• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Spatial Use Pattern and Demographic Parameters of Javan Leopard at Gunung Ciremai National Park.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Spatial Use Pattern and Demographic Parameters of Javan Leopard at Gunung Ciremai National Park."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA PENGGUNAAN RUANG DAN PARAMETER

DEMOGRAFI MACAN TUTUL JAWA DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG CIREMAI

JOKO NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Parameter Demografi Macan Tutul Jawa Di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Joko Nugroho

(3)

RINGKASAN

JOKO NUGROHO. Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Parameter Demografi Macan Tutul Jawa Di Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NOVIANTO BAMBANG W.

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas F. Cuvier, 1809) merupakan salah satu kucing besar yang ada di hutan Pulau Jawa. Macan tutul jawa memiliki peran penting dalam ekosistem yaitu sebagai predator puncak (top predator). Satwa ini merupakan spesies kunci (keystone spesies) khususnya di hutan hujan tropis Pulau Jawa. Dalam beberapa tahun terakhir ini populasi macan tutul secara umum mengalami penurunan, sehingga masuk dalam kriteria critically endangered spesies dalam daftar IUCN, appendix I dalam daftar CITES dan berstatus dilindungi oleh Undang-Undang RI No.5 Tahun 1990. Penelitian dilakukan selama 11 bulan, dimulai Bulan April 2012 hingga Pebruari 2013 di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Memperoleh informasi mengenai penggunaan ruang spesies macan tutul jawa, 2) Memperoleh informasi mengenai pendugaan parameter demografi macan tutul jawa di kawasan TNGC. Penelitian dilakukan di Seksi Pengelolaan Wilayah I Kuningan dan Seksi Pengelolaan Wilayah II Majalengka. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari atas peta kawasan, kamera jebak, binokuler, GPS, kemera digital, senter, kompas dll. Metode yang digunakan adalah pengematan langsung dilapangan dan studi literature.

Berdasarkan penelitian lapangan diketahui bahwa kawasan TNGC memiliki empat ruang jelajah macan tutul jawa yaitu Blok Sigedong Resort Jalaksana, Blok Sayana dan Sukamukti Resort Jalaksana, serta Resort Argamukti. Parameter demografi macan tutul jawa di TNGC meliputi ukuran populasi minimum adalah 3 ekor, sex ratio jantan:betina adalah 3:0 dan untuk struktur umur anak : muda : dewasa adalah 0:0:3. Luas wilayah jelajah rata-rata macan tutul jawa di TNGC sebesar 7,22 km2. Jumlah jenis mangsa adalah 11 jenis yang didominasi oleh babi hutan, luak dan kijang. Indeks keanekaragaman jenis mangsa sebesar 1,65 dan indeks kemerataan jenis 0,69.

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diketahui bahwa faktor dominan habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa adalah jarak dari pemukiman (X1), kelas kelerengan (X4), jarak mangsa (X6), jumlah jenis mangsa (X7), dan jarak sumber air (X8) dengan persamaan:

(4)
(5)

SUMMARY

JOKO NUGROHO. Analysis of Spatial Use Pattern and Demographic Parameters of Javan Leopard at Gunung Ciremai National Park. Under supervised by YANTO SANTOSA and NOVIANTO BAMBANG W.

Javan Leopard (Panthera pardus melas F. Cuvier, 1809) is one of the big cats on the Island of Java. Javan leopard has an important role in the ecosystem as top predators. It is also called keystone species particularly in the tropical rain forests of the Island of Java. Within the last few years leopard population in general has decreased, so that the criteria being critically endangered species in the IUCN red list, appendix I of the CITES, and protected by the laws of Republic of Indonesia No. 5 in 1990. The research conducted over the past 11 months, starting April 2012 to March 2013 within the Gunung Ciremai National Park (TNGC).

The objectives of this research are: 1) together information on the use of space of Javan leopard species 2) together information on estimation of demographic parameters of the Javan leopard with the TNGC. Research was done in Management Area I of Kuningan and Management Area II of Majalengka. Equipment and materials used in this research consisting of the map of the conservation area camera traps, binoculars, GPS, digital camera, flashlight, compass etc. The method employed was direct observation in the field as well as study of literature.

Based on research field known that TNGC has four space range of Javan leopard i.e. Block Sigedong, Block Sayana and Block Sukamukti, as well as Block Resort Argamukti. Demographic parameters of Javan Leopard in TNGC include minimum population size is the 3 individuals, sex ratio of male: female is 3: 0 and the structure of cub: juveniles: adult is 0: 0: 3. The average of home range of Javan leopard in TNGC is 7,22 km2. The number of prey is II and dominated (X6), the number of prey species (X7), and the distance of the water source (X8) with the equation:

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(8)

DEMOGRAFI MACAN TUTUL JAWA DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG CIREMAI

JOKO NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis dengan judul “Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Parameter Demografi Macan Tutul Di Taman Nasional Gunung Ciremai” ini dapat saya selesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr.Ir. Novianto Bambang W, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran selama masa penelitian sampai tersusunnya tesis ini. Dr. Dolly Priatna selaku komisi penguji. Terima kasih kepada Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Balai TN Ciremai, dan Conservation Internasional (CI) yang telah memberikan kesempatan beasiswa, sarana prasarana, dan data kepada penulis selama melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Sylvandari, keluarga besar Bapak Paidi, keluarga besar Bapak Soegiharto S, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Joko Nugroho

(12)

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN Vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Maksud dan Tujuan 2

Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran

2 3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Alat dan Bahan 4

Metode Pengumpulan Data 5

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Ruang Macan Tutul Jawa 12

Penggunaan Tutupan Lahan 30

Jenis Mangsa Macan Tutul 32

Keanekaragaman Satwa Mangsa 37

Penggunaan Waktu Satwa 39

Faktor Dominan Komponen Habitat 40

Parameter Demografi Macan Tutul Jawa Di TNGC 42

KESIMPULAN DAN SARAN 44

DAFTAR PUSTAKA 45

(13)

DAFTAR TABEL

1 Luas wilayah jelajah macan tutul jawa……….. 12

2 Satwa mangsa macan tutul………. 16

3 Frekuensi kehadiran macan tutul berdasarkan kelerengan tempat pada lokasi pemasangan kamera jebak……….. 22

4 Penggunaan habiat oleh macan tutul jawa pada lokasi berdasarkan ketinggian tempat dan frekuensi kehadiran pada kamera jebak…… 23

5 Penggunaan habitat oleh macan tutul jawa pada setiap lokasi berdasarkan kelas ketinggian dan frekuensi kehadiran……….. 24

6 Frekuensi perjumpaan macan tutul oleh kamera jebak di berbagai ketinggian………. 26

7 Sepuluh jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi…… 28

8 Sepuluh jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi… 28 9 Sepuluh jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi …… 29

10 Sepuluh jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi……. 29

11 Potensi tutupan lahan pada habitat macan tutul di TNGC…………... 30

12

15 Struktur umur macan tutul jawa di TNGC………... 43

DAFTAR GAMBAR

1 Peta eksisting Gunung Ciremai………... 4

2 Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul……… 6

3 Petak pengamatan vegetasi……… 8

4 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sigedong……….. 13

5 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sukamukti……… 13

6 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sayana……….. 14

7 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Argamukti……… 14

8 Sisa mangsa macan tutul jawa………... 18

9 Macan Sigedong……… 24

10 Macan Sayana……… 25

11 Macan Sukamukti……….. 25

12 Grafik hubungan antara perjumpaan macan tutul pada berbagai tipe habitat……….. 26

13 Proporsi penggunaan tutupan lahan oleh macan tutul di TNGC…... 30

14 Frekuensi perjumpaan satwa mangsa macan tutul jawa……… 37

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis korelasi………...………... 47

2 Hasil Uji Chi square………...……… 50

3 Regresi Logistik………. 51

4 Analisis vegetasi Tingkat pohon………..……….. 54

5 Analisis vegetasi tingkat tiang………...……… 56

6 Analisis vegetasi tingkat pancang……….. 58

7 Analisis vegetasi tingkat semai………..……… 60

8 Frekuensi perjumpaan satwa...………... 61 9

10

Kamera trap...………...

(15)

RIWAYAT HIDUP

(16)

Latar Belakang

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas F. Cuvier, 1809) merupakan salah satu jenis karnivora bersifat soliter yang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem khususnya di hutan hujan tropis Pulau Jawa, yaitu sebagai predator tertinggi dalam siklus rantai makanan. Macan tutul memiliki wilayah jelajah yang sangat luas, hal ini disebabkan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan makanannya agar populasi satwa tersebut tetap terjaga.

Dalam beberapa tahun terakhir populasi macan tutul secara umum mengalami penurunan. Satwa ini masuk dalam klasifikasi kritis yang terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature). Macan tutul jawa termasuk dalam kategori appendix I dalam daftar CITES (Conservation on International Trade in Endangered Spesies in Wild Flora and Fauna) yang berarti jenis ini dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apapun. Macan tutul bersetatus dilindungi oleh Undang-Undang RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Infomasi yang jelas mengenai pola penggunaan ruang dan parameter demografi sangat dibutuhkan, terutama untuk merumuskan tindakan konservasi yang tepat dan diharapkan mampu untuk mempertahankan kelestarian satwa tersebut di alam.

Jumlah macan tutul jawa pada areal hutan konservasi di seluruh Pulau Jawa belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan antara 350 s/d 700 ekor (Santiapillai & Ramono 1992). Beberapa lokasi sebaran macan tutul diperkirakan telah mengalami penurunan kualitas dan kesesuaiannya sebagai habitat bagi satwa tersebut, bahkan dibeberapa lokasi lainnya telah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi sebagai habitat macan tutul jawa. Penurunan kuwalitas habitat dari macan tutul itu sendiri menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat yang dapat menyebabkan pemecahan suatu populasi menjadi sub-sub populasi yang selanjutnya sangat rawan terhadap kepunahan lokal.

Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu habitat dari macan tutul yang ada di Provinsi Jawa Barat. Penetapan sebagai taman nasional sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 424/ Menhut-II/ 2004 Tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai dengan luas ± 15 500 ha. Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai selama ini mengalami beberapa gangguan yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem khususnya habitat macan tutul jawa. Kerusakan habitat tersebut meliputi hilangnya komponen habitat, degradasi, dan fragmentasi habitat.

(17)

diikuti oleh punahnya spesies lain yang akibatnya keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Upaya untuk melindungi spesies kunci merupakan prioritas bagi usaha konservasi. Predator utama merupakan spesies kunci karena peranannya untuk ikut mengontrol populasi satwa herbivora (Redford 1992).

Macan tutul berperan sebagai predator puncak (top predator), sehingga keberadaannya sangat penting dalam keseimbangan ekosistem serta menjadi indikator keseimbangan ekosistem terutama hubungan antara mangsa (prey) dengan pemangsa (predator). Kawasan TNGC tidak seluruhnya di gunakan sebagai ruang habitat macan tutul jawa, sehingga hanya wilayah dengan luasan tertentu saja yang digunakan oleh satwa tersebut untuk beraktifitas. Pola pergerakan macan tutul salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan satwa mangsa, sebab sebagian besar dari penggunaan waktu macan tutul adalah untuk mencari mangsa dan beristirahat. Potensi keberadaan mangsa macan tutul sangat penting untuk diketahui khususnya untuk menentukan pola penggunaan ruangnya. Dalam suatu sistem ekosistem yang seimbang, keberadaan mangsa dan pemangsa selalu dalam kondisi tumpang tindih (overlay), apabila pola penggunaan ruang antara mangsa dan pemangsa tidak tumpang tindih maka telah terjadi gangguan ekosistem. Untuk itu sangat diperlukan penelitian tentang penggunaan ruang dan kondisi populasi macan tutul jawa yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penanganan populasi dan habitat macan tutul, sehingga dapat dipertahankan dan ditingkatkan populasinya.

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pola penggunaan ruang macan tutul jawa (Panthera pardus melas

F. Cuvier, 1809)di Taman Nasional Gunung Ciremai.

2. Mengetahui parameter demografi macan tutul jawa (Panthera pardus melas

F. Cuvier, 1809) di Taman Nasional Gunung Ciremai.

Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Teridentifikasinya kondisi dan data terkini tentang pola penggunaan ruang serta parameter demografi macan tutul jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga data dan informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan TNGC dan juga pengelolaan habitat serta spesies satwa tersebut.

(18)

Kerangka Pemikiran

Hutan di Pulau Jawa khususnya kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu habitat utama macan tutul jawa. Dari waktu ke waktu kualitas hutan selalu berubah-ubah dengan kecenderungan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena kebakaran, penebangan liar, dan perambahan, sehingga menimbulkan dampak perubahan kualitas habitat khususnya macan tutul jawa.

Dampak selanjutnya dari penurunan kualitas habitat khususnya macan tutul menyebabkan kesesuaian sebagai habitat macan tutul menjadi berkurang, menurunnya populasi macan tutul secara regional, dan bahkan sebagian mengalami isolasi populasi.

Dari dampak penurunan kualitas habitat macan tutul tersebut dapat diidentifikasi tiga aspek yang penting diteliti untuk mendukung upaya konservasi macan tutul jawa, yaitu:

a)Pendugaan pola penggunaan ruang macan tutul jawa. b)Pendugaan Parameter demografi macan tutul jawa. c)Keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa.

(19)

4

2 METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi yang akan dijadikan wilayah studi penelitian ini adalah kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang meliputi dua seksi wilayah pengelolaan yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kuningan dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Majalengka. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan mulai Bulan Oktober 2012 s/d Februari 2013 khususnya untuk pola penggunaan ruang macan tutul jawa. Pendugaan parameter demografi dan keanekaragaman jenis mangsa menggunakan kamera jebak (camera trap) terpasang mulai Bulan April 2012 sampai dengan Bulan Februari 2013. Adapun peta kawasan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Eksisting Gunung Ciremai

Alat Dan Bahan - Alat

 Peta kerja (peta kontur, peta sebaran satwa), seperangkat komputer/ laptop untuk pengolahan data, software ArcGIS. ver 3.3, Minitab seri 14.00, teropong binokuler, kamera jebak (camera trap), kamera digital SLR, senter, GPS, kompas, meteran, pita meter, mistar, tenda dan peralatan lapangan lainnya.

- Bahan

(20)

Jenis Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder, dengan rinciannya sebagai berikut:

Data Primer

Data primer merupakan data pokok yang digunakan untuk kajian mengenai pola penggunaan ruang dan parameter demografi macan tutul jawa (Panthera pardus melas F. Cuiver. 1809). Data primer terdiri dari:

1. Pola penggunaan ruang macan tutul jawa secara horisontal, berupa data pergerakan yang diketahui dari tanda-tanda yang ditinggalkan. Data tersebut meliputi data bentuk wilayah jelajah dan luas wilayah jelajah.

2. Parameter demografi, meliputi ukuran populasi, sex ratio, dan struktur umur. 3. Data karakteristik habitat yang meliputi:

- Kondisi fisik: ketinggian tempat, kelerengan, jarak terhadap jalan, jarak terhadap mata air/ sungai/ sumber air, jarak terhadap pemukiman, dan jarak terhadap perkebunan/ lahan pertanian.

- Kondisi biotik: struktur vegetasi, dan keanekaragaman jenis mangsa macan tutul.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas lapangan, dan masyarakat setempat. Data sekunder ini dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.

Adapun data sekunder yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian, peta kawasan, bioekologi macan tutul jawa, hasil-hasil penelitian tentang macan tutul sebelumnya yang diperoleh dengan mempelajari laporan dan karya ilmiah, serta kondisi penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).

Metode Pengumpulan Data Studi Literatur

Dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen laporan, buku, karya ilmiah serta rencana pengelolaan yang ada atau yang telah disusun sebelum penelitian ini. Studi literatur dilakukan terutama untuk memperoleh data sekunder. Pengamatan Lapangan

a. Pola Penggunaan Ruang Macan Tutul Jawa

(21)

Pada lokasi/ titik pengamatan dengan kamera jebak yang berhasil menangkap gambar kehadiran individu macan tutul jawa akan dilakukan pengamatan penggunaan ruangnya selama sepuluh hari dan untuk lokasi pemasangan kamera jebak yang tidak berhasil menangkap gambar individu macan tutul jawa akan dilakukan pengamatan selama lima hari. Penelitian dilakukan menggunakan metode eksplorasi pada seluruh lokasi pengamatan. Penelitian dilakukan mulai pukul 06.00 s/d 18.00 WIB dan sebagai data penunjang dilakukan pengamatan pada malam hari dengan pertimbangan sifat nokturnal

yang dimiliki oleh macan tutul jawa.

Identifikasi tanda-tanda keberadaan satwa macan tutul jawa salah satunya dengan jejak, identifikasi jejak akan dilakukan dengan melihat perbedaan antara jejak masing-masing individu. Untuk dapat membedakannya jejak kaki setiap individu macan tutul, maka setiap jejak yang ditemui di ukur menggunakan mistar dan untuk jejak yang masih utuh/ kondisi sempurna maka akan dicetak menggunakan gipsum. Pengenalan jejak dan cara pengukurannya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Bentuk dan Ukuran jejak kaki macan tutul serta cara pengukurannya untuk identifikasi individu (BTNGHS 2009).

b. Parameter Demografi Macan Tutul Jawa

Parameter demografi macan tutul yang diamati dalam penelitian ini meliputi beberapa komponen, diantaranya adalah:

1. Ukuran Populasi

Pengumpulan data parameter demografi menggunakan metode kamera jebak. Pemasangan kamera jebak dilakukan pada 20 titik sebaran macan tutul jawa sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (LIPI & BTNGHS 2011). Data diambil menggunakan kamera jebak (kamera trap) yang meliputi identifikasi individu macan tutul, jenis kelamin, pendugaan struktur umur, dan aktivitasnya pada lokasi penelitian. Kamera dipasang selama waktu penelitian dan akan dipindah sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan perjumpaan terhadap objek yang diamati.

(22)

ditentukan. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan populasi macan tutul jawa yang teramati/ tertangkap gambar oleh kamera jebak di kawasan TNGC.

. 2. Sex Ratio

Penghitungan sex ratio diperoleh melalui analisis foto kamera jebak, dengan cara menghitung jumlah individu jantan dan betina yang terekam kamera yang kemudian membandingkannya. Untuk pengamatan sex ratio hanya dilakukan pada kelas umur muda dan dewasa, karena untuk anak sulit untuk ditemukan dan dilakukan identifikasi jenis kelaminnya.

3. Struktur Umur

Untuk data struktur umur macan tutul jawa diperoleh dengan pengamatan melalui kamera jebak bersamaan dengan kegiatan penghitungan populasi dan natalitas macan tutul jawa. Perbedaan struktur umur yang digunakan dalam identifikasi macan tutul di lapangan yaitu berdasarkan ciri-ciri dari setiap fase pertumbuhan macan tutul menurut Seidensticker (1976) adalah:

Bayi : anak yang baru dilahirkan berwarna abu-abu karena rosette-nya belum tampak jelas, rambut lebih panjang dan lembut, dan mata masih tertutup sampai kurang lebih umur 4 minggu. Masih berada di dalam sarang.

Anak : mata macan tutul sudah mulai terbuka, rosette nya sudah tampak jelas dengan totol-totol kecil, kurang lebih umur 8 minggu setelah dilahirkan sampai dengan umur 12 minggu atau 3 bulan. Kegiatan di sekitar sarang, tetapi masih banyak berada di dalam sarang.

Remaja : kulit sudah tampak jelas rosettenya dan mulai diajari induk untuk berburu, dan mulai disapih dan diajari makan daging. Dilakukan pada umur 3 bulan sampai dengan umur 1,5 tahun, setelah umur 1,5 tahun sang induk sudah meninggalkan anaknya dan anak mulai membangun teritorinya sendiri.

Dewasa : sudah memiliki teritori sendiri, umur lebih dari 2,5 tahun. ukuran tubuh macan tutul jantan lebih besar dibandingkan macan tutul betina.

c. Karakteristik Habitat

Karakteristik habitat macan tutul jawa meliputi komponen fisik dan komponen biotik dengan rincian sebagai berikut:

1. Komponen Fisik

Komponen fisik terdiri dari kelerengan lahan, ketinggian tempat, dan jarak terhadap aktivitas manusia, sumber air serta jalan raya. Teknik pengumpulan data komponen fisik habitat macan tutul adalah sebagai berikut:

 Kelerengan lahan. Pengukuran kelerengan lahan dilakukan dengan cara menelaah peta kontur, peta rupa bumi, dan peta kelas lereng kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.

(23)

C D perkebunan diperoleh dengan mencatat titik koordinat jalan, sumber air, lokasi pemukiman, perkebunan/ pertanian masyarakat, dengan menggunakan GPS. Titik koordinat tersebut dipetakan dalam peta kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai selanjutnya diukur jaraknya terhadap titik koordinat dimana macan tutul ataupun jejaknya ditemukan. 2. Komponen Biotik

Komponen biotik terdiri dari vegetasi dan keanekaragaman satwa mangsa macan tutul jawa di kawasan TNGC dengan rincian sebagai berikut:

2.1 Vegetasi

Komposisi jenis dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif tumbuhan yang mencerminkan tingkat penyebaran, dominansi dan kelimpahannya dalam suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah kerapatan masing-masing jenis pada tingkat hidup semai sampai dengan pohon. Vegetasi yang diamati mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon, hal ini dilakukan karena macan tutul dalam aktivitasnya menggunakan strata vegetasi dari semai sampai dengan tingkat pohon. Pengambilan data kerapatan vegetasi ini menggunakan metode petak contoh dengan jumlah 5 petak untuk masing-masing titik pengamatan dan pada setiap titik perjumpaan satwa target. Adapun petak contoh yang dibuat berukuran (2m x 2m) untuk semai, (5m x 5m ) untuk pancang, (10m x 10m) untuk tiang, dan (20m x 20m) untuk tingkat pohon. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut:

a) Semai : Kecambah sampai tinggi 1,5 m;

b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,50 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm;

c) Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm; d) Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.

Gambar 3 A = petak pengamatan untuk tingkat semai; B = petak pengamatan untuk tingkat pancang; C = petak pengamatan untuk tingkat tiang; dan D = petak pengamatan untuk tingkat pohon.

2.2 Sebaran dan Keanekaragaman pakan

(24)

satwa mangsa menggunakan binokuler ataupun dengan mata biasa kemudian dicatat jenis dan titik koordinatnya. Untuk pengamatan secara tidak langsung dilakukan dengan cara mengamati tanda-tanda kehadiran satwa mangsa seperti jejak, bekas mangsa, feses, suara dll. Menurut Harahap & Sakaguchi (2003) jenis hewan yang biasa dimakan oleh macan tutul adalah surili (Presbithis comata),

Data dan informasi aktifitas macan tutul dianalisis secara deskriptif yaitu menggambarkan seluruh jenis aktifitas macan tutul yang dijumpai/ hasil gambar kamera jebak menurut tipe habitat yang digunakan.

b. Bentuk dan Luas Wilayah Jelajah

Untuk mendapatkan bentuk dan luas wilayah jelajah macan tutul jawa digunakan metode analisis minimum convex polygon (MCP). MCP merupakan wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang menghubungkan titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer ArcView GIS 3.2 (ESRI). Langkah-langnkahnya sebagai berikit:

- Titik koordinat unit contoh yang dikumpulkan dengan GPS dipetakkan dan kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. Analisis dilakukan dengan cara menggabungkan titik koordinat terluar (maximum convex polygon) tempat macan tutul jawa beraktifitas.

- Berdasarkan hasil analisis akan diperoleh luas penggunaan ruang secara horisontal atau wilayah jelajah masing-masing individu macan tutul jawa.

- Analisis secara diskriptif dilakukan pada masing-masing wilayah jelajah macan tutul jawa.

Parameter Demografi

Parameter demografi macan tutul jawa yang akan dianalisis meliputi beberapa parameter diantaranya adalah:

1. Ukuran populasi

(25)

telah tertangkap kamera dan menentukan ciri khusus yang membedakan setiap individu sehingga peluang untuk penghitungan ulang semakin kecil.

2. Sex ratio

Sex ratio diperoleh dengan menghitung dan kemudian membandingkan antara jumlah jantan dan betina (Santosa & Sitorus, 2008). Adapun persamaan untuk menghitung sex ratio adalah:

S = Keterangan :

S = Sex Ratio

Y = Jumlah Individu jantan X = Jumlah Individu Betina 3. Struktur umur

Struktur umur macan tutul jawa dianalisis secara visual dari hasil gambar kamera jebak. Struktur umur diperoleh dengan menghitung dan mengelompokkan jumlah jantan dewasa, betina dewasa, betina muda, anak, dan bayi berdasarkan hasil dari kamera jebak dan perjumpaan langsung.

Karakteristik Habitat

Terdiri dari komponen fisik dan non fisik. Komponen fisik habitat macan tutul jawa yang akan dianalisis terdiri dari kelerengan lahan, ketinggian tempat, dan jarak terhadap aktivitas manusia, sumber air serta jalan raya. Komponen-komponen tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi serta dianalisis secara deskriptif kualitatif. Untuk komponen non fisik/ biotik terdiri dari:

1. Analisis vegetasi

Komposisi jenis dinilai berdasarkan nilai-nilai parameter kuantitatif tumbuhan yang mencerminkan tingkat penyebaran, dominansi dan kelimpahannya dalam suatu komunitas hutan. Dalam penelitian ini yang akan dihitung adalah kerapatan masing-masing jenis tumbuhan saja. Nilai-nilai ini dapat dinyatakan dalam nilai mutlak maupun nilai relatif, sesuai dengan yang dirumuskan oleh Soerianegara dan Indrawan (1988) sebagai berikut:

Kerapatan (K) == Jumlah individu suatu jenis Total luas unit contoh (ha)

2. Analisis Keanekaragaman Jenis Mangsa

- Kekayaan jenis mangsa macan tutul menggunakan Indeks kekayaan Margalef (Krebs 1978):

- Keanekaragaman jenis mangsa, menggunakan pendekatan indeks Keragaman Shannon-Wiener (Krebs 1978) :

Keterangan :

Dmg = Indeks kekayaan Margalef S = Jumlah jenis yang teramati N = Jumlah total individu yang

(26)

H’ = -

pi.ln pi

- Kemerataan jenis mangsa macan tutul pada seluruh plot contoh pengamatan menggunakan pendekatan Indeks Kemerataan Pielou :

J’ = dianalisis dengan menggunakan pendekatan regresi logistik yang diolah dengan software Minitab 14.00 melalui metode stepwise. Dalam hal ini dianalisa hubungan antara peubah tidak bebas (Y) dengan peubah bebas (X). Peubah tidak bebas adalah keberadaan macan tutul, sedangkan peubah tidak bebasnya adalah peubah-peubah yang berasal dari faktor fisik dan biotik. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: kehadiran macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Ciremai)

H1: b1 ≠ b2 ≠... ≠ b10 ≠ 0 (paling sedikit ada satu variabel bebas X yang mempengaruhi Y atau terdapat paling sedikit satu variabel yang mempengaruhi kehadiran macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Ciremai).

Keterangan :

(27)

12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Ruang Macan Tutul Jawa Di TNGC

Hasil penelitian selama lima bulan, mulai Bulan Oktober 2012 sampai dengan Bulan Februari 2013 diketahui terdapat empat penggunaan ruang oleh macan tutul jawa di kawasan TNGC. Dari keempat penggunaan ruang tersebut, tiga lokasi individu macan tutul telah berhasil tertangkap gambar kamera jebak dan satu lokasi belum berhasil tertangkap kamera tetapi bukti-bukti keberadaan satwa tersebut telah ditemukan. Setelah individu macan tutul jawa selesai diidentifikasi menurut morfologi dan jenis kelamin kemudian diberikan identitas (ID) nama masing-masing individu tersebut, yaitu Sigedong (jantan), Sukamukti (jantan), Sayana (jantan) dan Argamukti (jantan). Dalam penelitian ini penggunaan ruang macan tutul jawa yang akan dikaji adalah bentuk, luas wilayah jelajah, dan pemanfaatan tutupan lahan.

Luas dan Bentuk Wilayah Jelajah Macan Tutul Jawa

Dari hasil penelitian disajikan luas wilayah jelajah masing-masing individu macan tutul jawa di TNGC yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas wilayah jelajah macan tutul jawa di TNGC

No Nama Individu Proporsi Tutupan Lahan Luas (ha) Luas Total (ha) 1. Sigedong

Hutan Tanaman Industri 408,675 610,27 Semak belukar 199,643

Tanah terbuka 1,974

2. Sukamukti

Hutan Tanaman Industri 783,618 805,982 Pertanian lahan kering 22,364

3. Sayana

Hutan Tanaman Industri 580,021 580,021 4. Argamukti

Hutan primer 250,039 750,071

Hutan skunder 308,535

Hutan Tanaman Industri 119,497

(28)

Gambar 4 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sigedong

Ruang jelajah Macan Sigedong sebagian besar menggunakan wilayah di Resort Mandirancan kurang lebih 83% dan wilayah perbatasan Resort Pasawahan kurang lebih 17% dari total ruang jelajah yang digunakan. Macan Sukamukti memiliki bentuk wilayah jelajah yang tidak berbeda jauh dengan bentuk wilayah jelajah Macan Sigedong, adapun bentuk wilayah jelajah Macan Sukamukti dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sukamukti

Dari gambar di atas diketahui Macan Sukamukti menggunakan dua macam tutupan lahan untuk beraktifitas. Ruang jelajah Macan Sukamukti secara administrasi seluruhnya masuk dalam Resort Jalaksana kurang lebih memanfaatkan 46% dari total luas resort tersebut. Bentuk wilayah jelajah macan tutul yang ketiga adalah wilayah jelajah Macan Sayana. Berdasarkan hasil analisis menggunakan program GIS dengan model MCP dapat dilihat pada gambar 6.

(29)

Gambar 6. Wilayah jelajah macan tutul jawa Sayana

Ruang jelajah Macan Sayana secara administrasi masuk dalam Resort Jalaksana kurang lebih 66% dan Resort Cilimus 34%. Macan Sayana ini menggunakan satu tutupan lahan dan berbeda dengan ruang jelajah macan tutul jawa lainnya yang menggunakan lebih dari satu tutupan lahan. Bentuk wilayah jelajah yang ke empat adalah bentuk wilayah jelajah Macan Argamukti. Adapun bentuk wilayah jelajah Macan Argamukti dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Wilayah jelajah macan tutul jawa Argamukti

(30)

Berdasarkan pengamatan di lapangan luas wilayah jelajah macan tutul jawa dari kecil hingga paling luas adalah Macan Sayana dengan luas wilayah jelajah 5,8 km2, Macan Sigedong memiliki luas wilayah jelajah 6,1 km2, Macan Argamukti memiliki luas wilayah jelajah 7,5 km2, dan macan Sukamukti memiliki luas wilayah jelajah 8,05 km2. Wilayah jelajah macan tutul jawa khususnya di kawasan TNGC rata-rata adalah 6,86 km2. Menurut hasil penelitian oleh Ario (2006) luas wilayah jelajah macan tutul jawa di kawasan Gunung Halimun Salak kurang lebih adalah 6,5 km2. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ewer (1974) bahwa wilayah jelajah macan tutul jawa kurang dari 10 km2, serta penelitian oleh Santiapillai & Ramono (1992) yang mengasumsikan daerah jelajah 1 individu macan tutul jawa pada habitat yang tidak terganggu maksimal 10 km2 dan pada habitat yang terganggu maksimal adalah 5 km2.

Perbedaan luas wilayah jelajah macan tutul jawa di kawasan TNGC dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah luas total kawasan TNCG yang relatif kecil yaitu 15 500 ha. Semakin kecil kawasan yang menjadi habitat macan tutul jawa maka pembagian wilayah jelajah khususnya untuk macan tutul yang memiliki jenis kelamin yang sama akan semakin sempit, sebab wilayah jelajah macan tutul jawa dengan jenis kelamin yang sama tidak akan tumpang tindih (Gunawan 2008). Penelitian serupa dilakukan oleh Ario (2006) pada habitat macan tutul jawa dengan luas daerah penelitian 105 km2, dengan ruang jelajah macan tutul jawa pada habitat tersebut rata-rata adalah 6,5 km2. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Taman Nasional Kruger di Afrika Selatan dengan luas 895.623 ha, bahwa pada kawasan tersebut macan tutul jantan memiliki wilayah jelajah mulai dari 16,4 s/d 96,1 km2 dan untuk macan tutul betina memiliki luas wilayah jelajah 5,6 s/d 29,9 km2 (Friedman 2008). Luas wilayah jelajah macan tutul di Limpopo Afrika Selatan berkisar antara 245 km2 untuk individu jantan dan 139 km2 untuk individu betina (Swanepoel 2008).

Wilayah jelajah macan tutul jawa dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama jumlah jenis satwa mangsa dalam penelitian ini antara 7 s/d 11 jenis dari keempat ruang jelajah yang digunakan dan jarak terhadap satwa mangsa yang berkisar antar 18,23 meter s/d 110,24 meter, hal ini sesuai dengan hasil perhitungan analisis regresi logistik yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Apabila jumlah jenis satwa mangsa dan populasi masing-masing jenis besar, maka peluang semakin kecilnya jarak macan tutul terhadap satwa mangsa semakin besar pula. Jumlah jenis satwa mangsa di seluruh kawasan TNGC yang teramati selama waktu penelitian adalah 11 jenis. Pakan atau satwa mangsa merupakan salah satu aspek ekologi satwa liar yang sangat mendasar, hal ini karena pakan adalah sumber nutrisi dan energi (Duc et al. 2009). Ruang jelajah macan tutul dalam kondisi yang normal selalu tumpang tindih (overlap) dengan ruang jelajah satwa mangsanya. Hal ini biasa dijadikan indikator keseimbangan ekosistem khususnya di habitat macan tutul jawa. Apabila kondisi habitat tidak lagi menguntungkan macan tutul dari segi ketersediaan satwa mangsa, maka individu tersebut cenderung akan memperluas wilayah jelajah dan keluar dari teritori yang telah dipertahankan begitu juga sebaliknya seperti yang dituliskan oleh Grzimek (1975).

(31)

Tabel 2 Satwa mangsa macan tutul

No Nama Satwa Nama Ilmiah Nilai ER Jarak Mangsa Macan Sigedong

1. Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus 1,818 21,24 2. Kucing congkok Felis bengalensis 2,121

3. Babi hutan Sus scrofa 1,212

4. Kijang Muntiacus muntjak 3,333

5. Ayam hutan Gallus gallus 5,151

6. Landak Hystrix brachyura 0,606

7. Anjing Canis lupus 2,424

8. Surili Presbytis comata 0,303

Macan Sukamukti

1. Musang luak Paradoxurus hermaphroditus 3,030 45,23 2. Kucing congkok Felis bengalensis 0,303

3. Kera Macaca facicularis 0,303

4. Babi hutan Sus scrofa 5,151

5. Kijang Muntiacus muntjak 4,848

6. Landak Hystrix brachyura 0,909

7. Anjing Canis lupus 1,515

8. Surili Presbytis comata 0,303

Macan Sayana

1. Musang luak Paradoxurus hermaphroditus 7,272 18,23 2. Kucing congkok Felis bengalensis 3,333

3. Kera Macaca facicularis 0,909

4. Babi hutan Sus scrofa 10,909

5. Kijang Muntiacus muntjak 5,757

6. Landak Hystrix brachyura 0,606

7. Trenggiling Manis javanica 0,606

8. Surili Presbytis comata 1,181

9. Kukang jawa Nycticebus coucang 0,303

10. Lutung Trachypithecus auratus 0,606

11. Ayam hutan Gallus gallus 0,303

Macan Argamukti

1. Musang luak Paradoxurus hermaphroditus 0,818 110,24 2. Kucing congkok Felis bengalensis 0,311

3. Babi hutan Sus scrofa 3,112

4. Kijang Muntiacus muntjak 2,213

5. Landak Hystrix brachyura 0,606

6. Anjing Canis lupus 0,424

7. Surili Presbytis comata 2,303

(32)

jenis satwa mangsa tertentu bukan merupakan faktor pembatas bagi macan tutul jawa untuk memilih suatu daerah sebagai habitatnya. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan jenis yang bervariasi dari keempat habitat macan tutul jawa di TNGC. Ketersediaan sumber pakan yang cukup baik dari segi kelimpahan jenis maupun jumlahnya merupakan salah satu indikator/ tanda bahwa habitat tersebut masih ideal untuk habitat macan tutul jawa. Jumlah jenis satwa mangsa di ruang jelajah Macan Sayana lebih banyak yaitu 11 jenis dibandingkan dengan ruang jelajah macan tutul yang lain, hal ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab luas wilayah jelajah Macan Sayana lebih kecil dibandingkan wilayah jelajah Macan Sukamukti, Argamukti dan Sigedong yang hanya memiliki 7-8 jenis satwa mangsa. Jumlah jenis satwa yang beranekaragam berpotensi untuk meningkatkan kepadatan satwa mangsa, sebab setiap jenis satwa akan mempertahankan jenis dan kelompoknya untuk tetap lestari di alam. Kepadatan satwa yang tinggi menyebabkan jarak dengan predator khususnya macan tutul jawa semakin kecil/ dekat, sehingga predator akan lebih mudah dalam mendapatkan mangsanya. Berdasarkan Tabel 2 diduga semakin tinggi jumlah jenis satwa mangsa, maka jarak rata-rata dengan predator semakin kecil.

Diduga wilayah jelajah macan tutul jawa semakin kecil seiring dengan bertambahnya jenis mangsa dan semakin dekat jarak mangsa terhadap habitat macan tutul. Hal ini dapat dibuktikan dengan ruang jelajah Macan Sayana yang memiliki 11 jenis satwa mangsa dan jarak rata-rata terhadap satwa mangsa relatif kecil yaitu 18,23 meter, maka luas wilayah jelajahnya hanya 5,8 km2. Berdasarkan uji korelasi antara luas wilayah jelajah macan tutul terhadap jumlah jenis satwa mangsa dan jumlah satwa mangsa memiliki hubungan negatif yang artinya wilayah jelajah berbanding terbalik dengan jumlah jenis dan jumlah satwa mangsa dapat dilihat pada Lampiran 1. Semakin banyak jumlah jenis satwa mangsa dan jumlah satwa mangsa maka wilayah jelajah macan tutul semakin kecil, hal ini sama dengan hasil penelitian Grzimek (1975) yang menyebutkan bahwa macan tutul tidak akan mengembara atau keluar dari teritorinya apabila satwa mangsanya tersedia cukup melimpah dan mudah diperoleh. Trombulak (1984) menuliskan bahwa faktor yang mempengaruhi wilayah jelajah satwa adalah: ukuran tubuh, tingkat trofik, kepadatan populasi, kompetisi, kompleksitas habitat dan produktifitas habitat.

(33)

Bailey (1994) yang menuliskan bahwa kelengkapan habitat khususnya macan tutul yang paling utama adalah ketersediaan makanan/ mangsa dan perlindungan, sehingga mampu untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil.

Kijang (Muntiacus muntjak) merupakan salah satu satwa mangsa yang paling disukai oleh macan tutul jawa, hal ini juga dibuktikan dengan penemuan sisa mangsa macan tutul di Blok Mangorbuntu, Resort Argamukti. Menurut Harahap & Sakaguchi (2004) yang menuliskan bahwa macan tutul sering memangsa jenis ungulata khususnya kijang berdasarkan hasil dari analisis feses. Selain itu kijang menjadi salah satu satwa mangsa yang paling disukai macan tutul diduga karena:

 Kijang memiliki ukuran tubuh yang besar, sehingga mudah ditemui dan dimangsa oleh macan tutul.

 Kijang bersifat aktif sepanjang waktu (cathermeral), sehingga peluang macan tutul untuk bertemu dan memangsa kijang relatif besar. Hal ini berbeda dengan penelitian Suyanto (2002), yang menuliskan bahwa kijang merupakan satwa yang bersifat aktif di siang hari (diurnal) dan tidak aktif dimalam hari sehingga bertolak belakang dengan sifat macan tutul, sehingga memudahkan macan tutul untuk memangsanya.

Sisa mangsa tersebut ditemukan pada pukul 07.00 WIB dan masih segar yang diduga mati diterkam macan tutul 2 jam sebelum ditemukan. Lokasi penemuannya pada batu yang berada di dasar curug atau air terjun. Hal ini membuktikan bahwa macan tutul dalam memangsa hewan buruannya tidak jauh dari sumber air baik itu berupa sungai, mata air maupun curug. Adapun gambar sisa mangsa macan tutul jawa adalah sebagai berikut:

Gambar 8 Sisa mangsa macan tutul jawa berupa kijang dewasa

(34)

perjumpaan kijang dan babi hutan paling tinggi pada ruang jelajah Macan Sayana untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Satwa mangsa ini secara umum menyebar merata pada interval ketinggian 818 m dpl sampai dengan 2 451 m dpl. Penyebaran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti iklim, topografi, ketersediaan makanan dan sumber air. Berdasarkan hasil uji korelasi antara jumlah dan jenis mangsa terhadap ketinggian diketahui bahwa jumlah mangsa memiliki hubungan negatif terhadap ketinggian tempat, tetapi memiliki hubungan positif terhadap jenis mangsa. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil uji korelasi tersebut artinya setiap ketinggian tempat bertambah maka jumlah/ kepadatan satwa semakin menurun, tetapi jumlah jenis satwa semakin bertambah.

Jumlah jenis mangsa meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat, hal ini diduga semakin tinggi ketinggian tempat maka kondisi hutan baik strata tajuk, struktur vegetasi dan komposisi vegetasi semakin terjaga sebab jauh dari aktifitas manusia tetapi jumlah atau kepadatan satwanya semakin rendah. Diduga penurunan jumlah jenis satwa mangsa dipengaruhi oleh suhu udara yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hanya satwa tertentu saja yang mampu bertahan hidup pada kondisi tersebut misalnya untuk satwa yang masih bayi atau anakan tidak bisa bertahan dalam suhu yang relatif rendah, sehingga hanya satwa dewasa saja yang mampu hidup pada kondisi tersebut. Sesuai penelitian Handoko (1995) bahwa pada lapisan troposfer, suhu udara semakin rendah dengan bertambahnya ketinggian tempat. Suhu udara dapat bertindak sebagai pemicu dan penentu perkembangan mahluk hidup, sebab tingkat metabolisme mahluk hidup pada suhu udara yang rendah akan menurun, sedangkan pada suhu udara yang tinggi akan meningkat (Mac Kenzie et.al 2001).

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan analisis regresi logistik, bahwa keberadaan macan tutul jawa dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jarak satwa mangsa (Lampiran 3). Hasil analisis regresi tersebut diketahui bahwa keberadaan macan tutul berhubungan positif terhadap jumlah jenis satwa, yang artinya bahwa setiap bertambahnya jumlah jenis satwa mangsa, maka peluang untuk ditemukannya keberadaan macan tutul semakin tinggi. Selain itu jarak satwa mangsa berhubungan negatif terhadap peluang keberadaan macan tutul, artinya bahwa semakin berkurang jarak satwa mangsa (semakin dekat) maka peluang ditemukannya macan tutul di habitat tersebut semakin tinggi. Luas wilayah jelajah macan tutul diduga dipengaruhi oleh jarak terhadap satwa mangsa, semakin banyak jumlah satwa mangsa maka jarak macan tutul terhadap mangsa juga semakin kecil. Semakin kecil jarak mangsa maka macan tutul akan semakin mudah untuk memburu dan memangsanya, maka macan tutul tidak akan menambah wilayah jelajahnya sampai mangsa macan tutul sulit untuk ditemukan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Grzimek (1975) yang menulis bahwa macan tutul tidak akan keluar dari wilayah teritorinya selama satwa mangsa tersedia cukup dan mudah didapatkan bahkan satwa tersebut akan cenderung mempersempit wilayah jelajah.

(35)

air, seperti sungai, cekungan air ataupun mata air (Gambar 8). Hasil analisis regresi logistik menyebutkan bahwa sumber air berpengaruh negatif terhadap keberadaan macan tutul dalam suatu habitat, yang artinya bahwa suatu habitat semakin dekat dengan sumber air maka peluang keberadaan macan tutul semakin tinggi (Lampiran 3). Komponen habitat yang paling penting bagi marga satwa terdiri dari makanan, air dan cover (Alikodra 2002).

Dari hasil penelitian diduga bahwa macan tutul membutuhkan air dalam jumlah yang cukup untuk membantu metabolism dan mencerna makanannya, dan tidak bisa jauh dari sumber air khususnya saat memangsa satwa hasil buruannya. Suyanto (2002) menuliskan bahwa air salah satu komponen habitat yang memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup suatu organisme, terutama dalam proses pencernaan makanan dan metabolisme, dan untuk mendinginkan suhu tubuh satwa terutama macan tutul. Hal ini berbeda dengan Afnan (2009) yang menuliskan bahwa macan tutul memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap panas dan mampu bertahan hidup pada daerah-daerah yang jauh dari sumber air. Grzimek (1975) menuliskan bahwa macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim kering yang panjang meskipun hanya minum 2-3 hari sekali. Selain itu satwa mangsa sebagian besar beraktifitas di sekitar mata air, sehingga memudahkan macan tutul untuk mengintai dan menangkap mangsa. Pada ruang jelajah dari keempat macan tutul di kawasan TNGC semuanya memiliki sumber air yang cukup sepanjang waktu meskipun musim kemarau, sehingga habitat macan tutul selalu identik dengan keberadaan sumber air. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et.al 2009 yang menuliskan bahwa semua habitat macan tutul jawa memiliki sumber air baik berupa sungai, anak sungai ataupun mata air. Diduga faktor yang mempengaruhi luas wilayah jelajah macan tutul selain satwa mangsa adalah sumber air, semakin mudah mendapatkan sumber air maka macan tutul cenderung akan mempertahankan dan tidak akan keluar dari teritorinya.

Pada Blok Hutan Sigedong, Resort Mandirancan terdapat mata air yang disebut dengan mata air Sigedong. Mata air ini berada pada ketinggian 1 100 m dpl dan hanya ada satu-satunya di kawasan tersebut. Mata air Sigedong merupakan satu-satunya sumber air yang berada di ruang jelajah Macan Sigedong yang sangat dibutuhkan oleh satwa liar terutama pada musim kemarau. Mata air ini pada musim kemarau berupa genangan dan hanya mengalir di sekitar sumber air saja. Mata air sigedong tidak kering meskipun musim kemarau, sehingga banyak satwa yang berada di areal tersebut untuk beraktifitas khususnya pada musim kemarau. Pada saat pengamatan diketahui bahwa macan tutul menggunakan mata air untuk keperluan minum pada pagi hari antara pukul 06.00 s/d 08.00 WIB, hal ini berdasarkan perjumpaan langsung dengan satwa tersebut.

Pada Blok Hutan Sayana, Resort Jalaksana terdapat cekungan air yang tidak kering meskipun musim kemarau. Cekungan tersebut digunakan oleh satwa khususnya macan tutul. Cekungan tersebut berada di dasar lembah sungai kering dengan ketinggian 1 178 m dpl dengan kerapatan vegetasi sedang. Jarak cekungan air dengan tertangkapnya gambar oleh kamera jebak adalah 1 km, dan tidak jauh dari cekungan tersebut ditemukan gua yang dimungkinkan untuk lokasi istirahat macan tutul jawa.

(36)

bernama Sungai Cimanceng dan sungai tersebut tidak pernah kering meskipun musim kemarau, sehingga banyak digunakan oleh satwa lain untuk memenuhi kebutuhan khususnya air. Sungai Cimanceng merupakan sungai yang membelah kawasan Gunung Putri dan Gunung Sodong dengan mata air berada di Blok Hutan Cadas Poleng. Sungai ini merupakan batas teritori alami dari macan tutul di Blok Hutan Sayana dengan macan tutul di Blok Hutan Sukamukti. Jarak sungai Cimanceng dengan lokasi tertangkapnya macan tutul oleh kamera jebak kurang lebih 1,5 km.

Berdasarkan hasil penelitian jarak rata-rata sumber air terhadap kehadiran macan tutul jawa di kawasan TNGC adalah 157, 29 meter dan jarak paling jauh dari sumber air adalah 1,3 km dan untuk jarak paling dekat perjumpaan macan tutul yang ditemukan adalah 0,9 meter yaitu di mata air Sigedong, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini sama dengan hasil penelitian Yanti (2011) yang menyatakan bahwa jarak sumber air dengan ditemukannya tanda-tanda keberadaan macan paling banyak ditemukan pada jarak kurang dari 500 meter.

Semakin mudah macan tutul mendapatkan mangsa dan semakin mudah mendapatkan sumber air, maka diduga macan tutul akan semakin sedikit melakukan aktifitas yang akibatnya luas wilayah jelajah macan tutul juga akan semakin kecil. Penjelasan lain yang dapat menerangkan kecilnya wilayah jelajah macan tutul jawa di kawasan TNGC adalah dari sudut pandang perilaku satwa itu sendiri. Macan tutul cenderung menghabiskan hari-harinya untuk beristirahat apabila sudah mendapatkan mangsa. Semakin mudah mendapatkan mangsa maka macan tutul akan mempersempit wilayah jelajahnya (Grzimek 1975).

Hasil penelitian yang dilakukan pada 20 unit contoh yang tersebar di 13 blok hutan yaitu Blok Sigedong, Panyusupan, Manduraga, Sayana, Sukamukti, Cilengkrang, Kuta, Kopi Gewok, Haur Seah, Pugag, Loji, Gerogol dan Watu Gajah. Habitat macan tutul jawa di kawasan TNGC yang memiliki kelerengan paling tinggi adalah di Blok Sigedong Resort Mandirancan dan Blok Sayana dengan kelas kelerengan sangat curam, sedangkan kelerengan yang paling rendah adalah Blok Sukamukti Resort Jalaksana dengan kelas kelerengan 4 atau curam. Menurut Gunawan et.al 2009 dalam tulisannya bahwa macan tutul jawa lebih menyukai lereng curam dan tidak menyukai lereng datar.

(37)

Tabel 3 Frekuensi kehadiran macan tutul berdasarkan kelerengan tempat pada fisik dari habitat macan tutul jawa, selain curam dan sangat curam habitat macan tutul umumnya juga bertebing. Pemilihan habitat yang sangat curam dan bertebing ini diduga terkait dengan kondisi keamanan khususnya untuk menghindari aktifitas manusia. Pada tebing yang curam biasanya banyak ditemui gua yang berfungsi untuk tempat bersembunyi dan tempat untuk melahirkan macan tutul, sehingga macan tutul banyak menggunakan habitat tersebut untuk beraktifitas. Swanepoel (2008) menyebutkan bahwa macan tutul (leopard) akan menghindari aktifitas manusia dan menyukai daerah berlereng curam serta dekat dengan patahan tebing atau puncak pegunungan untuk berlindung, sehingga sulit untuk dijangkau oleh manusia. Tidak hanya terjadi pada macan tutul di TNGC, menurut Hernowo (1987), kecenderungan pemilihan habitat pada lokasi yang curam juga terjadi pada spesies kuwau (Argusianus argus) di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Hal ini terjadi karena pada lokasi yang curam lebih aman dibanding lokasi yang landai. Gangguan pada lokasi dengan kelerengan datar ataupun landai umumnya adalah kebakaran hutan (Hernowo 1987). Berbeda dengan macan tutul india (Panthera pardus fusca) yang lebih menyukai habitat padang rumput yang relatif datar dan terdapat beberapa perdu tebal untuk bersembunyi dan mengintai calon mangsa (Friedmann 2008).

(38)

ruang jelajah Macan Sayana dan Macan Sigedong lebih sempit dibandingkan dengan ruang jelajah Macan Sukamukti dan Argamukti.

Macan tutul menggunakan habitat dengan kelerengan landai sampai bergelombang untuk aktifitas berburu dan mengintai mangsa, sebab satwa mangsa banyak dijumpai pada habitat dengan tingkat kelerengan landai sampai dengan bergelombang dibandingkan pada habitat yang curam, selain itu pada habitat tersebut banyak dijumpai sumber air. Satwa herbivore seperti kijang dan babi hutan lebih menyukai habitat dengan kelerengan yang datar, sebab pada habitat tersebut banyak ditumbuhi rumput-rumputan dan herba yang menjadi sumber pakan utama dan pada habitat yang landai tidak memerlukan energi yang banyak untuk beraktivitas. Habitat dengan lereng bergelombang sampai dengan sangat curam banyak dijumpai pada tipe hutan sub pegunungan dan pegunungan, sedangkan habitat dengan tingkat kelerengan datar sampai dengan landai dijumpai pada tipe hutan dataran rendah.

Lokasi ditemukannya macan tutul jawa di TNGC memiliki ketinggian yang bervariasi mulai 1 000 m dpl hingga 2 500 m dpl. TNGC berdasarkan klasifikasi tipe habitat dari Van Steenis (2006) memiliki empat tipe ekosistem, yakni: hutan dataran rendah (<1000 mdpl), hutan sub pegunungan (1 000–1 500 mdpl), hutan pegunungan (1 500–2 400 mdpl), dan hutan subalpin (2 400-3 078 mdpl). Meskipun demikian, keempat tipe ekosistem tersebut tidak seluruhnya digunakan oleh macan tutul sebagai habitat. Macan tutul di kawasan TNGC hanya menempati tiga tipe ekosistem sebagai habitatnya, yakni: hutan dataran rendah, hutan sub pegunungan, dan hutan pegunungan yang disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan habiat oleh macan tutul jawa pada lokasi berdasarkan

ketinggian tempat dan frekuensi kehadiran pada kamera jebak.

(39)

Blok Sigedong, Panyusupan, Manduraga, Sayana, Sukamukti, Cilengkrang, Kuta, Kopi Gewok, Haur Seah, Pugag, Loji, Gerogol dan Watu Gajah mempunyai ketinggian berkisar antara 850 – 1 898 m dpl. Frekuensi kehadiran macan tutul jawa pada unit contoh berdasarkan kelas ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Penggunaan habitat oleh macan tutul jawa pada setiap lokasi berdasarkan kelas ketinggian dan frekuensi kehadiran.

Kelas ketinggian (m dpl) Jumlah unit contoh Frekuensi kehadiran macan

850 - 1.000 3 0

1.000 - 1.150 2 4

1.150 - 1.300 3 2

1.300 - 1.450 6 2

1.450 - 1.600 1 0

1.600 - 1.750 4 0

1.750 - 1.900 1 0

JUMLAH 20 8

Dari hasil pengamatan menggunakan kamera jebak, hanya tiga lokasi yang berhasil menangkap gambar macan tutul yaitu di Blok hutan Sigedong, Resort Mandirancan, Blok Hutan Sayana dan Sukamukti, Resort Jalaksana. Pada Blok Sigedong macan tutul berada pada ketinggian 1 117 m dpl dengan frekuensi terekam kamera jebak sebanyak 3 kali. Pada blok ini juga ditemukan cakaran macan tutul pada pohon kibeusy dengan bekas cakaran baru maupun cakaran lama, hal ini menandakan bahwa wilayah Blok Sigedong merupakan teritori dari macan tutul tersebut. Adapun gambar dari Macan Sigedong adalah sebagai berikut:

(a) (b) Sumber: BTNGC & CI 2012 Gambar 9 (a) Cakaran macan tutul pada pohon kibeusy (b) Gambar perilaku

(40)

saat melakukan penandaan teritori dengan mencakar batang pohon kibeusy. Topografi pada lokasi tersebut relatif curam.

Macan Sayana merupakan individu yang berbeda dengan individu Macan Sigedong. Macan Sayana tertangkap kamera jebak pada ketinggian 1 370 m dpl dengan frekuensi tertangkap kamera sebanyak 2 kali. Pada lokasi ini juga ditemukan gua yang digunakan untuk beristirahat oleh satwa tersebut. Adapun gambar Macan Sayana yang berhasil direkam kamera jebak sebagai berikut:

(a) BTNGC & CI 2012 (b) BTNGC & CI 2012 Gambar 10 (a) macan tutul Sayana tampak depan

(b) macan tutul Sayana tampak belakang

Pada Blok Hutan Sayana topografi relatif datar, tetapi menuju ke lokasi tersebut topografi sangat curam. Berbeda dengan individu Macan Sigedong dan Macan Sayana, Macan Sukamukti memiliki postur tubuh yang relatif lebih kecil. Individu macan tersebut berhasil ditangkap kamera jebak saat melintas pada ketinggian 1 297 mdpl dengan topografi yang relatif datar dan memiliki frekuensi tertangkap kamera jebak sebanyak 2 kali pada waktu yang berbeda. Adapun foto Macan Sukamukti yang berhasil tertangkap kamera jebak sebagai berikut:

BTNGC & CI 2012

Gambar 11 Macan Tutul Sukamukti

(41)

0

Tabel 6 Frekuensi perjumpaan macan tutul oleh kamera jebak di berbagai ketinggian

Ketinggian Frekunsi perjumpaan kamera jebak (kali)

tempat (mdpl) Blok Sigedong Blok Sayana Blok Sukamukti

1.000-1.200 4 - -

1.200-1.300 - - 2

1.300-1.400 - 2 -

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa macan tutul jawa yang berhasil direkam oleh kamera jebak pada ketinggian 1 000 sampai dengan 1 400 m dpl. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ario (2006) yang menuliskan bahwa macan tutul jawa di kawasan TNGHS menggunakan habitat dengan ketinggian antara 950 mdpl sampai dengan 1 500 mdpl. Menurut Gunawan et.al 2009 menuliskan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul dengan ketinggian tempat, satwa ini lebih menyukai habitat dengan ketinggian diatas 1 000 m dpl dibandingkan habitat dengan ketinggian di bawahnya. Hal ini berbeda dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Lekagul & Mc Neely (1997) bahwa macan tutul jawa memiliki penyebaran yang paling luas diantara jenis kucing besar lainnya, dan menempati berbagai tipe habitat. Dari hasil pengambilan gambar menggunakan kamera jebak dapat diketahui bahwa lokasi keberadaan macan tutul paling banyak menggunakan tipe habitat sub pegunungan. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan mangsa dan ketersediaan sumber air. Adapun grafik perjumpaan macan tutul baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan tipe habitat sebagai berikit:

Gambar 12 Grafik hubungan antara perjumpaan macan tutul pada berbagai tipe habitat

(42)

kepadatan satwa mangsa juga relatif tinggi dibandingkan pada tipe habitat yang lain, hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, topografi yang datar dan jauh dari gangguan khususnya manusia, sehingga keberadaan macan tutul jawa sebagian besar pada ketinggian tersebut. Predator selalu mengikuti mangsa (prey) nya, sehingga dimana kepadatan mangsa tinggi maka predator khususnya macan tutul akan selalu berada tumpang tindih dengan habitat mangsa tersebut.

Pada tipe habitat pegunungan perjumpaan macan tutul relatif tinggi, tetapi tidak sebanyak pada tipe habitat sub pegunungan. Hal ini disebabkan karena kepadatan satwa mangsa cenderung berkurang seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Suhu udara di tipe habitat pegunungan relatif rendah, sehingga banyak satwa yang tidak mampu beradaptasi pada lokasi tersebut khususnya pada saat musim penghujan. Selain itu pada tipe habitat pegunungan sumber air relatif sedikit, karena sebagian besar mata air di kawasan TNGC berada pada kaki gunung. Berdasarkan hasil uji chi-square diketahui tidak ada perbedaan penggunaan antara tipe habitat dengan keberadaan macan tutul jawa sesuai dengan hasil uji yang menunjukkan bahwa X2hitung sebesar 14,722 dan lebih kecil daripada X2tabel sebesar 21,026 (Lampiran 2). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Yanti (2011) yang menuliskan bahwa tidak ada keterkaitan antara aktivitas macan tutul jawa terhadap tipe habitat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Hutan yang luas dan disertai dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi merupakan habitat yang potensial bagi kehidupan satwa liar. Setiap jenis satwa liar bergantung pada kelompok tumbuhan untuk mendapatkan sumber pakan dan

cover (Alikodra 2002). Macan tutul jawa sebagai salah satu satwa liar tentu saja sangat bergantung terhadap vegetasi yang ada di habitatnya. Selain sebagai cover, vegetasi yang berada dalam habitat macan tutul akan sangat mempengaruhi kehidupan satwa mangsanya. Untuk mendapatkan data mengenai kerapatan dan komposisi vegetasi yang digunakan oleh macan tutul jawa menggunakan metode garis berpetak.

Tipe hutan yang masuk ke dalam lokasi penelitian terdiri dari hutan dataran rendah, hutan sub pegunungan, hutan pegunungan dan hutan sub alpin. Analisis vegetasi dilakukan pada habitat macan tutul khususnya pada lokasi pemasangan kamera jebak dan lokasi ditemukan keberadaaan satwa target baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan dilakukan secara langsung pada ruang atau wilayah jelajah yang digunakan oleh satwa target selama aktifitasnya. Analisis vegetasi ini dilakukan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di lokasi penelitian ditemukan 46 jenis tumbuhan tingkat semai, 61 jenis tumbuhan tingkat pancang, 50 jenis tumbuhan tingkat tiang, dan 59 jenis tumbuhan tingkat pohon.

(43)

Hasil analisis vegetasi pada habitat macan tutul jawa di kawasan TNGC ditemukan 46 jenis tumbuhan pada tingkat semai, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Jenis semai kileho (Saurauia pendula Bl) memliki kerapatan paling tinggi dengan nilai 1 088,235 ind./ ha dan terendah salah satunya adalah jenis kisawohen (Palaquium rostratum Burk) dengan nilai kerapatan 29,411. Hasil analisis vegetasi tingkat semai untuk 10 jenis dengan kerapatan tertinggi adalah sebagai berikut:

Tabel 7 Sepuluh jenis vegetasi tingkat semai dengan kerapatan tertinggi

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha)

1. Kileho Saurauia pendula Bl Saurauiaceae 1.088,23 2. Beunying Ficus fistulosa Reinw Moraceae 794,117

3. Pasang Lithocarpus ewyckii Fagaceae 794,117

4. Kibeusi Rhodamnia cinerea Myrtaceae 588,235

5. Saninten Castanopsis argentea A.DC Fagaceae 529,411 6. Talingkup Claoxylon polot Merr Euphorbiaceae 500,00 7. Huru mungkal Actinodaphne procera Lauraceae 441,176 8. Kijagong Santiria tomentosa Burseraceae 441,176 9. Nangsi Villebrunea rubescens Bl Urticaceae 325,941 10. Karumbi Homalanthus populneusPax Euphorbiaceae 325,941

Hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang di habitat macan tutul jawa kawasan TNGC diketahui bahwa terdapat 61 jenis tumbuhan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Jenis tumbuhan tingkat pancang pada habitat satwa tersebut didominasi oleh jenis pasang (Lithocarpus ewyckii) dari famili Fagaceae, hal ini diketahui dari nilai kerapatan paling tinggi dengan nilai 225,882. Untuk jenis tumbuhan pada tingkat pancang dengan tingkat kerapatan paling rendah salah satunya adalah jenis kiamis (Cinnamomum burmanii) dari family Lauraceae. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang untuk 10 jenis dengan kerapatan tertinggi adalah sebagai berikut:

Tabel 8 Sepuluh jenis vegetasi tingkat pancang dengan kerapatan tertinggi No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha)

(44)

Hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang di habitat macan tutul jawa kawasan TNGC diketahui bahwa terdapat 50 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan tingkat tiang pada habitat satwa tersebut didominasi oleh jenis pasang (Lithocarpus ewyckii) dari famili Fagaceae, hal ini diketahui dari nilai kerapatan paling tinggi dengan nilai 62,327. Untuk jenis tumbuhan pada tingkat tiang dengan tingkat kerapatan paling rendah salah satunya adalah jenis kendung (Helicia javanica Bl) dari famili Proteceae dengan nilai kerapatan 1,176. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang untuk 10 jenis dengan kerapatan tertinggi adalah: Tabel 9 Sepuluh jenis vegetasi tingkat tiang dengan kerapatan tertinggi

No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan (Ind./ha)

1. Pasang Lithocarpus ewyckii Fagaceae 62,352

2. Kileho Saurauia pendula Bl Saurauiaceae 58,823 3. Kijagong Santiria tomentosa Burseraceae 44,705 4. Beunying Ficus fistulosa Reinw Moraceae 37,647 5. Saninten Castanopsis argentea A.DC Fagaceae 34,117

6. Kibeusi Rhodamnia cinerea Myrtaceae 30,588

7. Kiteja Cinnamomum iners Reinw Lauraceae 27,058 8. Kitaleus Alseodaphne umbelliflora Hk.f Lauraceae 22,352

9. Walen Ficus ribes Reinw Moraceae 21,176

10. Ipis kulit Decaspermum fruticosum Forst Myrtaceae 15,294 Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon di habitat macan tutul jawa kawasan TNGC diketahui bahwa terdapat 59 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan tingkat pohon pada habitat satwa tersebut didominasi oleh jenis pinus (Pinus merkusii) dari famili Pinaceae, dengan nilai kerapatan paling tinggi sebesar 32,352 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Untuk jenis tumbuhan pada tingkat pohon dengan tingkat kerapatan paling rendah salah satunya adalah jenis hantap (Sterculia cordata Bl) dari family Sterculiaceae dengan nilai kerapatan 0,294 (Lampiran 4). Hasil analisis vegetasi tingkat pohon untuk 10 jenis dengan kerapatan tertinggi disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sepuluh jenis vegetasi tingkat pohon dengan kerapatan tertinggi No Nama Daerah Nama Latin Famili Kerapatan

(Ind./ha)

1. Pinus Pinus merkusii Pinaceae 32,352

2. Pasang Lithocarpus ewyckii Fagaceae 31,470

Gambar

Tabel 1  Luas wilayah jelajah macan tutul jawa di TNGC
Gambar 4 Bentuk wilayah jelajah macan tutul jawa Sigedong
Gambar 6. Wilayah jelajah macan tutul jawa Sayana
Tabel 2 Satwa mangsa macan tutul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Edhi sutanta, Yogyakarta (2005), Pengantar Teknologi Informasi , Graha Ilmu.. E-Commerce menggunakan PHP

Abstrak. Muatan kurikulum terdiri dari mata pelajaran wajib, muatan lokal, dan kegiatan pengembangan diri. Kegiatan pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan

Sesuai dengan tujuan umum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia SMP yaitu siswa dapat memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan

Tingkat akurasi perbandingan Wavelet Daubechies dan MFCC antara data asli dan data dengan penambahan noise 30dB, 20dB, dan 10dB dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar

[r]

The metaphor expression above can be categorized as metaphor into metaphor with same image strategy, after knowing the meaning in the translation and understanding

[r]

- Operasional Mobil Pusat layanan Internet Kecamatan (MPLIK) di Provinsi Riau :.. Waktu Pelaksanaan 01-01-2013 sampai dengan