• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Dataran di Indonesia sebagai negara beriklim tropis diwakili oleh tiga dataran, yakni: dataran tinggi, dataran sedang, dan dataran rendah, sehingga beberapa wilayah di Indonesia memungkinkan untuk pemeliharaan ternak perah. Bangsa sapi perah di Indonesia yang banyak dipelihara adalah sapi perah Friesian Holstein yang didatangkan sejak pemerintahan Belanda dari Belanda (iklim subtropis). Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari pola pertumbuhan sapi perah pada ketiga dataran sebagai adaptasi lingkungan. Suhu udara, curah hujan dan ketinggian tempat lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Keadaan dataran pada masing-masing lokasi penelitian

Topografi Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang Pondok Ranggon Ketinggian tempat (m dpl) 1200 1200-1257 450-550 150-200 Suhu udara (oC) 13.8 – 24.6 15- 24 20-31 23.8 – 34 Curah hujan (mm) 2293 1800-2500 3009 1000-2000 Sumber : Badan Meterologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, 2010.

Kondisi topografi pada masing-masing penelitian menunjukkan bahwa Cikole dan Ciater berada pada tempat yang relatif tinggi. Cibungbulang berada pada ketinggian yang relatif sedang, dan Pondok Ranggon pada ketinggian yang relatif lebih rendah. Peternakan sapi perah pada kawasan-kawasan tersebut sudah dapat dilaksanakan dengan cukup baik, meskipun terdapat perbedaan yang dipengaruhi oleh cuaca akibat perbedaan ketinggian tempat.

Suarjaya dan Nuriyasa (2005) memberikan batasan bahwa daerah topografi rendah ketinggian tempatnya berkisar antara 0-250 m diatas permukaan laut (dpl), daerah topografi sedang berkisar antara 250-750 m dpl, dan topografi tinggi lebih dari 750 m dpl. Ketinggian tempat mulai dari urutan tertinggi hingga yang terendah adalah wilayah Ciater 1257 dpl, Cikole 1200 dpl, Cibungbulang 450 - 550 dpl dan Pondok Ranggon 150 - 200 dpl. Sutardi (1981) menyatakan bahwa, beternak sapi perah yang sesuai adalah pada ketinggian tempat sekitar diatas 800 dpl. Berdasarkan ketinggian tempat tersebut, Ciater dan Cikole merupakan tempat yang sesuai untuk beternak sapi perah dengan optimal.

Konsumsi Pakan Sapi Pedet dan Dara

Konsumsi pakan pada sapi perah pedet dan dara masing-masing disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Konsumsi bahan kering (BK) hijauan pada sapi pedet tidak berbeda nyata dengan nilai berkisar 1.37-2.04 kg/ekor/h (P>0.05). Konsumsi nutrien yang terdiri dari protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), dan bahan ekstrak tanpa N (BETN), dan kandungan energi total digestible nutrient (TDN) untuk semua topografi menunjukan konsumsi yang tidak berbeda nyata. Hal ini dimungkinkan karena sapi masih berumur pedet sehingga masih belajar untuk mengkonsumsi hijauan dan konsentrat. Kandungan serat kasar tinggi pada hijauan mengharuskan sapi untuk belajar mengkonsumsi hijauan setelah mengkonsumsi susu dari induk atau susu pengganti buatan. Konsumsi konsentrat memiliki nilai 1.01-2.10 kg/ekor/h. Nilai kandungan PK, SK, LK, BETN, dan TDN mengikuti konsumsi BK. Sehingga, antara ketiga dataran tersebut konsumsinya tidak terlalu beragam.

NRC (2001) memberikan standar konsumsi bahan kering sapi pedet 0.45-2.72 kg/ekor/h untuk bobot badan sapi pedet 45-150 kg. Selain itu, NRC (2001) memberikan referensi konsumsi protein kasar pada ransum 0.100-0.598 kg/ekor/h untuk bobot badan sapi pedet 45-150 kg. Konsumsi bahan kering sapi pedet untuk semua topografi masih termasuk dalam standar NRC untuk pertumbuhan sapi pedet yang baik. Selain itu kebutuhan protein dari ransum yang didapat sesuai dengan standar NRC yang ditetapkan sehingga pertumbuhan tidak terganggu. Tabel 4 Pemberian hijauan dan konsentrat sapi pedet FH

Pakan Pemberian (kg BK/ek/hr)

Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P.Ranggon Hijauan BK 2.04±1.91 1.64±0.23 1.90±0.41 1.37±0.48 PK 0.24±0.23 0.18±0.03 0.14±0.03 0.11±0.04 SK 0.79±0.75 0.65±0.09 0.56±0.12 0.43±0.15 LK 0.05±0.04 0.04±0.01 0.02±0.01 0.02±0.01 BETN 0.84±0.79 0.68±0.10 0.97±0.21 0.60±0.21 TDN 1.07±1.99 0.86±0.12 1.07±0.23 0.77±0.27 Konsentrat BK 2.15±1.26 1.92±0.43 2.45±0.25 2.10±0.64 PK 0.20±0.15 0.23±0.05 0.30±0.05 0.23±0.07 SK 0.23±0.18 0.25±0.06 0.36±0.04 0.29±0.09 LK 0.10±0.08b 0.19±0.04a 0.15±0.01ab 0.21±0.06a BETN 0.96±0.74 1.13±0.25 1.41±0.16 1.24±0.38 TDN 1.06±0.82b 1.25±0.28ab 0.72±0.17a 1.60±0.49ab Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05); Bahan

Kering (BK), Protein Kasar (PK), Total Digestible Nutrient (TDN), Serat Kasar (SK), lemak kasar, dan Bahan ekstrak tanpa N (BETN).

Konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat sapi dara tertinggi terdapat di Balai sapi milik pemerintah di Cikole. (Tabel 5). Selain itu, konsentrat yang diberikan di Cikole lebih banyak dibandingkan dengan Ciater, Cibungbulang, dan P. Ranggon (P<0.05). Konsentrat lebih banyak diberikan di Balai Cikole, namun untuk di peternakan rakyat konsentrat merupakan barang mahal yang harus disiasati dengan pakan alternatif (contoh: ampas tahu, ampas kedelai dll). Tingkat konsumsi BK ransum yang berbeda kemungkinan disebabkan oleh perbedaan temperatur lingkungan sehingga mempengaruhi pakan yang dikonsumsi (Habibah 2004). Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menurunkan pakan, karena menyebabkan kadar air pakan menurun dan meningkatkan serat kasar.

Standar konsumsi bahan kering pakan sapi dara menurut NRC (2001) adalah 2.41-12.50 kg/ekor/h dan konsumsi protein kasar 0.386-1.500 kg/ekor/h untuk sapi dara dengan bobot badan 100-450 kg. Konsumsi bahan kering untuk sapi dara ketiga topografi tersebut masih dalam standar NRC, walaupun dalam kisaran nilai bawah. Namun demikian, pertumbuhan minimum sapi dara yang masih dalam nilai yang baik karena terlihat dari nilai titik infleksi (tinf

Konsumsi protein kasar (PK) hijauan dan konsentrat berbanding lurus dengan konsumsi BK dengan nilai tertinggi pada topografi tinggi di Cikole. Konsumsi PK yang ditampilkan pada Tabel 5 menunjukan bahwa perbedaan topografi nyata mempengaruhi konsumsi PK. Perbedaan konsumsi PK ransum kemungkinan besar dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi BK ransum. Temperatur pada ketinggian tempat atau topografi secara tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi makan sapi perah, semakin tinggi temperatur lingkungan sapi cenderung meningkatkan konsumsi air minum dan menurunkan konsumsi pakan untuk menurunkan produksi panas (Thompson 1985 dan Ensminger 1971).

), konstanta pertumbuhan (b) dan bobot pubertas yang tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan sapi pedet dan dara FH lainnya.

Konsumsi serat kasar beragam pada hijauan dan konsentrat untuk semua topografi (Tabel 5). Konsumsi serat kasar oleh sapi di Cikole dan Cibungbulang relatif rendah dibandingkan dengan Ciater dan Pondok Rangon. Kandungan serat kasar yang tinggi menurut Wiliamson dan Payne (1993) dapat juga dikarenakan

hijauan yang dimakan memiliki umur yang lebih tua. Hijauan yang dipotong di wilayah Cikole dan Cibungbulang berumur lebih muda dibandingkan dengan hijauan di wilayah Pondok Ranggon dan Ciater. Kadar komponen serat kasar yang tinggi dalam ransum dapat menyebabkan pakan sulit untuk dicerna, tapi bila kadar komponen serat terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pencernaan ternak ruminansia.

Konsumsi total digestible nutrient (TDN) pada sapi dara yang ditampilkan pada Tabel 5. Pemberian hijauan tertinggi pada sapi dara di wilayah Cikole (P<0.05). Perbedaan konsumsi TDN ransum kemungkinan besar dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi bahan kering ransum. Tingginya nilai konsumsi TDN pada topografi tinggi di wilayah Cikole sebagai kontribusi mengatasi temperatur yang dingin, karena TDN merepresentasikan sumber energi untuk produksi panas. Selain itu menurut Habibah (2004) konsumsi TDN yang tinggi menunjukan pakan lebih banyak tercerna dan dimanfaatkan tubuh, karena energi merupakan sumber tenaga yang merupakan hasil proses pencernaan didalam tubuh (Sutardi 1981).

Konsumsi lemak kasar (LK) hijauan memiliki nilai tertinggi di topografi wilayah Ciater dibandingkan dengan topografi lainnya. Kandungan lemak pada ransum dapat mengatasi cekaman panas akibat suhu lingkungan yang tinggi. Sedangkan kandungan LK pada konsentrat tidak berbeda nyata terhadap seluruh wilayah topografi.

Tabel 5 Pemberian hijauan dan konsentrat sapi dara FH Pakan Pemberian

(kg BK/ek/hr)

Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P.Ranggon Hijauan BK 4.66±0.31a 3.37±0.70b 3.07±0.74b 3.51±0.75b PK 0.75±0.03a 0.36±0.08b 0.23±0.05bc 0.29±0.06c SK 0.63±0.02c 1.32±0.27a 0.91±0.22bc 1.11±0.24ab LK 0.03±0.01b 0.07±0.01a 0.04±0.01b 0.05±0.01b BETN 2.09±0.07a 1.39±0.29b 1.57±0.37b 1.55±0.33b TDN 4.54±0.16a 1.77±0.37b 1.73±0.42b 1.98±0.42 Konsentrat b BK 3.25±0.00a 2.86±0.49b 3.19±0.87ab 2.89±0.81b PK 0.49±0.00a 0.34±0.06ab 0.16±0.07ab 0.32±0.09b SK 0.57±0.00a 0.38±0.07b 0.47±0.13ab 0.40±0.11b LK 0.25±0.00 0.28±0.05 0.19±0.05 0.28±0.08 BETN 2.38±0.00a 1.68±0.29b 1.84±0.47ab 1.70±0.47b TDN 2.63±0.00 1.86±0.32 2.24±0.59 2.20±0.61 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05); Bahan

Kering (BK), Protein Kasar (PK), Total Digestible Nutrient (TDN), Serat Kasar (SK), lemak kasar, dan Bahan ekstrak tanpa N (BETN).

Lingkar Dada

Rataan lingkar dada terhadap pertambahan umur dari 0-8 bulan mengalami peningkatan dan biasanya disebut fase percepatan (Tabel 6). Peningkatan rataan yang besar menunjukkan adanya pertumbuhan. Perubahan awal sapi pedet baru lahir 1-2 bulan dan 3-4 bulan terlihat memiliki keragaman yang kecil atau tidak berbeda nyata. Hal ini menjelaskan bahwa lingkar dada sapi yang baru lahir relatif sama sehingga lingkungan termasuk pakan sangat berperan penting sewaktu sapi memasuki periode pertumbuhan.

Tabel 6 Rataan lingkar dada (cm) sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian dengan topografi yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 88.27±3.52 88.60±3.68 87.40±4.80 86.56±3.39 3-4 99.63±3.07 100.78± 3.21 100.67±3.66 100.47± 3.59 5-6 110.95±3.71b 114.28± 6.13a 112.80± 4.75 ab 111.25±3.86 7-8 b 121.53±2.96bc 127.06±7.81a 122.16±3.28b 119.44±4.42 9-10 c 130.05±2.11a 131.25±3.17a 130.67±2.46a 125.96±3.44 11-12 b 137.90±2.21a 138.57±2.12a 134.17±3.15b 124.60±8.13 13-14 c 144.79±1.96a 146.04±3.40a 140.25±6.17b 124.53±8.93 15-16 c 152.43±3.86a 153.44±2.24a 153.75±9.99a 133.86±8.48 17-18 b 157.90±1.76 bc 159.02±2.08b 163.04±6.01a 155.29±6.22 19-20 c 162.92±1.58b 164.00±2.46b 169.97±5.01a 163.90±4.68 21-22 b 168.50±2.06b 169.00±2.41b 175.74±4.35a 170.58±4.60 23-24 b 174.07±1.69 176.11±2.39 174.86±5.15 174.46±5.07 25-26 178.67±1.53ab 180.61±1.38a 175.60±3.09ab 174.70±6.62b Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 6 diatas menunjukkan adanya variasi ukuran lingkar dada pada berbagai lokasi. Variasi ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa diantara individu dalam suatu bangsa dan diantara bangsa ternak terdapat perbedaan didalam merespon lingkungannya, misalnya dalam merespon pakan dan kondisi fisik lingkungan.

Periode dewasa kelamin atau pubertas sapi perah umumnya dicapai sewaktu umur kurang lebih satu tahun. Ukuran lingkar dada sapi sewaktu mencapai dewasa kelamin memiliki nilai yang tinggi pada dataran tinggi diikuti dataran sedang dan dataran rendah. Nilai ukuran lingkar dada sewaktu dewasa kelamin di dataran tinggi adalah 137.90-138.57 cm, dataran sedang adalah 134.17 cm dan dataran rendah adalah 124.60 cm.

Ketika pertumbuhan sapi mulai memasuki masa dara terjadi perubahan ukuran lingkar dada yang berkorelasi dengan pakan yang diberikan peternak rakyat tersebut. Peternak yang memelihara di daerah topografi tinggi lebih dapat meningkatkan performa sapi daranya dibandingkan sapi dara yang dipelihara di topografi rendah. Berdasarkan Tabel 6 dilakukan perhitungan persentase perbedaan ukuran lingkar dada pada umur 11-12 bulan yang menunjukan berbeda nyata pada ketiga topografi, tingkat perbedaan 3% (topografi tinggi vs sedang), 10% (topografi tinggi vs rendah) dan 7% (topografi sedang vs rendah).

Konsumsi bahan kering pakan sapi dara berupa hijauan dan konsentrat memiliki nilai yang sama antara daerah Ciater (6.22 kg/ekor/h) dan Pondok Rangon (6.41 kg/ekor/h) namun memiliki nilai lingkar dada yang lebih tinggi di Ciater (180.61±1.38 cm) yang berdataran tinggi dibandingkan dengan P. Ranggon (174.70±6.62 cm). Pengaruh konsumsi pakan tidak berlaku absolut untuk pertumbuhan sapi perah namun harus juga memperhatikan tingkat datarannya.

Umur sapi pedet akan tumbuh dengan optimal apabila dilakukan manajemen penanganan yang baik dan benar, karena pedet sangat rentan terhadap penyakit dan kematian terutama pedet yang baru lahir (Sudono et al. 2003). Selain kolostrum, pedet perlu diberikan susu induk dikarenakan laju pertumbuhan dari lahir hingga lepas sapih sebagian dipengaruhi sekresi susu induk dan kesehatan individu (Campbell et al. 2003). Lingkar dada ini memiliki keeratan hubungan yang tinggi dengan prediksi nilai bobot badan sapi. Berdasarkan perhitungan, nilai korelasi bobot badan dengan lingkar dada adalah 0.94.

Berdasarkan analisa pertumbuhan secara non-linear dengan model Gompertz menghasilkan ukuran lingkar dada pada ketiga dataran terlihat memiliki nilai yang tinggi antara topografi tinggi dan sedang vs rendah. Ukuran lingkar dada pada daerah topografi rendah dalam hal ini di Pondok Ranggon terjadi karena manajemen pemeliharaan yang kurang baik ditambah tingkat cekaman panas yang tinggi sehingga sapi beradaptasi dengan ukuran yang lebih kecil supaya tahan terhadap cekaman panas. Tingkat kemudahan model (iterasi) yang didapat dalam kisaran nilai 2-8.

Fase percepatan dimulai dari lahir hingga mencapai titik infleksi. Fase percepatan ini ditandai dengan adanya perubahan bentuk, pertambahan bobot

badan, pertambahan ukuran tubuh. Sudono et al., (2003) menyatakan bahwa sapi perah yang masih muda dapat berubah bentuknya, bertambah besar bobot badannya dan bertambah ukuran tubuhnya. Salah satu perubahan bentuk ukuran badan adalah lingkar dada, seperti pada Tabel 6. Sugeng (2002) menambahkan bahwa pertambahan bobot badan hewan muda adalah merupakan bagian dari pertumbuhan urat daging, tulang dan organ-organ vital.

Nilai ukuran lingkar dada sapi perah sewaktu terjadi dewasa tubuh (A) memiliki urutan dataran rendah, sedang dan tinggi (Tabel 7). Sapi perah yang dipelihara di dataran tinggi lebih cepat tercapai dewasa kelamin dan tubuh sehingga memiliki nilai A yang lebih rendah dibandingkan dengan topografi sedang dan rendah. Dewasa tubuh sapi perah umumnya terjadi pada 2-3 tahun. Sapi perah dara yang telah mencapai dewasa tubuh dapat dikawinkan dengan pejantan atau dengan proses inseminasi buatan. Kesiapan organ reproduksi dan fisiolgis tubuh telah tercapai sewaktu dewasa tubuh.

Nilai rataan laju pertumbuhan lingkat dada (k) sapi perah untuk semua dataran memiliki kisaran nilai 0.0021-0.0027 cm/hari (Tabel 7). Laju pertumbuhan lingkar dada yang tercepat adalah di topografi tinggi Cikole dan Ciater. Sedangkan, laju pertumbuhan lingkar dada pada topografi rendah memiliki nilai laju terendah. Laju pertumbuhan (k) merupakan salah satu aspek penting yang menjadi bagian utama pembahasan periode pertumbuhan. Laju pertumbuhan sebelum terjadinya dewasa kelamin sangat dipengaruhi oleh nutrisi pakan yang diberikan, keadaan hormonal, dan lingkungan (Echols 2011). Laju pertumbuhan terhambat apabila kandungan protein dan energi pakan terbatas (Owens et al.1993 Tabel 7 Nilai dugaan parameter A, b dan k pada model Gompertz lingkar dada

pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 196.7±1.51 0.905±0.005 0.0027±0.00006 8

Ciater 196.0±2.69 0.872±0.099 0.0027±0.00012 6

Cibungbulang 208.5±4.02 0.942±0.013 0.0024±0.00013 3

P.Ranggon 210.3±10.21 0.947±0.033 0.0021±0.00025 2

Keterangan : A = Ukuran lingkar dada (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

k = Rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh adalah waktu ketika lahir

Gambar 4 Perkembangan lingkar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian

Kurva pertumbuhan lingkar dada sapi perah untuk semua topografi memiliki laju kecepatan yang positif. Sapi perah umur 0-27 bulan masih dalam periode pertumbuhan dengan percepatan yang bernilai positif. Percepatan pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 4 memiliki slope yang tinggi ketika lahir hingga terjadinya pubertas atau dewasa kelamin. Setelah sapi perah pedet melewati masa dewasa kelamin percepatan mulai berkurang hingga terjadi dewasa tubuh. Setelah sapi dara melewati masa dewasa tubuh (kurang lebih 2-3 tahun) maka pertumbuhan mulai berkurang dalam hal kecepatan dan percepatan tumbuh hingga mencapai nilai asimtot. Deposisi lemak mulai terjadi setelah melewati dewasa tubuh dan kebutuhan protein tubuh telah tercapai maksimal (Echols 2011).

Lebar Dada

Lebar dada yang diukur dari jarak antara sendi bahu kiri dan kanan sapi perah di sajikan pada Tabel 8. Sapi awal baru lahir pada ketiga dataran memiliki nilai lebar dada yang beragam. Hal ini memperlihatkan bahwa turunan sapi peranakan FH yang didapat secara genetika sama namun hasil adaptasi lingkungan jelas telah berbeda. Daerah topografi tinggi memiliki nilai lebar dada dalam kisaran nilai 21.30-22.30 cm dan daerah topografi rendah dan sedang memiliki nilai 17.50-17.70 cm. 80 100 120 140 160 180 200 220 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 L in gk ar d ad a ( c m ) Umur (bulan)

Lebar dada pada saat dewasa kelamin mulai relatif stabil dibandingkan dengan saat pertama sapi lahir. Pada umur 11-12 bulan sapi yang diternakkan di dataran tinggi dan sedang memiliki ukuran lebar dada yang tidak berbeda nyata dengan kisaran nilai 33.70-34.59 cm. Perbedaan ukuran lebar dada akibat kondisi dataran sangat nyata antara dataran tinggi dan rendah pada sapi umur pubertas (Tabel 8). Lebar dada pada sapi perah memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sapi potong karena secara genetik rangka sapi perah diperuntukkan untuk fokus pada produksi susu setelah melahirkan.

Nilai lebar dada sapi perah dara umur 25-26 bulan atau periode dewasa tubuh nyata berbeda antara ketiga dataran. Nilai lebar dada sapi dara umur 25-26 bulan di dataran tinggi adalah 41.00-43.33 cm dan di topografi rendah adalah 33.60±1.52 cm. Penelitian Tazkia dan Anggraeni (2009) menghasilkan bahwa lebar dada sapi perah dara yang dipelihara di wilayah Lembang memiliki nilai kisaran 31.23-48.42 cm, sedangkan sapi Bali memiliki nilai lebar dada pada masa daranya sewaktu umur 24-25 bulan berkisar antara 27.3-28.6 cm (Bugiwati 2011).

Pengaruh dataran atau ketinggian tempat terhadap ukuran lebar dada terlihat signifikan secara keseluruhan untuk semua umur. Peran kandungan nutrisi pakan terutama protein juga berperan terhadap pertumbuhan ukuran tubuh. Protein sangat berguna untuk regenerasi sel dan mendukung terjadinya pertumbuhan yang baik.

Tabel 8 Rataan lebar dada (cm) sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian dengan dataran yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 22.33±3.39a 21.30±1.83a 17.70±2.10b 17.50±2.12b 3-4 24.18±2.75b 26.06±3.08a 22.35±3.46c 20.00±2.60 5-6 d 26.15±1.84b 29.44±3.90a 27.19±2.86b 22.76±2.21 7-8 c 29.14±1.66b 30.87±2.40a 29.44±2.71ab 23.87±3.45 9-10 c 31.29±2.35a 32.66±3.20a 31.54±2.45a 24.92±2.39 11-12 b 34.59±2.51a 33.70±3.17a 32.89±2.29a 28.66±2.84 13-14 b 34.53±3.28a 34.12±1.76a 33.97±1.95a 31.63±2.64 15-16 b 33.78±3.81a 35.78±5.39a 36.05±1.76a 31.20±3.08 17-18 b 32.68±3.60c 35.97±3.43b 38.02±2.11a 32.68±3.60 19-20 c 33.54±2.45b 36.62±3.48a 38.24±2.83a 32.13±2.48 21-22 b 34.55±2.09b 38.43±2.68a 38.67±2.39a 32.89±2.16 23-24 b 36.64±2.36b 40.38±2.23a 38.60±2.79ab 32.90±2.25 25-26 c 41.00±1.00b 43.33±1.60a 38.85±2.48b 33.60±1.52c Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Berdasarkan analisa kurva pertumbuhan secara non-linear dengan model Gompertz menghasilkan bahwa ukuran lebar dada sewaktu dewasa tubuh pada ketiga topografi terlihat sangat beragam (Tabel 9). Nilai ukuran tubuh lebar dada saat telah mencapai dewasa tubuh (A) tidak mempunyai pola atau keteraturan antara ketiga dataran, namun dapat dillihat pada Tabel 9 bahwa kisaran nilai lebar dada sapi perah saat dewasa tubuh adalah 34.85-48.60 cm.

Nilai konstanta b pada sapi Cibungbulang memiliki nilai lebih dari 1. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tubuh relatif tumbuh lebih lambat dari bobot badan. Walaupun demikian nilai b>1 ini tidak mutlak berlaku untuk semua dataran, dataran rendah dan tinggi memiliki nilai konstanta b<1 yang berarti ukuran tubuh relatif tumbuh lebih cepat dari bobot badan, karena pertumbuhan ukuran tubuh dipengaruhi jaringan tulang yang tumbuh lebih awal.

Kecepatan pertumbuhan (k) lebar dada sapi dara antar lokasi penelitian beragam dan tidak terpola berdasarkan topografinya. Laju atau kecepatan tumbuh terbesar adalah di topografi tinggi Cikole, sebaliknya laju terendah terjadi di topografi tinggi di Ciater. Ukuran tubuh lebar dada secara statistik tidak terpola laju pertumbuhannya terhadap kondisi topografi. Kisaran nilai laju pertumbuhan lebar dada adalah 0.0019-0.0065 cm/hari.

Kurva pertumbuhan ukuran tubuh lebar dada disajikan pada Gambar 5. Pertumbuhan setelah lahir hingga dewasa kelamin memiliki percepatan dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan setelah dewasa kelamin. Setelah sapi perah pedet melewati masa dewasa kelamin percepatan mulai berkurang hingga terjadi dewasa tubuh. Terlihat delta atau paritas pada Gambar 5 bahwa garis kurva pertumbuhan antara masing-masing dataran tidak memiliki pola yang tetap atau stabil dari lahir hingga dewasa tubuh. Tabel 9 Nilai dugaan parameter A, b dan k pada model gompertz lebar dada

pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 34.99±0.557 0.691±0.060 0.0065±0.00088 19 Ciater 48.60±2.555 0.733±0.044 0.0039±0.00030 12 Cibungbulang 38.32±0.381 1.006±0.046 0.0062±0.00038 20 P.Ranggon 34.85±0.836 0.801±0.039 0.0038±0.00046 10 Keterangan : A = Ukuran lebar dada (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

k = Rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh adalah waktu ketika lahir

Gambar 5 Perkembangan lebar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian.

Tinggi Pundak

Tinggi pundak sapi dalam banyak literatur digunakan sebagai marka seleksi pada sapi perah dan sapi potong dalam hal refleksi terjadinya dewasa kelamin (Echols 2011). Nilai heritabilitas tinggi pundak terhadap ukuran kerangka sapi (frame score) memiliki nilai yang tinggi pada umur sapi 15 bulan yaitu 0.75 (Vargas et al. 2000). Nilai ukuran tubuh tinggi pundak sapi perah saat awal kelahiran atau postpartum memiliki nilai yang seragam pada dataran tinggi dan sedang, sedangkan di dataran rendah nilai ukuran tubuh tinggi pundak memiliki kisaran nilai yang terendah.

Ukuran tinggi pundak berbeda nyata sewaktu terjadi infleksi point pada umur 11-12 bulan antara tiga dataran yang disajikan pada Tabel 10 dengan urutan tertinggi topografi tinggi, sedang, dan rendah (P<0.05). Hal ini berbanding lurus antara waktu terjadinya pubertas pada umur 11-12 bulan dengan ukuran tinggi pundak pada topografi tinggi. Sapi Bali pada umur 24 bulan memiliki ukuran tinggi pundak 137.3 cm (Bugiwati 2011) dan sapi lokal Jepang pada umur yang sama memiliki ukuran 127.1 cm (Alberti et al. 2008). Menurut BIF atau Beef Improvement Federation (2002) menyatakan bahwa bukan hanya bobot badan namun ukuran tinggi pundak juga dapat dijadikan sebagai ukuran perbedaan hasil interaksi genetik dan lingkungan.

12 17 22 27 32 37 42 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 L e ba r da da ( c m ) Umur (bulan)

Tabel 10 Rataan tinggi pundak (cm) sapi pedet dan dara masing-masing lokasi penelitian dengan topografi yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 83.22±6.42a 79.80±4.34a 81.13±5.91a 72.37±2.50b 3-4 90.05±8.13a 87.28±7.75a 82.71±10.39b 77.38±4.89 5-6 b 104.47±4.01a 97.01±8.89b 90.33±8.61c 85.64±6.33 7-8 d 108.30±3.25a 107.79±6.88a 103.50±10.82b 91.44±4.52 9-10 c 109.44±9.43a 111.00±6.28a 112.30±7.95a 96.19±6.11 11-12 b 120.22±9.52a 110.37±6.19b 111.72±4.39b 102.37±6.22 13-14 c 120.28±5.69a 110.38±3.54c 117.00±4.70b 105.33±1.94 15-16 d 124.09±3.78b 118.50±9.33b 122.30±3.57ab 110.70±4.67 17-18 c 129.75±3.86a 124.65±9.77b 120.54±6.43bc 116.03±5.97 19-20 c 133.88±4.15a 125.32±4.87b 120.43±6.28c 122.57±5.87 21-22 bc 134.61±3.48a 127.76±4.52b 125.62±5.90b 122.61±9.50 23-24 b 133.93±2.35a 130.31±5.07ab 128.80±3.76b 117.26±7.69 25-26 c 135.67±1.15a 135.17±5.17ab 129.90±3.11b 121.20±5.13c Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Sapi perah dara saat memasuki masa dewasa tubuh semakin jelas perbandingan ukuran tinggi pundak yang berbeda pada ketiga dataran. Di wilayah topografi tinggi ukuran tinggi pundak 135.17±15.67 cm, topografi sedang 129.90±3.11 cm dan topografi rendah 121.20±5.13 cm (Tabel 10). Suhu lingkungan yang tinggi pada daerah topografi rendah P.Rangon menghasilkan adaptasi bentuk kerangka tubuh dalam hal ini ukuran tinggi pundak lebih kecil dibandingkan dengan topografi tinggi. Tinggi pundak yang besar akan menghasilkan nilai kerangka tubuh atau frame score yang tinggi dan secara fakta sapi tersebut memiliki postur tubuh yang besar (Bugiwati 2011).

Analisa kurva pertumbuhan non-linear Gompertz untuk ukuran tubuh tinggi pundak disajikan pada Tabel 11. Nilai bobot dewasa tubuh (A) tidak memiliki pola yang terstruktur, bobot dewasa tubuh pada wilayah dataran tinggi 135.3-141.1 cm, dataran sedang 128.1±1.60 cm dan topografi rendah 132.0±2.91 cm. Namun dapat diduga bahwa ukuran tinggi pundak sapi perah saat dewasa tubuh untuk daerah tropis adalah 128.1-141.1 cm.

Laju pertumbuhan ukuran tubuh tinggi pundak (k) terendah adalah pada daerah dataran rendah dan tertinggi di wilayah dataran sedang (Tabel 11). Nilai k juga tidak terpola secara sistematis antara ketiga topografi. Laju pertumbuhan tinggi pundak sapi perah pada dataran tinggi 0.0035-0.0036 cm/hari, dataran sedang 0.0047±0.0004 cm/hari, dan dataran rendah 0.0030±0.0003 cm/hari.

Tabel 11 Nilai dugaan parameter A, b dan k model Gompertz pada tinggi pundak pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 141.1±2.91 0.606±0.021 0.0036±0.0004 34 Ciater 135.3±2.77 0.586±0.022 0.0035±0.0004 18 Cibungbulang 128.1±1.60 0.640±0.027 0.0047±0.0004 14 P.Ranggon 132.0±2.91 0.727±0.019 0.0030±0.0003 19 Keterangan : A = Ukuran tinggi pundak (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

Nilai konstanta b seragam sesuai dengan tercapainya tingkatan pubertas. Nilai b<1 merefleksikan bahwa tinggi pundak tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot badan. Nilai tingkat kesulitan model (iterasi) bervariasi dengan tingkat kesulitan tertinggi pada topografi tinggi pada analisa non-linear dengan menggunakan piranti lunak SAS

adalah waktu ketika lahir k = Rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh

Dokumen terkait