• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of body measurement and feed intake in heifer and calf growth performance in the different topografi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of body measurement and feed intake in heifer and calf growth performance in the different topografi."

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN

SAPI PEDET DAN DARA PADA LOKASI

YANG BERBEDA

SUTOMO SYAWAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Hubungan Respon Ukuran Tubuh dan Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Sapi Pedet dan Dara pada Lokasi yang Berbeda adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

(3)

SUTOMO SYAWAL. Study of body measurement and feed intake in heifer and calf growth performance in the different topografi. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and IDAT GALIH PERMANA

The environment condition directly or inderectly influence animal performance, such as growth. Growth in animal was difine in many ways. One of its parameter is body growth. Location this riset was Cikole, Ciater and Cibungbulan in East Java and Pondok Ranggon in Jakarta. The present study was done in high, middle and lowland to observe wither height, body length (BL), chest width (CW), and heart girth (HG). 121 heads calves and and heifer 131 heads. Calipster and Rondo Ribon were used to measure the body size. The Gompertz model was used to predict the growth parameter of mature age. The age maturity for highland was 348-372 days, midleland 378 days, and lowland 466 days. The growth rate for all body size (BL, CW, HG) were higher in highland than midleland and lowland. The sequences of growth development from the Gompertz analysis were BL, CW, and HG respectively. Heifer which those early in puberty or mature age will reach better in body size.

(4)

SUTOMO SYAWAL. Studi Hubungan Respon Ukuran Tubuh dan Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Pedet dan Dara pada Lokasi yang Berbeda. Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO DAN IDAT GALIH PERMANA

Perkembangan usaha peternakan sapi perah pada umumnya dilakukan dalam dua bentuk, yaitu peternakan rakyat dan perusahaan sapi perah. Usaha peternakan yang baik adalah usaha yang dapat mengoptimalkan efisiensi manajemen sehingga diperoleh performans produktifitas yang maksimal. Produktifitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mutu genetik ternak, lingkungan dan manajemen pemberian pakan. Faktor lingkungan, salah satunya adalah aspek ketinggian tempat (dataran) yang sangat menarik untuk diteliti terkait dengan pertumbuhan sapi perah. Pola pertumbuhan dapat diamati melalui bagian tubuh yang tumbuh seperti bobot badan, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada dan lebar dada. Pendugaan pola pertumbuhan melalui pendekatan matematis dapat dilakukan dengan prinsip kurva pertumbuhan sigmoid yang salah satunya dengan menggunakan kurva Gompertz.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan, tingkat pubertas, pola pemberian pakan dan menduga pertumbuhan dengan model Gompertz sapi pedet dan dara pada kondisi iklim lingkungan pemeliharaan yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu informasi bagi peningkatan usaha produktivitas ternak sapi perah dan memberikan informasi terhadap pengaruh dan pemanfaatn lingkungan terhadap pertumbuhan sapi perah.

Topografi yang diamati yang merupakan representasi lingkungan tropis Indonesia terdiri dari dataran tinggi, sedang, dan rendah. Pengukuran ukuran tubuh dilakukan secara langsung secara berkelanjutan di Cikole dan Ciater Bandung (dataran tinggi), Cibungbulang Bogor (dataran sedang), dan Pondok Rangon Jakarta (dataran rendah). Alat yang digunakan adalah kalipster dan pita ukur.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Kegiatan penelitian dibagi dalam 3 kondisi lingkungan pemeliharaan pada sapi perah, yaitu: 1). Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi perah (BPPT-SP) Cikole; 2) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPBSU) Ciater, Jawa Barat sebagai refleksi dataran tinggi; 3). Kawasan Cibungbulan, Jawa Barat sebagai refleksi dataran menengah; dan 4). Kawasan Peternakan Sapi Perah Pondok Rangon, Jakarta Timur sebagai profil dataran rendah.

Ternak yang digunakan untuk penelitian ini adalah sapi perah Friesian-Holstein (FH) betina berjumlah 252 ekor, terdiri dari sapi pedet yaitu sapi betina berumur 0-8 bulan sejumlah 121 ekor dan sapi dara, yaitu sapi betina yang berumur 9-24 bulan, berjumlah 131 ekor, untuk BPT Cikole sebanyak 45 ekor, Ciater 58 ekor, Pamijahan 85 ekor dan Pondok Ranggon 64 ekor. Pengukuran dilakukan tiap bulan pada keempat lokasi, selama 4 bulan pada lokasi penelitian.

(5)

total digestible nutrient (TDN) dan serat kasar (SK).

Data yang terkumpul dihitung rataan (x) dan simpangan deviasi (SE). Piranti lunak SAS V.9.1 digunakan untuk menghitung dan membuat kurva Gompertz dengan persamaan Yt = A - - , dimana Y

t = bobot badan sapi pada waktu t atau bulan (kg); A = rataan bobot badan dewasa (kg); e = bilangan natural yang bernilai 2.71828, b = konstanta yang didapat sewaktu bobot badan lahir dengan Y0≠ 0, atau to

Hasil penelitian ini yaitu 1) Sapi FH pedet dan dara memiliki tingkat konsumsi pakan lebih besar yang dipelihara pada dataran tinggi, diikuti oleh dataran menengah dan tingkat konsumsi terendah pada pemeliharaan di dataran rendah. Sapi FH pedet dan dara memiliki tingkat konsumsi pakan lebih besar yang dipelihara pada dataran tinggi (9.42 kg/ekor/h), diikuti oleh dataran rendah (6.41 kg/ekor/h) dan tingkat konsumsi terendah pada pemeliharaan di dataran sedang (4.37 kg/ekor/hr).2) Laju pertumbuhan ukuran tubuh sapi FH pedet dan dara lebih besar pada pemeliharaan di dataran tinggi dibandingkan dataran menengah dan rendah. 3) Urutan perkembangan bagian tubuh sapi FH relatif sama untuk semua dataran penelitian, yaitu dimulai dari perkembangan tinggi pundak, selanjutnya diikuti secara berurutan perkembangan lebar dada, lingkar dada dan panjang badan. 4) Urutan awal tercapainya dewasa kelamin adalah pada dataran tinggi (214 kg ), dataran sedang (227 kg) dan dataran rendah (269 kg).

≠ 0, k = laju kedewasaan yang menunjukan rasio antara laju pertumbahan bobot badan maksimum dengan bobot badan dewasa.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN

SAPI PEDET DAN DARA PADA LOKASI

YANG BERBEDA

SUTOMO SYAWAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Studi Hubungan Respon Ukuran Tubuh dan Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Pedet dan Dara pada Lokasi yang Berbeda

Nama : Sutomo Syawal

NIM : D151080041

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr..

Anggota

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan limpahan rahmat, karunia-Nya dan dengan pertolongan-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Tesis memuat hasil penelitian mengenai “Studi Hubungan Respon Ukuran Tubuh dan Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Sapi Pedet dan Dara pada Lokasi yang Berbeda” yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Okober 2010.

Pada kesmpatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, Ayahanda Prof.Dr.Ir. M. Syawal, M.Sc dan Ibunda Prof.Dr. dr. Rukiah Syawal yang selalu memberikan motivasi, moril, materil, perhatian yang tulus dan doa restu yang tiada hentinya, begitu pula kepada kedua mertua penulis Drs. Kamaruddin Yahya dan Habibah, yang penuh dengan keikhlasan dan perhatian dalam membantu penulis.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing, Dr.Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr dan Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta arahan dalam proses penyusunan tesis ini menjadi sebuah karya ilmiah yang baik. Terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.ScAgr. sebagai penguji pada ujian sidang tesis yang telah memberikan pertanyaan dan saran yang bermanfaat dan memiliki arti penting untuk kesempurnaan tesis ini.

Kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Peternakan, Ketua Jurusan Produksi Ternak dan staf, penulis mengucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Serta Ditjen Dikti atas bantuan dana beasiswa pendidikan BPPS yang telah diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, M.AgrSc sebagai Ketua Depatemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA sebagai Ketua Program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, staf pengajar, administrasi dan staf penunjuang Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(11)

Subang, Jawa Barat, Para peternak pada Kawasan Usaha Peternakan (Kunak), Cibungbulan, Bogor dan Kawasan Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur, terimakasih penulis sampaikan atas izin penggunakan lokasi dan telah memberikan bantuan dan kerjasama dalam proses penelitian pada wilayah tersebut sehingga pelaksanaan penelitian dapat dilaksanakan sampai selesai.

Untaian kata terima kasih, rasa cinta dan sayang penulis sampaikan kepada istri tercinta dr. Ida Mujahidah dan anak-anakku Muh. Fathul Khair dan Muh. Fauzan Azhim yang selalu memberikan motivasi, kasih sayang dan doa dan permohonan maaf atas kekurangan waktu dan perhatian dalam keluarga selama menempuh pendidikan di Bogor. .Demikian pula terimakasih yang tulus kepada Kakak, dr. Purnamanita Syawal, SpM, M.Kes dan Ir. Firdaus Syawal, MM atas bantuan materil dan perhatian yang telah diberikan selama pendidikan di Bogor.

Ucapan terimakasih banyak kepada Prima Puji Raharjo, S.Pt, M.Si, Adi Rakhman, S.Pt, M.Si, dan Ir. Dadang Suherman, M.Si atas kebaikan, bantuan perhatian, kekeluargaan dan persahabatan yang telah terjalin selama ini dan juga pada proses pengolahan data, memperbaiki kalimat dalam proses penyusunan tesis. Ucapan terima kasih khusus juga Bapak Norman dan Ibu Yoshi atas perhatian dan kekeluargaan yang telah terjalin selama menetap pada masa pendidikan di Kosan Kemanggisan, dan warga masyarakat pada wilayah Babakan Doneng, Dramaga, Bogor. Begitupula kepada teman-teman ITP Angkatan 2008, 2009, khususnya pada Adnan, Jaya Putra Jahidin, Hilda Susanty, Farhani Zakaria, Muh. Ikhsan A. Dagong, Yoshi Lia, dan Bambang dan rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Teknlogi Peternakan atas segala bantuan yang diberikan.

Akhirnya penulis berharap semoga apa yang telah dihasilkan ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peternakan dimasa yang akan datang. Amin.

Bogor, Juni 2012

Sutomo Syawal

(12)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Maret 1976 dari ayah Mohammad Syawal dan Ibu Sitti Rukiah. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.

Program sarjana ditempuh di Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan Magister pada Program Studi Sosiologi dan Penyuluhan Lingkungan, Universitas Hasanuddin. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional.

(13)

Halaman

KATA PENGANTAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... Pemeliharaan Sapi Pedet... 4

Pemeliharaan Sapi Dara ... 4

Hijauan dan Konsentrat ... 5

Pemberian Pakan pada Sapi Perah ... 6

Pertumbuhan Sapi Perah ... 7

Titik Infleksi . ... 12

Ukuran Tubuh ... 13

Kurva Pertumbuhan ... 14

Model Gompertz ... 14

BAHAN DAN METODE ... 16

Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

Materi Penelitian ... 16

Metode Penelitian ... 16

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 19

Konsumsi Pakan Sapi Pedet dan Dara ... 20

Lingkar Dada ... 23

Lebar Dada ... 26

Tinggi Pundak ... 29

Panjang Badan ... 32

Bobot Badan ... 34

KESIMPULAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(14)

Halaman

1. Pendugaan bobot badan berdasarkan ukuran lingkar dada ... 10

2. Jumlah sapi FH betina yang digunakan dalam penelitian ... 16

3. Keadaan topografi pada masing-masing lokasi penelitian ... 19

4. Konsumsi hijauan dan konsentrat sapi pedet ... 20

5. Konsumsi hijauan dan konsentrat sapi dara ... 21

6. Rataan lingkar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian ... 23

7. Nilai dugaan Parameter A, b dan k lingkar dada pada model Gompertz pada lokasi penelitian ... 25

8. Rataan lebar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian ... 27

9. Nilai dugaan parameter A,b dan k lebar dada pada model Gompertz pada lokasi penelitian ... 28

10. Rataan tinggi pundak sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian ... 30

11. Nilai dugaan parameter A,b dan k tinggi pundak pada model Gompertz pada lokasi penelitian ... 31

12. Rataan panjang badan sapi Pedet dan dara pada masing-masing lokasi Penelitian ... 32

13. Nilai dugaan parameter A,b dan k panjang badan pada model Gompertz pada lokasi penelitian ... 33

14. Rataan bobot badan sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian ... 35

(15)
(16)

Halaman

1. Persamaan Gompertz pada lingkar dada Cikole ... 43

2. Persamaan Gompertz pada lingkar dada Ciater ... 43

3. Persamaan Gompertz pada lingkar dada Cibungbulang ... 43

4. Persamaan Gompertz pada lingkar dada P. Ranggon ... 43

5. Persamaan Gompertz pada lebar dada Cikole ... 44

6. Persamaan Gompertz pada lebar dada Ciater ... 44

7. Persamaan Gompertz pada lebar dada Cibungbulang ... 44

8. Persamaan Gompertz pada lebar dada P. Ranggon ... 44

9. Persamaan Gompertz pada panjang badan di Cikole ... 45

10. Persamaan Gompertz pada panjang badan di Ciater ... 45

11. Persamaan Gompertz pada panjang badan di Cibungbulang ... 45

12. Persamaan Gompertz pada panjang badan di P. Ranggon ... 45

13. Persamaan Gompertz pada tinggi pundak di Cikole ... 46

14. Persamaan Gompertz pada tinggi pundak di Ciater ... 46

15. Persamaan Gompertz pada tinggi pundak di Cibungbulang ... 46

16. Persamaan Gompertz pada tinggi pundak di P. Ranggon ... 46

17. Persamaan Gompertz pada bobot badan di Cikole ... 47

18. Persamaan Gompertz pada bobot badan di Ciater ... 47

19. Persamaan Gompertz pada bobot badan di Cibungbulang ... 47

20. Persamaan Gompertz pada bobot badan di P. Ranggon ... 47

21. Konsumsi bahan kering hijauan sapi pedet ... 48

22. Konsumsi protein kasar hijauan sapi pedet ... 48

23. Konsumsi TDN hijauan sapi pedet ... 48

24. Konsumsi serat kasar hijauan sapi pedet ... 48

25. Konsumsi lemak kasar hijauan sapi pedet ... 49

26. Konsumsi BETN hijauan sapi pedet ... 49

27. Konsumsi bahan kering konsentrat sapi pedet ... 49

28. Konsumsi protein kasar konsentrat sapi pedet ... 49

(17)

31. Konsumsi lemak kasar konsentrat sapi pedet ... 50

32. Konsumsi BETN konsentrat sapi pedet ... 50

33. Konsumsi bahan kering hijauan sapi dara ... 51

34. Konsumsi protein kasar hijauan sapi dara ... 51

35. Konsumsi TDN hijauan sapi dara ... 51

36. Konsumsi serat kasar hijauan sapi dara ... 51

37. Konsumsi lemak kasar hijauan sapi dara ... 52

38. Konsumsi BETN hijauan sapi dara ... 52

39. Konsumsi bahan kering konsentrat sapi dara ... 52

40. Konsumsi protein kasar konsentrat sapi dara ... 52

41. Konsumsi TDN konsentrat sapi dara ... 53

42. Konsumsi serat kasar konsentrat sapi dara ... 53

43. Konsumsi lemak kasar konsentrat sapi dara ... 53

44. Konsumsi BETN konsentrat sapi dara ... 54

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan usaha peternakan sapi perah pada umumnya dilakukan dalam dua bentuk, yaitu skala kecil dan skala besar. Usaha peternakan yang baik adalah usaha yang dapat mengoptimalkan efisiensi manajemen sehingga diperoleh performans produktifitas yang maksimal. Produktifitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti mutu genetik ternak, lingkungan dan manajemen pemberian pakan.

Faktor lingkungan, salah satunya adalah aspek ketinggian tempat (dataran) yang sangat menarik untuk diteliti terkait dengan pertumbuhan sapi perah. Dataran di Indonesia sebagai negara beriklim tropis diwakili oleh tiga dataran, yakni: dataran tinggi, dataran sedang, dan dataran rendah. Sedangkan, bangsa sapi perah di Indonesia yang banyak dipelihara adalah sapi perah Friesian Holstein

yang didatangkan sejak pemerintahan Belanda dari Belanda (iklim subtropis). Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari pola pertumbuhan sapi perah pada ketiga topografi sebagai adaptasi lingkungan.

Pertumbuhan seekor ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya. Pertumbuhan komponen-komponen tersebut berlangsung dengan laju yang berbeda, sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi atau pembedaan karakteristik individual sel atau organ. Perubahan organ-organ dan jaringan berlangsung secara gradual hingga tercapainya ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan.

Pertumbuhan ternak dapat diduga dengan memperhatikan penampilan fisik dan bobot hidupnya. Pertumbuhan ternak adalah hasil dari proses yang berkesinambungan dalam seluruh hidup ternak tersebut, setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Fenomena pertumbuhan ini, salah satunya dapat dilihat dari tulang yang merupakan komponen tubuh yang mengalami pertumbuhan paling dini (Campbell et al. 2003).

(19)

maksimal dengan kecepatan yang berbeda pula. Komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan berat selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan. Pertumbuhan mempengaruhi pula distribusi berat dan komposisi kimia komponen tubuh termasuk tulang, otot dan lemak. Tulang, otot dan lemak merupakan komponen utama penyusun tubuh.

Pola pertumbuhan dapat diamati melalui bagian tubuh yang tumbuh seperti bobot badan, tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada dan lebar dada. Pendugaan pola pertumbuhan melalui pendekatan matematis dapat dilakukan dengan prinsip kurva pertumbuhan sigmoid. Kurva pertumbuhan dengan model Gompertz merupakan kurva yang digunakan pada pendugaan pertumbuhan ternak.

Model Gompertz merupakan model yang sering digunakan dalam studi pertumbuhan ternak dan mempunyai tiga parameter yaitu: A, b dan k. Pendugaan nilai parameter A sebagai cerminan atas adanya asimtot ditunjukkan dari dugaan terhadap bobot dewasa tubuh. Nilai b adalah nilai konstanta integral. Serta nilai k merupakan nilai rataan mencapai kedewasaan. Model Gompertz telah banyak digunakan oleh peneliti untuk mengetahui pertumbuhan ternak diantaranya pada ternak domba oleh Subandriyo et al. (2000) dan Suparyanto et al.(2001) dan pada ternak sapi oleh Maharani et al. (2001).

Bobot atau masa hewan yang dicatat semenjak konsepsi sampai dengan saat kematian menunjukkan kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid (huruf S). Berdasarkan besarnya kecepatan, dapat dibedakan dua macam (fase) pertumbuhan yang dibatasi oleh titik belok (titik infleksi). Fase pertumbuhan yang dimaksud adalah (1) fase akselerasi atau fase pertumbuhan dini dan (2) fase retardasi atau pertumbuhan senja atau fase pertumbuhan lambat.

(20)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan, pola pemberian pakan dan menduga pertumbuhan dengan model Gompertz pada kondisi lingkungan pemeliharaan berdasarkan daerah yang berbeda.

Manfaat Penelitian

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Pemeliharaan Sapi Pedet

Umur 1-8 bulan sapi masih digolongkan pedet. Pada fase sapi pedet pertumbuhan mulai memasuki fase percepatan, dimana fase ini sapi akan tumbuh dengan maskimal apabila didukung oleh pakan, lingkungan dan manajemen pemeliharaan yang baik. Pertumbuhan yang baik pada pada umur pedet ditunjukkan pula oleh hasil penelitian Maharani (2001) dengan interval satu bulan yaitu 37.44; 62.50 dan 103.62. Hal ini membuktikan bahwa pada fase pedet sapi akan tumbuh dengan optimal, oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang baik dan benar (Sudono et al. 2003).

Pada kondisi usaha peternakan rakyat, penyapihan pedet sapi perah umumnya dilakukan pada umur 3-3.5 bulan; dan selama periode pra-sapih tersebut dibutuhkan susu segar sekitar 350 liter (Sudono 1999). Beberapa peneliti melaporkan, bahwa penyapihan pedet sapi perah dapat dilakukan 4-5 minggu, yaitu ketika mampu mengkonsumsi ransum pemula sebanyak 500-600 g/hari (Montiel & Ahuja 2005).

Pemeliharaan Sapi Dara

Umur 9-24 bulan sapi sudah memasuki umur dara, pada umur ini sapi sudah mengalami pubertas. Pubertas pada sapi menunjukkan titik dimana sapi akan mulai memperlihatkan laju pertumbuhan yang melambat setelah pubertas. Pada rentang umur 9-24 bulan, sapi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda dewasa kealmin, pada rentang umur ini sapi sudah dapat dikawinkan.

(22)

Hijauan dan Konsentrat

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler & Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor utama terbesar sebagai biaya produksi dalam industri peternakan yaitu sekitar 45-55%. Menurut Sudono et al. (2003) bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Kondisi tersebut menyarankan pemberian pakan yang baik akan menguntungkan bagi para peternak.

Pemberian pakan pada ternak hendaknya memperhatikan dua hal, yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi pedet, pemberian pakan untuk menunjang kebutuhan hidup pokok, pada sapi dara selain untuk kebutuhan hidup pokok juga produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan bobot badan (PBB). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan adalah kecukupan bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan energi (TDN). Pakan sapi perah yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit mencapai produksi yang tinggi. Akan tetapi apabila pakan sapi perah hanya terdiri konsentrat saja, produksinya akan tinggi dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan ada kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan sapi perah ke arah penggemukan (Sudono et al. 2003).

Hijauan dan konsentrat sebagai komponen pakan sapi perah merupakan zat-zat makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar zat-zat makanan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan, dan konsentrat perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum yang dapat memenuhi zat-zat makanan dari bahan pakan dan kebutuhan zat-zat makanan (Agenas et al. 2006).

(23)

Pemberian Pakan pada Sapi Perah

Pakan utama sapi perah secara umum terdiri dari dua macam yaitu hijauan atau pakan kasar dan konsentrat (Blakely & David 1994). Faktor yang mempengaruhi konsumsi sapi perah adalah bobot badan, tingkat pertumbuhan dan tingkat produksi susu (NRC 2001). Pemberian konsentrat diberikan dengan tujuan sebagai suplai energi dan protein yang tidak tercukupi hanya dengan pemberian hijauan saja terutama pada sapi yang pertumbuhan dan produksi susunya tinggi.

Pada sapi pedet pakan berupa konsentrat diberikan sebanyak 1.5 hingga 2 kg setiap hari, sampai sapi dara mencapai umur 1 tahun, ditambah dengan jerami atau disediakan padang rumput yang berkualitas baik dengan pilihan bebas. Konsentrat perlu lebih banyak diberikan apabila kualitas hhijauan yang diberikan kurang memadai (Blakely & David 1994).

Kebutuhan hidup pokok ternak dewasa sebagian besar dapat terpenuhi dengan pemberian hijauan semata meskipun kualitasnya agak rendah. Umumnya peternakan menggunakan pakan hijauan sebagai pilihan utama dengan proporsi yang besar karena secara ekonomis harga hijauan lebih murah dibandingkan harga konsentrat. Disisi lain, sapi dara yang belum mencapai umur 10-12 bulan jika diberi hijauan tunggal, walaupun dengan kualitas sangat baik, maka mereka tidak mencapai pertumbuhan yang normal.

Kebutuhan sapi perah akan zat makanan terdiri atas kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Kebutuhan hidup pokok diterjemahkan sebagai kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Seekor sapi yang memperoleh pakan hanya sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, bobot sapi tersebut tidak akan naik, juga tidak akan turun dan produksi susunya juga tidak ada. Jika sapi tersebut memperoleh pakan lebih dari kebutuhan pokok hidupnya, sebagian kelebihan pakannya akan dapat diubah menjadi bentuk produksi. Misalnya, produksi air susu, pertumbuhan atau untuk produksi tenaga (Sutardi 1981).

(24)

tertentu harus dapat terpenuhi kebutuhan energi dan protein (Penn 2004). Sapi yang berproduksi tinggi dapat mengkonsumsi bahan kering pakan 3.6-4.0% bobot hidupnya (Sutardi 1983). Besarnya konsumsi bahan kering dipengaruhi antara lain oleh bobot badan ternak, jenis ransum, umur atau kondisi ternak, jenis kelamin, dan kandungan energi bahan pakan.

Pertumbuhan Sapi Perah

Pertumbuhan adalah kenaikan bobot seekor ternak sampai ukuran dewasa tubuh tercapai. Pertumbuhan juga merupakan suatu fenomena universal yang bermula dari telur yang telah dibuahi oleh sperma dan berlanjut sampai hewan mencapai dewasa. Terjadi dua hal dasar pada pertumbuhan hewan, yaitu pertambahan bobot hidup yang disebut pertumbuhan dan perubahan bentuk yang disebut perkembangan. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, komposisi tubuh, termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen kimia, terutama air, lemak, protein dan abu. Pertumbuhan ternak merupakan kumpulan dari pertumbuhan bagian-bagian komponennya (Montiel & Ahuja, 2005).

Gambar 1 Pola kurva pertumbuhan ternak (Forrest et al. 1975).

(25)

dilukiskan sebagai garis atau gambaran kurva sigmoid. Kurva pertumbuhan sigmoid mencerminkan pertumbuhan ternak dari awal dilahirkan kemudian fase percepatan hingga mencapai titik infleksi, selanjutnya ternak mencapai dewasa tubuh dan pada fase ini sudah mulai terjadi fase perlambatan dan akhirnya mengalami pertumbuhan tetap (Suparyanto 1999).

Pertumbuhan komponen-komponen tersebut berlangsung dengan laju yang berbeda sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi atau perbedaan karakteristik individual sel dan organ. Menurut Tayler dan Ensminger (2006) pertumbuhan adalah bertambahnya bobot hingga ukuran dewasa tercapai seperti diferensiasi selular dan perubahan bentuk tubuh.

Menurut Sugeng (2002) menyatakan bahwa pada periode pertumbuhan setelah disapih, maka laju pertumbuhan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain potensi dan pola pertumbuhan masing-masing individu ternak. Potensi pertumbuhan dipengaruhi oleh bangsa dan jenis kelamin, sedangkan pola pertumbuhan tergantung sistem manajemen yang digunakan, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan ternak dan iklim.

Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan berbeda pula. Komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan berat selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan dengan urutan tulang, otot dan lemak atas dasar rasio pertumbuhan diferensial. Pertumbuhan tulang yang mengalami pertumbuhan terakhir adalah tulang rusuk. Oleh karena itu, lingkar dada dan lebar dada cenderung akan tumbuh lebih lambat dibandingkan tinggi pundak dan panjang badan karena berhubungan pertumbuhan tulang rusuk (Soeparno 1998).

(26)

Gambar 2 Kurva pertumbuhan sapi perah (Tyler & Ensminger 2006).

Pada gambar 2 menunjukkan bahwa umur 9-24 bulan sapi sudah memasuki umur dara, pada umur ini sapi perah pubertas, pubertas pada sapi menunjukkan titik dimana sapi akan mulai memperlihatkan laju pertumbuhan yang melambat setelah pubertas. Pada rentang umur 9-24 bulan, sapi juga sudah mulai menunjukkan tanda-tanda dewasa tubuh oleh karena itu pada rentang umur ini sapi sudah dapat dikawinkan (Sudono 1999).

Sudono et al. (2003) menjelaskan bahwa target bobot badan sapi dara umur 8-14 bulan adalah 200-300 kg. Sapi-sapi dara dapat dikawinkan pertama kali setelah sapi tersebut berumur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan berat badan sekitar 275 kg, supaya sapi-sapi dara dapat beranak umur 2 tahun. Hasil penelitian Tazkia (2009) di Lembang Barat menunjukkan bobot badan 275 kg akan dicapai sekitar umur 11-12 bulan dan bobot badan 350 kg akan dicapai sekitar umur 17-18 bulan. Pendugaan pendugaan bobot badan dari lingkar dada disajikan pada Tabel 1 berikut.

0.5

0.7

0.7

0.6

0.5

(27)
(28)

Sudono et al. (2003) menjelaskan bahwa target bobot badan sapi dara umur 8-14 bulan adalah 200-300 kg. Sapi-sapi dara dapat dikawinkan pertama kali setelah sapi tersebut berumur 15 bulan dan ukuran tubuhnya cukup besar dengan berat badan sekitar 275 kg, supaya sapi-sapi dara dapat beranak umur 2 tahun. Hasil penelitian Tazkia (2009) di Lembang Barat menunjukkan bobot badan 275 kg akan dicapai sekitar umur 11-12 bulan dan bobot badan 350 kg akan dicapai sekitar umur 17-18 bulan.

Pemeliharaan yang baik serta pemberian ransum yang berkualitas, sapi dara akan terus tumbuh sampai umur 4-5 tahun. Bila sapi dara tidak mendapatkan ransum yang cukup ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : (a) Pada waktu sapi dara beranak pertama kali, maka besar atau bobot badannya tidak akan mencapai ukuran normal, (b) Sapi terlambat beranak untuk pertama kalinya dan (c) Produksi cenderung akan rendah, tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sutardi 1981).

Menurut Fitzhugh (1976) kurva pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu atau populasi untuk mengaktualisasikan diri sekaligus sebagai ukuran berkembangnya bagian-bagian tubuh hingga mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan tertentu. Lingkungan tersebut dapat berupa level produksi individu, kuantitas dan kualitas pakan, lokasi dan lingkungan secara umum. Model linier tersebut mempunyai kelemahan yaitu adanya salah penafsiran seolah-olah pertumbuhan ternak linier dan positif sehingga akan terjadi salah penafsiran. Model linier tidak mengenal laju perumbuhan yang akan mulai berkurang setelah mengalami titik infleksi yang biasanya terjadi pada waktu pubertas.

Bangsa sapi perah yang dipelihara di Indonesia umumnya merupakan sapi

Friesien Holstein (FH) yang berasal dari Eropa. Kondisi iklim merupakan aspek lingkungan yang banyak mempengaruhi produksi dan reproduksi ternak sapi FH dalam ransum akibat sangat cepatnya pertumbuhan jaringan protein dalam tubuh. Proporsi protein yang dibutuhkan berangsur-angsur berkurang ketika ternak menjadi tua dan menyimpan protein dalam jumlah sedikit (Sudono et al. 2003).

(29)

fenomena biologis. Kurva pertumbuhan mempunyai kelebihan selain secara statistik mampu menduga bobot data lapangan secara akurat, parameter dari kurva pertumbuhan mempunyai arti biologis yang penting dalam menilai efisiensi ternak (Suwarwoto 1983).

Titik Infleksi

Titik infleksi merupakan titik mencapai kecepatan pertumbuhan maksimum dan mencapai percepatan yang menurun, Campbell et al. (2003) menjelaskan bahwa titik infleksi mengindikasikan: 1) Waktu mencapai pertumbuhan maksimum yakni perubahan dari percepatan menjadi penurunan kecepatan pertumbuhan; 2) Umur pubertas; 3) Tingkat kematian spesifik yang terkecil; dan 4) Suatu referensi geometrik untuk determinasi kesamaan umur antar ternak berbeda (dan juga kesamaan umur pada pertumbuhan populasi).

Titik infleksi menandakan ternak mengalami pubertas. Hal ini menjadi indikator produktivitas ternak jika dilihat dari aspek reproduksinya. Salisbury dan Van Demak (1985) mengatakan bahwa makanan kualitas buruk dan faktor-faktor lainnya menyebabkan gangguan pertumbuhan tubuh belum cukup untuk menerima kelahiran yang diperlukan kondisi tubuh yang baik saat beranak dan suplai nutrisi yang cukup pada awal laktasi guna memperoleh produksi tinggi pada sapi perah.

Suwarwoto (1983) menyatakan bahwa korelasi diantara tinggi pundak, lebar dada dan bobot badan adalah sangat nyata (P<0.01) dan untuk panjang badan nyata (P<0.05). Lingkar dada dalam korelasinya positif tetapi tidak nyata. Besarnya derajat keeratan untuk seluruh ukuran tubuh berturut-turut mulai dari yang terbesar ke yang terkecil adalah tinggi pundak, lebar dada, bobot badan dan panjang badan.

(30)

Ukuran Tubuh

Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan umumnya diukur dengan bertambahnya bobot badan, sedangkan besarnya badan dapat diukur melalui ukuran-ukuran pertumbuhan (Sugeng 2002). Menurut Lawrence dan Fowler (2002), menyatakan bahwa pengukuran tubuh antara linier dan circumference, merupakan refleksi dari pertumbuhan tulang atau kerangka dari hewan, ketika diambil dari periode waktu yang teratur.

Pengukuran tubuh yang ditonjolkan dari korelasi tertinggi dengan bobot badan adalah lingkar dada. Namun hasil galat yang dilibatkan dalam penghitungan bobot hidup ternak dari penghitungan lingkar dada mungkin lebih besar antara tiga dan enam kalinya dibandingkan dengan pengukuran langsung. Ukuran galat mungkin dapat dikurangi dengan mengelompokkan variasi ke dalam bangsa, umur, ukuran dan kondisi tubuh yang sama (Lawrence & Fowler 2002).

Lawrie (1995) menjelaskan bahwa hewan yang sedang berkembang mengalami dua gelombang pertumbuhan, gelombang pertumbuhan pertama adalah mulai dari kepala dan menyebar ke badan dan gelombang kedua mulai dari ujung anggota badan ke arah tubuh (atas).

Perbedaan tempat pada penelitian Tazkia (2009) menunjukkan perbedaan nyata terhadap ukuran tinggi (tinggi badan, panjang badan, lingkar dada dan dalam dada) dan bobot badan. Perbedaan tempat dikarenakan Cibereum merupakan topografi tinggi, Tajur Halang merupakan topografi sedang dan Kebon Pedes merupakan topografi rendah. Ukuran tubuh menjadi dasar cara seleksi bagi peternak sapi perah di tiga daerah penelitian tersebut.

(31)

Kurva Pertumbuhan

Menurut Fitzhugh (1976) kurva pertumbuhan merupakan pencerminan kemampuan suatu individu atau populasi untuk mengkatualisasikan diri sekaligus sebagai ukuran akan berkembangnya bagian-bagian tubuh sampai mencapai ukuran maksimal (dewasa) pada kondisi lingkungan yang ada. Lingkungan tersebut dapat berupa level produksi individu, kuantitas dan kualitas pakan, lokasi dan lingkungan secara umum. Kurva pertumbuhan memiliki model yang bermacam-macam, diantaranya yang paling sederhana yaitu kurva regresi linier. Model linier tidak mengenal laju pertumbuhan yang akan mulai berkurang setelah mengalami titik infleksi yang biasanya terjadi pada waktu pubertas.

Model Gompertz dan Von Bertalanffy merupakan model yang sering digunakan dalam studi pertumbuhan ternak dan mempunyai tiga parameter, yaitu A, B dan k. Parameter A adalah nilai yang mencerminkan atas adanya titik asimot yang ditunjukkan dari dugaan terhadap bobot dewasa tubuh, parameter B adalah nilai konstanta integral dan parameter k adalah nilai rataan untuk mencapai kedewasaan. Proses perhitungan kedua model tersebut relative lebih mudah dibandingkan model lainnya dan mempunyai kemampuan dalam menjelaskan waktu yang penting (titik infleksi) dari ternak.

Model Gompertz

Kurva pertumbuhan Model Gompertz dibuat oleh Gompertz pada tahun 1925 untuk menjelaskan pertumbuhan pada situasi yang tidak menguntungkan telah banyak digunakan dalam studi hubungan pertumbuhan dengan waktu pada berbagai jenis makhluk hidup dan bidang penelitian diantaranya dalam studi populasi, model tersebut sangat bermanfaat dalam studi pertumbuhan pada ternak (Kratochvilova et al. 2002).

(32)

Blasco et al. (2003) menggunakan kurva pertumbuhan model Gompertz untuk menggambarkan proses pertumbuhan kelinci. Parameter kurva pertumbuhan dari model Gompertz dijadikan parameter untuk melihat efek seleksi terhadap rataan pertumbuhan dari kelinci.

(33)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Kegiatan penelitian dibagi dalam 3 kondisi lingkungan pemeliharaan pada sapi perah, yaitu: 1) Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Sapi perah (BPPT-SP) Cikole; 2) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPBSU) Ciater, Jawa Barat sebagai refleksi dataran tinggi; 3) Kawasan Cibungbulang, Jawa Barat sebagai refleksi dataran sedang; dan 4) Kawasan Peternakan Sapi Perah Pondok Rangon, Jakarta Timur sebagai profil dataran rendah.

Materi

Ternak yang digunakan untuk penelitian ini adalah sapi perah Friesian-Holstein (FH) betina berjumlah 252 ekor, terdiri dari sapi pedet yaitu sapi betina berumur 0-8 bulan sejumlah 121 ekor dan sapi dara, yaitu sapi betina yang berumur 9-24 bulan, berjumlah 131 ekor, untuk BPT Cikole sebanyak 45 ekor, Ciater 58 ekor, Cibungbulang 85 ekor dan Pondok Ranggon 64 ekor. Pengukuran dilakukan tiap bulan pada keempat lokasi, selama 4 bulan pada lokasi penelitian.

Jumlah sapi betina pedet dan dara yang digunakan dalam penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah sapi betina yang digunakan dalam penelitian

Tipe Sapi Lokasi

Ciater Cikole Cibungbulang P. Ranggon Jumlah

Sapi pedet (1-8 bulan) 26 20 45 30 121

Sapi dara (9-26 bulan) 32 25 40 34 131

Jumlah 58 45 85 64 252

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer yaitu pengukuran ukuran tubuh dengan kalipster dan pita meteran rondo secara langsung disertai dengan wawancara dengan peternak dan data sekunder yaitu data kondisi lingkungan peternakan pada masing-masing lokasi.

Parameter yang Dilakukan 1. Pengukuran ukuran tubuh

(34)

b. Lingkar dada (LD), melingkarkan sekeliling rongga dada dibelakang sendi bahu.

c. Panjang badan (PB), mulai dari tepi tulang humerus sampai tulang duduk d. Lebar dada (LeD), mulai dari jarak antara sendi bahu kiri dan kanan.

e. Bobot badan. Didapatkan dari hasil pengukuran lingkar dada dengan menggunakan pita ukur kemudian dikonversi.

2. Pemberian pakan

Jumlah konsentrat dan hijauan yang diberikan ditimbang pada waktu pemberian pakan. Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap kandungan nutrisi pakan, yang meliputi bahan kering (BK), protein kasar (PK), total digestible nutrient (TDN) dan serat kasar (SK).

Analisis Data

Data yang terkumpul dari ukuran-ukuran tubuh sapi FH pada masing-masing ketinggian dianalisis menjadi rataan (x), standar error (SE). Piranti lunak

SAS V.9.1 digunakan untuk menghitung dan membuat kurva Gompertz (Kratochvilova et al., 2002; Lawrence dan Fowler 2002) dengan persamaan:

Yt e = Bilangan natural yang bernilai 2.71828

b = Konstanta yang didapat sewaktu bobot badan lahir dengan Y0 atau t

≠ 0

o

k = laju kedewasaan yang menunjukan rasio antara laju pertumbahan bobot badan maksimum dengan bobot badan dewasa.

≠ 0

Setelah didapat persamaan Gompertz dilakukan beberapa analisa menurut Fitzburg (1976) dan Kratochvilova et al. (2002), sebagai berikut:

a. Titik infleksi atau titik belok yang mendeskripsikan waktu dewasa kelamin yang didapat dari = 0

b. Derajat kedewasaan atau Ut yang mendeskripsikan proporsi kedewasaan, Ut

c. Laju pertambahan bobot badan (V =

(35)

d. Laju pertambahan bobot badan dewasa absolut (V*) yang dihasilkan dari persamaan V*t = A-1

e. Membandingkan nilai k (laju kedewasaan) dari persamaan Gompertz pada masing-masing ketinggian dengan uji-t.

f. Membandingkan nilai A (rata-rata bobot badan dewasa) dari persamaan Gompertz pada masing-masing ketinggian.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Dataran di Indonesia sebagai negara beriklim tropis diwakili oleh tiga dataran, yakni: dataran tinggi, dataran sedang, dan dataran rendah, sehingga beberapa wilayah di Indonesia memungkinkan untuk pemeliharaan ternak perah. Bangsa sapi perah di Indonesia yang banyak dipelihara adalah sapi perah Friesian Holstein yang didatangkan sejak pemerintahan Belanda dari Belanda (iklim subtropis). Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari pola pertumbuhan sapi perah pada ketiga dataran sebagai adaptasi lingkungan. Suhu udara, curah hujan dan ketinggian tempat lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Keadaan dataran pada masing-masing lokasi penelitian

Topografi Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang Pondok Ranggon

Ketinggian tempat (m dpl) 1200 1200-1257 450-550 150-200

Suhu udara (oC) 13.8 – 24.6 15- 24 20-31 23.8 – 34

Curah hujan (mm) 2293 1800-2500 3009 1000-2000

Sumber : Badan Meterologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, 2010.

Kondisi topografi pada masing-masing penelitian menunjukkan bahwa Cikole dan Ciater berada pada tempat yang relatif tinggi. Cibungbulang berada pada ketinggian yang relatif sedang, dan Pondok Ranggon pada ketinggian yang relatif lebih rendah. Peternakan sapi perah pada kawasan-kawasan tersebut sudah dapat dilaksanakan dengan cukup baik, meskipun terdapat perbedaan yang dipengaruhi oleh cuaca akibat perbedaan ketinggian tempat.

(37)

Konsumsi Pakan Sapi Pedet dan Dara

Konsumsi pakan pada sapi perah pedet dan dara masing-masing disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Konsumsi bahan kering (BK) hijauan pada sapi pedet tidak berbeda nyata dengan nilai berkisar 1.37-2.04 kg/ekor/h (P>0.05). Konsumsi nutrien yang terdiri dari protein kasar (PK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), dan bahan ekstrak tanpa N (BETN), dan kandungan energi total digestible nutrient (TDN) untuk semua topografi menunjukan konsumsi yang tidak berbeda nyata. Hal ini dimungkinkan karena sapi masih berumur pedet sehingga masih belajar untuk mengkonsumsi hijauan dan konsentrat. Kandungan serat kasar tinggi pada hijauan mengharuskan sapi untuk belajar mengkonsumsi hijauan setelah mengkonsumsi susu dari induk atau susu pengganti buatan. Konsumsi konsentrat memiliki nilai 1.01-2.10 kg/ekor/h. Nilai kandungan PK, SK, LK, BETN, dan TDN mengikuti konsumsi BK. Sehingga, antara ketiga dataran tersebut konsumsinya tidak terlalu beragam.

NRC (2001) memberikan standar konsumsi bahan kering sapi pedet 0.45-2.72 kg/ekor/h untuk bobot badan sapi pedet 45-150 kg. Selain itu, NRC (2001) memberikan referensi konsumsi protein kasar pada ransum 0.100-0.598 kg/ekor/h untuk bobot badan sapi pedet 45-150 kg. Konsumsi bahan kering sapi pedet untuk semua topografi masih termasuk dalam standar NRC untuk pertumbuhan sapi pedet yang baik. Selain itu kebutuhan protein dari ransum yang didapat sesuai dengan standar NRC yang ditetapkan sehingga pertumbuhan tidak terganggu. Tabel 4 Pemberian hijauan dan konsentrat sapi pedet FH

Pakan Pemberian (kg BK/ek/hr)

Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P.Ranggon Hijauan BK 2.04±1.91 1.64±0.23 1.90±0.41 1.37±0.48

PK 0.24±0.23 0.18±0.03 0.14±0.03 0.11±0.04 SK 0.79±0.75 0.65±0.09 0.56±0.12 0.43±0.15 LK 0.05±0.04 0.04±0.01 0.02±0.01 0.02±0.01 BETN 0.84±0.79 0.68±0.10 0.97±0.21 0.60±0.21 TDN 1.07±1.99 0.86±0.12 1.07±0.23 0.77±0.27 Konsentrat BK 2.15±1.26 1.92±0.43 2.45±0.25 2.10±0.64 PK 0.20±0.15 0.23±0.05 0.30±0.05 0.23±0.07 SK 0.23±0.18 0.25±0.06 0.36±0.04 0.29±0.09 LK 0.10±0.08b 0.19±0.04a 0.15±0.01ab 0.21±0.06a BETN 0.96±0.74 1.13±0.25 1.41±0.16 1.24±0.38 TDN 1.06±0.82b 1.25±0.28ab 0.72±0.17a 1.60±0.49ab Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05); Bahan

(38)

Konsumsi bahan kering hijauan dan konsentrat sapi dara tertinggi terdapat di Balai sapi milik pemerintah di Cikole. (Tabel 5). Selain itu, konsentrat yang diberikan di Cikole lebih banyak dibandingkan dengan Ciater, Cibungbulang, dan P. Ranggon (P<0.05). Konsentrat lebih banyak diberikan di Balai Cikole, namun untuk di peternakan rakyat konsentrat merupakan barang mahal yang harus disiasati dengan pakan alternatif (contoh: ampas tahu, ampas kedelai dll). Tingkat konsumsi BK ransum yang berbeda kemungkinan disebabkan oleh perbedaan temperatur lingkungan sehingga mempengaruhi pakan yang dikonsumsi (Habibah 2004). Temperatur lingkungan yang tinggi dapat menurunkan pakan, karena menyebabkan kadar air pakan menurun dan meningkatkan serat kasar.

Standar konsumsi bahan kering pakan sapi dara menurut NRC (2001) adalah 2.41-12.50 kg/ekor/h dan konsumsi protein kasar 0.386-1.500 kg/ekor/h untuk sapi dara dengan bobot badan 100-450 kg. Konsumsi bahan kering untuk sapi dara ketiga topografi tersebut masih dalam standar NRC, walaupun dalam kisaran nilai bawah. Namun demikian, pertumbuhan minimum sapi dara yang masih dalam nilai yang baik karena terlihat dari nilai titik infleksi (tinf

Konsumsi protein kasar (PK) hijauan dan konsentrat berbanding lurus dengan konsumsi BK dengan nilai tertinggi pada topografi tinggi di Cikole. Konsumsi PK yang ditampilkan pada Tabel 5 menunjukan bahwa perbedaan topografi nyata mempengaruhi konsumsi PK. Perbedaan konsumsi PK ransum kemungkinan besar dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi BK ransum. Temperatur pada ketinggian tempat atau topografi secara tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi makan sapi perah, semakin tinggi temperatur lingkungan sapi cenderung meningkatkan konsumsi air minum dan menurunkan konsumsi pakan untuk menurunkan produksi panas (Thompson 1985 dan Ensminger 1971).

), konstanta pertumbuhan (b) dan bobot pubertas yang tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan sapi pedet dan dara FH lainnya.

(39)

hijauan yang dimakan memiliki umur yang lebih tua. Hijauan yang dipotong di wilayah Cikole dan Cibungbulang berumur lebih muda dibandingkan dengan hijauan di wilayah Pondok Ranggon dan Ciater. Kadar komponen serat kasar yang tinggi dalam ransum dapat menyebabkan pakan sulit untuk dicerna, tapi bila kadar komponen serat terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pencernaan ternak ruminansia.

Konsumsi total digestible nutrient (TDN) pada sapi dara yang ditampilkan pada Tabel 5. Pemberian hijauan tertinggi pada sapi dara di wilayah Cikole (P<0.05). Perbedaan konsumsi TDN ransum kemungkinan besar dipengaruhi oleh perbedaan konsumsi bahan kering ransum. Tingginya nilai konsumsi TDN pada topografi tinggi di wilayah Cikole sebagai kontribusi mengatasi temperatur yang dingin, karena TDN merepresentasikan sumber energi untuk produksi panas. Selain itu menurut Habibah (2004) konsumsi TDN yang tinggi menunjukan pakan lebih banyak tercerna dan dimanfaatkan tubuh, karena energi merupakan sumber tenaga yang merupakan hasil proses pencernaan didalam tubuh (Sutardi 1981).

Konsumsi lemak kasar (LK) hijauan memiliki nilai tertinggi di topografi wilayah Ciater dibandingkan dengan topografi lainnya. Kandungan lemak pada ransum dapat mengatasi cekaman panas akibat suhu lingkungan yang tinggi. Sedangkan kandungan LK pada konsentrat tidak berbeda nyata terhadap seluruh wilayah topografi.

Tabel 5 Pemberian hijauan dan konsentrat sapi dara FH Pakan Pemberian

(kg BK/ek/hr)

Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P.Ranggon Hijauan BK 4.66±0.31a 3.37±0.70b 3.07±0.74b 3.51±0.75b TDN 2.63±0.00 1.86±0.32 2.24±0.59 2.20±0.61 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05); Bahan

(40)

Lingkar Dada

Rataan lingkar dada terhadap pertambahan umur dari 0-8 bulan mengalami peningkatan dan biasanya disebut fase percepatan (Tabel 6). Peningkatan rataan yang besar menunjukkan adanya pertumbuhan. Perubahan awal sapi pedet baru lahir 1-2 bulan dan 3-4 bulan terlihat memiliki keragaman yang kecil atau tidak berbeda nyata. Hal ini menjelaskan bahwa lingkar dada sapi yang baru lahir relatif sama sehingga lingkungan termasuk pakan sangat berperan penting sewaktu sapi memasuki periode pertumbuhan.

Tabel 6 Rataan lingkar dada (cm) sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian dengan topografi yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 88.27±3.52 88.60±3.68 87.40±4.80 86.56±3.39 3-4 99.63±3.07 100.78± 3.21 100.67±3.66 100.47± 3.59 5-6 110.95±3.71b 114.28± 6.13a 112.80± 4.75 ab 111.25±3.86 7-8

b

121.53±2.96bc 127.06±7.81a 122.16±3.28b 119.44±4.42 9-10

c

130.05±2.11a 131.25±3.17a 130.67±2.46a 125.96±3.44 11-12

b

137.90±2.21a 138.57±2.12a 134.17±3.15b 124.60±8.13 13-14

c

144.79±1.96a 146.04±3.40a 140.25±6.17b 124.53±8.93 15-16

c

152.43±3.86a 153.44±2.24a 153.75±9.99a 133.86±8.48 17-18

b

157.90±1.76 bc 159.02±2.08b 163.04±6.01a 155.29±6.22 19-20

c

162.92±1.58b 164.00±2.46b 169.97±5.01a 163.90±4.68 21-22

b

168.50±2.06b 169.00±2.41b 175.74±4.35a 170.58±4.60 23-24

b

174.07±1.69 176.11±2.39 174.86±5.15 174.46±5.07 25-26 178.67±1.53ab 180.61±1.38a 175.60±3.09ab 174.70±6.62b Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 6 diatas menunjukkan adanya variasi ukuran lingkar dada pada berbagai lokasi. Variasi ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa diantara individu dalam suatu bangsa dan diantara bangsa ternak terdapat perbedaan didalam merespon lingkungannya, misalnya dalam merespon pakan dan kondisi fisik lingkungan.

(41)

Ketika pertumbuhan sapi mulai memasuki masa dara terjadi perubahan ukuran lingkar dada yang berkorelasi dengan pakan yang diberikan peternak rakyat tersebut. Peternak yang memelihara di daerah topografi tinggi lebih dapat meningkatkan performa sapi daranya dibandingkan sapi dara yang dipelihara di topografi rendah. Berdasarkan Tabel 6 dilakukan perhitungan persentase perbedaan ukuran lingkar dada pada umur 11-12 bulan yang menunjukan berbeda nyata pada ketiga topografi, tingkat perbedaan 3% (topografi tinggi vs sedang), 10% (topografi tinggi vs rendah) dan 7% (topografi sedang vs rendah).

Konsumsi bahan kering pakan sapi dara berupa hijauan dan konsentrat memiliki nilai yang sama antara daerah Ciater (6.22 kg/ekor/h) dan Pondok Rangon (6.41 kg/ekor/h) namun memiliki nilai lingkar dada yang lebih tinggi di Ciater (180.61±1.38 cm) yang berdataran tinggi dibandingkan dengan P. Ranggon (174.70±6.62 cm). Pengaruh konsumsi pakan tidak berlaku absolut untuk pertumbuhan sapi perah namun harus juga memperhatikan tingkat datarannya.

Umur sapi pedet akan tumbuh dengan optimal apabila dilakukan manajemen penanganan yang baik dan benar, karena pedet sangat rentan terhadap penyakit dan kematian terutama pedet yang baru lahir (Sudono et al. 2003). Selain kolostrum, pedet perlu diberikan susu induk dikarenakan laju pertumbuhan dari lahir hingga lepas sapih sebagian dipengaruhi sekresi susu induk dan kesehatan individu (Campbell et al. 2003). Lingkar dada ini memiliki keeratan hubungan yang tinggi dengan prediksi nilai bobot badan sapi. Berdasarkan perhitungan, nilai korelasi bobot badan dengan lingkar dada adalah 0.94.

Berdasarkan analisa pertumbuhan secara non-linear dengan model Gompertz menghasilkan ukuran lingkar dada pada ketiga dataran terlihat memiliki nilai yang tinggi antara topografi tinggi dan sedang vs rendah. Ukuran lingkar dada pada daerah topografi rendah dalam hal ini di Pondok Ranggon terjadi karena manajemen pemeliharaan yang kurang baik ditambah tingkat cekaman panas yang tinggi sehingga sapi beradaptasi dengan ukuran yang lebih kecil supaya tahan terhadap cekaman panas. Tingkat kemudahan model (iterasi) yang didapat dalam kisaran nilai 2-8.

(42)

badan, pertambahan ukuran tubuh. Sudono et al., (2003) menyatakan bahwa sapi perah yang masih muda dapat berubah bentuknya, bertambah besar bobot badannya dan bertambah ukuran tubuhnya. Salah satu perubahan bentuk ukuran badan adalah lingkar dada, seperti pada Tabel 6. Sugeng (2002) menambahkan bahwa pertambahan bobot badan hewan muda adalah merupakan bagian dari pertumbuhan urat daging, tulang dan organ-organ vital.

Nilai ukuran lingkar dada sapi perah sewaktu terjadi dewasa tubuh (A) memiliki urutan dataran rendah, sedang dan tinggi (Tabel 7). Sapi perah yang dipelihara di dataran tinggi lebih cepat tercapai dewasa kelamin dan tubuh sehingga memiliki nilai A yang lebih rendah dibandingkan dengan topografi sedang dan rendah. Dewasa tubuh sapi perah umumnya terjadi pada 2-3 tahun. Sapi perah dara yang telah mencapai dewasa tubuh dapat dikawinkan dengan pejantan atau dengan proses inseminasi buatan. Kesiapan organ reproduksi dan fisiolgis tubuh telah tercapai sewaktu dewasa tubuh.

Nilai rataan laju pertumbuhan lingkat dada (k) sapi perah untuk semua dataran memiliki kisaran nilai 0.0021-0.0027 cm/hari (Tabel 7). Laju pertumbuhan lingkar dada yang tercepat adalah di topografi tinggi Cikole dan Ciater. Sedangkan, laju pertumbuhan lingkar dada pada topografi rendah memiliki nilai laju terendah. Laju pertumbuhan (k) merupakan salah satu aspek penting yang menjadi bagian utama pembahasan periode pertumbuhan. Laju pertumbuhan sebelum terjadinya dewasa kelamin sangat dipengaruhi oleh nutrisi pakan yang diberikan, keadaan hormonal, dan lingkungan (Echols 2011). Laju pertumbuhan terhambat apabila kandungan protein dan energi pakan terbatas (Owens et al.1993 Tabel 7 Nilai dugaan parameter A, b dan k pada model Gompertz lingkar dada

pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 196.7±1.51 0.905±0.005 0.0027±0.00006 8

Ciater 196.0±2.69 0.872±0.099 0.0027±0.00012 6

Cibungbulang 208.5±4.02 0.942±0.013 0.0024±0.00013 3

P.Ranggon 210.3±10.21 0.947±0.033 0.0021±0.00025 2

Keterangan : A = Ukuran lingkar dada (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

(43)

Gambar 4 Perkembangan lingkar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian

Kurva pertumbuhan lingkar dada sapi perah untuk semua topografi memiliki laju kecepatan yang positif. Sapi perah umur 0-27 bulan masih dalam periode pertumbuhan dengan percepatan yang bernilai positif. Percepatan pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 4 memiliki slope yang tinggi ketika lahir hingga terjadinya pubertas atau dewasa kelamin. Setelah sapi perah pedet melewati masa dewasa kelamin percepatan mulai berkurang hingga terjadi dewasa tubuh. Setelah sapi dara melewati masa dewasa tubuh (kurang lebih 2-3 tahun) maka pertumbuhan mulai berkurang dalam hal kecepatan dan percepatan tumbuh hingga mencapai nilai asimtot. Deposisi lemak mulai terjadi setelah melewati dewasa tubuh dan kebutuhan protein tubuh telah tercapai maksimal (Echols 2011).

Lebar Dada

Lebar dada yang diukur dari jarak antara sendi bahu kiri dan kanan sapi perah di sajikan pada Tabel 8. Sapi awal baru lahir pada ketiga dataran memiliki nilai lebar dada yang beragam. Hal ini memperlihatkan bahwa turunan sapi peranakan FH yang didapat secara genetika sama namun hasil adaptasi lingkungan jelas telah berbeda. Daerah topografi tinggi memiliki nilai lebar dada dalam kisaran nilai 21.30-22.30 cm dan daerah topografi rendah dan sedang memiliki nilai 17.50-17.70 cm.

(44)

Lebar dada pada saat dewasa kelamin mulai relatif stabil dibandingkan dengan saat pertama sapi lahir. Pada umur 11-12 bulan sapi yang diternakkan di dataran tinggi dan sedang memiliki ukuran lebar dada yang tidak berbeda nyata dengan kisaran nilai 33.70-34.59 cm. Perbedaan ukuran lebar dada akibat kondisi dataran sangat nyata antara dataran tinggi dan rendah pada sapi umur pubertas (Tabel 8). Lebar dada pada sapi perah memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sapi potong karena secara genetik rangka sapi perah diperuntukkan untuk fokus pada produksi susu setelah melahirkan.

Nilai lebar dada sapi perah dara umur 25-26 bulan atau periode dewasa tubuh nyata berbeda antara ketiga dataran. Nilai lebar dada sapi dara umur 25-26 bulan di dataran tinggi adalah 41.00-43.33 cm dan di topografi rendah adalah 33.60±1.52 cm. Penelitian Tazkia dan Anggraeni (2009) menghasilkan bahwa lebar dada sapi perah dara yang dipelihara di wilayah Lembang memiliki nilai kisaran 31.23-48.42 cm, sedangkan sapi Bali memiliki nilai lebar dada pada masa daranya sewaktu umur 24-25 bulan berkisar antara 27.3-28.6 cm (Bugiwati 2011).

Pengaruh dataran atau ketinggian tempat terhadap ukuran lebar dada terlihat signifikan secara keseluruhan untuk semua umur. Peran kandungan nutrisi pakan terutama protein juga berperan terhadap pertumbuhan ukuran tubuh. Protein sangat berguna untuk regenerasi sel dan mendukung terjadinya pertumbuhan yang baik.

Tabel 8 Rataan lebar dada (cm) sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian dengan dataran yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 22.33±3.39a 21.30±1.83a 17.70±2.10b 17.50±2.12b 3-4 24.18±2.75b 26.06±3.08a 22.35±3.46c 20.00±2.60 5-6

d

26.15±1.84b 29.44±3.90a 27.19±2.86b 22.76±2.21 7-8

c

29.14±1.66b 30.87±2.40a 29.44±2.71ab 23.87±3.45 9-10

c

31.29±2.35a 32.66±3.20a 31.54±2.45a 24.92±2.39 11-12

b

34.59±2.51a 33.70±3.17a 32.89±2.29a 28.66±2.84 13-14

b

34.53±3.28a 34.12±1.76a 33.97±1.95a 31.63±2.64 15-16

b

33.78±3.81a 35.78±5.39a 36.05±1.76a 31.20±3.08 17-18

b

32.68±3.60c 35.97±3.43b 38.02±2.11a 32.68±3.60 19-20

c

33.54±2.45b 36.62±3.48a 38.24±2.83a 32.13±2.48 21-22

b

34.55±2.09b 38.43±2.68a 38.67±2.39a 32.89±2.16 23-24

b

36.64±2.36b 40.38±2.23a 38.60±2.79ab 32.90±2.25 25-26

c

(45)

Berdasarkan analisa kurva pertumbuhan secara non-linear dengan model Gompertz menghasilkan bahwa ukuran lebar dada sewaktu dewasa tubuh pada ketiga topografi terlihat sangat beragam (Tabel 9). Nilai ukuran tubuh lebar dada saat telah mencapai dewasa tubuh (A) tidak mempunyai pola atau keteraturan antara ketiga dataran, namun dapat dillihat pada Tabel 9 bahwa kisaran nilai lebar dada sapi perah saat dewasa tubuh adalah 34.85-48.60 cm.

Nilai konstanta b pada sapi Cibungbulang memiliki nilai lebih dari 1. Hal ini menjelaskan bahwa ukuran tubuh relatif tumbuh lebih lambat dari bobot badan. Walaupun demikian nilai b>1 ini tidak mutlak berlaku untuk semua dataran, dataran rendah dan tinggi memiliki nilai konstanta b<1 yang berarti ukuran tubuh relatif tumbuh lebih cepat dari bobot badan, karena pertumbuhan ukuran tubuh dipengaruhi jaringan tulang yang tumbuh lebih awal.

Kecepatan pertumbuhan (k) lebar dada sapi dara antar lokasi penelitian beragam dan tidak terpola berdasarkan topografinya. Laju atau kecepatan tumbuh terbesar adalah di topografi tinggi Cikole, sebaliknya laju terendah terjadi di topografi tinggi di Ciater. Ukuran tubuh lebar dada secara statistik tidak terpola laju pertumbuhannya terhadap kondisi topografi. Kisaran nilai laju pertumbuhan lebar dada adalah 0.0019-0.0065 cm/hari.

Kurva pertumbuhan ukuran tubuh lebar dada disajikan pada Gambar 5. Pertumbuhan setelah lahir hingga dewasa kelamin memiliki percepatan dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan setelah dewasa kelamin. Setelah sapi perah pedet melewati masa dewasa kelamin percepatan mulai berkurang hingga terjadi dewasa tubuh. Terlihat delta atau paritas pada Gambar 5 bahwa garis kurva pertumbuhan antara masing-masing dataran tidak memiliki pola yang tetap atau stabil dari lahir hingga dewasa tubuh. Tabel 9 Nilai dugaan parameter A, b dan k pada model gompertz lebar dada

pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 34.99±0.557 0.691±0.060 0.0065±0.00088 19 Ciater 48.60±2.555 0.733±0.044 0.0039±0.00030 12 Cibungbulang 38.32±0.381 1.006±0.046 0.0062±0.00038 20 P.Ranggon 34.85±0.836 0.801±0.039 0.0038±0.00046 10 Keterangan : A = Ukuran lebar dada (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

(46)

Gambar 5 Perkembangan lebar dada sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian.

Tinggi Pundak

Tinggi pundak sapi dalam banyak literatur digunakan sebagai marka seleksi pada sapi perah dan sapi potong dalam hal refleksi terjadinya dewasa kelamin (Echols 2011). Nilai heritabilitas tinggi pundak terhadap ukuran kerangka sapi (frame score) memiliki nilai yang tinggi pada umur sapi 15 bulan yaitu 0.75 (Vargas et al. 2000). Nilai ukuran tubuh tinggi pundak sapi perah saat awal kelahiran atau postpartum memiliki nilai yang seragam pada dataran tinggi dan sedang, sedangkan di dataran rendah nilai ukuran tubuh tinggi pundak memiliki kisaran nilai yang terendah.

Ukuran tinggi pundak berbeda nyata sewaktu terjadi infleksi point pada umur 11-12 bulan antara tiga dataran yang disajikan pada Tabel 10 dengan urutan tertinggi topografi tinggi, sedang, dan rendah (P<0.05). Hal ini berbanding lurus antara waktu terjadinya pubertas pada umur 11-12 bulan dengan ukuran tinggi pundak pada topografi tinggi. Sapi Bali pada umur 24 bulan memiliki ukuran tinggi pundak 137.3 cm (Bugiwati 2011) dan sapi lokal Jepang pada umur yang sama memiliki ukuran 127.1 cm (Alberti et al. 2008). Menurut BIF atau Beef Improvement Federation (2002) menyatakan bahwa bukan hanya bobot badan namun ukuran tinggi pundak juga dapat dijadikan sebagai ukuran perbedaan hasil interaksi genetik dan lingkungan.

(47)

Tabel 10 Rataan tinggi pundak (cm) sapi pedet dan dara masing-masing lokasi penelitian dengan topografi yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon 1-2 83.22±6.42a 79.80±4.34a 81.13±5.91a 72.37±2.50b 3-4 90.05±8.13a 87.28±7.75a 82.71±10.39b 77.38±4.89 5-6

b 104.47±4.01a 97.01±8.89b 90.33±8.61c 85.64±6.33 7-8

d 108.30±3.25a 107.79±6.88a 103.50±10.82b 91.44±4.52 9-10

c

109.44±9.43a 111.00±6.28a 112.30±7.95a 96.19±6.11 11-12

b

120.22±9.52a 110.37±6.19b 111.72±4.39b 102.37±6.22 13-14

c 120.28±5.69a 110.38±3.54c 117.00±4.70b 105.33±1.94 15-16

d 124.09±3.78b 118.50±9.33b 122.30±3.57ab 110.70±4.67 17-18

c

129.75±3.86a 124.65±9.77b 120.54±6.43bc 116.03±5.97 19-20

c

133.88±4.15a 125.32±4.87b 120.43±6.28c 122.57±5.87 21-22

bc 134.61±3.48a 127.76±4.52b 125.62±5.90b 122.61±9.50 23-24

b 133.93±2.35a 130.31±5.07ab 128.80±3.76b 117.26±7.69 25-26

c

135.67±1.15a 135.17±5.17ab 129.90±3.11b 121.20±5.13c Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Sapi perah dara saat memasuki masa dewasa tubuh semakin jelas perbandingan ukuran tinggi pundak yang berbeda pada ketiga dataran. Di wilayah topografi tinggi ukuran tinggi pundak 135.17±15.67 cm, topografi sedang 129.90±3.11 cm dan topografi rendah 121.20±5.13 cm (Tabel 10). Suhu lingkungan yang tinggi pada daerah topografi rendah P.Rangon menghasilkan adaptasi bentuk kerangka tubuh dalam hal ini ukuran tinggi pundak lebih kecil dibandingkan dengan topografi tinggi. Tinggi pundak yang besar akan menghasilkan nilai kerangka tubuh atau frame score yang tinggi dan secara fakta sapi tersebut memiliki postur tubuh yang besar (Bugiwati 2011).

Analisa kurva pertumbuhan non-linear Gompertz untuk ukuran tubuh tinggi pundak disajikan pada Tabel 11. Nilai bobot dewasa tubuh (A) tidak memiliki pola yang terstruktur, bobot dewasa tubuh pada wilayah dataran tinggi 135.3-141.1 cm, dataran sedang 128.1±1.60 cm dan topografi rendah 132.0±2.91 cm. Namun dapat diduga bahwa ukuran tinggi pundak sapi perah saat dewasa tubuh untuk daerah tropis adalah 128.1-141.1 cm.

(48)

Tabel 11 Nilai dugaan parameter A, b dan k model Gompertz pada tinggi pundak pada daerah penelitian

Daerah A b k Iterasi

Cikole 141.1±2.91 0.606±0.021 0.0036±0.0004 34 Ciater 135.3±2.77 0.586±0.022 0.0035±0.0004 18 Cibungbulang 128.1±1.60 0.640±0.027 0.0047±0.0004 14 P.Ranggon 132.0±2.91 0.727±0.019 0.0030±0.0003 19 Keterangan : A = Ukuran tinggi pundak (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

Nilai konstanta b seragam sesuai dengan tercapainya tingkatan pubertas. Nilai b<1 merefleksikan bahwa tinggi pundak tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot badan. Nilai tingkat kesulitan model (iterasi) bervariasi dengan tingkat kesulitan tertinggi pada topografi tinggi pada analisa non-linear dengan menggunakan piranti lunak SAS

adalah waktu ketika lahir k = Rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh

®

Kurva pertumbuhan tinggi pundak sapi perah disajikan pada gambar 6. Slope atau kemiringan garis pertumbuhan tinggi pundak sapi perah dari lahir hingga umur satu tahun lebih tinggi dibandingkan setelah berumur satu tahun atau setelah mencapai dewasa kelamin. Slope atau gradien kurva berhubungan dengan kecepatan tumbuh, sehingga kecepatan tumbuh sebelum dewasa kelamin akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan setelah dewasa kelamin dan mulai terjadi perlambatan setelah dewasa tubuh.

.

(49)

Kurva pertumbuhan ukuran tubuh tinggi pundak sapi perah terlihat urutan garis dari yang paling tinggi hingga terendah adalah topografi tinggi, sedang dan rendah (Gambar 6). Hal ini menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan ukuran tinggi pundak berkembang dan beradaptasi dengan baik di topografi tinggi. Terlihat patahan ekstrim pada grafik di umur 12 bulan pada gambar 6 yang menandakan bahwa terjadinya titik balik atau infleksi point (dewasa kelamin) dari percepatan menuju ke arah perlambatan.

Panjang Badan

Panjang badan diukur dari tepi tulang humerus sampai tulang duduk (tuber ischii) sapi perah. Panjang badan sapi pada awal lahir terlihat seragam dengan kisaran nilai 40.56-64.83 cm (Tabel 12). Hal ini menjelaskan bahwa sapi perah pedet FH memang sudah berbeda secara ukuran tubuh pada masing-masing topografi penelitian. Tingkat adaptasi yang baik diduga telah terjadi di topografi tinggi.

Panjang badan sapi perah sewaktu terjadi dewasa kelamin atau pubertas (11-12 bulan) mengalami keragaman antara ketiga topografi (P<0.05). Sapi Bali memiliki ukuran panjang badan yang relatif kecil, untuk umur 11-12 bulan memiliki nilai 90.1-91.5 cm (Bugiwati 2011). Namun, daya tahan terhadap lingkungan dan penyakit untuk sapi lokal lebih unggul (Blackshaw 1994).

Tabel 12 Rataan panjang badan (cm) sapi pedet dan dara pada masing-masing lokasi penelitian dengan topografi yang berbeda

Umur (bulan) Lokasi

Cikole Ciater Cibungbulang P. Ranggon

1-2 64.83±8.17a 63.10±7.19a 53.17±3.96b 40.56±1.65c 3-4 75.50±10.79a 76.59±11.02a 63.71±9.17b 66.59±7.74 5-6

b

86.95±9.47a 85.76±4.73a 76.98±8.70b 75.57±5.24 7-8

b

98.38±7.05a 89.79±10.60b 92.33±11.52b 80.23±4.95 9-10

c

104.86±5.10a 104.34±9.11a 106.93±10.13a 87.34±10.19 11-12

b

107.50±19.15bc 111.50±8.16ab 117.35±5.87a 100.53±11.85 13-14

c

127.68±10.71a 117.15±10.33b 125.75±4.75a 115.30±4.77 15-16

b

134.09±6.05a 127.71±4.18b 130.62±3.11b 124.37±3.86 17-18

c

142.50±7.26a 135.44±5.58b 129.66±3.86c 126.12±7.59 19-20

c

151.31±2.87a 141.88±4.39b 132.72±5.57c 133.02±7.99 21-22

c

150.44±5.07a 144.23±3.13b 139.69±5.92c 134.61±7.77 23-24

d

148.21±3.44a 145.69±3.96ab 144.20±3.55b 131.33±5.01 25-26

c

(50)

Tabel 13 Nilai dugaan parameter A, b dan k pada model Gompertz panjang badan pada daerah penelitian

Daerah A B k Iterasi

Cikole 182.5±7.79 1.156±0.035 0.00276±0.0003 12 Ciater 176.4±5.67 1.109±0.024 0.00260±0.0002 13 Cibungbulang 142.8±1.38 1.442±0.042 0.00562±0.0002 11 P.Ranggon 140.0±2.48 1.370±0.051 0.00456±0.0003 13 Keterangan : A = Ukuran tinggi pundak (cm) saat dewasa tubuh ketika t  ∞

b = Parameter skala ketika Y0≠0 dan t0≠0, t0

k = Rataan laju pertumbuhan hingga ternak mencapai dewasa tubuh adalah waktu ketika lahir

Sapi perah dara FH ketika telah mencapai dewasa tubuh terlihat signifikan perbedaan ukuran tubuh panjang badan antara topografi berbeda (Tabel 12). Sapi dara FH umur 25-26 bulan yang dipelihara di topografi tinggi 150.05-150.17 cm berbeda nyata dibandingkan dengan sapi perah dara FH yang dipelihara di topografi sedang 145.10±3.41 cm dan topografi rendah 130.90±3.15 cm (P<0.05).

Ukuran panjang badan saat dewasa tubuh (A) pada Tabel 13 lebih lambat terjadi pada daerah topografi tinggi (176.4-182.5 cm) dibandingkan dengan topografi sedang (142.8±1.38 cm) dan topografi rendah (140.0±2.48 cm). Namun demikian, apabila diperhatikan perhitungan terjadinya dewasa tubuh berdasarkan parameter bobot badan maka topografi tinggi akan lebih cepat tercapai dewasa tubuhnya. Sehingga bila diasumsikan ketiga topografi mencapai dewasa tubuh yang sama maka ukuran tubuh panjang badan sapi perah dara FH memiliki ukuran yang lebih tinggi pada daerah topografi tinggi.

Nilai laju pertumbuhan ukuran tubuh (k) panjang badan sapi perah FH pada tabel 13 terlihat bahwa sapi perah yang dipelihara di topografi tinggi memiliki nilai k yang rendah bila dibandingkan dengan sapi perah yang dipelihara di topografi rendah dan sedang. Hal ini berbanding terbalik dengan ukuran tubuh lain seperti lingkar dada, lebar dada dan tinggi pundak. Laju pertumbuhan menurut Anggorodi (1979) menjelaskan bahwa semua bagian dari tubuh hewan tumbuh secara teratur, meskipun demikian tubuh tidak tumbuh secara kesatuan, karena berbagai jaringan tubuh tumbuh dengan laju yang berbeda dari lahir sampai dewasa.

Gambar

Gambar 2  Kurva pertumbuhan sapi perah (Tyler & Ensminger 2006).
Tabel 1 Pendugaan bobot badan (BB) berdasarkan ukuran lingkar dada (LD)
Gambar 3 Bagian-bagian tubuh yang diukur pada seekor sapi
Tabel 4   Pemberian hijauan dan konsentrat sapi pedet FH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mereka menari dengan lemah gemulai, sangat indah. Para tamu undangan terpukau melihatnya. Yang bertanggung jawab untuk iringan adalah Mantri Karawitan yang juga Lurah Kadipaten,

©2010 Prentice Hall Business Publishing, Auditing 13/e, Auditing 13/e, Arens//Elder/Beasley Arens//Elder/Beasley 22 - 22 - 10 10.. Learning Objective 2 Learning

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah 1.Merancang, menciptakan dan menerapkan aplikasi WAP ( Wireless Application Protocol ) untuk transaksi perdagangan

Efisiensi penyisihan tertinggi dalam menurunkan kadar logam Fe yaitu 80,31% pada massa adsorben 2,5 gram dengan waktu kontak 30 menit. Kapasitas adsorpsi terhadap

Ayo, ikuti pelajaran ini, insya Allah kalian akan mengetahui dan dapat mempraktikkan cara membersihkan diri dan bersuci yang baik dan benar.. Ahmad selalu melakukan wu«u , karena

Justeru, satu kerangka model m- pembelajaran berdasarkan literatur akan di reka bentuk bersesuaian dengan peranti teknologi mudah alih yang digunakan oleh pelajar dan

“ The use of “Read Please” software to improve the students’ reading skill (A Classroom Action Research of The Eight Grade of Ta’mirul Islam Boarding School Solo

Ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tenaga kesehatan yang dikunjungi ibu saat ANC dengan kejadian bayi berat lahir rendah.. Moewardi