Parameter Demografi
Ukuran Populasi dan Komposisi Kelompok
Total sebanyak dua puluh delapan kelompok surili yang berhasil ditemukan di kawasan TNGC selama penelitian. Dua puluh delapan kelompok surili tersebut, berdasarkan tipe habitat yang ada di kawasan TNGC tersebar pada tiga tipe habitat, yaitu 6 kelompok pada habitat hutan dataran rendah, 10 kelompok pada habitat hutan sub pegunungan dan 12 kelompok pada habitat hutan pegunungan (Gambar 3). Pembagian tipe habitat didasarkan pada ketinggian tempat yaitu hutan dataran rendah (< 1000 mdpl), hutan sub pegunungan (1000 – 1500 mdpl), hutan pegunungan (1500 – 2400 mdpl) dan hutan sub alpin(> 2400 mdpl) (van Steenis 2006).
Di tipe habitat hutan dataran rendah dengan jumlah kelompok surili yang berhasil ditemukan sebanyak 6 kelompok, memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 48 individu. Di tipe habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) sebanyak 56 individu dan di tipe hutan pegunungan dari 12 kelompok surili yang berhasil ditemukan memiliki jumlah total individu (ukuran populasi) surili sebanyak 60 individu. Sehingga jumlah total individu (ukuran populasi) surili di tiga tipe habitat adalah 164 individu. Data parameter demografi ukuran populasi dan komposisi kelompok dua puluh delapan kelompok surili di kawasan TNGC seperti terlihat pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa diantara tiga tipe habitat, yang memiliki rata-rata ukuran kelompok surili terbesar adalah di habitat hutan dataran rendah yaitu sebesar 8 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 8,00 ± 4,50. Sedangkan di habitat hutan sub pegunungan dari 10 kelompok surili, diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5,6 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,6 ± 2,49. Selanjutnya di tipe habitat hutan pegunungan dari 12 kelompok diperoleh nilai rata-rata ukuran kelompok sebesar 5 individu/kelompok dengan kisaran ukuran kelompok yaitu 5 ± 2,07. Sehingga rata-rata jumlah individu di ketiga tipe habitat adalah 5,86 individu/kelompok, dengan kisaran ukuran kelompok sebesar 5,86 ± 1,31.
Hasil penelitian sedikit berbeda dengan hasil penelitian Supartono (2010) di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang menemukan total individu surili sebanyak 186 individu dengan ukuran rata-rata 7 individu/kelompok dari 26 kelompok surili yang berhasil ditemukan. Hasil penelitian Siahaan (2002) di kawasan UGI Gunung Salak dengan kondisi kawasan berada pada ketinggian 900 – 1500 mdpl, menemukan ukuran populasi surili sebanyak 984 ekor dengan ukuran kelompok 3 – 8 ekor.
Hasil penelitian lain terkait ukuran kelompok surili yaitu hasil penelitian Putra (1993) di kawasan Cagar Alam Situ Patenggang yang menemukan ukuran kelompok surili di kawasan tersebut yaitu 3 – 8 ekor/kelompok. Melisch & Dirgayusa (1996) menemukan ukuran kelompok surili di Cagar Alam Gunung Tukung Gede yaitu 5 - 23 ekor, di Taman Nasional Ujung Kulon ukuran
kelompok surili hasil penelitian Heriyanto & Iskandar (2004) yaitu 3 – 6 ekor. Di Taman Nasional Gunung Halimun dengan kondisi kawasan hutan tidak terganggu ditemukan ukuran kelompok surili 2 – 8 ekor, dan di kawasan hutan terganggunya 2 – 6 ekor (Tobing 1999). Selanjutnya menurut Ruchiyat (1983) surili di Jawa Barat hidup berkelompok dengan ukuran kelompok 3 – 12 ekor/kelompok.
Tabel 2 Ukuran populasi dan komposisi kelompok surili di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
No Nama Lokasi Ukuran
Kelompok
Komposisi Kelompok
JD BD JM BM Anak Bayi
I Hutan Dataran Rendah
1 Cipariuk 9 1 3 1 1 2 1 2 Haur Cucuk 8 1 2 1 1 2 1 3 Parahu 3 1 1 0 1 0 0 4 Awi Lega 3 1 1 0 0 1 0 5 Gunung Larang 13 1 7 1 1 2 1 6 Pasir Ipis 12 1 6 1 1 2 1
Total dataran rendah 48 6 20 4 5 9 4
II Hutan Sub Pegunungan
1 Kondang amis 4 1 1 0 1 1 0 2 Manduraga 5 1 2 0 1 1 0 3 Lembah Cilengkrang 12 1 6 1 1 2 1 4 Kopigewok 6 1 2 0 1 2 0 5 Cigowong Hilir 7 1 1 1 2 1 1 6 Sayana 2 1 1 0 0 0 0 7 Arpesi 2 1 1 0 0 0 0 8 Cibunian 6 1 1 1 1 2 0 9 Kalawija 8 1 2 1 2 1 1 10 Saninten 4 1 1 0 0 2 0
Total Sub Pegunungan 56 10 18 4 9 12 3
III Hutan Pegunungan
1 Loji 4 1 1 0 0 2 0 2 Mongor Buntu 11 1 5 1 1 2 1 3 Gunung Pucuk 1 8 1 2 1 1 2 1 4 Gunung Pucuk 2 3 1 1 0 1 0 0 5 Gunung Pucuk 3 4 1 1 0 0 2 0 6 Dilem 4 1 2 0 1 0 0 7 Grogol 1 4 1 2 0 1 0 0 8 Grogol 2 9 1 3 1 1 2 1 9 Grogol 3 5 1 1 0 1 2 0 10 Cigowong 3 1 1 1 0 0 0 11 Kuta 2 1 1 0 0 0 0 12 Pangguyangan Badak 3 1 1 0 0 1 0 Total Pegunungan 60 12 21 4 7 13 3 Total I+II+III 164 28 59 12 21 34 10
Ket : JD = Jantan Dewasa, BD = Betina Dewasa, JM = Jantan Muda, BM = Betina Muda
Hasil penelitian menunjukkan habitat hutan dataran rendah walaupun memiliki jumlah titik sebaran yang sedikit tetapi dari segi ukuran rata-rata kelompoknya memiliki ukuran yang lebih banyak dibanding tipe habitat sub pegunungan dan pegunungan. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan menggunakan uji r pada taraf nyata 5 % diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran kelompok dengan semua parameter demografi dimana ukuran kelompok dengan jumlah betina memiliki hubungan yang paling besar (nilai r = 0.937).
Selanjutnya berdasarkan hasil uji t diperoleh informasi bahwa ukuran kelompok tiap tipe habitat menunjukan perbedaan. Terdapat 3 parameter yang berbeda nyata pada taraf nyata 10%. Pertama rata-rata ukuran kelompok pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Kedua rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan dan ketiga rata-rata bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibandingkan habitat hutan pegunungan. Sehingga berdasarkan hasil uji r dan uji t tersebut dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah lebih besar adalah karena rata-rata jumlah betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding tipe habitat lainnya. Dengan banyaknya jumlah betina apalagi fertil/subur maka akan meningkatkan nilai natalitas, dan hal ini akan meningkatkan ukuran kelompok. Hasil pengolahan statistik uji r dan uji t disajikan pada Lampiran 1 dan 2.
Gambar 3 Sebaran pengamatan/penemuan kelompok surili di Kawasan TNGC Tingginya rata-rata ukuran kelompok surili pada habitat hutan dataran rendah selain karena faktor rata-rata jumlah betina yang lebih besar, faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi yaitu karena terkait faktor habitat yang lebih sesuai bagi surili terutama faktor suhu lingkungan, faktor pakan, faktor kelerengan dan faktor gangguan aktifitas manusia. Suhu lingkungan yang optimal akan menjamin atau menunjang proses alami di habitat hutan dataran rendah terutama bagi proses fotosintesis tumbuhan dan juga proses metabolisme satwa dan makhluk hidup lainnya, termasuk proses refroduksi. Menurut MacKenzie et al.
(2001) menyatakan bahwa pada suhu optimal metabolisme makhluk hidup akan meningkat, tetapi pada suhu yang rendah metabolime makhluk hidup akan menurun. Menurut van Steenis (2006), suhu udara pada hutan dataran rendah (<1.000 mdpl) sekitar 23,100C, pada hutan sub pegunungan sekitar 19,600C, dan
pada hutan pegunungan sekitar 14,100C. Sehingga dengan kondisi suhu yang sesuai/optimal maka kelompok surili di habitat hutan dataran rendah akan berkembang karena dengan suhu yang sesuai maka minimal angka kematian yang disebabkan oleh faktor penyakit/parasit dapat ditekan, selain itu juga dengan suhu yang sesuai maka proses fotosintesis dan metabolisme tumbuhan dapat berjalan dengan baik sehingga memberikan jaminan terhadap produktifitas pakan tetap tinggi.
Menurut Napier & Napier (1985) jumlah individu dalam setiap kelompok pada suatu spesies primata diantaranya dapat dipengaruhi oleh kelimpahan pakan. Berdasarkan hasil analisa vegetasi, jumlah jenis dan kerapatan pakan yang ada di habitat hutan dataran rendah adalah yang paling rendah dibanding habitat hutan sub pegunungan dan hutan pegunungan. Kondisi ini disebabkan karena sebagian besar hutan dataran rendah yang menjadi habitat surili di kawasan TNGC telah berubah menjadi kawasan hutan produksi tanaman pinus, dan sebagian lagi berupa areal semak belukar dan tanaman MPTS bekas areal garapan pertanian sayuran. Bahkan hutan tanaman pinus masih ditemui sampai ketinggian 1700 mdpl (habitat hutan pegunungan) tetapi dengan luasan yang tidak seluas di hutan dataran rendah. Hutan dataran rendah yang tersisa hanya di sepanjang sungai dan jurang-jurang. Keragaman dan kerapatan jenis vegetasi dan pakan pada habitat hutan dataran rendah dan juga habitat sub pegunungan dan pegunungan berdasarkan hasil analisa vegetasi ditampilkan pada Tabel 3 dan 4. Sedangkan data jumlah, nama jenis, kerapatan dan keanekaragaman vegetasi dan pakan pada masing-masing tipe habitat tersaji pada Lampiran 6 sampai 15.
Tabel 3 Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC
No Tipe Habitat Tingkat
pertumbuhan Jumlah jenis Kerapatan (Individu/ha) Indeks Keanekaragaman Shanon – Wiener I Hutan dataran rendah Pancang 44 1846,67 3,46 Tiang 50 323,33 3,72 Pohon 49 121,25 3,09 II Hutan sub pegunungan Pancang 81 1800 3,66 Tiang 69 408 3,70 Pohon 78 214 3,31 III Hutan pegunungan Pancang 56 2373,33 3,28 Tiang 48 630 3,13 Pohon 50 207,5 3,22
Walaupun jumlah jenis dan kerapatan vegetasi di habitat hutan dataran rendah paling kecil, namun kondisi sekarang di areal bekas perambahan, tanaman MPTS sudah besar dan menghasilkan buah, serta beberapa tanaman rehabilitasi juga sudah cukup besar, sehingga tetap menjaga jumlah dan keragaman jenis pakan surili di habitat hutan dataran rendah. Selain itu dengan tidak adanya lagi aktifitas pertanian di dalam kawasan diduga juga telah mengurangi gangguan manusia terhadap habitat surili. Sehingga surili aman dalam melakukan aktifitas dan refroduksi serta terbebas dari stress dan ketakutan. Menurut Yeager dan Kirkpatrick (1998) bahwa stres merupakan salah satu faktor yang paling
menentukan ukuran kelompok pada jenis colobine asia. Stress atau tekanan akan mengganggu proses refroduksi/kawin, mengurangi tingkat kelahiran, bahkan sampai menyebabkan rentan terhadap penyakit.
Tabel 4 Jumlah jenis dan kerapatan pakan surili pada setiap tipe habitat pengamatan surili di TNGC
No Tipe Habitat Tingkat
pertumbuhan
Jumlah Jenis Pakan
Kerapatan (Individu/ha)
1 Hutan dataran rendah Pancang 29 1460
Tiang 33 238,33
Pohon 28 96,67
2 Hutan sub pegunungan Pancang 39 1288
Tiang 39 293
Pohon 37 167
3 Hutan pegunungan Pancang 30 1613,33
Tiang 30 453,33
Pohon 31 138,33
Terkait faktor kelerengan, berdasarkan pengamatan lapangan dan juga pengolahan data titik koordinat tempat ditemukannya kelompok surili di habitat hutan dataran rendah, membuktikan bahwa dari enam titik ditemukannya kelompok surili, empat kelompok berada pada keles lereng 5 dan dua kelompok berada pada kelas lereng 2. Dengan dipilihnya tempat yang memiliki kelas lereng tinggi, maka akan meminimalkan ancaman dari predator, karena menurut Brown (1966), predator akan tertarik pada daerah mangsa yang sangat mudah untuk diakses. Sehingga dengan kondisi demikian maka angka kematian akibat predator dapat diminimalkan, selain itu dengan kondisi aman maka akan meningkatkan angka natalitas juga sehingga ukuran populasi dapat berkembang. Data jumlah kelas lereng pada masing-masing tipe habitat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kelas lereng pada tiap tipe habitat lokasi penelitian surili di TNGC
Kelas lereng Dataran Rendah Sub Pegunungan Pegunungan
Jumlah titik/kelompok Persentase (%) Jumlah titik Persentase Jumlah titik Persentase I (0% - 8 %) 0 0 0 0 0 0 II (8% – 15 %) 2 33,33 0 0 1 8,33 III (15% - 25%) 0 0 4 40 4 33,33 IV (25 – 40%) 0 0 3 30 2 16,67 V (> 40%) 4 66,67 3 30 5 41,67 Jumlah 6 100 10 100 12 100
Dari sisi sebaran kelompok surili, pada gambar 3 dapat dilihat, habitat yang memiliki sebaran kelompok surili yang paling banyak adalah habitat pegunungan dan sub pegunungan. Hal ini terjadi diduga terkait faktor sejarah pengelolaan hutan di kawasan TNGC yang mempengaruhi kondisi pakan dan faktor keamanan habitat surili.
Sejak tahun 1978 – 2004, pada saat status kawasan hutan produksi, habitat hutan dataran rendah dan sebagian hutan sub pegunungan di kawasan TNGC kebanyakan telah berubah menjadi kawasan hutan tanaman di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Selanjutnya pada masa awal pengelolaan kawasan TNGC yaitu
tahun 2004 – 2010, di areal bekas pengelolaan Perhutani dilakukan kebijakan pengelolaan hutan dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang memberikan hak kepada masyarakat untuk menggarap lahan atau bertani di areal TNGC eks perhutani (BKSDA Jabar II 2006). Namun dalam implementasinya sistem pengelolaan hutan PHBM tersebut tidak berhasil.
Akibat kebijakan pengelolaan hutan sejak jaman Perum Perhutani sampai tahun 2010 oleh TNGC telah menyebabkan habitat hutan dataran rendah berubah jadi hutan tanaman pinus dan areal pertanian. Kerusakan habitat pada habitat hutan dataran rendah dan sebagian hutan sub pegunungan, menyebabkan beberapa satwa bergerak ke tempat yang lebih tinggi, yaitu ke habitat sub pegunungan dan pegunungan yang habitatnya masih baik.
Dugaan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Caughley & Sinclair (1994), yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi distribusi mahluk hidup adalah iklim, subtrat, supply makanan, habitat, predator, dan pathogen. Selanjutnya Cooperrider (1986) menyatakan komponen habitat yang mempengaruhi kehadiran satwa liar diantaranya adalah vegetasi hidup, vegetasi mati, fitur-fitur fisik baik yang terbentuk secara alami maupun artifisial yang dibentuk oleh satwa liar maupun manusia, air, suplai makanan, kehadiran dan kelimpahan kompetitor, predator, parasit, penyakit, tingkat gangguan manusia, intensitas perburuan, iklim dan temperatur serta sejarah keberadaannya.
Kondisi sekarang, sejak tahun 2010, areal pertanian yang dikelola dengan sistem PHBM telah ditinggalkan dan berubah menjadi areal semak belukar yang bercampur dengan tanaman MPTS seperti alpukat, nangka, jambu, kesemek, pisang, pepaya, petai dan lain-lain. Sehingga sekarang di habitat hutan dataran rendah, mulai banyak ditemukan lagi satwa seperti babi hutan, monyet ekor panjang, kijang muntjak, termasuk juga surili. Walaupun surili titik sebarannya belum sebanyak seperti di habitat hutan sub pegunungan dan pegunungan.
Dugaan sebaran kelompok surili kenapa lebih banyak terdapat pada habitat sub pegunungan dan pegunungan juga sesuai dengan pernyataan (Hoogerworf 1970) yang menyatakan bahwa habitat utama surili pada mulanya adalah hutan dataran rendah dan daerah pegunungan yang tidak terlalu tinggi. Namun karena adanya kerusakan habitat pada hutan dataran rendah maka surili mencari habitat pegunungan yang lebih aman. Faktor perusakan habitat alami surili di hutan dataran rendah menyebabkan surili lebih banyak ditemukan di hutan sub pegunungan dan pegunungan (ketinggian 1200 – 1800 mdpl) (Ruhiyat 1983, Rowe 1996), dan relatif jarang ditemui di bawah ketinggian 1.200 mdpl (Supriyatna et al. 1994).
Hasil eksplorasi lapangan pada habitat sub alpin (ketinggian (> 2400 mdpl) tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan surili. Hasil ini sama dengan hasil Penelitian Supartono (2010), yang melaporkan bahwa di habitat hutan sub alpin TNGC tidak ditemukan titik-titik distribusi surili, yang diduga karena terkait kondisi suhu udara. Kondisi lapangan membuktikan bahwa suhu lingkungan pada habitat sub alpin sudah sangat dingin sekali, sehingga diduga surili tidak mampu untuk beradaptasi dengan kondisi suhu yang ekstrim. MacKenzie et al (2001) menyatakan bahwa suhu akan menjadi faktor pembatas bagi sebaran maupun pertumbuhan makhluk hidup. Selanjutnya Sinclair et al. (2006) menyatakan temperatur dapat membatasi distribusi satwa liar melalui efek langsung pada
fisiologisnya dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi sumberdaya yang ada. Mamalia adalah salah satu jenis yang terpengaruh oleh temperatur terutama pada pergerakan dan distribusinya.
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan surili belum banyak ditemukan di habitat hutan dataran rendah di kawasan TNGC, yaitu karena surili yang berada di habitat pegunungan dan sub pegunungan sudah memiliki homerangenya masing-masing, dan untuk menuju hutan dataran rendah tertahan oleh homerange kelompok lain. Dugaan lain yaitu kelompok surili yang ditemukan di habitat hutan dataran rendah adalah kelompok surili yang berbatasan dengan habitat sub pegunungan dan juga kelompok surili yang terusir dari kelompoknya dan membentuk homerange tersendiri di habitat dataran rendah, serta kelompok surili yang memang sudah dari awal berada di habitat hutan dataran rendah karena di titik tersebut faktor gangguan terhadap habitatnya tidak terlalu tinggi.
Sex Rasio
Pada Tabel 2 dapat dilihat, bahwa sex rasio dari enam titik pengamatan di tipe hutan dataran rendah diperoleh 10 : 25 (1 : 2,5), di tipe hutan sub pegunungan dari sepuluh titik pengamatan diperoleh nilai sex rasio 14 : 27 (1 : 1,93), selanjutnya di tipe hutan pegunungan dari dua belas titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio yaitu 16 : 28 (1 : 1,75). Secara keseluruhan dari dua puluh delapan titik pengamatan di peroleh nilai sex rasio 40 : 80 (1 : 2).
Nilai ini tidak sama dengan hasil penelitian Siahaan 2002, yang mengemukakan bahwa sex rasio total surili di kawasan UGI Gunung salak 1 : 1,27, dan hasil penelitian Putra (1993) di Cagar Alam Situ Patenggang yang menemukan sex rasio surili di kawasan tersebut sebesar 1 : 1,17. Sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas. Namun secara kualitatif hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Siahaan (2002) dan Putra (1993), yaitu menunjukkan bahwa jumlah betina lebih banyak dibanding jantan.
Di habitat hutan dataran rendah, nilai sex rasionya lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan, selanjutnya nilai sex rasio sub pegunungan lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini terjadi karena rata-rata ukuran kelompok di habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan begitu juga dengan habitat sub pegunungan yang memiliki rata-rata ukuran kelompoknya lebih besar dibanding hutan pegunungan. Selain itu juga dari sisi komposisi jantan betinanya dalam kelompok, ternyata jumlah betina lebih banyak dibanding jumlah jantannya. Hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan bahwa rata-rata betina pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding habitat pegunungan. Tetapi untuk informasi jenis kelamin apa yang paling sering dilahirkan oleh suatu pasang surili dalam setiap kali melahirkan, hal ini belum ada penelitian yang melaporkan hal tersebut.
Lebih banyaknya betina dalam satu kelompok surili hal ini diduga terkait dengan karaketeristik kelompok surili yang menurut (Benet & Davis 1994, Rowe 1996, Tobing 1999, Supriatna & Wahyono 2000) menyatakan bahwa surili merupakan kelompok primata yang hanya terdiri dari satu jantan sebagai ketua
kelompok dan beberapa betina. Sehingga dengan demikian maka dalam satu kelompok surili akan lebih didominasi oleh jenis kelamin betina dibanding jantan. Struktur Umur
Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Pengelompokkan individu ke dalam kelas-kelas umur sangat berguna untuk menilai perkembangan ukuran populasi. Namun di alam, menentukan umur setiap individu populasi sangatlah sulit, sehingga di dalam penelitian ini penentuan struktur umur didasarkan pada pendekatan ciri-ciri kualitatif untuk membedakan ke dalam kelas umur anak, muda dan dewasa.
Komposisi struktur umur pada Tabel 2 adalah struktur umur berdasarkan ciri-ciri kualitatif dengan selang umur antar kelas tidak sama (bukan struktur umur tahunan). Untuk mendapatkan struktur umur tahunan, maka data komposisi struktur umur pada Tabel 2 dibagi dengan lebar selang kelasnya selanjutnya kelompok bayi digabungkan menjadi kelompok anak (Tabel 6).
Tabel 6 Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat lokasi penelitian di Kawasan TNGC
Tipe Habitat Kelas Umur Umur
(th) Selang Umur Jumlah Populasi Rata-Rata Tahunan
Dataran Rendah Anak 0 – 4 4 13 3,25
Muda 4 – 7 3 9 3
Dewasa 7 – 20 13 26 2
Sub Pegunungan Anak 0 – 4 4 15 3,75
Muda 4 – 7 3 13 3,67
Dewasa 7 – 20 13 28 2,31
Pegunungan Anak 0 – 4 4 16 4
Muda 4 – 7 3 11 3,67
Dewasa 7 – 20 13 33 2,54
Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa struktur umur tahunan surili di habitat hutan dataran rendah Dewasa : Muda : Anak yaitu 2 : 3 : 3,25, di habitat hutan sub pegunungan struktur umur tahunannya yaitu Dewasa : Muda : Anak sama dengan 2,31 : 3,67 : 3,75 dan di tipe hutan pegunungan struktur umur tahunannya yaitu 2,54 : 3,67 : 4. Sehingga struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat yaitu Dewasa : Muda : Anak (7 : 10 : 11).
Struktur umur tahunan surili di tiga tipe habitat berdasarkan hasil pengolahan data menunjukan pola struktur umur yang meningkat (progressive population), artinya jumlah populasi anak lebih banyak dibanding populasi kelas muda dan dewasa, begitu juga populasi kelas muda lebih banyak dibanding dewasa. Dengan kondisi struktur umur progressive population maka akan memberikan jaminan kelestarian populasi, karena dengan semakin banyaknya jumlah individu pada struktur umur anak dan muda akan memberikan jaminan keproduktifan populasi atau angka natalitas akan tetap tinggi. Terbentuknya pola struktur umur progressive population ini bisa menjadi indikasi bahwa habitat populasi surili di kawasan TNGC sekarang sudah membaik.
Struktur umur hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Siahaan (2002) yang mengemukakan struktur umur tahunan surili di kawasan UGI
Gunung Salak yaitu 35 ekor dewasa : 72 ekor muda : 79 ekor anak. Sekali lagi sedikitnya penelitian yang terkait parameter demografi surili maka data pembanding untuk hasil penelitian ini sangat terbatas.
Natalitas
Nilai natalitas yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai natalitas kasar. Nilai kelahiran spesifik tidak dapat dihitung karena kelas umur individu surili di alam bebas tidak dapat diketahui secara pasti sehingga pengelompokkan setiap individu didasarkan atas besaran kualitatif. Selain itu juga interval waktu antar kelas umur tidak sama. Nilai natalitas diperoleh dengan melihat jumlah bayi atau anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan dibandingkan dengan jumlah betina produktifnya.
Berdasarkan hasil pengolahan data, di habitat hutan dataran rendah diperoleh nilai natalitas kasarnya yaitu 4 : 25. Di habitat hutan sub pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 27 dan di habitat pegunungan nilai natalitas kasarnya yaitu 3 : 28. Sehingga nilai natalitas total surili dari 28 kelompok surili yaitu 0,125. Nilai ini berbeda dengan nilai dugaan natalitas surili yang dikemukakan oleh (Siahaan 2002) yang menemukan bahwa nilai dugaan surili di kawasan UGI Gunung Salak adalah sebesar 1,23. Sama dengan sex rasio dan struktur umur, sedikitnya penelitian yang terkait surili terutama tentang parameter demografinya maka data pembanding untuk nilai natalitas ini sangat terbatas.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai natalitas di hutan dataran rendah lebih tinggi dibanding hutan sub pegunungan dan pegunungan. Berdasarkan hasil uji t yang telah disebutkan sebelumnya dibagian ukuran kelompok, menyebutkan bahwa rata-rata jumlah bayi pada habitat hutan dataran rendah lebih besar dibanding hutan pegunungan. Hal ini disebabkan karena rata-rata jumlah betina yang lebih banyak di hutan dataran rendah sehingga akan meningkatkan nilai natalitas. Selain itu juga diduga faktor suhu lingkungan yang