RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
SKRIPSI
R. LU’LUUL AWABIEN
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
R. Lu’luul Awabien (D24101036). 2007. Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing utama : Dr.Ir. Asep Sudarman, M. Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Komang G. Wiryawan
Kondisi dalam tubuh ternak pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses fisiologis sebagai respon pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah sesuai dengan waktu dan tempat dalam kaitannya dengan faktor iklim, nutrisi dan manajemen. Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian lemak dalam ransum diharapkan dapat menurunkan stres panas pada domba, karena lemak memiliki energi yang lebih tinggi daripada protein dan karbohidrat, tetapi menghasilkan panas metabolis yang rendah, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas suplementasi minyak ikan (sabun kalsium) dalam mangurangi tingkat cekaman panas pada domba.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan sebanyak 16 ekor domba yang dipelihara selama 5 bulan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Ransum yang diberikan terdiri atas R0 = ransum basal, R1 = ransum basal + 1,5 persen sabun kalsium, R2 = ransum basal + 3 persen sabun kalsium, R3 = ransum basal + 4,5 persen sabun kalsium. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of variance), jika berbeda nyata dilanjutkan uji Kontras Ortogonal. Peubah yang diamati adalah suhu rektal, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit. Pada siang hari suhu rektal tidak menunjukkan adanya perbedaan, tetapi pada pagi hari domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah suhunya dibandingkan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1. Rataan laju denyut jantung dan laju respirasi domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 nyata lebih rendah dibandingkan dengan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1 pada pagi maupun siang hari. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi 3% dan 4,5% sabun kalsium cukup efektif dalam mengurangi cekaman panas pada domba. Hal ini terlihat dari rendahnya suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung domba.
ABSTRACT
Physiological Responses of Sheep to Lemuru Fish Oil (Calcium Soap) Supplementation
R. L. Awabien, A. Sudarman and K. G. Wiryawan
The body condition of livestock is affected by physiological process which is stimulated by environmental changes such as weather, nutrition and managerial factors. High environment temperature is usually followed by high body temperature of the animals, causing heat stress. Supplementation of fat in sheep diet is expected to reduce heat stress on sheep. This experiment was conducted to study the effect of lemuru fish oil (calcium soap) supplementation on physiological responses (heart rate, respiration rate, rectal temperature, hematocrite value and heterophile/limphocite ratio) in sheep. The present experiment was conducted in the field laboratory of Meat and Work Animal Nutrition, Department of Feed Technology and Nutritional Science, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. Sixteen sheep were used in this research. Dietary treatments consisted of R0 = basal diet, R1 = basal diet + 1.5% calcium soap, R2 = basal diet + 3.0% calcium soap, R3 = basal diet + 4.5% calcium soap. The data were analysed using Analyses of Variance and any significant differences were further tested using Contrast Orthogonal. The results showed that the treatment did not affect hematocrite value and heterophile/limphocite ratio. In the afternoon, rectal temperature of sheep were not different, however in the morning sheep fed R2 and R3 had significantly (p<0.01) lower rectal temperature than those sheep fed R0 and R1. Heart rates and respiration rates of sheep fed R2 and R3 were significantly lower than those sheep fed R0 and R1 in the morning and the afternoon. It can be concluded that supplementation of 3.0% and 4.5% lemuru fish oil (calcium soap) can effectively reduce heat stress in the sheep.
RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
R. LU’LUUL AWABIEN D24101036
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
Oleh
R. LU’LUUL AWABIEN D24101036
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 14 Februari 2007
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur. Sc Dr. Ir. Komang G. Wiryawan NIP. 131 849 398 NIP. 131 671 601
Mengetahui Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 1983.
Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak R.H.
Syatibi dan Ibu R. Siti Aisyah..
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1995 di SDN Neglasari,
Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di MTs Negeri
Bogor yang diselesaikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan ke MA Negeri 1 Bogor dan selesai pada tahun 2001.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada bulan Juni tahun 2001 dan terdaftar
sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di
Forum Komunikasi Rohis Tingkat Persiapan Bersama (FKR-TPB), Forum Aktivitas
Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-AN’AM), IPB Crisis Center
(ICC) dan di beberapa kepanitiaan yang diadakan di lingkungan Institut Pertanian
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia
yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir
penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium“ ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada bulan Juni 2004 sampai dengan Mei
2005 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak.
Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan
sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian hijauan yang tinggi juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
cekaman panas pada domba, karena dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa
pemberian hijauan dengan proporsi yang tinggi dalam ransum ruminansia akan
menghasilkan produksi panas yang tinggi pula. Hal ini dapat diatasi dengan
perlakuan pakan yang dapat mengurangi tingkat stres panas pada domba. Salah satu
cara untuk mengurangi stres panas pada ternak ruminansia adalah dengan pemberian
lemak dalam ransum. Lemak diketahui mempunyai energi yang lebih tinggi daripada
karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang rendah, namun
pemberian lemak pada domba dibatasi hanya 5%, lebih dari itu akan mengganggu
daya hidup mikroba rumen sebagi pengurai pakan berserat. Untuk itu lemak yang
diberikan harus diproteksi dengan sabun kalsium agar dapat melewati degradasi
rumen dan dapat dimanfaatkan langsung oleh saluran pencernaan pasca rumen.
Skripsi ini ditulis untuk dijadikan sebagai salah satu solusi dari masalah
diatas. Penambahan sabun kalsium yang merupakan bentuk lemak yang diproteksi
dalam ransum dapat dijadikan sebagai salah satu jenis pakan tambahan untuk
mengurangi tingkat stres panas pada ternak ruminansia. Ternak yang digunakan
dalam penelitian ini adalah domba. Skripsi ini menguraikan penambahan sabun
kalsium dengan taraf 0%,;1,5%; 3,0% dan 4,5%. Proses pembuatan skripsi ini
berlangsung melalui berbagai tahapan yang diuraikan dalam bagian isi.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan
viii kontribusi bagi pengembangan pengetahuan bidang peternakan umumnya dan
bermanfaat bagi para pembaca khususnya.
Bogor, Februari 2007
x
Laju Denyut Jantung ... 14
Nilai Hematokrit ... 14
Diferensiasi Leukosit (Rasio Heterofil/Limfosit) ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Suhu dan Kelembaban ... 16
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju denyut jantung domba ... 17
Suhu Rektal ... 17
Laju Respirasi ... 18
Laju Denyut Jantung ... 19
Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit ... 20
Hematokrit ... 20
Rasio Heterofil/Limfosit ... 22
KESIMPULAN DAN SARAN ... 24
Kesimpulan ... 24
Saran ... 24
UCAPAN TERIMA KASIH ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
SKRIPSI
R. LU’LUUL AWABIEN
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
R. Lu’luul Awabien (D24101036). 2007. Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing utama : Dr.Ir. Asep Sudarman, M. Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Komang G. Wiryawan
Kondisi dalam tubuh ternak pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses fisiologis sebagai respon pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah sesuai dengan waktu dan tempat dalam kaitannya dengan faktor iklim, nutrisi dan manajemen. Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian lemak dalam ransum diharapkan dapat menurunkan stres panas pada domba, karena lemak memiliki energi yang lebih tinggi daripada protein dan karbohidrat, tetapi menghasilkan panas metabolis yang rendah, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas suplementasi minyak ikan (sabun kalsium) dalam mangurangi tingkat cekaman panas pada domba.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan sebanyak 16 ekor domba yang dipelihara selama 5 bulan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Ransum yang diberikan terdiri atas R0 = ransum basal, R1 = ransum basal + 1,5 persen sabun kalsium, R2 = ransum basal + 3 persen sabun kalsium, R3 = ransum basal + 4,5 persen sabun kalsium. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of variance), jika berbeda nyata dilanjutkan uji Kontras Ortogonal. Peubah yang diamati adalah suhu rektal, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit. Pada siang hari suhu rektal tidak menunjukkan adanya perbedaan, tetapi pada pagi hari domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah suhunya dibandingkan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1. Rataan laju denyut jantung dan laju respirasi domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 nyata lebih rendah dibandingkan dengan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1 pada pagi maupun siang hari. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi 3% dan 4,5% sabun kalsium cukup efektif dalam mengurangi cekaman panas pada domba. Hal ini terlihat dari rendahnya suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung domba.
ABSTRACT
Physiological Responses of Sheep to Lemuru Fish Oil (Calcium Soap) Supplementation
R. L. Awabien, A. Sudarman and K. G. Wiryawan
The body condition of livestock is affected by physiological process which is stimulated by environmental changes such as weather, nutrition and managerial factors. High environment temperature is usually followed by high body temperature of the animals, causing heat stress. Supplementation of fat in sheep diet is expected to reduce heat stress on sheep. This experiment was conducted to study the effect of lemuru fish oil (calcium soap) supplementation on physiological responses (heart rate, respiration rate, rectal temperature, hematocrite value and heterophile/limphocite ratio) in sheep. The present experiment was conducted in the field laboratory of Meat and Work Animal Nutrition, Department of Feed Technology and Nutritional Science, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. Sixteen sheep were used in this research. Dietary treatments consisted of R0 = basal diet, R1 = basal diet + 1.5% calcium soap, R2 = basal diet + 3.0% calcium soap, R3 = basal diet + 4.5% calcium soap. The data were analysed using Analyses of Variance and any significant differences were further tested using Contrast Orthogonal. The results showed that the treatment did not affect hematocrite value and heterophile/limphocite ratio. In the afternoon, rectal temperature of sheep were not different, however in the morning sheep fed R2 and R3 had significantly (p<0.01) lower rectal temperature than those sheep fed R0 and R1. Heart rates and respiration rates of sheep fed R2 and R3 were significantly lower than those sheep fed R0 and R1 in the morning and the afternoon. It can be concluded that supplementation of 3.0% and 4.5% lemuru fish oil (calcium soap) can effectively reduce heat stress in the sheep.
RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
R. LU’LUUL AWABIEN D24101036
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN
DALAM BENTUK SABUN KALSIUM
Oleh
R. LU’LUUL AWABIEN D24101036
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 14 Februari 2007
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur. Sc Dr. Ir. Komang G. Wiryawan NIP. 131 849 398 NIP. 131 671 601
Mengetahui Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 1983.
Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak R.H.
Syatibi dan Ibu R. Siti Aisyah..
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1995 di SDN Neglasari,
Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di MTs Negeri
Bogor yang diselesaikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan ke MA Negeri 1 Bogor dan selesai pada tahun 2001.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada bulan Juni tahun 2001 dan terdaftar
sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di
Forum Komunikasi Rohis Tingkat Persiapan Bersama (FKR-TPB), Forum Aktivitas
Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-AN’AM), IPB Crisis Center
(ICC) dan di beberapa kepanitiaan yang diadakan di lingkungan Institut Pertanian
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia
yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir
penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium“ ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada bulan Juni 2004 sampai dengan Mei
2005 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak.
Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan
sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian hijauan yang tinggi juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
cekaman panas pada domba, karena dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa
pemberian hijauan dengan proporsi yang tinggi dalam ransum ruminansia akan
menghasilkan produksi panas yang tinggi pula. Hal ini dapat diatasi dengan
perlakuan pakan yang dapat mengurangi tingkat stres panas pada domba. Salah satu
cara untuk mengurangi stres panas pada ternak ruminansia adalah dengan pemberian
lemak dalam ransum. Lemak diketahui mempunyai energi yang lebih tinggi daripada
karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang rendah, namun
pemberian lemak pada domba dibatasi hanya 5%, lebih dari itu akan mengganggu
daya hidup mikroba rumen sebagi pengurai pakan berserat. Untuk itu lemak yang
diberikan harus diproteksi dengan sabun kalsium agar dapat melewati degradasi
rumen dan dapat dimanfaatkan langsung oleh saluran pencernaan pasca rumen.
Skripsi ini ditulis untuk dijadikan sebagai salah satu solusi dari masalah
diatas. Penambahan sabun kalsium yang merupakan bentuk lemak yang diproteksi
dalam ransum dapat dijadikan sebagai salah satu jenis pakan tambahan untuk
mengurangi tingkat stres panas pada ternak ruminansia. Ternak yang digunakan
dalam penelitian ini adalah domba. Skripsi ini menguraikan penambahan sabun
kalsium dengan taraf 0%,;1,5%; 3,0% dan 4,5%. Proses pembuatan skripsi ini
berlangsung melalui berbagai tahapan yang diuraikan dalam bagian isi.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan
viii kontribusi bagi pengembangan pengetahuan bidang peternakan umumnya dan
bermanfaat bagi para pembaca khususnya.
Bogor, Februari 2007
x
Laju Denyut Jantung ... 14
Nilai Hematokrit ... 14
Diferensiasi Leukosit (Rasio Heterofil/Limfosit) ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Suhu dan Kelembaban ... 16
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju denyut jantung domba ... 17
Suhu Rektal ... 17
Laju Respirasi ... 18
Laju Denyut Jantung ... 19
Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit ... 20
Hematokrit ... 20
Rasio Heterofil/Limfosit ... 22
KESIMPULAN DAN SARAN ... 24
Kesimpulan ... 24
Saran ... 24
UCAPAN TERIMA KASIH ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Zat Makanan Ransum Basal Berdasarkan Perhitungan .... 12
2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan ... 16
3. Rataan Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Denyut Jantung yang Disuplementasi Sabun Kalsium dalam Ransum ... 17
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Diagram Hubungan antara Suhu Lingkungan dan Pengaturan Panas Tubuh Ternak ... 4
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Rataan Denyut Jantung pada Pagi Hari (detak/menit) ... 30
2. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Hagi Hari ... 30
3. Sidik Ragam Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan Sabun Kalsium terhadap Kadar Lemak Total Daging Domba ... 30
4. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 30
5. Analisis Rataan Denyut Jantung per Ekor Domba pada Siang Hari (detak/menit) ... 31
6. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Pagi Hari ... 31
7. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun kalsium dalam Ransum ... 31
8. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan Sabun Kalsium dalam Ransum ... 31
9. Analisis Rataan Laju Respirasi per Ekor Domba pada Pagi Hari (hembusan/menit) ... 32
10.Sidik Ragam Rataan Laju Respirasi Domba Pagi Hari ... 32
11.Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 32
12.Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 32
13.Analisis Rataan Laju Respirasi per Ekor Domba pada Siang Hari (hembusan/menit) ... 33
14.Sidik Ragam Rataan Laju Respirasi Domba Pagi Hari ... 33
15.Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 33
16.Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 33
17.Analisis Rataan Suhu Rektal per Ekor Domba pada Pagi Hari (0C) .... 34
18.Sidik Ragam Rataan Suhu Rektal Domba Pagi Hari ... 34
19.Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 34
20.Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum ... 34
21.Analisis Rataan Suhu Rektal per Ekor Domba pada Siang Hari (0C) .. 35
xiv 23.Analisis Rataan Nilai Hematokrit per Ekor Domba (%) ... 35
24.Sidik Ragam Rataan Nilai Hematokrit Domba ... 35
25.Analisis Rataan Rasio Heterofil/Limfosit per Ekor Domba ... 35
PENDAHULUAN Latar Belakang
Produktivitas ternak pada dasarnya adalah manifestasi interaksi antara faktor
dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan). Faktor luar yang mempengaruhi
produktivitas ternak menyangkut berbagai aspek diantaranya suhu lingkungan dan
kelembaban udara. Suhu lingkungan dan kelembaban udara erat hubungannya
dengan kondisi lingkungan dalam tubuh ternak.
Kondisi dalam tubuh ternak pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian
proses fisiologis sebagai respon pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah sesuai
dengan waktu dan tempat dalam kaitannya dengan faktor cuaca, nutrisi dan
manajemen. Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh
hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Kurtini (1982) melaporkan bahwa ada indikasi beban panas pada domba yang
ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 290C – 320C lebih besar daripada
domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 160C – 230C.
Pemberian hijauan yang tinggi diduga juga merupakan faktor yang
menyebabkan terjadinya cekaman panas pada domba, karena dalam berbagai
penelitian menunjukan bahwa pemberian hijauan dengan proporsi yang tinggi dalam
ransum ruminansia akan menghasilkan produksi panas yang tinggi pula (Sudarman
dan Ito, 2000). Stres panas pada ternak khususnya domba akan menyebabkan
konsumsi pakan menurun, yang pada akhirnya berakibat pada penurunan
produktivitas ternak tersebut.
Pemberian pakan dengan komposisi lemak yang tinggi mungkin merupakan
solusi untuk menurunkan tingkat cekaman panas pada domba. Hal ini karena lemak
diketahui mempunyai energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan
menghasilkan panas metabolis yang rendah. Namun pemberian lemak pada domba
dibatasi hanya 5%, lebih dari itu akan mengganggu daya hidup mikroba rumen
sebagi pengurai pakan berserat (Bunting et al.,1996). Untuk itu lemak yang diberikan
harus diproteksi dengan sabun kalsium agar dapat melewati degradasi rumen dan
dapat dimanfaatkan langsung oleh saluran pencernaan pasca rumen.
Minyak ikan lemuru dikenal sebagai limbah pengolahan ikan menjadi produk
2 Sebagai salah satu jenis lemak tak jenuh, minyak ikan lemuru perlu diproteksi
sebelum dicampur ke dalam ransum.
Perumusan Masalah
Sebagai hewan homeotermis, domba memerlukan kondisi lingkungan fisik
(suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) yang optimum untuk kehidupan
dan produktivitasnya. Kenaikan suhu lingkungan seringkali menyebabkan ternak
mengalami cekaman panas, khususnya di negara tropis seperti Indonesia. Cekaman
panas pada ternak dapat menyebabkan konsumsi pakan menurun, yang pada akhirnya
akan menyebabkan produktivitas ternak tersebut juga menurun. Pemberian lemak
yang diproteksi sabun kalsium dapat menjadi alternatif dalam mengurangi cekaman
panas pada domba, karena lemak memiliki energi yang lebih tinggi daripada protein
dan karbohidrat, tetapi menghasilkan panas metabolis yang rendah.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas suplementasi
TINJAUAN PUSTAKA Ternak dan Lingkungannya
Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh
sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi
ternak (Ensminger et al., 1990). Untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan dan produksi maksimal, hewan membutuhkan lingkungan yang cocok dengan kebutuhan
fisiologisnya. Jika hewan tidak cocok dengan lingkungannya, misalnya saja dengan
kondisi lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan
stres dan akan berakibat terhadap produktivitasnya, sehingga pertumbuhan,
perkembangan atau produksi ternak akan menurun.
Ternak, bergantung pada spesies dan produktivitasnya, mempunyai daerah
lingkungan optimal dan mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap
menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi yang optimal.
Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin
merupakan akibat dari gangguan pada proses thermoregulasi yang mempengaruhi
perubahan keseimbangan energi, air dan endokrin (Johnson, 1987).
Lingkungan mempengaruhi domba melalui dua jalan yaitu 1) Mempengaruhi
hijauan (pakan) dan selanjutnya mempengaruhi pasokan makanan dan air serta pola
penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; 2) Mempengaruhi domba secara
langsung yaitu pengaruh lingkungan utamanya kecepatan angin, suhu dan
kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada
domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon,
1989).
Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya
perubahan pada pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan
pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap
rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan
mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan
radiasi panasdari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari
tubuh (Davedra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal pada
domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk
4 Untuk itu ternak harus selalu berada pada daerah lingkungan optimal dan
mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap menjaga berjalannya
fungsi pertumbuhan dan reproduksi optimal. Thermoneutral Zone (TNZ) adalah
daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Suhu kritis
terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara 29 – 30 0C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada
pada suhu lingkungan antara 22 – 31 0C (Yousef, 1985).
Seekor ternak akan berusaha meningkatkan produksi panas dalam tubuhnya
jika suhu lingkungan semakin rendah, sebaliknya ternak akan melakukan evaporasi
untuk melepaskan panas jika suhu lingkungan meningkat. Gambaran mengenai
hubungan antara suhu lingkungan, suhu tubuh dan pengaturan panas tubuh ternak
ternak dapat dilihat pada Gambar 1.
5 Respon Fisiologis Domba
Ternak domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya
tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al.,
1990). Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang
mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Tetapi sudah
tentu kemampuan tersebut ada batasnya, bila suhu lingkungan mencapai keadaan
diluar batas kemampuannya maka akan timbul gejala-gejala merugikan. Respon
fisiologis domba merupakan respon domba terhadap berbagai macam faktor baik itu
fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985).
Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat
suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematokrit dan rasio
heterofil/limfosit.
Suhu Rektal
Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu
internal tubuh ternak, suhu rektal harian, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang
hari (Edey, 1983). Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat
dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada suhu lingkungan
300C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan
200C.
Suhu lingkungan yang sangat rendah, dibawah tingkat kritis minimum, dapat
mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan
dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis
(Ensminger et al.,1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi
daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan meningkat
(Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran
38,2 – 40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Laju Respirasi
Hewan-hewan memerlukan energi yang didapatkan dari hasil oksidasi
bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai peran yang sama dengan bahan-bahan-bahan-bahan
6 baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan
lingkungan sekelilingnya, khususnya gas-gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar,
1986). Sedangkan yang merupakan laju respirasi adalah konsentrasi O2, CO2 dan H+
dalam cairan tubuh, pH darah, volume darah dan kondisi pembuluh darah (Subronto,
1985).
Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk
darah dan mengambil CO2 dari dalam darah (Frandson, 1996). Respirasi sangat
mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan
zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan
dibuang.
Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat
diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air
antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Nilai
laju respirasi beragam tergantung pada kondisi fisiologis individu ternak (Edey,
1983).
Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit
dalam keadaan istirahat (Frandson, 1996). Domba tropis mempunyai frekuensi laju
respirasi berkisar 15 – 25 hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama
dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey,
1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernafasan,
sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk
menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat
menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 250C. (Yousef, 1985)
Laju Denyut Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing
bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh
tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1996).
Di dalam jantung terdapat suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut
7 denyut jantung yang berirama. Kecepatan denyut jantung ini sangat dipengaruhi oleh
viskositas darah, tekanan osmotik, volume darah, kerja fisik dan adanya zat yang
dapat merangsang kerja jantung seperti kafein atau nikotin (Guyton and Hall, 1997).
Secara umum kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar
pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah
besarnya ukuran hewan. Untuk kisaran denyut jantung domba normal yang
dikemukakan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah antara 70-80 kali tiap menit.
Peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu
lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983).
Hematokrit
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah
merah didalam 100 % darah. nilai hematokrit yang normal pada domba adalah
berkisar antara 29 – 45 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan
hematokrit sebanding dengan eritrosit dan hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar,
1986).
Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution,
1990) menggunakan alat baca microcapillary hematocrite reader. Sebelumnya darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa, sel-sel
akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan berada
diatas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC)
dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997).
Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan
dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan
meningkatkan viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan
berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) menambahkan bahwa
besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan
fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi.
Rasio Heterofil/Limfosit
Heterofil merupakan istilah yang digunakan untuk neutrofil pada unggas
(Schalm, 1971). Heterofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit
dalam leukosit. Heterofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen
8 pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang
mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh dan menerkam
bakteri untuk dihancurkan. Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai
ukuran dan penampilan yang bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar
yang dikelilingi oleh sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap
antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi dalam
darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1996).
Rasio heterofil/limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat
cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stress dan penyakit (Gross
dan Siegel, 1983). Stres iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas
menghasilkan rasio heterofil/limfosit yang meningkat karena adanya stres fisiologis
(Maxwell, 1983). Rasio heterofil/limfosit pada domba menurut Schalm (1971) adalah
(30/60) %.
Minyak Ikan Lemuru
Minyak ikan merupakan produk limbah pengalengan ikan. Minyak ikan
dilaporkan banyak mengandung asam lemak arachidonat yang merupakan bahan
pembentuk hormon prostaglandin-E2. Hormon ini bekerja dalam membantu proses
penyerapan zat-zat makanan disaluran pencernaan (Needleman,1982). Selain itu
minyak ikan kaya akan omega-3. Menurut Sinclair (1993), asam lemak omega-3
diduga berperan dalam produksi leukotriena (LT4) yang merupakan komponen sel
darah putih dan merupakan mediator dalam sistem pembentukan kekebalan tubuh.
Minyak ikan lemuru merupakan limbah industri pengolahan dan pembuatan
tepung ikan yang menggunakan bahan dasar ikan lemuru (Sardinella longiceps), limbah industri ini belum dimanfaatkan secara optimal. Minyak ikan lemuru
merupakan agen defaunasi yang akan menyebabkan kecernaan pakan terutama
hijauan yang berkualitas rendah (tinggi serat dan rendah energi) menjadi semakin
meningkat. Fungsi suplementasi minyak ikan lemuru sebagai agen defaunasi
protozoa hanya dapat dilakukan pada ternak ruminansia.
Minyak ikan lemuru merupakan agen defaunasi yang bisa menekan populasi
protozoa sehingga dapat mengoptimalkan rasio populasi antara bakteri dan protozoa
9 kasar pakan. Defaunasi dilakukan karena kehadiran protozoa dalam rumen
cenderung merugikan, hal ini terjadi karena protozoa mempunyai sifat predator bagi
mikroba rumen lain terutama bakteri dan jamur (Erwanto, 1995). Asam lemak dari
minyak ikan lemuru yang bercampur dengan saliva yang merupakan alkali
menyebabkan terjadi saponifikasi, dan dengan cepat menyebar ke seluruh bagian
rumen. Saponifikasi akan menyebabkan tegangan permukaan cairan rumen menjadi
rendah dibandingkan dengan tegangan permukaan cairan tubuh protozoa sehingga
cairan rumen akan berosmosis menembus membran protozoa sehingga membran
pecah dan protozoa mati. Selain itu protozoa mempunyai aktivitas lipolitik yang
rendah dibandingkan bakteri, sehingga bila konsentrasi lemak meningkat dalam
cairan rumen, seluruh bagian protozoa terbungkus lemak dan cilia tidak dapat
bergerak cepat mengakibatkan protozoa tidak bisa bergerak untuk mencari makan
sehingga kelaparan dan mati (Erwanto., 1995)
Protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna
partikel-partikel pati sehingga kadar asam lemak rendah. Selain itu juga protozoa
memangsa bakteri karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan
vitamin B komplek sangat rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan protozoa
akan memangsa bakteri (Arora, 1989). Dengan menurunnya populasi protozoa akibat
defaunasi maka predasi bakteri akan berkurang sehingga fermentasi akan berjalan
lebih baik (Erwanto, 1995).
Sabun Kalsium
Penambahan lemak pada ransum sapi dan domba sering menurunkan
kecernaan serat. Sebagai salah satu alasan penurunan kecernaan serat tersebut adalah
terhambatnya pertumbuhan dan metabolisme mikroba rumen oleh asam lemak rantai
panjang (Jenkins and Palmquist, 1984). Penambahan mineral khususnya Ca
(kalsium) dapat meningkatkan kecernaan dari ransum yang disuplementasi lemak.
Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan sabun kalsium yang tidak larut mampu
meniadakan efek asam lemak terhadap bakteri, sehingga kecernaan serat dalam
ransum dapat meningkat.
Sabun kalsium termasuk sabun yang tidak larut dalam air. Sabun kalsium ini
merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber lemak yang efektif
10 dan Palmquist (1984), sabun dapat dengan mudah dicampur dengan beberapa jenis
pakan, dan dalam penggunaannya tidak mengganggu sistem fermentasi rumen.
Peningkatan kadar kalsium dalam bahan pakan berasam lemak dapat menurunkan
pengaruh negatif yang terjadi pada pencernaan serat, dan sabun kalsium ini tidak
bersifat toksik terhadap bakteri rumen (Palmquist et al., 1986). Adapun reaksi pembentukan sabun kalsium dapat dilihat pada Gambar 2.
O
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging
dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor dari bulan November 2004 sampai dengan Juni 2005 dan
bertempat
Materi Ternak
Penelitian menggunakan 16 ekor domba lokal jantan berumur kurang dari
satu tahun dengan bobot badan rata-rata mencapai 16,91 ± 1,66 kg, dengan kisaran
13,5 sampai 19,5 kg.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang yang disekat
menjadi 16 buah kandang individu. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat makan
dan air minum. Kandang terletak di dalam suatu bangunan tertutup yang beratapkan
asbes (tipe atap monitor) serta beralaskan kayu. Peralatan lain yang digunakan adalah
termometer minimum-maksimum untuk mengukur suhu kandang, termometer bola
basah bola kering untuk mengukur kelembaban kandang, termometer rektal air raksa
untuk mengukur suhu rektal domba dan stetoskop untuk mengukur denyut jantung
dan laju respirasi domba.
Ransum
Ransum yang digunakan adalah rumput lapangdan konsentrat (ransum basal)
dengan rasio 25:75. Rumput lapang diperoleh dari lingkungan kebun produksi
laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB. Ransum basal yang digunakan terdiri
atas onggok, gaplek, bungkil sawit, ampas tempe, ampas kecap, minyak ikan,
CaCO3, premiks, urea, garam dan molases.
Metode Penelitian Pembuatan Kompleks Sabun-Kalsium
Sabun kalsium dibuat dengan menggunakan metode dekomposisi ganda
(Duel Jr, 1951) yang telah dimodifikasi. Natrium hidroksida dengan konsentrasi air
12 dipanaskan di atas kompor gas, diaduk sampai asam lemak terlarut sempurna.
Kalsium klorida dengan konsentrasi air 10% sebanyak 0,5 liter ditambahkan ke
dalam asam lemak yang telah dicampur dengan natrium hidroksida kemudian
dilakukan pengadukan yang akan menghasilkan sabun kalsium dengan segera.
Kelebihan air dikeluarkan dengan cara memeras sabun dengan menggunakan kain.
Sabun kemudian dikering udarakan, dan bongkahan sabun dipecah sebelum
dicampur dengan konsentrat.
Perlakuan
Ransum perlakuan yang digunakan terdiri atas empat macam, yaitu:
1. R0 = ransum basal (kontrol)
2. R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium
3. R2 = R0 + 3,0% sabun kalsium
4. R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium
Minyak ikan lemuru (sabun kalsium) dicampurkan merata ke dalam ransum
basal. Kandungan zat makanan ransum basal tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Ransum Basal Berdasarkan Perhitungan*)
Komposisi Zat Makanan
Perlakuan
R0 R1 R2 R3
---% BK---
Bahan Kering (BK) 86,09 85,59 85,81 85,67
Protein Kasar (PK) 16,25 16,02 15,79 15,57
Lemak Kasar (LK) 3,97 3,98 4,00 4,01
Serat Kasar (SK) 24,50 24,15 23,80 23,69
Abu 12,70 12,75 12,80 12,85
Energi Metabolis (Mkal) 1,98 1,99 2,00 2,04
Keterangan: *)Hasil perhitungan berdasarkan Hartadi et al (1997)
Pelaksanaan Penelitian
Domba sebanyak 16 ekor dibagi ke dalam 4 perlakuan. Tiap perlakuan terdiri
atas 4 ekor domba sebagai kelompok (berdasarkan bobot badan). Pada awal
pemeliharaan domba diberi obat cacing (piperazin) untuk mencegah terjadinya
penyakit cacing pada ternak. Pemeliharaan dilakukan selama 5 bulan yang terdiri
13 selama dua minggu. Penyesuaian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
pengaruh makanan sebelum penelitian dan agar domba tidak stres akibat adanya
ransum perlakuan yang diberikan. Pemberian sabun kalsium dilakukan dengan
mencampurkannya ke dalam konsentrat sebanyak 0%; 1,5%; 3% dan 4,5%. Periode
penyesuaian selama 2 minggu, dilanjutkan dengan periode pengumpulan data selama
lima bulan. Ransum diberikan 3% dari bobot badan dan pemberiannya dilakukan dua
kali sehari, air minum diberikan ad libitum. Adapun rumput yang diberikan dalam bentuk segar dan konsentrat dalam bentuk mash. Penimbangan domba dilakukan
pada awal penelitian untuk memperoleh bobot badan awal, kemudian dilakukan
pengelompokan berdasarkan bobot badan tersebut.
Pengambilan Sampel Darah
Darah diambil di bagian vena jugularis dengan menggunakan syring (spoite + jarum suntik). Pengambilan sampel darah dilakukan dengan perabaan terlebih dahulu
pada leher bagian kanan domba untuk mencari vena jugularis, jika pembuluh darah
tersebut sudah ditemukan maka ditekan dengan ibu jari hingga tampak
menggelembung. Syring ditusukkan pada bagian yang menggelembung sampai darah
mengalir. Setelah selesai syring dicabut dan darah yang ada pada syring langsung
dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi zat anti koagulan (EDTA), setelah itu
dimasukkan dalam wadah es yang sebelumnya telah dipersiapkan. Pengambilan
sampel darah dilakukan pada semua domba yang dilakukan penelitian.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 4 perlakuan dan 4 kelompok ternak berdasarkan bobot badan (Steel dan
Torrie, 1993). Tiap kelompok mendapat level sabun yang berbeda, sehingga dalam
penelitian ini terdiri atas 16 unit percobaan. Pengaruh ransum terhadap peubah
dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Kontras
ortogonal. Model matematik rancangan ini adalah:
Xij =μ + τij +βij +εij Xij : Nilai pengamatan dari perlakuan
ke-i pada kelompok ke-j μ : Rataan umum
τij : Pengaruh perlakuan ke-i
βij : Pengaruh kelompok ke-j
14 Parameter yang Diamati
Suhu dan Kelembaban Kandang
Pengukuran suhu kandang dilakukan setiap hari selama penelitian yaitu pada
pukul 06.00 WIB dengan termometer minimum-maksimum. Kelembaban kandang
diamati setiap hari selama penelitian yaitu pada pukul 06.00 dan 15.00 WIB dengan
menggunakan termometer bola basah dan bola kering.
Suhu Rektal
Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi hari
jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran suhu rektal dilakukan
dengan cara memasukan termometer rektal air raksa ke dalam rektum ±10 cm dan
dibiarkan selama satu menit, kemudian dilakukan pembacaan skala, namun sebelum
pengukuran suhu rektal terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan menurunkan
posisi air raksa hingga 350C.
Laju Respirasi
Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi hari
jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran laju respirasi dilakukan
dengan cara menempelkan stetoskop pada bagian dada atau leher sehingga terdengar
suara hembusan nafas. Frekuensi hembusan nafas dihitung selama satu menit dengan
menggunakan stopwatch secara duplo.
Laju Denyut Jantung
Pengukuran laju denyut jantung dilakukan setiap satu minggu sekali pada
pagi hari jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran laju denyut
jantung dilakukan dengan cara menempelkan stetoskop pada bagian dada dekat
pangkal paha depan domba. Jumlah pulsa atau suara korothkov dihitung selama satu
menit dengan menggunakan stopwatch secara duplo.
Nilai Hematokrit
Pengukuran nilai hematokrit dilakukan pada akhir pemeliharaan. Pengukuran
nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990)
15 Disiapkan alat-alat, yaitu pipa mikrokapiler yang dilapisi heparin, sentrifusa
mikrokapiler microcapillary reader dan crestaseal untuk menyumbat pipa kapiler.
1. Pengukuran nilai hematokrit menggunakan metode mikrohematokrit dimulai
dengan menempelkan ujung mikrokapiler yang bertanda merah pada tabung
darah yang sudah mengandung zat anti koagulan sampai darah mengisi 4/5
bagian.
2. Ujung mikrokapiler yang bertanda merah disumbat dengan crestaseal lalu di
sentrifusa selama 5 menit dengan kecepatan 11.500 - 15.000 rpm atau 15 menit
dengan kecepatan 2500 – 4000 rpm.
3. Nilai hematokrit darah ditentukan dengan mengukur persentase lapisan merah
(eritrosit) dari total sampel darah dengan menggunakan alat baca
mikrohematokrit (microcapillary hematocrite reader). Cara memakainya ada 2
cara sebagai berikut:
♦ Dasar lapisan pada pipa kapiler tepat pada garis 0 (pipa tegak lurus) dan permukaa lapisan plasma (pertemuan antara plasma dan udara) memotong
garis horizontal 100%.
♦ Persentase hematokrit dapat dibaca pada bagian kanan yang bertepatan dengan tinggi kolom/lapisan eritrosit dalam pipa kapiler.
Diferensiasi Leukosit (Rasio Heterofil/Limfosit)
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penentuan rasio
Granula/Agranula berdasarkan Nasution (1990) yaitu gelas objek (2 buah), pipet
tetes, zat warna (Giemsa/Wright), minyak imersi, buffer fosfat pH 6,4-6,7, alkohol 70%.
1. Dua buah gelas objek disiapkan dalam keadaan bersih untuk membuat sediaan
apus darah.
2. Sediaan apus darah yang sudah dibuat diwarnai dengan zat warna
(Giemsa/Wright) lalu diamati dibawah mikroskop dengan obyektif 100 x dan okuler 10 x.
3. Jenis-jenis BDP (Diferential Leucocyte Count) dihitung dengan cara menghitung
persentase masing-masing bentuk jenis BDP yang telah dipelajari pada preparat
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban
Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang
mempengaruhi produktifitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas
panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985).
Rataan suhu dan kelembaban udara dalam kandang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan
Suhu (0C) Kelembaban (%)
Minimum Maksimum Pagi Siang
23 ± 2 33 ± 2 99 ± 2 96 ± 4
Rataan suhu dalam kandang percobaan pada pagi hari cukup sejuk sesuai
dengan kebutuhan domba, namun pada siang hari suhu kandang lebih sering berada
pada kisaran suhu kritis maksimum. Yousef (1985) melaporkan bahwa suhu yang
dapat diterima domba berkisar antara 40C hingga 240C. Pada temperatur udara diatas
160C untuk ternak daerah dingin dan diatas 270C untuk hewan tropis, sudah cukup
untuk mengaktifkan mekanisme pengaturan panasnya. Namun jika temperatur udara
naik sampai diatas 270C untuk daerah dingin dan di atas 350C untuk daerah tropis
akan mengakibatkan heat regulating center tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangan panas. (Andersson, 1970)
Pada siang hari beban panas yang diterima tubuh ternak akan meningkat
dengan meningkatnya suhu lingkungan dan metabolisme tubuh, hal ini terlihat pada
peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan denyut jantung (Tabel 3). Kurtini
(1982) melaporkan bahwa ada indikasi beban panas pada domba yang ditempatkan
pada suhu lingkungan dengan kisaran 290C – 320C lebih besar daripada domba yang
ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 160C – 230C. Sejalan dengan itu
Sudarman dan Ito (2000) juga melaporkan bahwa domba yang diberi pakan tinggi
hijauan yang ditempatkan pada lingkungan dengan suhu 300C mempunyai beban
panas yang lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan
200C.
Dalam melepaskan panas dari dalam tubuhnya, ternak dapat melakukannya
17 merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram
uap air evaporasi akan menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh (Yousef, 1985).
Kelembaban udara dapat digunakan untuk mengontrol evaporasi kehilangan panas
ternak dari kulit dan sistem pernafasan. Rataan kelembaban udara kandang
percobaan menunjukan nilai yang cukup tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi
pelepasan panas seekor ternak. Kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan
proses evaporasi kehilangan panas ternak terhambat. Data pada Tabel 2
menggambarkan bahwa domba percobaan berada dalam pengaruh cekaman panas.
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju Denyut Jantung Domba
Mekanisme pelepasan panas seekor ternak dapat dilihat dari suhu rektal, laju
respirasi dan laju denyut jantung domba. Rataan denyut jantung, laju respirasi dan
suhu rektal domba percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan, Suhu Rektal Laju Respirasi dan Denyut Jantung Domba yang Disuplementasi Sabun Kalsium dalam Ransum.
Keterangan :*)superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05); superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)
**)
R0 = ransum basal; R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium; R2 = R0 + 3.0% sabun kalsium; R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium
Suhu Rektal
Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu
internal tubuh ternak (Edey, 1983). Suhu rektal akan meningkat dengan
meningkatnya suhu lingkungan.
Peubah Waktu Suplementasi Sabun Kalsium
(R0) (R1) (R2) (R3)
Suhu Rektal (0C)
Pagi 38,76±0,08A 38,79±0,15 A 38,52±0,10B 38,51±0,06B
Siang 38,93±0,19 38,89±0,24 38,80±0,12 38,84±0,12
18 Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap suhu rektal domba pagi hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal,
penambahan sabun kalsium taraf 3% (R2) dan 4,5 % (R3) menurunkan suhu rektal
dibandingkan dengan kontrol pada pagi hari.
Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum, suhu rektal domba
percobaan semakin menurun. Hal ini diduga adanya kandungan lemak dalam ransum
yang mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Seperti diketahui lemak memiliki
panas metabolis yang rendah jika dibandingkan dengan karbohidrat atau protein,
sehingga hewan yang diberi lemak tinggi dalam ransum tidak terlalu sulit untuk
melepaskan panas dalam tubuhnya.
Selain kandungan lemak dalam ransum, konsumsi ransum juga
mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Adanya lemak dalam ransum
menurunkan tingkat konsumsi ransum oleh ternak, sebagaimana yang dilaporkan
Markhamah (2005) bahwa penambahan 3% dan 4,5% sabun kalsium cenderung
menurunkan konsumsi ransum. Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan proses
metabolisme zat makanan berkurang, sehingga panas yang dihasilkan menjadi
rendah.
Penambahan sabun kalsium dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap suhu rektal domba percobaan pada siang hari. Pengaruh yang tidak
nyata ini disebabkan suhu lingkungan sekitar yang tinggi pada siang hari, dengan
suhu maksimal mencapai 340C – 360C. Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa
domba suffolk yang diberi sumber protein tinggi nyata mempunyai suhu vagina yang
lebih rendah pada saat periode dingin, namun pada periode panas tidak menunjukkan
adanya perbedaan. Dalam kondisi lingkungan yang panas, pelepasan panas seekor
ternak tidak seiring dengan produksi panas yang dihasilkan, akibatnya suhu tubuh
menjadi meningkat (Sunagawa et al., 2002).
Laju Respirasi
Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk
darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah (Frandson, 1996). Respirasi
sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh ternak dalam keadaan tertentu, sehingga
19 tidak diperlukan dibuang. Sikap badan, kerja fisik dan macam-macam rangsangan
lainnya akan mempengaruhi laju respirasi.
Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap laju respirasi domba percobaan. Berdasarkan uji kontras ortogonal,
penambahan sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5% (R3) sangat nyata
menurunkan laju respirasi domba baik pada pagi hari maupun pada siang hari.
Rendahnya laju respirasi domba R2 dan R3 pada pagi maupun siang hari
diduga karena adanya penambahan lemak dalam ransum. Penambahan lemak dalam
ransum menyebabkan panas metabolis yang dihasilkan tubuh ternak tidak begitu
besar. Hal ini menyebabkan proses respirasi ternak menurun. Dalam suhu lingkungan
yang tinggi ternak akan lebih efektif melepas panas tubuh ke lingkungan dengan
mekanisme evaporasi. Laju respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme
pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef,
1985). Hasil penelitian Sudarman dan Ito (2000) domba Suffolk betina yang
ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan laju repirasi lebih tinggi
daripada suhu 200C.
Laju Denyut Jantung
Fungsi dari jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Darah
dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan membawa CO2 ke paru-paru, selain itu
darah juga dapat berfungsi dalam membawa dan meratakan panas dalam tubuh.
Jantung dapat memompakan darah karena otot jantung mengendur atau sistole dan mengencang atau diastole. Satu kali relaksasi dan kontraksi menimbulkan denyut jantung. Kecepatan denyut jantung ini sangat dipengruhi oleh viskositas darah,
tekanan osmotik, volume darah, kerja fisik dan adanya zat yang dapat merangsang
kerja jantung seperti kafein atau nikotin (Guyton and Hall, 1997).
Berdasarkan uji statistik penambahan sabun kalsium dalam ransum
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dalam menurunkan laju denyut jantung pada pagi
hari. Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum semakin rendah laju
denyut jantung yang dihasilkan. Laju denyut jantung terendah dihasilkan pada taraf
penambahan 4,5% sabun kalsium (R3) yaitu sebesar 79 detak per menit. Sedangkan
laju denyut jantung tertinggi dihasilkan pada ransum kontrol (R0) yaitu sebesar 95
20 kalsium dalam ransum yang dapat menurunkan panas tubuh dari domba. Nugroho
(2002) melaporkan bahwa suplementasi minyak ikan mampu menurunkan produksi
panas tubuh, sehingga dapat meningkatkan kemampuan ternak dalam termoregulasi
dengan pengaturan laju denyut jantung yang lebih rendah.
Rataan laju denyut jantung domba percobaan pada siang hari berkisar antara
88 – 100 detak/menit. Lebih tinggi daripada laju denyut jantung domba pada pagi
hari. Suhu lingkungan yang tinggi pada siang hari dapat menyebabkan temperatur
tubuh meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan laju denyut jantung
pada siang hari. Edey (1983) melaporkan bahwa peningkatan laju denyut jantung
yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan. Penambahan sabun
kalsium ke dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju denyut jantung
domba percobaan pada siang hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal, laju denyut
jantung domba perlakuan R0 (kontrol) dan R1 (1,5%) nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan domba diberi sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5%
(R3) pada siang hari.
Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit
Rataan nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit domba percobaan tersaji
pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit Darah Domba Percobaan (%)
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah
merah di dalam keseluruhan darah. Nilai hematokrit sebanding dengan eritrosit dan
kadar hemoglobin (Reviany dan Hartati, 1986). Umumnya ternak yang berada di
21 negara tropis menderita cekaman tinggi akibat temperatur lingkungan dan
kelembaban udara yang tinggi (Heath dan Olusanya,1985). Schalm (1971)
menyatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, iklim
setempat, penyakit dan dehidrasi.
Rataan nilai hematokrit domba dalam penelitian ini berkisar antara 32,95 –
35,96 %. Hasil ini bertolak belakang dengan yang dilaporkan Kurtini (1982) yang
menyatakan bahwa nilai hematokrit akan didapatkan berkurang pada suhu
lingkungan yang tinggi (29 – 32 0C) jika dibandingkan dengan suhu lingkungan yang
rendah (16 – 23 0C). Nilai hematokrit yang tinggi mengindikasikan darah lebih
kental. Guyton (1996) menyatakan bahwa hubungan hematokrit terhadap viskositas
darah adalah berbanding lurus, yaitu semakin besar hematokrit semakin banyak
timbul gesekan antara lapisan darah yang ditunjukan dengan meningkatnya derajat
kesukaran aliran darah yang melalui pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan
darah mengalir dengan lambat atau tidak lancar, akibatnya proses pelepasan panas
dalam tubuh ternak pun menjadi tidak lancar. Hal ini diindikasikan dengan
temperatur tubuh yang tinggi pada domba perlakuan kontrol (R0). Frandson (1996)
menyatakan bahwa salah satu fungsi darah adalah dalam proses pengaturan panas,
panas dalam jaringan tubuh yang paling dalam dilepaskan melalui darah ke
permukaan kulit. Penurunan nilai hematokrit yang diberi sabun kalsium
mengindikasikan bahwa pemberian sabun kalsium memberikan manfaat bagi domba
yang dipelihara di daerah panas.
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan sabun
kalsium memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai hematokrit domba.
Walaupun demikian, jika dilihat pada Tabel 4 nilai hematokrit domba dengan
penambahan sabun kalsium dalam ransum cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan kontrol (R0). Kecenderungan rendahnya nilai hematokrit ini disebabkan
adanya proses penguapan akibat tingginya suhu lingkungan. Selain itu konsumsi
pakan juga mempengaruhi nilai hematokrit domba. Konsumsi domba perlakuan R2
(3% sabun kalsium) dan R3 (4,5% sabun kalsium) nyata (P<0,05) menurunkan
konsumsi ransum (Markhamah, 2005). Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan
terjadinya penurunan konsentrasi sel darah merah (eritrosit), hal ini menyebabkan
22 hematokrit akan didapatkan bertambah bila eritrosit bertambah. Sehubungan dengan
hal itu, Swenson (1970) menyatakan bahwa nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan
kadar hemoglobin mempunyai korelasi yang positif. Penambahan sabun kalsium
dalam ransum juga menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah, karena bahan
dasar sabun kalsium yaitu minyak ikan lemuru banyak mengandung omega-3.
Sinclair (1993) melaporkan bahwa minyak ikan banyak mengandung leukotriena (LT4) yang merupakan suatu bahan dalam pembentukan sel darah putih. Semakin
tinggi pemberian sabun kalsium dalam ransum, maka sel darah putih yang terbentuk
akan semakin banyak, sebaliknya jumlah sel darah merah (eritrosit) akan semakin
berkurang
Rasio Heterofil/Limfosit
Rasio heterofil/limfosit merupakan ukuran yang baik untuk melihat tingkat
cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stres dan penyakit (Gross dan
Siegel, 1983). Maxwell (1993) melaporkan bahwa stress iklim dan lingkungan
seperti transportasi dan panas akan menghasilkan rasio heterofil/limfosit yang
meningkat, karena adanya stress fisiologis.
Berdasarkan hasil sidik ragam, penambahan sabun kalsium dalam ransum
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba
percobaan. Rataan rasio heterofil/limfosit domba selama penelitian adalah berkisar
antara 1,02 – 2,16. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio
heterofil/limfosit normal untuk domba yaitu 0,5 (Schalm, 1971). Rasio heterofil/
limfosit yang tinggi merupakan reaksi domba dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan sekitarnya. Semakin tinggi tingkat cekaman panas maka semakin tinggi
pula rasio heterofil/limfosit. Ganong (1995) menyatakan bahwa kondisi cekaman
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kostikosteroid didalam darah.
Peningkatan kadar kostikosteroid dapat meningkatkan jumlah heterofil. Seperti yang
dilaporkan Gross and Siegel (1983) bahwa kadar kostikosteroid mempunyai korelasi
yang positif terhadap rasio heterofil/limfosit. Semakin tinggi kadar kostikosteroid
maka semakin tinggi rasio heterofil/limfosit.
Peningkatan suhu lingkungan sekitar kandang percobaan menyebabkan
domba mengalami cekaman panas. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
23 memberikan pengaruh tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba percobaan.
Hal ini diduga bahwa parameter rasio heterofil/limfosit mungkin masih kurang tepat
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Pemberian sabun kalsium memberikan manfaat bagi domba yang dipelihara
di daerah panas. Suplementasi 3% dan 4,5% sabun kalsium cukup efektif dalam
menurunkan tingkat cekaman panas pada domba, hal ini dapat dilihat dari rendahnya
suhu rektal, laju pernafasan dan denyut jantung.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan frekuensi
pengamatan suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung. Pengambilan sampel
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunianya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.
Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Dr. Ir.
Komang G. Wiryawan sebagai Dosen Pembimbing Anggota atas segala kesabaran
dalam memberikan bimbingan dan pengorbanan waktu serta pemikirannya dari mulai
persiapan penelitian sampai akhir penulisan skripsi, dan juga kepada Program Due Like Batch III yang telah mendanai penelitian ini.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti dan Dr. Ir H. Moh. Yamin,
M.Agr.Sc. selaku dosen penguji ujian sidang serta Dr.Ir. Nuraeni Sigit M.Si. selaku
dosen penguji seminar atas saran, kritik dan masukan yang telah diberikan. Terima
kasih juga kepada kepada Ir. Widya Hermana M.Si. sebagai dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama masa
perkuliahan.
Sembah sungkem Penulis haturkan kepada Ibu dan Bapak yang Penulis cintai
dan sayangi atas segala dukungan, do’a, kesabaran, cinta dan kasih sayangnya yang
tiada pernah terputus demi tercapainya cita-cita Penulis. Kepada kakak-kakakku (teh
Ina, Iim dan Zizah) atas segala cinta, kasih sayang dan keikhlasannya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian
Hindun, Marlin dan Ikhwanul atas kebersamaan, kesabaran dan pengertiannya
selama manjalani penelitian. Terima kasih juga kepada Syukron, Asril, Pram dan Ito
atas segala dukungan dan kebersamaannya dan juga kepada teman-teman Nutrisi ’38
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah
membantu selama penelitian baik langsung maupun tidak langsung. Akhirnya
dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
Bogor Februari 2007
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, B.E. 1970. Temperature Regulations and Environmental Physiology. in: Duke’s Physiology of Domestic Animal. Edited by Melvin j. Swenson. Comstock Publishing Associates. Corneel University Press. Ithaca and London.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Bunting, L.D., J.M. Fernandez, R.J. Fornea, T.W. White, M.A. Froetschel,J.D. Stone and K. Inagawa. 1996. Seasonal effects of supplemental fat or undegradable protein on the growth and metabolism of Holstein calves. J. Dairy Sci. 79: 1611-1620.
Devendra, C. and P.S. Faylon. 1989. Sheep Production in Asia. Philippine Council for Agriculture, Forestry and National Research and Development Department of Science and Technology, Los Banos. Philipina.
Duel Jr., H. J. 1951. The Lipids. Vol. 1. Chemistry.Intersci. Publ., Inc., New York.
Edey, T. N. 1983. The Genetic Pool of Sheep and Goats. in: Goat and Sheep production in the Tropics. ELBS. Longman Group Ltd. England.
Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Hemmeman. 1990. Feed and Nutrition The Ensminger Publishing Company, California.
Erwanto. 1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi methan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia. Disertasi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Ganong W. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-17.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Gross, W.B. and H.S. Siegel. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocite ratio as a measure of stress in chickens. Avian Disease. 27(4):972-979.
Guyton, A.C. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.