• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rataan temperatur kandang penelitian pada pagi hari pukul 07.00 WIB 24±0.51˚C, siang hari pukul 12.00 WIB 32±0.96˚C dan sore hari pukul 16.00 WIB 26±0.66˚C. Kisaran temperatur tersebut relatif lebih tinggi dari yang

direkomendasikan Leeson dan Summers (2001) untuk lingkungan pemeliharaan ayam yang optimum berkisar antara 1824˚C.

Kandungan Nutrien Biji Ketumbar

Hasil analisis kandungan nutrien biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan nutrien biji ketumbar as fed (%) Komponen Hasil analisis1

Hasil analisis2 Hasil analisis3

Bahan kering 91.79 88.80 89.19 Abu 5.33 - 6.15 Protein kasar 13.03 12.37 17.30 Lemak kasar 20.33 17.77 11.59 Serat kasar 30.39 41.90 31.26 Minyak atsiri 0.63a 1 - Vitamin C (mg 100g-1) 32.16b 21.00 - Betacaroten (mg 100g-1) 0.22c - -

Keterangan: 1Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Intitut Pertanian Bogor (2014). 2USDA (2009). 3Penelitian Umam (2012). aHasil Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2014). bHasil Laboratorium Pengujian BBPP Pasca Panen (2015). cAruna dan Baskaran (2010).

Hasil analisis kandungan nutrien yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor seperti pakan biji ketumbar yang diberikan, kualitas biji ketumbar, dan proses pengolahan. Kandungan minyak atsiri dalam biji ketumbar cendrung sangat mudah menguap akibat panas sehingga proses pengeringan sebelum di lakukan tepung harus diperhatikan lama proses pengeringannya. Kandungan minyak atsiri biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini masih normal yaitu 0.63%.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa ayam petelur Konsumsi ransum

Rataan konsumsi pada penelitian ini adalah 102.65 g ekor-1 hari-1. Pemberian ketumbar 23% dalam ransum menyebabkan konsumsi ransum nyata (P<0.05) lebih rendah (R2 dan R3) jika dibandingkan dengan ransum (R0) pada Tabel 4. Konsumsi ransum yang lebih rendah pada perlakuan R2 dan R3 dibandingkan dengan kontrol disebabkan oleh sudah tercukupi kebutuhan energinya. Konsumsi ransum antara perlakuan (R1, R2, dan R3) yang diberi

tepung biji ketumbar memberikan hasil tidak signifikan. Hal ini berarti ransum yang mengandung ketumbar dalam ransum dapat menstimulan sistem organ pencernaan sehingga berfungsi secara optimal.

Penelitian Rajeshwari dan Andallu (2011) menyatakan bahwa minyak esensial ketumbar adalah merangsang dan membantu dalam sekresi enzim dan cairan pencernaan dalam perut, sehingga merangsang pencernaan dan gerak peristaltik yang pada gilirannya akan menurunkan konversi ransum. Tabel 4. Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi

ransum dari ayam petelur selama 6 minggu

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi komulatif

(g ekor-1 hari-1) 4386.67±44.76a 4311.67±38.39ab 4297.92±60.16b 4249.00±64.60b Konsumsi harian

(g ekor-1 hari-1) 104.44±1.07a 102.66±0.09ab 102.33±1.43b 101.17±1.54b Produksi henday

(%) 76.69±1.99 76.14±2.75 80.06±2.62 80.46±3.56

Massa telur

(g ekor-1) 1827.72±41.80 1825.24±62.88 1917.37±49.87 1905.88±69.83 Konversi ransum 2.40±0.07a 2.36±0.07a 2.24±0.07b 2.23±0.09b Berat telur (g ) 57.56±1.32 58.11±0.38 57.70±1.04 57.30±1.69

Mortalitas (%) 0 0 0 0

Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar 2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001) melaporkan bahwa konsumsi pakan ayam petelur adalah 108 g ekor-1 hari-1. Penelitian Guler et al. (2005) mengatakan bahwa biji ketumbar bisa dianggap sebagai promotor pertumbuhan alami yang potensial untuk unggas, dan menunjukkan respon terbaik pada tingkat 2% dalam ransum puyuh.Hernandez et al. (2004) menyatakan minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat sebagai stimulan, penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan meningkatan fungsi hati. Kadar minyak esensial yang terkandung pada biji ketumbar berjumlah sekitar 0.5%1% mampu menjadi antimikroba atau antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al. 2004). Menurut Abou-Elkhair et al. (2014) menyatakan bahwa suplementasi pakan dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan kinerja dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan sebagai suplemen makanan sebagai promotor pertumbuhan alami.

Berat telur

Berdasarkan Tabel 4, rataan dari berat telur pada penelitian ini adalah 57.66 g. Pemberian ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap berat telur. Suplementasi ketumbar sampai level 3% dalam ransum belum mampu mempengaruhi berat telur yang dihasilkan. Hasil ini lebih

14

rendah jika dibandingkan dengan penelitian Cayan dan Erener (2015) yang melaporkan bahwa berat telur ayam Lohmann brown yang dipelihara selama 8 minggu adalah 59.62 g. Bobot telur yang diperoleh pada penelitian ini 57.66 g tidak jauh berbeda dengan penelitian Chen and Balnave (2001) adalah 57.20 g. Berdasarkan Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa protein atau asam amino (spesifik methionin) merupakan nutrisi yang berperan penting dalam menggontrol berat telur.

Produksi telur

Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap produksi telur. Rataan produksi telur selama penelitian adalah 76.1480.46%. Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001) melaporkan bahwa produksi telur ayam petelur adalah 83%. Suplementasi ketumbar sampai level 3% belum mampu meningkatkan produksi telur yang dihasilkan seperti terlihat pada gambar 5. Produksi massa telur yang rendah akan berkorelasi positif dengan menurunya produksi telur sedangkan produksi massa telur merupakan hasil kali produksi telur dengan berat telur sehingga akan berkorelasi positif (Sh et al. 2013). Lebih lanjut Vercese et al. (2012) menjelaskan bahwa massa telur dipengaruhi oleh berat telur, produksi telur dan heat stress.

Gambar 5. Rataan produksi telur henday dari ayam petelur Lohmann brown selama 6 minggu penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Konversi ransum

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa penambahan ketumbar 23% dalam ransum nyata (P<0.05) menurunkan konversi ransum jika dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Hal ini menunjukkan bahwa ayam lebih efisien dalam pemanfaatan ransum sehingga mampu memproduksi telur lebih tinggi jika dibandingkan dengan ransum kontrol (R0). Konversi ransum perlakuan dengan penambahan 2-3% ketumbar lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan ransum yang dikonsumsi lebih rendah diikuti bobot telur yang dihasilkan lebih tinggi. Nilai konversi ransum erat kaitannya dengan

konsumsi ransum dan kemampuan ternak dalam merubah ransum menjadi daging dan telur. Semakin rendah angka konversi ransum semakin efisien penggunaan ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang digunakan seperti yang terlihat pada gambar 6. Menurut Leeson dan Summers (2005), faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, kandungan nutrisi ransum, berat telur dan temperatur (suhu). Penelitian Cayan dan Erener (2015) melaporkan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 22 minggu yang diberi tepung daun zaitun adalah 2.052.07. Sedangkan penelitian Bidura et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 4250 minggu adalah 3.01. Menurut Ahammed et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum Lohmann Brown umur 4160 minggu adalah 2.21.

Gambar 6. Rataan konversi ransum dari ayam petelur Lohmann Brown selama 6 minggu penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Mortalitas merupakan salah satu peubah penting dalam pengujian bahan pakan baru pada ternak. Selama penelitian tidak ditemukan ternak yang mati karena perlakuan. Tidak adanya mortalitas diduga karena pemberian biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan dampak negatif bagi produksi maupun kesehatan ternak. Pemberian biji ketumbar pada ayam broiler sebanyak 2% dalam ransum meningkatkan performa dan status kesehatan ternak (Abu-elkhair et al. 2014).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur

Berdasarkan Tabel 5. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan terhadap haugh unit, berat putih, berat kuning, berat kerabang, tebal kerabang, skor kerabang, malondialdehide, lemak dan kolesterol kuning telur. Tetapi signifikan (P<0.05) meningkatkan skor warna kuning telur.

Haugh unit

Haugh unit merupakan suatu nilai yang menentukan keadaan kualitas kesegaran telur. Nilai haugh unit yang tinggi menunjukkan kualitas telur tersebut juga tinggi (Hardianto et al. 2012). Rataan haugh unit dari penelitian adalah 97.25. nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA.

16

Menurut Standar United States Department of Agriculture (USDA 2011), nilai haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur berkualitas AA, nilai haugh unit 6072 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 3160 sebagai telur berkualitas B, dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur yang berkualitas C. Faktor yang memepengaruhi haugh unit adalah umur penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan dan penyakit (Robert 2004). Pengukuran haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni 24 jam pada suhu 2730ºC, sehingga hasilnya sama. Penelitian Mahmoud et al. (2010) melaporkan bahwa nilai haugh unit ayam petelur yang diberi bawang putih adalah 75.41. Sementara Ahammed et al. (2014) nilai haugh unit ayam petelur umul 4160 minggu adalah 94.80. Penelitian Park et al. (2015) menyatakan nilai haugh unit ayam petelur umur 43 minggu adalah 91.40. Olobatoke dan Mulugeta (2011) nilai haugh unit ayam petelur umur 30 minggu adalah 95.5.

Tabel 5. Rataan kualitas fisik telur dan kimia kuning telur ayam petelur Lohmann brown

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Berat telur (g) 59.06±1.20 59.04±1.41 58.63±1.79 59.22±1.16 Haugh unit 97.75±0.52 96.74±1.07 97.40±0.42 97.10±0.52 Berat putih telur (g) 37.82±1.97 37.38±1.22 36.83±1.61 37.39±0.88 (%) 63.98±2.11 63.27±0.81 62.75±0.83 63.07±0.43 Berat kuning telur (g) 13.95±0.81 14.65±0.21 14.51±0.03 14.47±0.23 (%) 23.63±1.85 24.85±0.60 24.80±0.70 24.47±0.21 Skor kuning telur 9.00±0.50b 10.00±0.00a 10.00±0.00a 10.00±0.00a Berat kerabang (g) 7.30±0.28 7.13±0.05 7.29±0.19 7.36±0.21 (%) 12.39±0.49 11.89±0.41 12.44±0.22 12.47±0.31 Tebal kerabang (mm) 0.35±0.01 0.35±0.00 0.35±0.01 0.35±0.00 Skor kerabang telur 9±0.00 9±0.58 9±0.50 9±0.50 Malondialdehide (µg g-1) 7.02±1.71 6.60±1.64 5.28±2.48 6.13±1.13 lemak (%) 23.80±1.47 22.31±1.34 22.25±0.67 22.37±0.31 Kolesterol (mg g-1) 5.47±0.38 5.61±0.29 5.46±0.52 5.65±0.16

Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar 2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Putih telur

Berdasarkan Tabel 5. Rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Rataan berat putih telur pada penelitian ini adalah 37.50 g (63.27%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur (Rajkumar et al. 2009). Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) yaitu 38.7040.30 g (63.1064.60%). Kuning telur

Perlakuan tidak mempengaruhi berat kuning telur. Rataan berat kuning telur penelitian adalah 14.4 g (24.44%). Penelitian Cayan dan Erener (2015) menyatakan berat kuning telur yang ditambahkan tepung zaitun sampai 3% dalam

ransum adalah 14.6015.20 g (24.3025.00%). Penelitian Rajkumar et al. (2009) bahwa ukuran telur lebih terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan albumen, meskipun fakta bahwa albumen masih penting untuk menentukan ukuran telur. Menurut Subekti et al. (2006), penurunan kolesterol kuning telur dapat menurunkan berat kuning telur. Menurut Juliambarwati (2012) faktor yang mempengaruhi berat kuning telur adalah kandungan lemak dan protein dalam telur yang sebagian besar terdapat dalam kuning telur.

Warna kuning telur

Perlakuan suplementasi ketumbar 13% dalam ransum nyata (P<0.05) meningkatkan skor warna kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa suplementasi ketumbar (R0). Tingginya skor warna kuning telur pada

perlakuan ketumbar disebabkan kandungan karoten pada ketumbar. Jagung kuning yang banyak digunakan dalam pakan unggas mengandung 51 µg 100 g1 beta karoten dan 780 µg 100 g1 lutein (Yilmaz, 2010). Penggunaan ketumbar dalam ransum sampai level 3% dapat meningkatkan skor warna kuning telur yaitu skor 10. Sedangkan tanpa ketumbar 0% yaitu skor 9. Kandungan -karoten pada biji ketumbar adalah 0.22 mg 100g-1 (Aruna dan Baskaran 2010). Penelitian (Cayan dan Erener 2015; Christaki et al. 2011a, dan Zangeneh dan Torki, 2011) menyatakan bahwa tepung daun zaitun 23% dalam pakan meningkatkan warna kuning telur. Menurut Loetscher et al. (2013), warna merupakan sifat kualitas penting dari makanan karena mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas dan intensitas aroma dan rasa. Hu et al. (2011) melaporkan bahwa suplementasi brokoli batang dan daun untuk ayam petelur dapat meningkatkan pigmentasi kuning telur 9.2511.28. Li et al. (2012) melaporkan skor warna kuning telur ayam petelur yang diberi tepung cabai merah adalah 8.09.7. Beta-karotine merupakan zat yang dapat mempengaruhi pigmen warna kuning telur dan mempunyai fungsi yang sama dengan xantopil (Hermana et al. 2014). Lebih lanjut Hammershoj et al. (2010) menyatakan bahwa warna kuning telur dipengaruhi oleh konsumsi zeaxanthin, lutein, alpa-carotine, beta-karotine dan karatinoid. Warna pigmen dalam bahan pakan adalah xanhtophyl, zeaxanthin,

canthaxanthin, astaxanthin, cryptoxanthin, dan -karoten (Leeson & Summers, 2005).

Kerabang telur

Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, lapisan calcite (kalsium karbonat) dan dua lapisan membran (Li-chan dan Kim 2008). Rataan kerabang berat telur penelitian ini adalah 7.27g (12.30%). Menurut Cayan dan Erener (2015), berat kerabang telur adalah 6.63 g (11.00%). Hu et al. (2011) bahwa berat cangkang telur adalah 14.60 g (24.30%). Menurut Kebreab et al. (2009), kandungan Ca dalam pakan dapat mempengaruhi berat kerabang telur dan ketebalan kerabang. Kualitas kerabang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk gizi mineral. Kalsium, fosfor dan magnesium adalah anorganik utama untuk kerabang telur (King'ori 2011).

Tebal kerabang

Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0.35 mm. Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa zat nutrisi utama yang

18

mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994) kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang. Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut Clunies et al. (1992), semakin tinggi konsumsi kalsium maka kualitas kerabang telur semakin baik.

Skor warna kerabang

Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 9. Warna kerabang telur terjadi karena proses pigmentasi di uterus dengan adanya dua pigmen yaitu biliverdin dan protoporphirin. Biliverdin merupakan suatu pigmen biru yang dapat menyebabkan warna hijau kebiruan pada kerabang telur seperti pada itik, sedangkan protoporphirin merupakan pigmen warna coklat kemerahan pada kerabang telur. Pada ayam yang menghasilkan telur kerabang coklat hanya memproduksi senyawa protoporphirin (Clunies et al. 1992)

Lemak kuning telur

Kandungan lemak kasar kuning telur pada suplementasi biji ketumbar sampai level 3% dalam ransum pada penelitian ini menunjukan pengaruh yang tidak nyata. Rataan lemak kasar penelitian ini berkisar 22.68% (Tabel 5). Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan standar menurut Song et al.

(2000) yaitu 31.4832.33%. Menurut Nys dan Guyot (2011) faktor yang mempengaruhi kualitas kimia telur yaitu jenis pakan, jenis ternak, genetik dan hormon.

Kolesterol dan Malondialdehyde kuning telur

Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak signifikan terhadap kandungan malondialdehyde dan kolesterol kuning telur. Malondialdehyde merupakan salah satu indikator untuk melihat aktifitas antioksidan. Meningkatnya radikal bebas akan meransang proses peroksidasi lipid dan mengakibatkan stress oksidatif yang dapat diukur dengan menganalisa kandungan malondialdehyde (Valko et al. 2006). Rata-rata kolesterol kuning telur pada penelitian ini adalah 5.55 mg g-1. Rata-rata kolesterol kuning telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) bahwa kolesterol kuning telur adalah 8.349.24 mg g-1 dan Hu et al. (2011) bahwa kolesterol kuning telur adalah 12.0514.54 mg g-1. Penelitian Uuganbayar et al. (2005) bahwa kolesterol kuning telur umur 40 minggu adalah 10.2512.86 mg g-1. Kadar kolesterol kuning telur sangat tergantung dari kosentrasi VLDL dalam plasma darah. Pakan yang kaya akan ester kolesterol mampu meningkatkan kolesterol kuning telur, sebaliknya pengurangan ester kolesterol dalam pakan hanya menurunkan sedikit kolesterol telur. Terbentuknya kolesterol tidak dapat dilepas dari pembentukan kuning telur. Kholik dan khenodeoksikholik yang berkonjugasi dengan glisin dan taurin dalam absorpsi kolesterol dan lemak dalam usus halus. Setelah disintesis kolesterol dilepaskan dalam sirkulasi darah untuk dikirim kedalam kuning telur dengan

kombinasi lipoprotein. Reaksi awal adalah mengaktifkan lemak CoASH membentuk Acyl-CoA untuk membentuk ester (Yuanta, 2010).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien

Rataan konsumsi ransum ayam petelur selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan R0 (tanpa suplementasi biji ketumbar) memiliki konsumsi ransum yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 sedangkan pada R1 tidak berbeda nyata. Rataan jumlah konsumsi ransum dalam penelitian ini adalah 101.17104.44 g ekor1 hari1.

Tabel 6. Rataan konsumsi nutrien ayam petelur Lohmann brown

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi energi (kkal

ekor-1 hari-1) 300.32±3.06a 295.18±2.63ab 294.24±4.12b 290.89±4.42b Konsumsi protein (g

ekor-1 hari-1) 21.01±0.21a 20.64±0.18 ab 20.58±0.29b 20.35±0.31b Konsumsi lemak (g ekor

-1

hari-1) 5.89±0.06 a 5.79±0.05ab 5.77±0.08b 5.71±0.09b

Konsumsi serat (g ekor-1

hari-1) 3.20±0.03a 3.14±0.03ab 3.13±0.04b 3.10±0.05b

Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Jumlah konsumsi ransum pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Djayati (2014) konsumsi ransum ayam petelur umur 4651 minggu adalah 99.90101.59 g ekor1 hari1. Konsumsi ransum berkaitan dengan penilaian sensori ternak pada ransum. Bentuk, warna, rasa, bau merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat palatabilitas ransum (McDonald et al. 2010). Konsumsi nutrien (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian biji ketumbar dalam ransum nyata menurunkan konsumsi energi, protein, lemak dan serat kasar (P<0.05). Penurunan konsumsi ransum pada perlakuan yang ditambahkan biji ketumbar 2% dan 3% adalah karena ayam sudah tercukupi kebutuhan energinya. Akbarillah et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh umur dan kondisi fisiologis ternak seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas (North dan Bell 1990).

Pengaruh Perlakuan Terhadap hematologi darah

Berdasarkan Tabel 7. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan terhadap butir darah merah, hematokrit, hemoglobin, monosit, dan eosinofil. Tetapi signifikan (P<0.05) terhadap butir darah putih, heterofil, limfosit dan rasio hetrofil/limfosit.

Darah terdiri dari komponen sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma (Frandson, 1992). Komponen sel darah ini memiliki fungsinya

20

masing-masing yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Ternak yang sehat akan memiliki hematologi yang normal. Peubah sel darah merupakan salah satu metode yang berguna untuk mendiagnosis penyakit, memberi gambaran keadaan patologis, dan fisiologis (Guyton dan Hall, 2010). Hematologi ternak akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya secara internal dan eksternal. Perubahan secara internal dapat disebabkan oleh pertambahan umur, status gizi, kesehatan, panas tubuh, serta stres. Perubahan secara eksternal dapat disebabkan penyakit mikroorganisme dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010).

Tabel 7. Rataan profil darah ayam petelur Lohmann brown umur 48 minggu

Parameter Perlakuan Standar* R0 R1 R2 R3 BDM (juta mm3 -1) 2.446±0.32 2.535±0.34 2.484±0.23 2.261±0.29 1.3-4.5 PCV (%) 22.18±2.88 22.60±1.88 22.21±1.44 25.60±2.05 22-55 Hb (g %) 14.68±0.95 16.90±2.56 13.98±2.94 14.69±0.28 7-18 BDP (ribu

mm3 -1) 8.40±2.50b 14.15±9.36ab 17.70±7.15ab 18.85±2.83a 0.9-3.2 Heterofil

(%) 42.75±11.95a 25.25±3.50b 33.25±6.65ab 33.50±5.07ab 15-50 Limfosit

(%) 52.00±11.46b 65.25±5.32a 59.75±5.91ab 58.00±4.16ab 29-84 Rasio H/L

(%) 0.89±0.45a 0.40±0.08b 0.57±0.16ab 0.59±0.13ab 0.45-0.5 Monosit

(%) 4.25±0.96 6.75±2.99 5.00±0.82 6.00±1.83 0-7

Eosinofil

(%) 1.00±1.41 0.96±0.96 2.00±0.82 2.50±1.00 0-16

Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). BDM = Butir darah merah; PVC = Packet cell volume; Hb = Hemoglobin; BDP = Butir darah putih. *Campbell et al. (2012)

Butir darah merah

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah eritrosit ayam petelur. Penelitian (Chen et al. 2008) menyatakan bahwa eritrosit ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 2.142.30 (106/mm3). Eritrosit merupakan sel darah yang mempunyai nukleus dan berperan dalam membawa hemoglobin dengan mengikat oksigen ke seluruh tubuh. Rataan jumlah eritrosit ayam petelur pada penelitian ini berada pada kisaran normal. Proses metabolisme dalam tubuh berlangsung normal dan nutrisi yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah, terutama protein dan vitamin sudah mencukupi kebutuhan ayam, sehingga kesehatan tubuh ayam optimal. Darah selalu mempertahankan kondisi yang stabil agar proses fisiologi dalam tubuh berfungsi normal. Fungsi utama darah adalah untuk mempertahankan homeostatis tubuh, protein sangat dibutuhkan dalam pembentukan eritrosit normal (Dellmann dan Brown 1992).

Hematokrit

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap hematokrit ayam petelur. Proporsi komponen darah dalam volume darah yang terdiri dari sel darah merah, dinamakan hematokrit atau packed cell volume (PCV). Hematokrit dinyatakan dalam persentase(%). Hematokrit dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi normal, anemia, maupun polisetamia. Nilai hematokrit menggambarkan jumlah sel eritrosit terhadap total dalam darah, sehingga menjadi salah satu indikator penentuan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah Oxygen Carrying Capacity. Pada saat bertelur, nilai hematokrit cenderung mengalami penurunan yang merupakan dampak tubuh ayam dalam mempertahankan homeostatis. Nilai hematokrit yang rendah pada saat bertelur diakibatkan oleh peningkatan volume plasma darah yang disebut proses Haemodilusi. Namun, konsentrasi plasma kembali normal ketika folikel terakhir telah mengalami ovulasi (Challenger et al. 2001; Vézina et al. 2003). Volume plasma yang meningkat berakibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (O2) dalam darah meskipun pada dasarnya jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner et al. 2008).

Hemoglobin

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan biji ketumbar dalam ransum sampai taraf 3% tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin ayam petelur. Hemoglobin ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 9.711.2 (Chen et al. 2008). Hemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen. Hemoglobin berfungsi sebagai distributor oksigen (O2) bagi jaringan, dan membawa karbon dioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru (Guyton dan Hall 2008). Terpenuhinya kebutuhan protein dalam ransum memperlancar pembentukan hemoglobin darah, karena protein pakan tersedia untuk bersenyawa dengan zat besi untuk membentuk hemoglobin. Hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular Frandson (1992). Asam pantothenat berperan dalam mensintesis porphyrin untuk pembentukan hemoglobin (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Pembentukan hemoglobin dimulai dari succinyl-co A yang dibentuk dalam siklus kreb yang berikatan dengan asam amino glisin untuk membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi membentuk molekul heme. Heme bergabung dengan protein globin membentuk rantai hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).

Butir darah putih

Berdasarkan analisis ragam bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan jumlah leukosit. Rataan jumlah leukosit ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara 8.40–18.85 x 103/mm3. Jumlah leukosit yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan zat aktif minyak atsiri yang terkandung dalam biji ketumbar menyediakan pertahanan untuk kekebalan tubuh ayam petelur selama masa pemeliharaan. Penelitian (Chen

et al. 2008) bahwa leukosit ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ -aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 4.224.52 (x105/mm3). Leukosit merupakan sel darah yang memiliki inti sel dan memiliki kemampuan gerak yang independen (Frandson 1992). Leukosit berperan dalam merespon kekebalan

22

tubuh. Leukosit merupakan unit yang aktif untuk menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan penyebab infeksi (Guyton dan Hall 1997). Diferensiasi butir darah putih

Differensiasi leukosit diklasifikasikan sedikitnya 100 leukosit berdasarkan jenis sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih normal dikelompokan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari heterofil, eosinofil, dan basofil sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Swenson 1984).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi biji ketumbar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah heterofil pada darah ayam petelur. Rataan heterofil darah ayam pada penelitian ini berkisar antara 25.25% sampai dengan 42.75%. Nilai heterofil pada penelitian ini berada pada kisaran normal. Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan bahwa persentase heterofil ayam normal berkisar antara 9 - 56%. Heterofil merupakan leukosit granulosit yang

Dokumen terkait