 1967).

Warna tubuh surili dewasa mulai dari kepala sampai bagian punggung umumnya hitam atau cokelat dan keabuan, dan jambul serta rambut kepala berwarna hitam. Rambut yang tumbuh di bawah dagu, dada dan perut (ventral), bagian dalam lengan, kaki dan ekor, berwarna putih (Napier 1985, Supriatna &Wahyono 2000). Rambut alis kaku tumbuh mengarah ke depan. Kulit muka dan telinga berwarna hitam pekat agak kemerahan. Surili memiliki iris mata cokelat gelap. Menurut Napier & Napier (1967), anak yang baru lahir berwarna putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ujung ekor, meluas pada bahu membentuk sebuah persilangan. Dengan bertambahnya umur, bagian tubuh yang gelap berangsur-angsur meluas tetapi rambut pada tubuh bagian bawah dan bagian dalam paha tetap berwarna putih.

(18)

panjang ekor berkisar 590–720 mm. Berat badan individu jantan sekitar 6,40 kg, dan individu betina sekitar 6,70 kg (Fleagle 1988).

Habitat dan Penyebaran

Surili memiliki lokasi penyebaran yang sangat terbatas, yakni hanya di Pulau Jawa bagian barat, sehingga merupakan spesies endemik Jawa Barat (Kool 1992, Supriatna et al. 1994, Supriatna & Wahyono 2000). Surili menempati hutan primer, sekunder, bakau, mulai dari pinggir pantai hingga ketinggian 250 m – di atas 2500 mdpl dan seringkali dijumpai di hutan yang berbatasan dengan kebun (Supriatna dan Wahyono 2000).

Odum (1971) mendefiniskan habitat suatu organisme sebagai tempat hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukan organisme tersebut. Habitat dapat juga digunakan untuk menunjukkan sebuah tempat yang didiami oleh seluruh komunitas (Odum 1971). Pringgoseputro & Srigandono (1990) mendefinisikan habitat sebagai tempat terbentuknya organisme, baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi organisme tersebut.

Surili umumnya hidup pada habitat hutan primer (Napier & Napier 1985). Surili juga dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik di hutan sekunder maupun perkebunan sekitar pemukiman, misalnya di perkebunan dan hutan tanaman Perhutani, Bandung Selatan. Berbeda dengan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), surili tidak pernah ditemukan di kawasan hutan sekunder maupun bekas ladang penduduk.

Parameter Demografi

Populasi

Odum 1971, mendefinisikan populasi sebagai individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dalam individu yang bersangkutan), pada waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau ruang tertentu. Suatu populasi dapat menempati wilayahnya yang sempit sampai luas, tergantung daya dukung habitat dan karakteristik spesies tersebut. Populasi dapat dijumpai pada suatu wilayah yang dapat memenuhi segala kebutuhannya.

Menurut Krebs (1989), populasi dapat dikelompokkan ke dalam deme-deme atau populasi lokal yang dapat melakukan perkawinan antara organisme. Setiap populasi meiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik populasi yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan.

(19)

Ukuran Populasi

Ukuran populasi adalah suatu ukuran yang memberikan informasi mengenai jumlah total individu satwa liar dalam suatu kawasan tertentu. Kepadatan populasi merupakan besaran populasi dalam suatu unit ruang, pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau volume. nilai kepadatan diperlukan karena dapat menunjukkan daya dukung habitat (Alikodra 2002).

Natalitas

Menurut Odum (1971) Natalitas merupakan jumlah individu yang lahir dalam suatu populasi yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru (anak) dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Santosa (1993) menyatakan, tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial untuk berefroduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran.

Mortalitas

Mortalitas didefiniskan sebagai jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dapat dinyatakan dalam angka mortalitas kasar yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu, ataupun dalam angka kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu kelas umur tertentu sela periode waktu tertentu (Alikodra 2002).

Sex ratio

Sex ratio adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina dari suatu populasi, biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan dalam 100 ekor betina (Alikodra 2002, Caughley 1977). Menurut Santosa (1993) sex ratio adalah suatu perbandingan antara jumlah jantan potensial refroduksi terhadap banyaknya betina yang potensial refroduksi.

Struktur Umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 2002). Struktur umur adalah komposisi jumlah individu dalam populasi menurut sebaran umur. Struktur umur dapat digunakan untuk mencapai keberhasilan perkembangan populasi satwa liar, sehingga dapat menilai suatu prospek kelestarian satwa liar.

Pola Penggunaan Ruang

Batasan

(20)

Perpindahan menurut Fryxell dan Sinclair (1988) cenderung dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan juga dipengaruhi oleh predator.

Parameter Indikator

Menurut Santosa (1990) aspek pola pemanfaatan ruang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dalam hal ini mobilitas dan daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar. Sama halnya dengan Santosa (1990), Wahyu (1995) menyebutkan mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwa liar.

Ada beberapa metode untuk mengukur homerange dari satwaliar, diantaranya adalah metode poligon, metode pusat aktifitas, metode non-parametrik. Metode paling tua dan yang umum digunakan adalah metode area minimum (MAM) atau metode convex-polygon Pada metode ini seluruh lokasi satwa digambarkan secara grafis dan point/titik terluar dihubungkan dalam bentuk

(21)

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang meliputi dua Seksi Wilayah Pengelolaan yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kuningan dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Majalengka, dengan wilayah studi penelitian mencakup pada tiga tipe habitat, yaitu hutan dataran rendah (< 1000 mdpl), hutan Pegunungan (1000 – 1500 mdpl), dan hutan sub alpin (1500 – 2400 mdpl) (van Steenis 2006). Waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu mulai Bulan Oktober 2012 – Februari 2013.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Peta Kawasan (Citra Landsat, Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Kontur), GPS, Teropong Binokuler, Kamera Digital SLR, Handycam, kompas, Pita Meter, Laser pengukur jarak lapang, perlengkapan pembuatan herbarium, Alat Tulis, dan Tally Sheet.

Software yang digunakan untuk analisis data spasial adalah Minitab 14, DNR Garmin, ArcGIS ver 3.3.

Data Yang Dikumpulkan

Data Primer

Data-data primer yang dikumpulkan yaitu :

1. Data parameter demografi, yang terdiri dari data : ukuran populasi, natalitas, mortalitas, sex ratio dan struktur umur.

2. Data pola penggunaan ruang yang terdiri dari :

- Pola penggunaan ruang horizontal yang meliputi bentuk dan

panjang/lintasan harian, serta bentuk dan luas wilayah jelajah

- Pola penggunaan ruang vertikal yang meliputi data posisi ketinggian satwa pada strata pohon, serta jenis dan lama aktifitas yang dilakukan.

3. Data karakteristik habitat yang terdiri dari : data komponen biotik yang meliputi data vegetasi dan keberadaan satwa lainnya serta data komponen fisik yang terdiri dari data : ketinggian tempat, kelerengan, jarak terhadap jalan, jarak terhadap mata air/sungai/sumber air, jarak terhadap pemukiman, dan jarak terhadap perkebunan/pertanian.

Data Sekunder

(22)

Metode Pengambilan Data

Studi literatur

Dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen laporan, buku, karya ilmiah serta rencana pengelolaan yang ada atau yang telah disusun. Studi literatur dilakukan terutama untuk memperoleh data sekunder.

Wawancara

Wawancara dilakukan dengan masyarakat sekitar kawasan dan juga dengan pengelola kawasan terkait dengan informasi keberadaan surili yang biasa sering ditemukan, sejarah kawasan, dan kondisi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan.

Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh data parameter demografi, pola penggunaan ruang dan karakteristik habitat.

1 Parameter Demografi a Populasi Surili

Pengumpulan data populasi surili menggunakan metode terkonsentrasi/

concentration count. Studi pendahuluan secara mendalam dilakukan sebelum melakukan inventarisasi dengan menggunakan metode terkonsentrasi. Untuk memastikan titik-titik dimana surili berada/berkumpul. Penggunaan metode ini didasarkan atas pertimbangan karakteristik dan distribusi spesies surili, dan kondisi lapangan wilayah penelitian. Terkait karakteristik spesies surili, menurut (Kool 1992), disebutkan bahwa surili merupakan spesies penakut dan sensitif, sehingga akan cepat menghindari manusia. Sehingga untuk pengamatan ukuran populasi dan juga parameter demografi surili lainnya (sex ratio, natalitas, mortalitas, komposisi umur), maka teknik pengamatan dengan teknik pengamat diam salah satunya concentration count lebih tepat dilakukan. Terkait dengan distribusi surili, berdasarkan hasil penelitian surili yang telah dilakukan di TNGC oleh Supartono (2010), dinyatakan bahwa surili terdistribusi pada lokasi-lokasi tertentu. Selanjutnya terkait dengan kondisi lapangan, kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki kondisi topografi yang terjal.

Pengambilan data ukuran populasi, dilakukan pada 28 titik pengamatan, yang tersebar di seluruh tipe habitat yang merupakan wilayah studi penelitian. Pengamatan atau perhitungan ukuran populasi di satu titik dilakukan sebanyak tiga kali yaitu perhitungan pada pagi hari (Jam 06.00 – 08.00), siang hari (12.00 – 14.00) dan sore hari (16.00 – 18.00), dan sebanyak tiga ulangan.

b Natalitas

Nilai natalitas yang diukur di lapangan adalah nilai natalitas kasar. Dilakukan dengan melihat jumlah bayi yang ditemukan di titik lokasi pengamatan. Pengambilan data natalitas bersamaan dengan pengambilan data ukuran populasi. c Struktur umur

(23)

digunakan oleh siahaan (2002) dan juga berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut :

Anak : berumur 0-4 tahun, ukuran badan kecil, masih dipelihara oleh induk sampai mencapai usia kematangan seksual dan sangat tergantung pada induk

Muda : berumur 4 – 7 tahun, ukuran badan sedang, sudah mencapai kematangan seksual sampai mencapai usia refroduktif optimum.

Jantan ; Skrotum mulai terlihat dan sering memisahkan diri dari kelompok

Betina : Kelenjar susu masih kecil, sering berada dalam kelompok

Dewasa : berumur 7 – 20 tahun, ukuran tubuh besar, usia refroduktif optimum sampai usia tertua

Jantan : Ukuran tubuh lebih besar dari betina

Betina : Sering dekat dengan individu anak (aktif memelihara anak)

d Sex rasio

Diperoleh dengan pengamatan lapangan yaitu dengan mengamati jumlah jantan dan betina. Untuk pengamatan sex rasio hanya dilakukan pada kelas umur muda dan dewasa, karena untuk anak, sulit untuk dilakukan. Pengambilan data sex rasio bersamaan dengan pengambilan data ukuran populasi

2 Pola Penggunaan Ruang

a Pola Penggunaan Ruang Vertikal.

Dilakukan dengan metode Focal Animal Sampling. Metode ini merupakan metode pengamatan perilaku satwa primata dengan cara mengikuti satu individu / satu pasang individu primata dan dianggap individu/pasangan tersebut mewakili kelompoknya. Data penggunaan ruang secara vertikal dikumpulkan dengan cara mengukur posisi ketinggian aktivitas surili pada strata pohon yang ditempatinya. Selanjutnya dicatat lamanya surili di suatu tempat berikut aktifitas yang dilakukan. Penggolongan strata tajuk pohon yang digunakan adalah sebagai berikut : strata A yaitu pepohonan yang ketinggiannya lebih dari 30 meter, strata B yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 18-30 meter, strata C yaitu pepohonan yang mempunyai tinggi 4-18 meter, strata D yaitu terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi 1-4 meter termasuk anakan pohon, palma, herba serta paku-pakuan dan strata E yaitu terdiri dari lapisan tumbuhan penutup tanah atau lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 meter (Soerianegara & Indrawan 2005).

Aktivitas satwa yang akan dicatat atau diambil datanya dibedakan menjadi aktivitas berpindah, makan, istirahat dan sosial (social grooming/menelisik). Aktivitas berpindah meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah

bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon. Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan

(24)

dalam tiga kategori yaitu Jam 06.00 – 10.00 (pagi hari), jam 10.00 – 14.00 (siang hari), jam 14.00 – 18.00 (sore hari).

b Pola Penggunaan ruang horizontal.

Data penggunaan ruang secara horizontal yang diambil adalah data bentuk/panjang lintasan harian dan wilayah jelajah harian. Teknik pengambilan data adalah dengan focal animal sampling, yaitu dengan cara mencatat titik koordinat setiap pergerakan atau perpindahan individu surili terpilih dari satu pohon/tempat ke tempat/pohon lainnya. Pengamatan atau pengambilan data pola pergerakan harian ini dilakukan mulai dari jam 06.00 sampai jam 18.00, atau mulai dari lokasi tidur hingga kembali ke pohon tempat tidurnya pada saat yang lain. Waktu pengamatan dibagi dalam tiga kategori yaitu Jam 06.00 – 10.00, jam 10.00 – 14.00, jam 14.00 – 18.00.

3 Karakteristik Habitat a Komponen Biotik

Komponen Biotik yang diamati yaitu data vegetasi dan data keberadaan satwa lainnya.

Vegetasi

Data vegetasi dikumpulkan melalui analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi, baik vegetasi secara keseluruhan maupun sebagai pakan surili. Data vegetasi yang diamati berupa tingkat pancang, tiang, dan pohon. Pengambilan data tingkat pancang, tiang, dan pohon dilakukan karena menurut Gunawan et al. (2008), surili banyak memanfaatkan strata B (20–30 m) dan C (4–20 m) untuk berbagai aktivitasnya, dan tidak pernah terlihat pada strata D (ketinggian 1-4 m) dan E (ketinggian <1 m). Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode petak ganda (Soerianegara & Indrawan 2005, Indriyanto 2006), dengan bentuk petak sampel bujur sangkar. Ukuran setiap petak sampel untuk analisis vegetasi ini adalah 20m x 20m. Pengambilan data tingkat pancang dan tiang dilakukan pada petak sampel yang lebih kecil dan dibuat di dalam petak sampel berukuran 20m x 20m. Petak sampel pengamatan pancang berukuran 5m x 5m, dan tiang berukuran 10m x 10m (Gambar 2) (Kusmana & Istomo 1995).

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut:

a. Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,50 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm;

b. Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm; c. Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.

(25)

Gambar 2 Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi pada setiap lokasi habitat surili. a = petak pengamatan untuk tingkat pancang; b = petak pengamatan untuk tingkat tiang; c = petak pengamatan untuk tingkat pohon.

Satwa Lainnya

Satwa lainnya dalam penelitian ini adalah kelompok mamalia selain surili. Satwa ini dapat berupa predator maupun pesaing. Pengumpulan data satwa lainnya bersamaan dengan pengumpulan data surili, yaitu pada saat pengamatan parameter demografi surili dan pola penggunaan ruangnya. Data yang dicatat adalah nama jenis, jumlah, dan posisi koordinatnya.

b Komponen Fisik

Komponen Fisik : terdiri dari kelerengan lahan, ketinggian tempat, dan jarak terhadap aktivitas manusia, sumber air dan jalan.

Teknik pengumpulan data komponen fisik habitat adalah sebagai berikut:

Kelerengan lahan. Pengukuran kelerengan lahan dilakukan dengan cara menelaah peta kontur, peta rupa bumi, dan peta kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Kemiringan lahan kemudian dikelompokka menjadi kelas-kelas lereng berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 (Tabel 1).

Tabel 1 Pembagian kelas lereng

Kemiringan Lahan (%) Kelas Lereng Keterangan

0 – 8 1 Datar

8 - 15 2 Landai

15 - 25 3 Bergelombang

25 - 40 4 Curam

Lebih dari 40 5 Sangat Curam

Ketinggian tempat. Pengukuran ketinggian tempat lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan GPS.

• Jarak terhadap jalan, sumber air, pemukiman dan lahan pertanian atau perkebunan

Diperoleh dengan mencatat titik koordinat jalan, sumber air, lokasi pemukiman, perkebunan/pertanian masyarakat, dengan menggunakan GPS. Titik koordinat tersebut dipetakan dalam peta kawasan Taman Nasional

c

a b

20 m

(26)

Gunung Ciremai selanjutnya diukur jaraknya terhadap titik koordinat dimana surili ditemukan.

Metode Analisis Data

Parameter demografi

1 Pendugaan ukuran populasi

Pendugaan ukuran populasi dihitung dan dianalisa untuk menghasilkan informasi :

Jumlah individu total : N = ∑ Xi

Pendugaan ukuran kelompok rata-rata :

X = ∑ Xi/n

Pendugaan variasi kelompok : S2= ∑ Xi2 – (∑Xi)2/n

n-1

Pendugaan kisaran ukuran kelompok :

[X ± tα/2;n-1

Ket : X = ukuran kelompok surili rata-rata setiap lokasi pengamatan (individu)

Xi = jumlah surili pada kelompok ke-i (individu) n = jumlah kelompok

S2 = variasi jumlah individu pada lokasi pengamatan (individu) 2 Natalitas

Natalitas akan dihitung menggunakan persamaan : b = B/N , Ket : b = Angka kelahiran kasar

B = Jumlah individu anak

N = Jumlah individu betina produktif 3 Mortalitas

Nilai mortalitas diperoleh dengan pendekatan peluang hidup. Persamaan yang digunakan untuk mengetahui nilai peluang hidup dan mortalitas adalah sebagai berikut :

Peluang hidup setiap kelas umur (ax)

Keterangan : N(x,t) = jumlah populasi kelas umur x pada waktu ke-t.

Mortalitas setiap kelas umur (Mi)

Mi = 1 - ax

4 Sex ratio

(27)

Analisis Pola penggunaan ruang 1 Analisis Perilaku/Aktifitas

Data dan informasi aktifitas surili dianalisis dengan dua cara yaitu :

a. Secara deskriptif untuk menggambarkan seluruh jenis aktifitas surili yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan

b.Secara kuantitatif untuk menjelaskan hubungan intensitas atau lama aktifitas surili yang dijumpai menurut tipe habitat yang digunakan.

Hubungan-hubungan tersebut diantaranya : proporsi jenis aktifitas dengan proporsi posisi dalam ruang (ketinggian pada pohon/vegetasi), Proporsi waktu aktifitas dengan proporsi posisi dalam ruang (ketinggian pada pohon/vegetasi).

2 Bentuk dan Panjang Lintasan Harian

Pergerakan dihitung sebagai jarak-lurus antara dua titik yang berkesinambungan pada peta dengan menggunakan program komputer Arc GIS 9.3 yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”. Panjang lintasan harian surili didapat dengan menghitung jumlah pergerakan (total panjang garis lurus dari titik-titik yang berurutan) selama pengamatan.

3 Bentuk dan Luas Wilayah Jelajah Harian

Untuk mendapatkan luasan wilayah jelajah digunakan metode analisis

minimum convex polygon (MCP). MCP merupakan wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer Arc GIS 9.3 yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”.

Analisis karakteristik habitat 1 Data vegetasi

Data komponen biologi berupa data vegetasi dianalisa secara deskriptif kuantitatif, menggunakan soft ware excel, sehingga dapat diperoleh gambaran jumlah jenis, tingkat kerapatan, dan keanekaragaman jenis dalam setiap tipe habitat. Selain itu juga analisa karakteristik habitat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi pakan yang ada di habitat tersebut. Rumus-rumus yang dipakai untuk analisa kareketeristik habitat komponen vegetasi sebagai berikut:

a Kerapatan (K)

b Keanekaragaman jenis pakan, menggunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon- Wiener (Krebs 1978) :

H’ = -

pi.lnpi

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh (ha)

Dimana :

(28)

2 Data satwa lainnya dan komponen fisik

Data satwa lainnya dianalisa secara deskriptif, selanjutnya data komponen fisik habitat surili diolah melalui analisis spasial, kemudian ditabulasikan.

3 Faktor Dominan Habitat

Penentuan komponen dominan habitat yang dipilih atau berpengaruh terhadap ukuran kelompok surili dianalisis dengan menggunakan Partial Least Square Regression, dengan bantuan perangkat lunak Minitab14. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y = bo + b1x1+b2x2+…..+b21x21+ ε

Dimana :

Y = Ukuran kelompok surili b0 = nilai intersep

bi = nilai koefisien regresi ke-i

X1 = Kerapatan pancang

X2 = Kerapatan tiang

X3 = Kerapatan pohon

X4 = Kerapatan pakan pancang

X5 = Kerapatan pakan tiang

X6 = Kerapatan pakan pohon

X10= Jumlah Jenis pakan pancang

X11= Jumlah Jenis pakan Tiang

X12= Jumlah Jenis pakan Pohon

X13= Jarak dr Sumber air

X14= Jarak dr Jalan

X15= Jarak dr lahan pertanian

X16= Jarak dr kebakaran

X17= Jarak dr Pemukiman

X18= Keberadaan satwa predator

X7 = Jumlah Jenis Pancang X19= Keberadaan satwa pesaing

X8 = Jumlah Jenis Tiang X20 = Kelas Lereng

X9 = Jumlah Jenis Pohon X21= Ketinggian tempat

Hipotesis yang dibangun adalah:

Ho: b1 = b2 =... = b21 = 0 (semua variabel bebas X tidak ada yang

mempengaruhi variabel tidak bebas Y)

H1: b1 ≠ b2 ≠... ≠ b11 ≠ 0 d(paling sedikit ada satu variabel bebas X yang

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Demografi

Ukuran Populasi dan Komposisi Kelompok

Total sebanyak dua puluh delapan kelompok surili yang berhasil ditemukan di kawasan TNGC selama penelitian. Dua puluh delapan kelompok surili tersebut, berdasarkan tipe habitat yang ada di kawasan TNGC tersebar pada tiga tipe habitat, yaitu 6 kelompok pada habitat hutan dataran rendah, 10 kelompok pada habitat hutan sub pegunungan dan 12 kelompok pada habitat hutan pegunungan (Gambar 3). Pembagian tipe habitat didasarkan pada ketinggian tempat yaitu hutan dataran rendah (< 1000 mdpl), hutan sub pegunungan (1000 – 1500 mdpl), hutan pegunungan (1500 – 2400 mdpl) dan hutan sub alpin(> 2400 mdpl) (van Steenis 2006).

Di tipe habitat hutan dataran rendah dengan jumlah kelompok surili yang berhasil ditemukan sebanyak 6 kelompok, memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 48 individu. Di tipe habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) sebanyak 56 individu dan di tipe hutan pegunungan dari 12 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 60 individu. Sehingga jumlah total individu (ukuran populasi) surili di tiga tipe habitat adalah 164 individu. Data parameter demografi ukuran populasi dan komposisi kelompok dua puluh delapan kelompok surili di kawasan TNGC seperti terlihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa diantara tiga tipe habitat, yang memiliki rata-rata ukuran kelompok surili terbesar adalah di habitat hutan dataran rendah yaitu sebesar 8 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 8,00 ± 4,50. Sedangkan di habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili, diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5,6 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,6 ± 2,49. Selanjutnya di tipe habitat hutan pegunungan dari 12 kelompok diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok yaitu 5 ± 2,07. Sehingga rata-rata jumlah individu di ketiga tipe habitat adalah 5,86 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,86 ± 1,31.

Hasil penelitian sedikit berbeda dengan hasil penelitian Supartono (2010) di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang menemukan total individu surili sebanyak 186 individu dengan ukuran rata-rata 7 individu/kelompok dari 26 kelompok surili yang berhasil ditemukan. Hasil penelitian Siahaan (2002) di kawasan UGI Gunung Salak dengan kondisi kawasan berada pada ketinggian 900 – 1500 mdpl, menemukan ukuran populasi surili sebanyak 984 ekor dengan ukuran kelompok 3 – 8 ekor.

(30)

kelompok surili hasil penelitian Heriyanto & Iskandar (2004) yaitu 3 – 6 ekor. Di Taman Nasional Gunung Halimun dengan kondisi kawasan hutan tidak terganggu ditemukan ukuran kelompok surili 2 – 8 ekor, dan di kawasan hutan terganggunya 2 – 6 ekor (Tobing 1999). Selanjutnya menurut Ruchiyat (1983) surili di Jawa Barat hidup berkelompok dengan ukuran kelompok 3 – 12 ekor/kelompok.

Tabel 2 Ukuran populasi dan komposisi kelompok surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai

No Nama Lokasi Ukuran

Kelompok

Komposisi Kelompok

JD BD JM BM Anak Bayi

I Hutan Dataran Rendah

1 Cipariuk 9 1 3 1 1 2 1

II Hutan Sub Pegunungan

1 Kondang amis 4 1 1 0 1 1 0

(31)

Selanjutnya berdasarkan hasil uji t diperoleh informasi bahwa ukuran kelompok tiap tipe habitat menunjukan perbedaan. Terdapat 3 parameter yang berbeda nyata pada taraf nyata 10%. Pertama rata-rata ukuran kelompok pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Kedua rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan dan ketiga rata-rata bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Sehingga berdasarkan hasil uji r dan uji t tersebut dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah lebih besar adalah karena rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding tipe habitat lainnya. Dengan banyaknya jumlah betina apalagi fertil/subur maka akan meningkatkan nilai natalitas, dan hal ini akan meningkatkan ukuran kelompok. Hasil pengolahan statistik uji r dan uji t disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

Gambar 3 Sebaran pengamatan/penemuan kelompok surili di Kawasan TNGC Tingginya rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah selain karena faktor rata-rata jumlah betina yang lebih besar, faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi yaitu karena terkait faktor habitat yang lebih sesuai bagi surili terutama faktor suhu lingkungan, faktor pakan, faktor kelerengan dan faktor gangguan aktifitas manusia. Suhu lingkungan yang optimal akan menjamin atau menunjang proses alami di habitat hutan dataran rendah terutama bagi proses fotosintesis tumbuhan dan juga proses metabolisme satwa dan makhluk hidup lainnya, termasuk proses refroduksi. Menurut MacKenzie et al.

(32)

pada hutan pegunungan sekitar 14,100C. Sehingga dengan kondisi suhu yang sesuai/optimal maka kelompok surili di habitat hutan dataran rendah akan berkembang karena dengan suhu yang sesuai maka minimal angka kematian yang disebabkan oleh faktor penyakit/parasit dapat ditekan, selain itu juga dengan suhu yang sesuai maka proses fotosintesis dan metabolisme tumbuhan dapat berjalan dengan baik sehingga memberikan jaminan terhadap produktifitas pakan tetap tinggi.

Menurut Napier & Napier (1985) jumlah individu dalam setiap kelompok pada suatu spesies primata diantaranya dapat dipengaruhi oleh kelimpahan pakan. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, jumlah jenis dan kerapatan pakan yang ada di habitat hutan dataran rendah adalah yang paling rendah dibanding habitat hutan sub pegunungan dan hutan pegunungan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar hutan dataran rendah yang menjadi habitat surili di kawasan TNGC telah berubah menjadi kawasan hutan produksi tanaman pinus, dan sebagian lagi berupa areal semak belukar dan tanaman MPTS bekas areal garapan pertanian sayuran. Bahkan hutan tanaman pinus masih ditemui sampai ketinggian 1700 mdpl (habitat hutan pegunungan) tetapi dengan luasan yang tidak seluas di hutan dataran rendah. Hutan dataran rendah yang tersisa hanya di sepanjang sungai dan jurang-jurang. Keragaman dan kerapatan jenis vegetasi dan pakan pada habitat hutan dataran rendah dan juga habitat sub pegunungan dan pegunungan berdasarkan hasil analisa vegetasi ditampilkan pada Tabel 3 dan 4. Sedangkan data jumlah, nama jenis, kerapatan dan keanekaragaman vegetasi dan pakan pada masing-masing tipe habitat tersaji pada Lampiran 6 sampai 15.

Tabel 3 Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC

(33)

menentukan ukuran kelompok pada jenis colobine asia. Stress atau tekanan akan mengganggu proses refroduksi/kawin, mengurangi tingkat kelahiran, bahkan sampai menyebabkan rentan terhadap penyakit.

Tabel 4 Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC

Terkait faktor kelerengan, berdasarkan pengamatan lapangan dan juga pengolahan data titik koordinat tempat ditemukannya kelompok surili di habitat hutan dataran rendah, membuktikan bahwa dari enam titik ditemukannya kelompok surili, empat kelompok berada pada keles lereng 5 dan dua kelompok berada pada kelas lereng 2. Dengan dipilihnya tempat yang memiliki kelas lereng tinggi, maka akan meminimalkan ancaman dari predator, karena menurut Brown (1966), predator akan tertarik pada daerah mangsa yang sangat mudah untuk diakses. Sehingga dengan kondisi demikian maka angka kematian akibat predator dapat diminimalkan, selain itu dengan kondisi aman maka akan meningkatkan angka natalitas juga sehingga ukuran populasi dapat berkembang. Data jumlah kelas lereng pada masing-masing tipe habitat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelas lereng pada tiap tipe habitat lokasi penelitian surili di TNGC

Kelas lereng Dataran Rendah Sub Pegunungan Pegunungan

Jumlah

Dari sisi sebaran kelompok surili, pada gambar 3 dapat dilihat, habitat yang memiliki sebaran kelompok surili yang paling banyak adalah habitat pegunungan dan sub pegunungan. Hal ini terjadi diduga terkait faktor sejarah pengelolaan hutan di kawasan TNGC yang mempengaruhi kondisi pakan dan faktor keamanan habitat surili.

(34)

tahun 2004 – 2010, di areal bekas pengelolaan Perhutani dilakukan kebijakan pengelolaan hutan dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menggarap lahan atau bertani di areal TNGC eks perhutani (BKSDA Jabar II 2006). Namun dalam implementasinya sistem pengelolaan hutan PHBM tersebut tidak berhasil.

Akibat kebijakan pengelolaan hutan sejak jaman Perum Perhutani sampai tahun 2010 oleh TNGC telah menyebabkan habitat hutan dataran rendah berubah jadi hutan tanaman pinus dan areal pertanian. Kerusakan habitat pada habitat hutan dataran rendah dan sebagian hutan sub pegunungan, menyebabkan beberapa satwa bergerak ke tempat yang lebih tinggi, yaitu ke habitat sub pegunungan dan pegunungan yang habitatnya masih baik.

Dugaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Caughley & Sinclair (1994), yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi distribusi mahluk hidup adalah iklim, subtrat, supply makanan, habitat, predator, dan pathogen. Selanjutnya Cooperrider (1986) menyatakan komponen habitat yang mempengaruhi kehadiran satwa liar diantaranya adalah vegetasi hidup, vegetasi mati, fitur-fitur fisik baik yang terbentuk secara alami maupun artifisial yang dibentuk oleh satwa liar maupun manusia, air, suplai makanan, kehadiran dan kelimpahan kompetitor, predator, parasit, penyakit, tingkat gangguan manusia, intensitas perburuan, iklim dan temperatur serta sejarah keberadaannya.

Kondisi sekarang, sejak tahun 2010, areal pertanian yang dikelola dengan sistem PHBM telah ditinggalkan dan berubah menjadi areal semak belukar yang bercampur dengan tanaman MPTS seperti alpukat, nangka, jambu, kesemek, pisang, pepaya, petai dan lain-lain. Sehingga sekarang di habitat hutan dataran rendah, mulai banyak ditemukan lagi satwa seperti babi hutan, monyet ekor panjang, kijang muntjak, termasuk juga surili. Walaupun surili titik sebarannya belum sebanyak seperti di habitat hutan sub pegunungan dan pegunungan.

Dugaan sebaran kelompok surili kenapa lebih banyak terdapat pada habitat sub pegunungan dan pegunungan juga sesuai dengan pernyataan (Hoogerworf 1970) yang menyatakan bahwa habitat utama surili pada mulanya adalah hutan dataran rendah dan daerah pegunungan yang tidak terlalu tinggi. Namun karena adanya kerusakan habitat pada hutan dataran rendah maka surili mencari habitat pegunungan yang lebih aman. Faktor perusakan habitat alami surili di hutan dataran rendah menyebabkan surili lebih banyak ditemukan di hutan sub pegunungan dan pegunungan (ketinggian 1200 – 1800 mdpl) (Ruhiyat 1983, Rowe 1996), dan relatif jarang ditemui di bawah ketinggian 1.200 mdpl (Supriyatna et al. 1994).

(35)

fisiologisnya dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi sumberdaya yang ada. Mamalia adalah salah satu jenis yang terpengaruh oleh temperatur terutama pada pergerakan dan distribusinya.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan surili belum banyak ditemukan di habitat hutan dataran rendah di kawasan TNGC, yaitu karena surili yang berada di habitat pegunungan dan sub pegunungan sudah memiliki homerangenya masing-masing, dan untuk menuju hutan dataran rendah tertahan oleh homerange kelompok lain. Dugaan lain yaitu kelompok surili yang ditemukan di habitat hutan dataran rendah adalah kelompok surili yang berbatasan dengan habitat sub pegunungan dan juga kelompok surili yang terusir dari kelompoknya dan membentuk homerange tersendiri di habitat dataran rendah, serta kelompok surili yang memang sudah dari awal berada di habitat hutan dataran rendah karena di titik tersebut faktor gangguan terhadap habitatnya tidak terlalu tinggi.

Sex Rasio

Pada Tabel 2 dapat dilihat, bahwa sex rasio dari enam titik pengamatan di tipe hutan dataran rendah diperoleh 10 : 25 (1 : 2,5), di tipe hutan sub pegunungan dari sepuluh titik pengamatan diperoleh nilai sex rasio 14 : 27 (1 : 1,93), selanjutnya di tipe hutan pegunungan dari dua belas titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio yaitu 16 : 28 (1 : 1,75). Secara keseluruhan dari dua puluh delapan titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio 40 : 80 (1 : 2).

Nilai ini tidak sama dengan hasil penelitian Siahaan 2002, yang mengemukakan bahwa sex rasio total surili di kawasan UGI Gunung salak 1 : 1,27, dan hasil penelitian Putra (1993) di Cagar Alam Situ Patenggang yang menemukan sex rasio surili di kawasan tersebut sebesar 1 : 1,17. Sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas. Namun secara kualitatif hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Siahaan (2002) dan Putra (1993), yaitu menunjukkan bahwa jumlah betina lebih banyak dibanding jantan.

Di habitat hutan dataran rendah, nilai sex rasionya lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan, selanjutnya nilai sex rasio sub pegunungan lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini terjadi karena rata-rata ukuran kelompok di habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan begitu juga dengan habitat sub pegunungan yang memiliki rata-rata ukuran kelompoknya lebih besar dibanding hutan pegunungan. Selain itu juga dari sisi komposisi jantan betinanya dalam kelompok, ternyata jumlah betina lebih banyak dibanding jumlah jantannya. Hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan bahwa rata-rata betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding habitat pegunungan. Tetapi untuk informasi jenis kelamin apa yang paling sering dilahirkan oleh suatu pasang surili dalam setiap kali melahirkan, hal ini belum ada penelitian yang melaporkan hal tersebut.

(36)

kelompok dan beberapa betina. Sehingga dengan demikian maka dalam satu kelompok surili akan lebih didominasi oleh jenis kelamin betina dibanding jantan. Struktur Umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Pengelompokkan individu ke dalam kelas-kelas umur sangat berguna untuk menilai perkembangan ukuran populasi. Namun di alam, menentukan umur setiap individu populasi sangatlah sulit, sehingga di dalam penelitian ini penentuan struktur umur didasarkan pada pendekatan ciri-ciri kualitatif untuk membedakan ke dalam kelas umur anak, muda dan dewasa.

Komposisi struktur umur pada Tabel 2 adalah struktur umur berdasarkan ciri-ciri kualitatif dengan selang umur antar kelas tidak sama (bukan struktur umur tahunan). Untuk mendapatkan struktur umur tahunan, maka data komposisi struktur umur pada Tabel 2 dibagi dengan lebar selang kelasnya selanjutnya kelompok bayi digabungkan menjadi kelompok anak (Tabel 6).

Tabel 6 Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC

Tipe Habitat Kelas Umur Umur

(th)

Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa struktur umur tahunan surili di habitat hutan dataran rendah Dewasa : Muda : Anak yaitu 2 : 3 : 3,25, di habitat hutan sub pegunungan struktur umur tahunannya yaitu Dewasa : Muda : Anak sama dengan 2,31 : 3,67 : 3,75 dan di tipe hutan pegunungan struktur umur tahunannya yaitu 2,54 : 3,67 : 4. Sehingga struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat yaitu Dewasa : Muda : Anak (7 : 10 : 11).

Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat berdasarkan hasil pengolahan data menunjukan pola struktur umur yang meningkat (progressive population), artinya jumlah populasi anak lebih banyak dibanding populasi kelas muda dan dewasa, begitu juga populasi kelas muda lebih banyak dibanding dewasa. Dengan kondisi struktur umur progressive population maka akan memberikan jaminan kelestarian populasi, karena dengan semakin banyaknya jumlah individu pada struktur umur anak dan muda akan memberikan jaminan keproduktifan populasi atau angka natalitas akan tetap tinggi. Terbentuknya pola struktur umur progressive population ini bisa menjadi indikasi bahwa habitat populasi surili di kawasan TNGC sekarang sudah membaik.

(37)

Gunung Salak yaitu 35 ekor dewasa : 72 ekor muda : 79 ekor anak. Sekali lagi sedikitnya penelitian yang terkait parameter demografi surili maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas.

Natalitas

Nilai natalitas yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai natalitas kasar. Nilai kelahiran spesifik tidak dapat dihitung karena kelas umur individu surili di alam bebas tidak dapat diketahui secara pasti sehingga pengelompokkan setiap individu didasarkan atas besaran kualitatif. Selain itu juga interval waktu antar kelas umur tidak sama. Nilai natalitas diperoleh dengan melihat jumlah bayi atau anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan dibandingkan dengan jumlah betina produktifnya.

Berdasarkan hasil pengolahan data, di habitat hutan dataran rendah diperoleh nilai natalitas kasarnya yaitu 4 : 25. Di habitat hutan sub pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 27 dan di habitat pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 28. Sehingga nilai natalitas total surili dari 28 kelompok surili yaitu 0,125. Nilai ini berbeda dengan nilai dugaan natalitas surili yang dikemukakan oleh (Siahaan 2002) yang menemukan bahwa nilai dugaan surili di kawasan UGI Gunung Salak adalah sebesar 1,23. Sama dengan sex rasio dan struktur umur, sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk nilai natalitas ini sangat terbatas.

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai natalitas di hutan dataran rendah lebih tinggi dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan. Berdasarkan hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya dibagian ukuran kelompok, menyebutkan bahwa rata-rata jumlah bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini disebabkan karena rata-rata jumlah betina yang lebih banyak di hutan dataran rendah sehingga akan meningkatkan nilai natalitas. Selain itu juga diduga faktor suhu lingkungan yang optimal di dataran rendah menyebabkan perkembangan dan metabolisme bayi berjalan dengan baik sehingga angka kematian di kelas umur bayi dapat diminimalkan.

Mortalitas

Kematian adalah kejadian alamiah dalam suatu populasi. Di lapangan untuk memperoleh data kematian surili dalam jangka waktu satu tahun merupakan sesuatu yang sulit terutama karena keterbatasan waktu penelitian ini yang tidak sampai satu tahun. Maka untuk memperoleh nilai mortalitas dihitung dengan pendekatan 1 - peluang hidup pada setiap kelas umur. Asumsi yang digunakan adalah bahwa kondisi populasi tahun ini identik dengan kondisi populasi pada tahun sebelumnya. Angka kematian surili pada setiap tipe habitat tersaji pada Tabel 7.

(38)

pasangannya. Menurut Rowe (1996), pada kelompok primata apabila jantan pra dewasa menjadi dewasa maka ia harus keluar dari kelompoknya dan membuat kelompok yang baru atau berkelahi melawan pemimpin kelompoknya untuk merebut kedudukan sebagai pemimpin dalam kelompok tersebut.

Tabel 7 Peluang hidup dan mortalitas surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC

Tipe Habitat Peluang Hidup Mortalitas Peluang Hidup Mortalitas

Anak – Muda Muda - Dewasa

Sebanyak empat titik pengamatan yang dilakukan pengambilan data pola penggunaan ruang hariannya dari dua puluh delapan titik yang menjadi titik pengamatan parameter demografi. Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe habitat hutan dataran rendah, Blok Kalawija dan Blok Saninten sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan dan Blok Cigowong sebagai perwakilan tipe habitat hutan pegunungan. Data luas dan panjang lintasan pergerakan harian surili pada masing-masing blok disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas wilayah jelajah harian serta panjang lintasan harian surili pada empat blok pengamatan di kawasan TNGC

Tipe Habitat Nama Blok Hari Wilayah jelajah

Luas (Ha) Panjang (m)

Pegunungan Cigowong I 5.830 1128,292

II 5,968 1277,951

III 5,295 1179,678

IV 5,403 1192,027

(39)

Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk sebagai perwakilan tipe hutan dataran rendah yaitu 1,13 ha, dengan panjang lintasan hariannya rata-rata 516,80 m. Luas wilayah jelajah terkecil surili di Blok Haur Cucuk yaitu 0,844 ha dan yang terbesar yaitu 1,358 ha. Selanjutnya panjang lintasan terpendek yaitu 470,442 m dan yang terpanjang yaitu 550,002 m.

Karakteristik habitat di Blok Haur Cucuk adalah berupa hutan dataran rendah yang tidak terganggu/masih alami yang berada di jurang atau daerah aliran sungai dan di kanan kirinya berupa hutan tanaman pinus yang diselingi atau bercampur dengan pohon-pohon pertanian seperti cengkeh, petai, kopi, sengon dll. Diantara ke dua jenis tipe hutan/tegakan tersebut, surili di Blok Haur Cucuk dalam lima hari rata-rata memanfaatkan tegakan/vegetasi alami di jurang sekitar 70,41 % dari total waktu aktifitasnya. sedangkan di hutan campurannya (hutan tanaman bercampur dengan perkebunan) yaitu 29,59 % dari total waktu aktifitasnya. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Haur Cucuk disajikan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Haur Cucuk

(40)

800,846 m dan terpanjang 1169,7 m. Sehingga rata-rata luas wilayah jelajah harian dari ke dua blok tersebut sebagai perwakilan tipe habitat hutan sub pegunungan yaitu 2,7 ha dan rata-rata panjang lintasan hariannya yaitu 1013,77 m.

Gambar 5 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Haur Cucuk

Blok Kalawija merupakan salah satu titik pengamatan yang lokasinya sudah berada di luar kawasan hutan TNGC. Karakteristik habitat Blok Kalawija yaitu berupa vegatasi hutan yang masih alami yang berada di aliran sungai dengan jurang yang dalam. Selanjutnya di kanan kirinya berupa areal pertanian sayuran dan areal dibawah aliran sungainya berupa hutan tanaman masyarakat berupa pohon sengon, petai, kesemek, alpukat, nangka dan lain-lain yang bercampur dengan kebun.

(41)

Gambar 6 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Kalawija

Gambar 7 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Kalawija

(42)

Kalawija. Batas homerange surili Blok Kalawija dengan Blok Saninten dipisahkan oleh jurang yang dalam. Berdasarkan informasi dari masyarakat di batas homerange tersebut mereka beberapa kali pernah menyaksikan surili mengalami bentrokan fisik.

Tipe dan karakteristik habitat di Blok Saninten yaitu berupa tutupan vegetasi/hutan alam yang berada di sepanjang sungai, kanan kiri sungainya berupa areal pertanian sayuran terutama yang berbatasan dengan Blok Kalawija, selanjutnya untuk diatasnya, kanan kirinya berupa hutan tanaman pinus. Di Blok Saninten surili dalam lima hari rata-rata memanfaatkan tipe hutan/vegetasi yang berada di aliran sungai sekitar 86,82 % dari total waktu aktifitasnya sedangkan untuk areal pertanian sekitar 4,41%, dan untuk tanaman pinusnya 8,77 % dari total waktu aktifitasnya. Bentuk atau pola penggunaan ruang surili di Blok Saninten disajikan pada Gambar 8 dan 9.

(43)

Gambar 9 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Saninten

Blok Cigowong sebagai sampel dari tipe hutan pegunungan memiliki rata-rata luas wilayah jelajah hariannya sebesar 5,48 ha, dengan rata-rata-rata-rata panjang lintasan hariannya 1188,3 m. Luas wilayah jelajah terkecilnya yaitu 4,904 ha dan yang terbesar yaitu 5,968 ha. Panjang lintasan harian surili terpendek di Blok Cigowong yaitu 1128,292 dan yang terpanjang yaitu 1277,951.

(44)

Gambar 10 Model luas wilayah jelajah harian surili di Blok Cigowong

Gambar 11 Model panjang lintasan harian Surili di Blok Cigowong

(45)

(1993) surili di Cagar Alam Situ Patenggang setiap harinya bergerak menjelajah sejauh 182 - 400 m, dan memiliki luas wilayah jelajah sekitar 7,75 ha. Hasil ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rowe (1996) serta Supriatna dan Wahyono (2000). Rowe 1996 menyebutkan surili dapat menempuh jarak 400 - 600 m setiap hari. Selanjutnya Supriatna dan Wahyono (2000), menyebutkan surili memiliki pergerakan harian rata-rata mencapai 900 m/hari dan memiliki daerah jelajah berkisar antara 9 - 20 ha tegantung pada besar kecilnya kelompok.

Berdasarkan data atau informasi dari ke empat blok yang diambil data pola penggunaan ruangnya, maka dapat dilihat bahwa rata-rata luas wilayah jelajah harian dan rata-rata panjang lintasan harian surili semakin bertambah dengan naiknya ketinggian tempat. Ada beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi pola penggunaan ruang surili, diantaranya faktor pakan, predator, satwa pesaing, maupun faktor fisik habitat menyangkut kelerengan dan ketinggian tempat. Berdasarkan hasil uji korelasi antara panjang lintasan harian dan luas wilayah jelajah harian dengan faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan ruang harian diperoleh hasil:

1. Terdapat korelasi negatif antara panjang lintasan harian dengan jumlah jenis pohon pada taraf nyata 10% sebesar -0,902. Artinya semakin kecil jumlah jenis pohon maka akan semakin besar panjang lintasan hariannya.

2. Terdapat korelasi negatif antara panjang lintasan harian dengan jumlah jenis pakan tiang pada taraf nyata 10% sebesar -0,929. Artinya semakin kecil jumlah pakan tiang maka akan semakin besar panjang lintasan hariannya.

3. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah jenis pancang pada taraf nyata 10% sebesar -0,946. Artinya semakin kecil jumlah jenis pancang maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 4. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah

jenis tiang pada taraf nyata 5% sebesar -0,996. Artinya semakin kecil jumlah jenis tiang maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya.

5. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah jenis pakan pohon pada taraf nyata 5% sebesar -0,962. Artinya semakin kecil jumlah jenis pakan pohon maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 6. Terdapat korelasi negatif antara luas wilayah jelajah harian dengan jumlah

satwa pesaing pada taraf nyata 10% sebesar -0,962. Artinya semakin sedikit jumlah satwa pesaing maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya. 7. Terdapat korelasi posistif antara luas wilayah jelajah harian dengan ketinggian

dan kelas lereng pada taraf nyata 5% sebesar 0.982. Artinya semakin tinggi ketinggian tempat dan kelerengan maka akan semakin luas wilayah jelajah hariannya.

Hasil perhitungan statistik uji korelasi antara faktor pakan, jumlah predator, jumlah satwa pesaing, maupun faktor fisik habitat menyangkut kelerengan dan ketinggian tempat dengan luas wilayah jelajah dan panjang lintasan harian selengkapnya tersaji pada Lampiran 3 sampai 5.

Gambar

Gambar 2  Bentuk dan ukuran petak ganda untuk pengamatan vegetasi pada setiap
Tabel 2 Ukuran populasi dan komposisi kelompok surili di kawasan Taman
Tabel 3  Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat
Tabel 4  Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat
+7

Referensi

Dokumen terkait