• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban

Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktifitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985). Rataan suhu dan kelembaban udara dalam kandang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan

Suhu (0C) Kelembaban (%)

Minimum Maksimum Pagi Siang

23 ± 2 33 ± 2 99 ± 2 96 ± 4

Rataan suhu dalam kandang percobaan pada pagi hari cukup sejuk sesuai dengan kebutuhan domba, namun pada siang hari suhu kandang lebih sering berada pada kisaran suhu kritis maksimum. Yousef (1985) melaporkan bahwa suhu yang dapat diterima domba berkisar antara 40C hingga 240C. Pada temperatur udara diatas 160C untuk ternak daerah dingin dan diatas 270C untuk hewan tropis, sudah cukup untuk mengaktifkan mekanisme pengaturan panasnya. Namun jika temperatur udara naik sampai diatas 270C untuk daerah dingin dan di atas 350C untuk daerah tropis akan mengakibatkan heat regulating center tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangan panas. (Andersson, 1970)

Pada siang hari beban panas yang diterima tubuh ternak akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan dan metabolisme tubuh, hal ini terlihat pada peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan denyut jantung (Tabel 3). Kurtini (1982) melaporkan bahwa ada indikasi beban panas pada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 290C – 320C lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 160C – 230C. Sejalan dengan itu Sudarman dan Ito (2000) juga melaporkan bahwa domba yang diberi pakan tinggi hijauan yang ditempatkan pada lingkungan dengan suhu 300C mempunyai beban panas yang lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan 200C.

Dalam melepaskan panas dari dalam tubuhnya, ternak dapat melakukannya dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan mekanisme evaporasi. Evaporasi

17 merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi akan menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh (Yousef, 1985). Kelembaban udara dapat digunakan untuk mengontrol evaporasi kehilangan panas ternak dari kulit dan sistem pernafasan. Rataan kelembaban udara kandang percobaan menunjukan nilai yang cukup tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi pelepasan panas seekor ternak. Kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan proses evaporasi kehilangan panas ternak terhambat. Data pada Tabel 2 menggambarkan bahwa domba percobaan berada dalam pengaruh cekaman panas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju Denyut Jantung Domba

Mekanisme pelepasan panas seekor ternak dapat dilihat dari suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung domba. Rataan denyut jantung, laju respirasi dan suhu rektal domba percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan, Suhu Rektal Laju Respirasi dan Denyut Jantung Domba yang Disuplementasi Sabun Kalsium dalam Ransum.

Keterangan :*)superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05); superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

**)

R0 = ransum basal; R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium; R2 = R0 + 3.0% sabun kalsium; R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium

Suhu Rektal

Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983). Suhu rektal akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan.

Peubah Waktu Suplementasi Sabun Kalsium

(R0) (R1) (R2) (R3) Suhu Rektal (0C) Pagi 38,76±0,08A 38,79±0,15 A 38,52±0,10B 38,51±0,06B Siang 38,93±0,19 38,89±0,24 38,80±0,12 38,84±0,12 Laju Respirasi (hembusan /menit) Pagi 35 ± 5,24 A 36 ± 8,71 A 29 ± 4,75 B 28 ± 4,40 B Siang 73 ± 15,34 A 72 ± 10,10 A 61 ± 8,89 B 58 ± 1,65 B Denyut Jantung (detak /menit) Pagi 95 ± 8,12 A 93 ± 9,04 A 84 ± 6.19 B 79 ± 3.66 B Siang 100 ± 7,04a 99 ± 11,04a 90 ± 9,73b 88 ± 4,82b

18 Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu rektal domba pagi hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal, penambahan sabun kalsium taraf 3% (R2) dan 4,5 % (R3) menurunkan suhu rektal dibandingkan dengan kontrol pada pagi hari.

Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum, suhu rektal domba percobaan semakin menurun. Hal ini diduga adanya kandungan lemak dalam ransum yang mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Seperti diketahui lemak memiliki panas metabolis yang rendah jika dibandingkan dengan karbohidrat atau protein, sehingga hewan yang diberi lemak tinggi dalam ransum tidak terlalu sulit untuk melepaskan panas dalam tubuhnya.

Selain kandungan lemak dalam ransum, konsumsi ransum juga mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Adanya lemak dalam ransum menurunkan tingkat konsumsi ransum oleh ternak, sebagaimana yang dilaporkan Markhamah (2005) bahwa penambahan 3% dan 4,5% sabun kalsium cenderung menurunkan konsumsi ransum. Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan proses metabolisme zat makanan berkurang, sehingga panas yang dihasilkan menjadi rendah.

Penambahan sabun kalsium dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu rektal domba percobaan pada siang hari. Pengaruh yang tidak nyata ini disebabkan suhu lingkungan sekitar yang tinggi pada siang hari, dengan suhu maksimal mencapai 340C – 360C. Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang diberi sumber protein tinggi nyata mempunyai suhu vagina yang lebih rendah pada saat periode dingin, namun pada periode panas tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dalam kondisi lingkungan yang panas, pelepasan panas seekor ternak tidak seiring dengan produksi panas yang dihasilkan, akibatnya suhu tubuh menjadi meningkat (Sunagawa et al., 2002).

Laju Respirasi

Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah (Frandson, 1996). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh ternak dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang

19 tidak diperlukan dibuang. Sikap badan, kerja fisik dan macam-macam rangsangan lainnya akan mempengaruhi laju respirasi.

Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap laju respirasi domba percobaan. Berdasarkan uji kontras ortogonal, penambahan sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5% (R3) sangat nyata menurunkan laju respirasi domba baik pada pagi hari maupun pada siang hari.

Rendahnya laju respirasi domba R2 dan R3 pada pagi maupun siang hari diduga karena adanya penambahan lemak dalam ransum. Penambahan lemak dalam ransum menyebabkan panas metabolis yang dihasilkan tubuh ternak tidak begitu besar. Hal ini menyebabkan proses respirasi ternak menurun. Dalam suhu lingkungan yang tinggi ternak akan lebih efektif melepas panas tubuh ke lingkungan dengan mekanisme evaporasi. Laju respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef, 1985). Hasil penelitian Sudarman dan Ito (2000) domba Suffolk betina yang ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan laju repirasi lebih tinggi daripada suhu 200C.

Laju Denyut Jantung

Fungsi dari jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan membawa CO2 ke paru-paru, selain itu darah juga dapat berfungsi dalam membawa dan meratakan panas dalam tubuh. Jantung dapat memompakan darah karena otot jantung mengendur atau sistole dan mengencang atau diastole. Satu kali relaksasi dan kontraksi menimbulkan denyut jantung. Kecepatan denyut jantung ini sangat dipengruhi oleh viskositas darah, tekanan osmotik, volume darah, kerja fisik dan adanya zat yang dapat merangsang kerja jantung seperti kafein atau nikotin (Guyton and Hall, 1997).

Berdasarkan uji statistik penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dalam menurunkan laju denyut jantung pada pagi hari. Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum semakin rendah laju denyut jantung yang dihasilkan. Laju denyut jantung terendah dihasilkan pada taraf penambahan 4,5% sabun kalsium (R3) yaitu sebesar 79 detak per menit. Sedangkan laju denyut jantung tertinggi dihasilkan pada ransum kontrol (R0) yaitu sebesar 95 detak per menit. Rendahnya laju denyut jantung diduga karena penambahan sabun

20 kalsium dalam ransum yang dapat menurunkan panas tubuh dari domba. Nugroho (2002) melaporkan bahwa suplementasi minyak ikan mampu menurunkan produksi panas tubuh, sehingga dapat meningkatkan kemampuan ternak dalam termoregulasi dengan pengaturan laju denyut jantung yang lebih rendah.

Rataan laju denyut jantung domba percobaan pada siang hari berkisar antara 88 – 100 detak/menit. Lebih tinggi daripada laju denyut jantung domba pada pagi hari. Suhu lingkungan yang tinggi pada siang hari dapat menyebabkan temperatur tubuh meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan laju denyut jantung pada siang hari. Edey (1983) melaporkan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan. Penambahan sabun kalsium ke dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju denyut jantung domba percobaan pada siang hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal, laju denyut jantung domba perlakuan R0 (kontrol) dan R1 (1,5%) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan domba diberi sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5% (R3) pada siang hari.

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit

Rataan nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit domba percobaan tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit Darah Domba Percobaan (%) Peubah Suplementasi R0 R1 R2 R3 Nilai Hematokrit 35,96 ± 4,95 33,10 ± 5,01 33,51 ± 6,33 32,95 ± 4,48 Rasio Heterofil/Limfosit 1,02 ± 0,50 1,42 ± 0,45 2,16 ± 1,61 1,35 ± 0,78 Keterangan : *)R0 = ransum basal; R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium; R2 = R0 + 3.0% sabun kalsium;

R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah merah di dalam keseluruhan darah. Nilai hematokrit sebanding dengan eritrosit dan kadar hemoglobin (Reviany dan Hartati, 1986). Umumnya ternak yang berada di daerah tropis memiliki nilai hematokrit yang lebih rendah, hal ini karena domba di

21 negara tropis menderita cekaman tinggi akibat temperatur lingkungan dan kelembaban udara yang tinggi (Heath dan Olusanya,1985). Schalm (1971) menyatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, iklim setempat, penyakit dan dehidrasi.

Rataan nilai hematokrit domba dalam penelitian ini berkisar antara 32,95 – 35,96 %. Hasil ini bertolak belakang dengan yang dilaporkan Kurtini (1982) yang menyatakan bahwa nilai hematokrit akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan yang tinggi (29 – 32 0C) jika dibandingkan dengan suhu lingkungan yang rendah (16 – 23 0C). Nilai hematokrit yang tinggi mengindikasikan darah lebih kental. Guyton (1996) menyatakan bahwa hubungan hematokrit terhadap viskositas darah adalah berbanding lurus, yaitu semakin besar hematokrit semakin banyak timbul gesekan antara lapisan darah yang ditunjukan dengan meningkatnya derajat kesukaran aliran darah yang melalui pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan darah mengalir dengan lambat atau tidak lancar, akibatnya proses pelepasan panas dalam tubuh ternak pun menjadi tidak lancar. Hal ini diindikasikan dengan temperatur tubuh yang tinggi pada domba perlakuan kontrol (R0). Frandson (1996) menyatakan bahwa salah satu fungsi darah adalah dalam proses pengaturan panas, panas dalam jaringan tubuh yang paling dalam dilepaskan melalui darah ke permukaan kulit. Penurunan nilai hematokrit yang diberi sabun kalsium mengindikasikan bahwa pemberian sabun kalsium memberikan manfaat bagi domba yang dipelihara di daerah panas.

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan sabun kalsium memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai hematokrit domba. Walaupun demikian, jika dilihat pada Tabel 4 nilai hematokrit domba dengan penambahan sabun kalsium dalam ransum cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Kecenderungan rendahnya nilai hematokrit ini disebabkan adanya proses penguapan akibat tingginya suhu lingkungan. Selain itu konsumsi pakan juga mempengaruhi nilai hematokrit domba. Konsumsi domba perlakuan R2 (3% sabun kalsium) dan R3 (4,5% sabun kalsium) nyata (P<0,05) menurunkan konsumsi ransum (Markhamah, 2005). Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi sel darah merah (eritrosit), hal ini menyebabkan nilai hematokrit juga menjadi rendah. Kurtini (1982) melaporkan bahwa nilai

22 hematokrit akan didapatkan bertambah bila eritrosit bertambah. Sehubungan dengan hal itu, Swenson (1970) menyatakan bahwa nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin mempunyai korelasi yang positif. Penambahan sabun kalsium dalam ransum juga menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah, karena bahan dasar sabun kalsium yaitu minyak ikan lemuru banyak mengandung omega-3. Sinclair (1993) melaporkan bahwa minyak ikan banyak mengandung leukotriena (LT4) yang merupakan suatu bahan dalam pembentukan sel darah putih. Semakin tinggi pemberian sabun kalsium dalam ransum, maka sel darah putih yang terbentuk akan semakin banyak, sebaliknya jumlah sel darah merah (eritrosit) akan semakin berkurang

Rasio Heterofil/Limfosit

Rasio heterofil/limfosit merupakan ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stres dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Maxwell (1993) melaporkan bahwa stress iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas akan menghasilkan rasio heterofil/limfosit yang meningkat, karena adanya stress fisiologis.

Berdasarkan hasil sidik ragam, penambahan sabun kalsium dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba percobaan. Rataan rasio heterofil/limfosit domba selama penelitian adalah berkisar antara 1,02 – 2,16. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio heterofil/limfosit normal untuk domba yaitu 0,5 (Schalm, 1971). Rasio heterofil/ limfosit yang tinggi merupakan reaksi domba dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Semakin tinggi tingkat cekaman panas maka semakin tinggi pula rasio heterofil/limfosit. Ganong (1995) menyatakan bahwa kondisi cekaman dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kostikosteroid didalam darah. Peningkatan kadar kostikosteroid dapat meningkatkan jumlah heterofil. Seperti yang dilaporkan Gross and Siegel (1983) bahwa kadar kostikosteroid mempunyai korelasi yang positif terhadap rasio heterofil/limfosit. Semakin tinggi kadar kostikosteroid maka semakin tinggi rasio heterofil/limfosit.

Peningkatan suhu lingkungan sekitar kandang percobaan menyebabkan domba mengalami cekaman panas. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan rasio heterofil/limfosit pada domba percobaan, namun pemberian sabun kalsium

23 memberikan pengaruh tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba percobaan. Hal ini diduga bahwa parameter rasio heterofil/limfosit mungkin masih kurang tepat digunakan sebagai indikator stres pada domba.

Dokumen terkait