• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum Sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah Dan Organ Dalam Ayam Petelur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum Sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah Dan Organ Dalam Ayam Petelur."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

SUPLEMENTASI BIJI KETUMBAR (

Coriandrum sativum Linn

)

TERHADAP PRODUKTIVITAS, HEMATOLOGI DARAH DAN

ORGAN DALAM AYAM PETELUR

UMUL HABIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Umul Habiyah

(4)

iv

RINGKASAN

UMUL HABIYAH. Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur. Dibimbing oleh RITA MUTIA dan SRI SUHARTI.

Biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn) mempunyai kandungan minyak atsiri terutama linalool 0.51% yang dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan fitogenik kedalam pakan ternak. Minyak atsiri yang terkandung dalam biji ketumbar memiliki banyak manfaat dalam tubuh sebagai antioksidan, antidiabetes, dan antimutagenik. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk menganalisis komponen nutrien biji ketumbar, (2) mendapatkan jumlah pemberian tepung ketumbar di dalam pakan ayam petelur di lingkungan tropis terhadap produktivitas ayam petelur, (3) mengamati jumlah pemberian ketumbar untuk memberikan hematologi darah berada pada kisaran normal sehingga dapat meningkatkan status kesehatan dan manfaatnya pada organ dalam ayam petelur.

Sumber biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pasar tradisional Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan-bahan pakan lainnya diperoleh dari PT. Indofeed, Bogor. Ransum penelitian yang digunakan terdiri jagung kuning, corn gluten meal (CGM), bungkil kedelai, tepung ikan, minyak sawit, dicalsium phosphate (DCP), CaCO3, garam, premix, DL-methionin yang

disusun dengan iso protein (18.22%) dan iso energi (2875.33 kkal kg-1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter yang diamati mulai dari kandungan fitokimia biji ketumbar, performa, kualitas fisik dan kimia telur, hematologi, konsumsi nutrien, organ dalam ayam petelur. Data dianalisa secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh terhadap berat telur, produksi telur dan massa telur yang dihasilkan selama penelitian. Suplementasi biji ketumbar dalam ransum ayam petelur memberikan hasil yang nyata menurunkan (P<0.05) terhadap konsumsi ransum dan konversi ransum. Pemberian ketumbar 13% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kualitas fisik dan kimia telur tetapi memberikan hasil yang nyata meningkatkan warna kuning telur. Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh terhadap organ dalam ayam petelur dan dapat memberikan gambaran hematologi ayam petelur berada pada kisaran normal.

Kesimpulan Suplementasi tepung biji ketumbar 23% dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan konversi ransum, konsumsi ransum dan meningkatkan warna kuning telur tanpa menurunkan kualitas telur.

(5)

SUMMARY

UMUL HABIYAH. Supplementation of Coriander Seeds (Coriandrum sativum Linn) on Productivity, Blood Hematology, and Organ of Laying Hens.Supervised by RITA MUTIA and SRI SUHARTI.

Coriander seeds (Coriandrum sativum Linn) have a particularly volatile oil content of 0.51% linalool which could be used as feed additives fitogenik into animal feed. Essential oils contained in coriander seeds have many benefits in the body as an antioxidant, antidiabetic, and antimutagenic. This study aimed research are: (1) to identify the components of nutrients and phytochemicals coriander seeds,(2) obtain the amount of the provision coriander powder in the feed of laying hens in a tropical environment on the productivity of laying hens, (3) provide blood hematology are in the normal range so as to improve the health status and the benefits of the internal organs of laying hens.

Coriander seed sources used in this study came from the traditional market ciputat. Other feed ingredients derived from PT. Indofeed, Bogor. The research ration consisting of yellow corn, corn gluten meal (CGM), soybean meal, fish meal, palm oil, dicalsium phosphate (DCP), CaCO3, salt, premix, DL-methionine were prepared with iso protein (18.22%) and iso energy (2875.33 kcal kg-1). The experimental design used was completely randomized design with 4 treatments and 4 replications. The parameters observed from coriander seeds phytochemical content, performance, physical and chemical quality of egg, blood hematology, consumption of nutrients, and organ of laying hens. Data were statistically analyzed using analysis of variance (ANOVA). If there are significant differences between the treatments then tested Duncan.

The results showed that supplementation of coriander seeds in diets had not effect on egg weight, egg production, and egg mass. Supplementation of coriander seeds 23% significantly decreased (P<0.05) feed consumption and feed convertion ratio. Supplementation of coriander seeds 13% significantly (P<0.05) increased yellowness in yolk color without affecting other quality parameter. Coriander seed supplementation in the diet had no effect on the organ in laying hens. Coriander seed supplementation in the diet had no effect on blood hematology in normal range.

In conclution supplementation 23% coriander seeds in diet of laying hens decrease feed convertion ratio, feed intake and increased yolk color without lowering the quality of eggs.

(6)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SUPLEMENTASI BIJI KETUMBAR (

Coriandrum sativum Linn

)

TERHADAP PRODUKTIVITAS, HEMATOLOGI DARAH DAN

ORGAN DALAM AYAM PETELUR

UMUL HABIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

(9)

Judul Tesis : Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktivitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur.

Nama : Umul Habiyah

NIM : D251130251

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Rita Mutia, MAgr Ketua

Dr Sri Suharti, SPt MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pangan organik yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai Januari 2015 ini ialah dengan judul Suplementasi Biji Ketumbar (Coriandrum sativum Linn) Terhadap Produktifitas, Hematologi Darah dan Organ Dalam Ayam Petelur. Karya ilmiah yang merupakan bagian tesis ini sedang dalam proses penerbitan pada Media Peternakan–Journal of Animal Science and Technology dengan judul “The effect of coriander seeds (Coriandrum sativum Linn) on performa and egg quality of laying hens”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rita Mutia, M. Agr dan Dr Sri Suharti, S. Pt, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi waktu bimbingan, saran, dan motivasi sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc dan Ibu Prof Dr Ir Yuli retnani, MSc sebagai ketua dan wakil program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Pascasarjana IPB, dan kepada Dr Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS sebagai dosen penguji luar komisi. Terima kasih juga kepada Pak Supri dan Bu Ade serta seluruh staff dan pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Ilmu Nutris dan Pakan atas segala bantuan dan bimbingannya. Terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi melalui program Beasiswa Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) 2013.

(12)

xii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE 3

Waktu dan Tempat Penelitian 3

Bahan dan Alat 3

Prosedur Penelitian 3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Suhu Kandang Penelitian 12

Kandungan Nutrien Biji Ketumbar 12

Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Ayam Petelur 13 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur Ayam Petelur 15 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien Ayam Petelur 19 Pengaruh Perlakuan Terhadap Hematologi Darah Ayam Petelur 19 Pengaruh Perlakuan Terhadap Saluran Pencernaan Ayam Petelur 23 Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Dalam Ayam Petelur 25 Pengaruh Perlakuan Terhadap Income Over Feed Cost Ayam Petelur 26

4 SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 35

(13)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan selama penelitian 4 2 kandungan nutrien ransum penelitian (ransum basal) 4

3 Kandungan nutrien biji ketumbar 12

4 Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi

ransum dari ayam petelur 13

5 Rataan kualitas fisik dan kimia telur ayam petelur Lohmann brown 16 6 Rataan konsumsi nutrien ayam petelur strain Lohmann brown 19 7 Rataan hematologi darah ayam petelur strain Lohmann brown 20 8 Rataan panjang dan berat saluran pencernaan ayam petelur Lohmann

brown 24

9 Rataan organ dalam ayam petelur strain Lohmann brown 25 10 Perhitungan ekonomi nilai income over feed cost per 1 kg telur ayam

petelur strain Lohmann brown selama 6 minggu 27

DAFTAR GAMBAR

1 Biji ketumbar 5

2 Ransum perlakuan 5

3 Pemeliharaan ayam petelur 6

4 Pengujian kualitas telur dan organ dalam ayam petelur 6

5 Rataan produksi telur henday ayam petelur 14

6 Rataan konversi pakan ayam petelur selama pemeliharaan 6 minggu 15

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam ras petelur adalah salah satu jenis ternak unggas yang sangat popular dikembangkan dikalangan masyarakat, baik dalam skala kecil yang dikelola oleh keluarga atau sekelompok masyarakat peternak maupun dalam bentuk industri peternakan dalam skala usaha yang cukup besar. Permintaan terhadap telur ayam ras terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan permintaan tersebut tentunya harus diiringi dengan kuantitas dan kualitas telur yang optimal untuk konsumen. Telur ayam merupakan sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi dan umummya disukai oleh banyak orang. Perkembangan populasi ayam ras petelur di Indonesia pada tahun 2013 menurut Direktorat Jenderal Peternakan sebesar 146.622.000 ekor, sedangkan jumlah produksi telur yang dihasilkan adalah sebesar 1.224.402 ton. Tahun 2014 (Angka sementara) Populasi dan Produksi Peternakan ayam ras di Indonesia adalah 154.657.000 ekor dan 1.299.199 ton (BPS 2015).

Saat ini, minat untuk mencari alternatif non-sintetik antibiotik semakin meningkat. Pakan additif seperti bumbu dan rempah-rempah yang biasa dimasukkan ke dalam pakan ternak untuk meningkatkan rasa dan kelezatan, sehingga meningkatkan kinerja performa (Windisch et al. 2008). Efek menguntungkan dari sebagian besar herbal, rempah-rempah dan senyawa bioaktif telah diakui sejak zaman kuno dan efek dari herbal tersebut telah banyak dilaporkan sebagai imbuhan pakan fitogenik dalam makanan hewan percobaan. Ketumbar (Coriandrum sativum L.) terutama bijinya yang digunakan sebagai agen penyedap dalam industri makanan atau sebagai bumbu roti, ikan dan daging, tetapi juga memiliki sejarah panjang sebagai obat tradisional. Biji ketumbar mengandung minyak atsiri hingga 1%, komponen utama adalah linalool, yang memiliki potensi antibakteri (Silva 2011; Matasyoh et al. 2008), insektisida (Khani dan Rahdari 2012), antibiotik (Hosseinzadeh et al. 2014) dan antimikroba (Begnami et al. 2010; Burdock dan Carabin 2008) merupakan efek dari minyak esensial (atsiri) ketumbar. Minyak atsiri juga memberikan efek selera dan stimulasi dalam proses pencernaan (Rajeshwari dan Andallu 2011).

Ketumbar juga terkenal dengan antioksidannya, diabetes, anti-mutagenik, anti-ansietas dan menyeimbangkan hormon. Jika penggunaannya dalam makanan akan bermanfaat bagi kesehatan dan efek perlindungan makanan untuk waktu yang lebih lama (Bhat et al. 2014). Tanaman aromatik, ekstrak dan minyak esensial mengandung berbagai senyawa bioaktif fungsional, metode alternatif untuk meningkatkan kinerja yang dapat dikembangkan karena dapat memuaskan tuntutan konsumen untuk makanan alami, aman dan berkualitas tinggi (Christaki et al. 2012). Senyawa utama dalam minyak esensial adalah

linalool (67.70%); α-pinene (10.5%); -terpinene (9.0%); geranyl asetat (4.0%); kamper (3.0%); dan geraniol (1.9%) Khani dan Rahdari (2012). Kadar minyak esensial yang terkandung pada biji ketumbar berjumlah sekitar 0.5%1% mampu menjadi antimikroba atau antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella,

(16)

2

penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan peningkatan fungsi hati (Hernandez et al. 2004). Sampai saat ini belum banyak laporan percobaan penggunaan biji ketumbar pada ransum ayam petelur.

Penelitian Al-mashadani et al. (2011) dan Saeid dan Nasry (2010) menyatakan bahwa minyak ketumbar dapat meningkatkan performa broiler dan menurunkan kadar kolesterol glukosa darah serta pemakaian ketumbar memiliki efek performa yang menguntungkan selama pemeliharaan musim panas dan meningkatkan status fisiologis tubuh. Sogara et al. (2014) menyatakan bahwa pemberian ekstrak etanol ketumbar pada tikus dapat menurunkan kadar gula darah hingga dapat mencapai kadar gula darah normal. Penelitian Al-Jaff (2011) menyimpulkan bahwa pemberian ketumbar sampai level 2% dalam ransum dapat memberikan efek yang positif terhadap gambaran darah, performa dan sistem kekebalan tubuh selama stress panas (suhu lingkungan yang tinggi). Selanjutnya suplementasi pakan dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan performa dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan sebagai suplemen makanan sebagai pemacu pertumbuhan alami (Abou-elkhair et al. 2014). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian pemberian biji ketumbar pada ransum ayam petelur untuk melihat pengaruhnya terhadap performan produksi dan kualitas telur ayam petelur.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk menganalisis komponen nutrien biji ketumbar (2) mendapatkan jumlah pemberian tepung ketumbar di dalam pakan ayam petelur di lingkungan tropis terhadap produktivitas ayam petelur, (3) mengamati jumlah pemberian ketumbar sehingga memberikan hematologi berada pada kisaran normal sehingga dapat meningkatkan status kesehatan ayam petelur.

Manfaat Penelitian

(17)

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Januari 2015. Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Nutrisi Ternak Unggas (Kandang C), Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Laboratorium Pengujian BBPP Pascapanen Pertanian, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Materi

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain timbangan digital, kandang individual cage, tempat pakan dan minum, lampu, thermometer, skop, gerobak, sapu lidi, ember.

Bahan

a. Ternak dan Pakan

Tenak yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam petelur stain Lohmann Brown umur 43 minggu pada fase II produksi dengan berat badan awal (1.670±0.11 g) sebanyak 96 ekor. Bahan pakan yang digunakan diperoleh dari PT. Indofeed Bogor. Ransum penelitian yang digunakan terdiri jagung kuning, corn gluten meal (cgm), bungkil kedelai, tepung ikan, minyak sawit, dicalcium phosphate (DCP), CaCO3, garam, premix, DL-methionin. Pakan percobaan

disusun sendiri dengan kandungan isoprotein (18.22%) dan isoenergi dan (2875.34 kkal kg-1) yang disusun berdasarkan Leeson dan Summer (2005) pada Tabel 1.

Pakan perlakuan yang digunakan adalah : R0 : Ransum tanpa ketumbar 0% (kontrol) R1 : Ransum mengandung ketumbar 1% R2 : Ransum mengandung ketumbar 2% R3 : Ransum mengandung ketumbar 3%

Prosedur penelitian Pesiapan kandang penelitian

(18)

4

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan selama penelitian

Bahan pakan Jumlah (%)

Energi Metabolis (kkal kg-1) 2875.34

Protein kasar (%) 18.12

Keterangan : *Berdasarkan Leeson dan Summers (2005) Tabel 2. Hasil analisis nutrien ransum kontrol.

Nutrien Nilai Nutrien (%)

Keterangan : Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Intitut Pertanian Bogor (2014).

Pembuatan Tepung biji ketumbar

(19)

Gambar 1 : Biji ketumbar (Coriandrum sativum L)

Ransum perlakuan

Ransum yang sudah diaduk kemudian dicampurkan dengan biji ketumbar sesuai dengan perlakuan.

Gambar 2 : Ransum perlakuan Pemeliharaan ayam petelur

(20)

6

Gambar 3 : pemeliharaan ayam petelur Pengambilan sampel

Kualitas telur : Pengambilan sampel dilakukan setiap minggu selama penelitian yaitu pada minggu ke-1 sampai ke-6. Pada setiap ulangan masing-masing diambil 2 telur untuk dianalisa kualitas fisik dan kimia telur.

(a) (b) (c)

Gambar 4: (a) Sampel telur; (b) pengujian kualitas telur; (c) organ dalam ayam petelur.

Profil darah : Sampel darah diambil pada akhir penelitian. Pengambilan darah dilakukan melalui vena branchialis menggunakan spuit 3 mL sebanyak 12 mL darah ayam petelur. Darah yang sudah terkoleksi langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah dilapisi antikoagulan EDTA. Tabung tersebut ditutup menggunakan sumbat dan diberi label sesuai dengan perlakuan. Kemudian, tabung dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk pemeriksaan darah.

Organ dalam ayam petelur : pengukuran organ dalam ayam petelur dilakukan pada akhir penelitian masing-masing 2 ekor ayam pada setiap ulangan.

Peubah yang diamati Performa ayam petelur :

1. Konsumsi ransum (g ekor -1 hari -1)

(21)

Konsumsi pakan = Jumlah pakan yang dikonsumsi selama 7 hari Jumlah ayam x 7 hari

2. Produksi telur harian/ henday production (%)

Hen day (%) = Jumlah telur pada hari itu (butir) x 100% Jumlah ayam hidup (ekor)

3. Produksi massa telur (g ekor -1 hari -1)

Produksi massa telur adalah jumlah bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam selama 6 minggu. Produksi massa telur diperoleh dari penimbangan bobot telur yang dihasilkan oleh setiap ekor ayam pada setiap harinya, kemudian dijumlahkan selama 6 minggu.

Income over feed cost dihitung dengan cara mengurangi pendapatan dengan total harga pakan selama penelitian.

Kualitas telur Kualitas fisik telur :

Pengambilan sampel telur dilakukan setiap minggu yaitu sebanyak 6 kali untuk di pecah dan dilakukan pengujian kualitas telur.

1. Berat telur (g butir -1)

Berat telur diukur dengan menimbang telur. 2. Berat kuning telur (yolk)

Berat kuning telur diukur dengan menimbang kuning telur (g) Ratio kuning telur = berat kuning telur (g) x 100

berat telur (g) 3. Berat kerabang telur (g butir -1)

Berat kerabang telur diukur dengan menimbang kerabang telur. Ratio kerabang telur = berat kerabang (g) x 100

berat telur (g) 4. Berat putih telur (albumen)

Berat putih diperoleh melalui penimbangan (g) Ratio albumen = berat albumen( g) x 100

berat telur (g) 5. Indeks telur

Indeks telur diukur dengan menggunakan alat jangka sorong untuk mengukur panjang dan lebar telur.

6. Haugh unit

(22)

8

menggunakan alat jangka sorong. Hasil pengamatan Haugh Unit dicatat pada tabel hasil pemeriksaan. Rumus Haugh Unit menurut (Doyon et al. 1986).

HU = 100 log (H – 1.7 W0.37 + 7.6 ), Keterangan:

HU : Haugh Unit,

H : Tinggi Putih Telur (mm) W : Berat Telur (gram)

7. Tebal kerabang (egg shell thickness)

Angka ketebalan kerabang diperoleh dari mengunakan jangka sorong (mm) 8. Warna kuning dan kerabang telur

Untuk mengetahui warna kuning telur dilakukan dengan menggunakan kipas standar kuning telur (egg roche yolk colour fan) dan egg shell indikator. Kualitas kimia telur:

1. Kolestrol kuning telur

Analisis kolesterol menggunakan metode Liebermann Burchard (Burke et al. 1974). Sebanyak ±0.1 gram sampel dimasukan ke dalam tabung sentrifuge ditambah dengan 8 ml [alkohol: heksan /alkohol: petroleum benzena (3:1)]. Diaduk sampai homogen. Pengaduk dibilas dengan 2 ml [alkohol : heksan / alkohol : petroleum benzena (3:1)]. Kemudian disentrifuge selama 10 menit (3000 rpm). Supernatan dituang ke dalam gelas piala 100 ml, dan diuapkan di Hot plate. Residu diuapkan dengan kloroform (sedikit demi sedikit), sambil dituangkan ke dalam tabung berskala (sampai volume 5 ml), kemudian ditambahkan 2 ml acetic anhidrid. Tambahkan juga 0.2 ml H2SO4 pekat (p.a) atau 2 tetes. Selanjutnya

dicampur dengan vortex, dan biarkan di tempat gelap selama 15 menit . Lalu baca absorbansinya pada panjang gelombang ( ) 420 nm dengan standar yang

2. Analisis Kadar Malondialdehida (MDA) kuning telur

Prinsip metode ini berdasarkan kepada kemampuan pembentukan komplek berwarna merah jambu antara MDA dan asam tioberbutirat (TBA). Sebanyak ± 1 gr kuning telur dimasukkan dalam gelas piala dengan ditambahkan 2,5 ml buffer fosfat yang mengandung 11.5 g L-1 kalium klorida dalam kondisi dingin Ph 7.4

(disimpan pada suhu 5˚C). Campuran ini disentrifus 4000 rpm 10 menit, diambil

supernatan jernih diambil dan ditambahkan 4 ml campuran asam klorida dingin 0.25 N (2.23 ml asam klorida pekat/100 ml) yang mengandung 15% asam trikloroasetat (w/v), 0.38% asam tiobarbiurat dan 0.5% butilat hidroksitoluen.

Campuran asam klorida dan supernatan tersebut dipanaskan 80˚C (inkubator)

(23)

rpm 10 menit. Supernatan hasil sentrifus tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm (Rice-Evans dan Anthony 1991).

MDA (µg/g protein) = A µmol/g 50 µL x 7.5 ml 1.25 g (bb)

A = kadar MDA yang diperoleh dari persamaan regresi kurva standar.

Hematologi Darah Ayam Petelur

Jumlah eritrosit

Menurut Sastradipradja et al. (1989) pengambilan darah dari tabung menggunakan pipet eritrosit dengan bantuan alat pengisap (aspirator) sampai batas angka 1.0. Ujung pipet dibersihkan dengan tisu. Larutan pengencer Rees and Ecker diisap sampai tanda 101 yang tertera pada pipet eritrosit, kemudian pipa aspirator dilepaskan. Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan membentuk gerakan angka 8, dan cairan yang tidak ikut terkocok dibuang. Setetes cairan dimasukkan kedalam kamar hitung dan biarkan butir-butir yang ada di dalam kamar hitung mengendap. Butir darah merah dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 400 kali (a).

Untuk menghitung eritrosit dalam hemocytometer neubeur, digunakan kotak eritrosit yang berjumlah 25 buah dengan mengambil bagian sebagai berikut: satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah dan satu kotak pojok kiri bawah. Untuk membedakan kotak eritrosit dengan kotak leukosit dapat berpatokan pada tiga garis pemisah pada kotak eritrosit serta luas kotak eritrosit yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kotak leukosit. Setelah jumlah eritrosit didapatkan maka jumlah darah dikalikan dengan 5000, untuk mengetahui jumlah eritrosit dalam 1 mm3 darah. Angka 5000 merupakan perkalian dari tebal kamar hitung 1/10 mm, panjang kamar hitung 1/5 mm, lebar 1/5 mm dan 5 kotak kamar hitung dalam mm3 kemudian dikalikan dengan larutan pengencer 100. Jumlah eritrosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:

Jumlah Eritrosit per mm3 darah = a x 5 x 103butir

Jumlah Leukosit

(24)

10

dikalikan 200 untuk mengetahui jumlah leukosit setiap 1 mm3 darah. Angka 200 diperoleh dengan cara mengalikan 5 kotak ruang hitung, panjang 1 mm, lebar 1 mm, dan tebal 1/10 mm kemudian dijadikan 1 mm3 setelah itu dikali faktor pengencer sebesar 100. Jumlah leukosit dapat dihitung dengan rumus dibawah ini.

Jumlah Leukosit per mm3 darah = b x 2 x 102 butir Hemoglobin

Pengukuran hemoglobin dilakukan dengan metode Cyanmethemoglobin. Metode ini dilakukan dengan mencampurkan reagen hemoglobin 2.5 mL dengan

sampel darah 10 L di dalam tabung. Hasil campuran reagen hemoglobin dan darah dibaca pada fotometer dengan panjang gelombang 540 nm sehingga didapatkan absorban.

Kadar Hemoglobin (g %) = Absorban x 36.8 g Hb/100 mL. Hematokrit.

Menurut Sastradipradja et al. (1989) nilai hematokrit ditentukan dengan metode mikrohematokrit. Darah dari tabung ditempelkan dengan ujung mikrokapiler yang bertanda (merah atau biru). Darah dibiarkan mengalir sampai 4/5 bagian pipa kapiler terisi kemudian ujung pipa kapiler disumbat dengan

crestaseal (penyumbat). Pipa kapiler tersebut ditempatkan di microcentrifuge

selama lima menit dengan kecepatan 12.000 rpm, kemudian terbentuk lapisan plasma, lapisan putih abu, dan lapisan merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan merah) dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematokrit reader).

Diferensiasi leukosit

Darah dibuat preparat ulas ±2 cm dari ujung gelas objek. Preparat ulas difiksasi dengan metanol 75% selama 5 menit kemudian diangkat sampai kering udara. Ulasan darah direndam dengan larutan giemsa selama 30 menit, diangkat dan dicuci dengan menggunakan air kran yang mengalir untuk menghilangkan zat warna yang berlebihan, kemudian dikeringkan dengan kertas isap. Preparat ulas diletakkandibawah mikroskop pembesaran 1000 kali dan ditambahkan minyak emersi kemudian dihitung limfosit, heterofil, monosit, basofil, dan eosinofil dengan pembesaran 1000 kali sampai jumlah total 100 butir leukosit (Sastradipradja et al. 1989).

Organ Dalam Ayam Petelur

Pada hari terakhir dari penelitan, dua ekor per ulangan diambil secara acak untuk mengevaluasi bobot relatif dari beberapa organ dalam. Setiap ayam dengan memotong urat nadi. Kemudian organ dalam ditimbang secara terpisah dan ditimbang. Bobot relatif organ tersebut dihitung sebagai persentase dari berat badan hidup.

Persentase bobot organ dalam = bobot organ dalam (g) x 100% bobot hidup akhir (g)

(25)

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap unit percobaan menggunakan 6 ekor ayam yang dipelihara selama 6 minggu.

Model matematis yang digunakan adalah : Yij = μ + τi + εij

Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

i = Perlakuan (1, 2, 3, dan 4)

j = Ulangan (1, 2, 3, 4)

μ = Nilai tengah umum

τi = Pengaruh Perlakuan ke-i

έίј = Pengaruh Sisa (Galat) pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan ke i.

Analisis Data

(26)

12 direkomendasikan Leeson dan Summers (2001) untuk lingkungan pemeliharaan ayam yang optimum berkisar antara 1824˚C.

Kandungan Nutrien Biji Ketumbar

Hasil analisis kandungan nutrien biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan nutrien biji ketumbar as fed (%) Komponen Hasil analisis1

Hasil analisis2 Hasil analisis3

Bahan kering 91.79 88.80 89.19

Keterangan: 1Hasil analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Intitut Pertanian Bogor (2014). 2USDA (2009). 3Penelitian Umam (2012). aHasil Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2014). bHasil Laboratorium Pengujian BBPP Pasca Panen (2015). cAruna dan Baskaran (2010).

Hasil analisis kandungan nutrien yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor seperti pakan biji ketumbar yang diberikan, kualitas biji ketumbar, dan proses pengolahan. Kandungan minyak atsiri dalam biji ketumbar cendrung sangat mudah menguap akibat panas sehingga proses pengeringan sebelum di lakukan tepung harus diperhatikan lama proses pengeringannya. Kandungan minyak atsiri biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini masih normal yaitu 0.63%.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa ayam petelur

Konsumsi ransum

(27)

tepung biji ketumbar memberikan hasil tidak signifikan. Hal ini berarti ransum yang mengandung ketumbar dalam ransum dapat menstimulan sistem organ pencernaan sehingga berfungsi secara optimal.

Penelitian Rajeshwari dan Andallu (2011) menyatakan bahwa minyak esensial ketumbar adalah merangsang dan membantu dalam sekresi enzim dan cairan pencernaan dalam perut, sehingga merangsang pencernaan dan gerak peristaltik yang pada gilirannya akan menurunkan konversi ransum. Tabel 4. Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi

ransum dari ayam petelur selama 6 minggu

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi komulatif

(g ekor-1 hari-1) 4386.67±44.76a 4311.67±38.39ab 4297.92±60.16b 4249.00±64.60b Konsumsi harian

(g ekor-1 hari-1) 104.44±1.07a 102.66±0.09ab 102.33±1.43b 101.17±1.54b Produksi henday

(%) 76.69±1.99 76.14±2.75 80.06±2.62 80.46±3.56

Massa telur

(g ekor-1) 1827.72±41.80 1825.24±62.88 1917.37±49.87 1905.88±69.83 Konversi ransum 2.40±0.07a 2.36±0.07a 2.24±0.07b 2.23±0.09b Berat telur (g ) 57.56±1.32 58.11±0.38 57.70±1.04 57.30±1.69

Mortalitas (%) 0 0 0 0

Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar 2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001) melaporkan bahwa konsumsi pakan ayam petelur adalah 108 g ekor-1 hari-1. Penelitian Guler et al. (2005) mengatakan bahwa biji ketumbar bisa dianggap sebagai promotor pertumbuhan alami yang potensial untuk unggas, dan menunjukkan respon terbaik pada tingkat 2% dalam ransum puyuh.Hernandez et al. (2004) menyatakan minyak esensial (atsiri) yang dikandungnya berkhasiat sebagai stimulan, penguat organ pencernaan, merangsang enzim pencernaan, dan meningkatan fungsi hati. Kadar minyak esensial yang terkandung pada biji ketumbar berjumlah sekitar 0.5%1% mampu menjadi antimikroba atau antibakteri, dan spesifik terhadap spesies Salmonella, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Isao et al. 2004). Menurut Abou-Elkhair et al. (2014) menyatakan bahwa suplementasi pakan dengan lada hitam dan ketumbar atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan kinerja dan status kesehatan ayam broiler dapat dijadikan sebagai suplemen makanan sebagai promotor pertumbuhan alami.

Berat telur

(28)

14

rendah jika dibandingkan dengan penelitian Cayan dan Erener (2015) yang melaporkan bahwa berat telur ayam Lohmann brown yang dipelihara selama 8 minggu adalah 59.62 g. Bobot telur yang diperoleh pada penelitian ini 57.66 g tidak jauh berbeda dengan penelitian Chen and Balnave (2001) adalah 57.20 g. Berdasarkan Leeson dan Summers (2005) menyatakan bahwa protein atau asam amino (spesifik methionin) merupakan nutrisi yang berperan penting dalam menggontrol berat telur.

Produksi telur

Suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap produksi telur. Rataan produksi telur selama penelitian adalah 76.1480.46%. Hasil ini tidak jauh berbeda pada penelitian Chen and Balnave (2001) melaporkan bahwa produksi telur ayam petelur adalah 83%. Suplementasi ketumbar sampai level 3% belum mampu meningkatkan produksi telur yang dihasilkan seperti terlihat pada gambar 5. Produksi massa telur yang rendah akan berkorelasi positif dengan menurunya produksi telur sedangkan produksi massa telur merupakan hasil kali produksi telur dengan berat telur sehingga akan berkorelasi positif (Sh et al. 2013). Lebih lanjut Vercese et al. (2012) menjelaskan bahwa massa telur dipengaruhi oleh berat telur, produksi telur dan heat stress.

Gambar 5. Rataan produksi telur henday dari ayam petelur Lohmann brown selama 6 minggu penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Konversi ransum

(29)

konsumsi ransum dan kemampuan ternak dalam merubah ransum menjadi daging dan telur. Semakin rendah angka konversi ransum semakin efisien penggunaan ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang digunakan seperti yang terlihat pada gambar 6. Menurut Leeson dan Summers (2005), faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, kandungan nutrisi ransum, berat telur dan temperatur (suhu). Penelitian Cayan dan Erener (2015) melaporkan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 22 minggu yang diberi tepung daun zaitun adalah 2.052.07. Sedangkan penelitian Bidura et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum ayam Lohmann brown umur 4250 minggu adalah 3.01. Menurut Ahammed et al. (2014) menyatakan bahwa konversi ransum Lohmann Brown umur 4160 minggu adalah 2.21.

Gambar 6. Rataan konversi ransum dari ayam petelur Lohmann Brown selama 6 minggu penelitian. R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Mortalitas merupakan salah satu peubah penting dalam pengujian bahan pakan baru pada ternak. Selama penelitian tidak ditemukan ternak yang mati karena perlakuan. Tidak adanya mortalitas diduga karena pemberian biji ketumbar dalam ransum tidak memberikan dampak negatif bagi produksi maupun kesehatan ternak. Pemberian biji ketumbar pada ayam broiler sebanyak 2% dalam ransum meningkatkan performa dan status kesehatan ternak (Abu-elkhair et al. 2014).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Telur

Berdasarkan Tabel 5. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan terhadap haugh unit, berat putih, berat kuning, berat kerabang, tebal kerabang, skor kerabang, malondialdehide, lemak dan kolesterol kuning telur. Tetapi signifikan (P<0.05) meningkatkan skor warna kuning telur.

Haugh unit

(30)

16

Menurut Standar United States Department of Agriculture (USDA 2011), nilai haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur berkualitas AA, nilai haugh unit 6072 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 3160 sebagai telur berkualitas B, dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur yang berkualitas C. Faktor yang memepengaruhi haugh unit adalah umur penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan dan penyakit (Robert 2004). Pengukuran haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni 24 jam pada suhu 2730ºC, sehingga hasilnya sama. Penelitian Mahmoud et al. (2010) melaporkan bahwa nilai haugh unit ayam petelur yang diberi bawang putih adalah 75.41. Sementara Ahammed et al. (2014) nilai haugh unit ayam petelur umul 4160 minggu adalah 94.80. Penelitian Park et al. (2015) menyatakan nilai haugh unit ayam petelur umur 43 minggu adalah 91.40. Olobatoke dan Mulugeta (2011) nilai haugh unit ayam petelur umur 30 minggu adalah 95.5.

Tabel 5. Rataan kualitas fisik telur dan kimia kuning telur ayam petelur Lohmann brown

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Berat telur (g) 59.06±1.20 59.04±1.41 58.63±1.79 59.22±1.16 Haugh unit 97.75±0.52 96.74±1.07 97.40±0.42 97.10±0.52 Berat putih telur (g) 37.82±1.97 37.38±1.22 36.83±1.61 37.39±0.88 (%) 63.98±2.11 63.27±0.81 62.75±0.83 63.07±0.43 Berat kuning telur (g) 13.95±0.81 14.65±0.21 14.51±0.03 14.47±0.23 (%) 23.63±1.85 24.85±0.60 24.80±0.70 24.47±0.21 Skor kuning telur 9.00±0.50b 10.00±0.00a 10.00±0.00a 10.00±0.00a Berat kerabang (g) 7.30±0.28 7.13±0.05 7.29±0.19 7.36±0.21 (%) 12.39±0.49 11.89±0.41 12.44±0.22 12.47±0.31 Tebal kerabang (mm) 0.35±0.01 0.35±0.00 0.35±0.01 0.35±0.00 Skor kerabang telur 9±0.00 9±0.58 9±0.50 9±0.50 Malondialdehide (µg g-1) 7.02±1.71 6.60±1.64 5.28±2.48 6.13±1.13 lemak (%) 23.80±1.47 22.31±1.34 22.25±0.67 22.37±0.31 Kolesterol (mg g-1) 5.47±0.38 5.61±0.29 5.46±0.52 5.65±0.16

Keterangan: R0= Suplementasi ketumbar 0% (Ransum kontrol); R1= ketumbar 1%; R2= ketumbar 2%; R3= ketumbar 3%. Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Putih telur

Berdasarkan Tabel 5. Rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Rataan berat putih telur pada penelitian ini adalah 37.50 g (63.27%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur (Rajkumar et al. 2009). Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Cayan dan Erener (2015) yaitu 38.7040.30 g (63.1064.60%). Kuning telur

(31)

ransum adalah 14.6015.20 g (24.3025.00%). Penelitian Rajkumar et al. (2009) bahwa ukuran telur lebih terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan albumen, meskipun fakta bahwa albumen masih penting untuk menentukan ukuran telur. Menurut Subekti et al. (2006), penurunan kolesterol kuning telur dapat menurunkan berat kuning telur. Menurut Juliambarwati (2012) faktor yang mempengaruhi berat kuning telur adalah kandungan lemak dan protein dalam telur yang sebagian besar terdapat dalam kuning telur.

Warna kuning telur

Perlakuan suplementasi ketumbar 13% dalam ransum nyata (P<0.05) meningkatkan skor warna kuning telur lebih tinggi dibandingkan dengan ransum tanpa suplementasi ketumbar (R0). Tingginya skor warna kuning telur pada

perlakuan ketumbar disebabkan kandungan karoten pada ketumbar. Jagung kuning yang banyak digunakan dalam pakan unggas mengandung 51 µg 100 g1 beta karoten dan 780 µg 100 g1 lutein (Yilmaz, 2010). Penggunaan ketumbar dalam ransum sampai level 3% dapat meningkatkan skor warna kuning telur yaitu skor 10. Sedangkan tanpa ketumbar 0% yaitu skor 9. Kandungan -karoten pada biji ketumbar adalah 0.22 mg 100g-1 (Aruna dan Baskaran 2010). Penelitian (Cayan dan Erener 2015; Christaki et al. 2011a, dan Zangeneh dan Torki, 2011) menyatakan bahwa tepung daun zaitun 23% dalam pakan meningkatkan warna kuning telur. Menurut Loetscher et al. (2013), warna merupakan sifat kualitas penting dari makanan karena mempengaruhi persepsi konsumen terhadap kualitas dan intensitas aroma dan rasa. Hu et al. (2011) melaporkan bahwa suplementasi brokoli batang dan daun untuk ayam petelur dapat meningkatkan pigmentasi kuning telur 9.2511.28. Li et al. (2012) melaporkan skor warna kuning telur ayam petelur yang diberi tepung cabai merah adalah 8.09.7. Beta-karotine merupakan zat yang dapat mempengaruhi pigmen warna kuning telur dan mempunyai fungsi yang sama dengan xantopil (Hermana et al. 2014). Lebih lanjut Hammershoj et al. (2010) menyatakan bahwa warna kuning telur dipengaruhi oleh konsumsi zeaxanthin, lutein, alpa-carotine, beta-karotine dan karatinoid. Warna pigmen dalam bahan pakan adalah xanhtophyl, zeaxanthin,

canthaxanthin, astaxanthin, cryptoxanthin, dan -karoten (Leeson & Summers, 2005).

Kerabang telur

Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, lapisan calcite (kalsium karbonat) dan dua lapisan membran (Li-chan dan Kim 2008). Rataan kerabang berat telur penelitian ini adalah 7.27g (12.30%). Menurut Cayan dan Erener (2015), berat kerabang telur adalah 6.63 g (11.00%). Hu et al. (2011) bahwa berat cangkang telur adalah 14.60 g (24.30%). Menurut Kebreab et al. (2009), kandungan Ca dalam pakan dapat mempengaruhi berat kerabang telur dan ketebalan kerabang. Kualitas kerabang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk gizi mineral. Kalsium, fosfor dan magnesium adalah anorganik utama untuk kerabang telur (King'ori 2011).

Tebal kerabang

(32)

18

mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994) kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang. Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut pigmen yaitu biliverdin dan protoporphirin. Biliverdin merupakan suatu pigmen biru yang dapat menyebabkan warna hijau kebiruan pada kerabang telur seperti pada itik, sedangkan protoporphirin merupakan pigmen warna coklat kemerahan pada kerabang telur. Pada ayam yang menghasilkan telur kerabang coklat hanya memproduksi senyawa protoporphirin (Clunies et al. 1992)

Lemak kuning telur

Kandungan lemak kasar kuning telur pada suplementasi biji ketumbar sampai level 3% dalam ransum pada penelitian ini menunjukan pengaruh yang tidak nyata. Rataan lemak kasar penelitian ini berkisar 22.68% (Tabel 5). Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan standar menurut Song et al.

(2000) yaitu 31.4832.33%. Menurut Nys dan Guyot (2011) faktor yang mempengaruhi kualitas kimia telur yaitu jenis pakan, jenis ternak, genetik dan hormon.

Kolesterol dan Malondialdehyde kuning telur

(33)

kombinasi lipoprotein. Reaksi awal adalah mengaktifkan lemak CoASH membentuk Acyl-CoA untuk membentuk ester (Yuanta, 2010).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Nutrien

Rataan konsumsi ransum ayam petelur selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan R0 (tanpa suplementasi biji ketumbar) memiliki konsumsi ransum yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R3 sedangkan pada R1 tidak berbeda nyata. Rataan jumlah konsumsi ransum dalam penelitian ini adalah 101.17104.44 g ekor1 hari1.

Tabel 6. Rataan konsumsi nutrien ayam petelur Lohmann brown

Parameter Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi energi (kkal

ekor-1 hari-1) 300.32±3.06a 295.18±2.63ab 294.24±4.12b 290.89±4.42b Konsumsi protein (g adalah 99.90101.59 g ekor1 hari1. Konsumsi ransum berkaitan dengan penilaian sensori ternak pada ransum. Bentuk, warna, rasa, bau merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat palatabilitas ransum (McDonald et al. 2010). Konsumsi nutrien (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian biji ketumbar dalam ransum nyata menurunkan konsumsi energi, protein, lemak dan serat kasar (P<0.05). Penurunan konsumsi ransum pada perlakuan yang ditambahkan biji ketumbar 2% dan 3% adalah karena ayam sudah tercukupi kebutuhan energinya. Akbarillah et al. (2011) melaporkan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh umur dan kondisi fisiologis ternak seperti pertumbuhan, reproduksi dan produksi. Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas (North dan Bell 1990).

Pengaruh Perlakuan Terhadap hematologi darah

Berdasarkan Tabel 7. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan terhadap butir darah merah, hematokrit, hemoglobin, monosit, dan eosinofil. Tetapi signifikan (P<0.05) terhadap butir darah putih, heterofil, limfosit dan rasio hetrofil/limfosit.

(34)

20

masing-masing yang bersirkulasi dalam pembuluh darah. Ternak yang sehat akan memiliki hematologi yang normal. Peubah sel darah merupakan salah satu metode yang berguna untuk mendiagnosis penyakit, memberi gambaran keadaan patologis, dan fisiologis (Guyton dan Hall, 2010). Hematologi ternak akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan fisiologisnya secara internal dan eksternal. Perubahan secara internal dapat disebabkan oleh pertambahan umur, status gizi, kesehatan, panas tubuh, serta stres. Perubahan secara eksternal dapat disebabkan penyakit mikroorganisme dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 2010).

Tabel 7. Rataan profil darah ayam petelur Lohmann brown umur 48 minggu

Parameter Perlakuan

(%) 42.75±11.95a 25.25±3.50b 33.25±6.65ab 33.50±5.07ab 15-50 Limfosit

(%) 52.00±11.46b 65.25±5.32a 59.75±5.91ab 58.00±4.16ab 29-84 Rasio H/L

(35)

Hematokrit

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 7), bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap hematokrit ayam petelur. Proporsi komponen darah dalam volume darah yang terdiri dari sel darah merah, dinamakan hematokrit atau packed cell volume (PCV). Hematokrit dinyatakan dalam persentase(%). Hematokrit dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi normal, anemia, maupun polisetamia. Nilai hematokrit menggambarkan jumlah sel eritrosit terhadap total dalam darah, sehingga menjadi salah satu indikator penentuan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (O2) yang biasa dikenal dengan istilah

Oxygen Carrying Capacity. Pada saat bertelur, nilai hematokrit cenderung mengalami penurunan yang merupakan dampak tubuh ayam dalam mempertahankan homeostatis. Nilai hematokrit yang rendah pada saat bertelur diakibatkan oleh peningkatan volume plasma darah yang disebut proses Haemodilusi. Namun, konsentrasi plasma kembali normal ketika folikel terakhir telah mengalami ovulasi (Challenger et al. 2001; Vézina et al. 2003). Volume plasma yang meningkat berakibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen (O2) dalam darah meskipun

pada dasarnya jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner et al. 2008).

Hemoglobin

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan biji ketumbar dalam ransum sampai taraf 3% tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hemoglobin ayam petelur. Hemoglobin ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 9.711.2 (Chen et al. 2008). Hemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen. Hemoglobin berfungsi sebagai distributor oksigen (O2) bagi jaringan, dan membawa karbon dioksida (CO2) dari jaringan ke

paru-paru (Guyton dan Hall 2008). Terpenuhinya kebutuhan protein dalam ransum memperlancar pembentukan hemoglobin darah, karena protein pakan tersedia untuk bersenyawa dengan zat besi untuk membentuk hemoglobin. Hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular Frandson (1992). Asam pantothenat berperan dalam mensintesis porphyrin untuk pembentukan hemoglobin (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Pembentukan hemoglobin dimulai dari succinyl-co A yang dibentuk dalam siklus kreb yang berikatan dengan asam amino glisin untuk membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk protoporfirin IX dan bergabung dengan besi membentuk molekul heme. Heme bergabung dengan protein globin membentuk rantai hemoglobin (Guyton dan Hall 1997).

Butir darah putih

Berdasarkan analisis ragam bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan jumlah leukosit. Rataan jumlah leukosit ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara 8.40–18.85 x 103/mm3. Jumlah leukosit yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan zat aktif minyak atsiri yang terkandung dalam biji ketumbar menyediakan pertahanan untuk kekebalan tubuh ayam petelur selama masa pemeliharaan. Penelitian (Chen

(36)

22

tubuh. Leukosit merupakan unit yang aktif untuk menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan penyebab infeksi (Guyton dan Hall 1997). Diferensiasi butir darah putih

Differensiasi leukosit diklasifikasikan sedikitnya 100 leukosit berdasarkan jenis sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih normal dikelompokan menjadi granulosit dan agranulosit. Granulosit terdiri dari heterofil, eosinofil, dan basofil sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit (Swenson 1984).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi biji ketumbar berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah heterofil pada darah ayam petelur. Rataan heterofil darah ayam pada penelitian ini berkisar antara 25.25% sampai dengan 42.75%. Nilai heterofil pada penelitian ini berada pada kisaran normal. Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan bahwa persentase heterofil ayam normal berkisar antara 9 - 56%. Heterofil merupakan leukosit granulosit yang berperan dalam respon terhadap infeksi. Leukosit heterofil dikenal sebagai pertahanan pertama tubuh (first line defense). Menurut Tizard (2000), fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis. Heterofil melawan infeksi dengan menuju daerah-daerah yang sedang mengalami infeksi dengan menembus dinding endotel dan menghancurkan agen. Jumlah heterofil yang meningkat menunjukan kejadian infeksi akut. Heterofil memiliki masa hidup yang singkat, dimana setelah melakukan tugasnya kemudian mati dan melepas faktor kemotaktik untuk menarik heterofil lainnya. Masa hidup normal dalam sirkulasi darah mencapai 48 jam, kemudian 45 jam berikutnya berada pada jaringan.

Hasil analisis ragam bahwa suplementasi biji ketumbar dalam ransum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase limfosit darah ayam petelur. Kisaran limfosit pada penelitian ini 52.00% sampai 65.25%. Keadaan ini menandakan ayam memiliki tanggap kebal seluler dan humoral yang normal. Penelitian (Chen et al. 2008) menyatakan bahwa limfosit ayam petelur umur 48 minggu yang diberi δ-aminolevulinic acid (ALA) dalam ransum adalah 67.081.7. Mangkoewidjojo dan Smith (1988) menyatakan limfosit merupakan sel yang tidak bergranul, dengan persentase di dalam darah unggas berkisar antara 24 - 84%. Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh (Melvin et al. 1993). Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat pada makrofag (Tizard 2000). Limfosit dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu limfosit T yang berasal dari timus dan limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 7075% limfosit T menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler. Limfosit juga menghasilkan limfokin yang mencegah perpindahan makrofag dan merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Tizard 2000). Limfosit ada dalam jumlah banyak di usus, uterus, dan membran mukosa respirasi dengan cara migrasi. Limfosit ini motil dan menunjukkan aktivitas amuboid tapi tidak fagositik (Melvin et al. 1993).

(37)

ransumnya mengandung biji ketumbar sampai level 3% dalam ransum. Keadaan ini menandakan status ayam dalam keadaan sehat. Monosit memiliki kemampuan fagositik, yaitu memakan benda asing seperti bakteri, yang sama fungsinya dengan heterofil. Apabila heterofil berperan dalam mengatasi infeksi akut, maka monosit bekerja dalam keadaan infeksi yang tidak terlalu akut. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang yang nantinya akan disebarkan dan beredar di dalam darah hingga 72 jam.

Rasio heterofil limfosit adalah merupakan indikator stress yang utama pada unggas, makin tinggi angka rasio tersebut maka makin tinggi pula tingkat stresnya. Stress pada ternak selama penelitian disebabkan karena suhu lingkungan yang tinggi, terutama pada siang hari. Peningkatan nilai rasio heterofil limfosit pada ayam yang mengalami cekaman panas ini terkait dengan meningkatnya pembentukan hormon glukokortikoid. Stimulus cekaman panas akan meningkatkan sekresi glukokortikoid dalam darah. Peningkatan ini merupakan mekanisme endokrin pada hewan dalam mempertahankan kondisi normal ketika berada dalam cekaman (Mostl dan Palme 2002). Ketika kondisi stres panas (heat stress) terjadi penurunan jumlah limfosit, hal ini terlihat dari meningkatnya rasio heterofil limfosit (Zulkifli et al. 2000; Altan et al. 2000).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Saluran Pencernaan

Berdasarkan Tabel 8. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi tepung biji ketumbar dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap rataan panjang, berat pencernaan dan saluran reproduksi ayam petelur selama penelitian. Artinya peubah organ pencernaan ini dengan penambahan sampai level 3% biji ketumbar dalam ransum masih dapat bekerja sesuai fungsinya masing-masing dengan baik.

Usus Halus

Ketumbar yang diberikan sebagai bahan pakan memiliki khasiat dalam stimulasi pencernaan. Efek stimulasi ini berpengaruh terhadap kinerja enzim pada proses pencernaan. Proses metabolisme secara enzimatis di dalamnya mampu memecah partikel nutrien kompleks seperti karbohidrat, protein, dan lemak menjadi lebih sederhana. Beberapa enzim yang terdapat pada usus halus terdiri dari enzim protease (peptidase), maltase, laktase dan sukrease (Pilliang dan Djojosoebagio 2000). Luas permukaan usus dapat meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah vili usus yang berfungsi untuk penyerapan zat-zat makanan (Frandson 1992).

Sekum

Sekum adalah bagian atas usus besar yang merupakan suatu kantung buntu (Frandson, 1992). Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa pada usus buntu tidak ada bukti mengenai peran serta dalam pencernaan, hanya sedikit air diserap, sedikit karbohidrat dan protein dicerna berkat bantuan beberapa bakteri.

Kolon

(38)

24

turun (Frandson, 1992). Panjang usus besar pada ayam dewasa berkisar 810 cm (Suprijatna et al. 2005).

Tabel 8. Rataan Panjang, Berat Pencernaan dan Saluran Reproduksi Ayam Petelur Lohmann brown

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Bobot Hidup Akhir

(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43 Duodenum

4.61±1.18 4.24±0.08 4.85±0.77 5.09±0.42

Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

Saluran Reproduksi

(39)

Pengaruh Perlakuan Terhadap Organ Dalam Ayam Petelur

Berdasarkan Tabel 8. Suplementasi tepung biji ketumbar tidak signifikan terhadap rataan bobot dan persentase organ dalam ayam petelur.

Tabel 9. Rataan Bobot dan Persentase Organ Dalam Ayam Petelur Lohmann brown

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Bobot Hidup Akhir

(g ekor-1) 1582.50±91.42 1650.00±82.87 1540.00±77.03 1590.00±42.43 Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Dinding jantung terdiri atas tiga lapis yaitu suatu selimut serosa luar yang disebut epikardium, suatu lapis endotelial dalam yang disebut dengan endokardium, dan suatu lapis muskular tebal yang disebut dengan miokardium (Frandson, 1992). Menurut Akoso (2003) jantung adalah organ otot yang memegang peranan penting didalam peredaran darah.

Hati

(40)

26

adalah mensekresikan cairan empedu, menetralkan kondisi asam dari saluran usus dan mengawali pencernaan lemak dengan membentuk emulsi.

Empedu

Empedu merupakan organ pencernaan tambahan yang volume atau beratnya dipengaruhi oleh status nutrisi unggas, tipe pakan yang dikonsumsi, alian darah dan sirkulasi empedu enterohepatic (Suprijatna et al. 2005). Menurut Pilliang dan Djojosoebagio (2002) komposisi cairan empedu adalah garam-garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak dan garam organik. Empedu memiliki fungsi dalam proses penyerapan lemak pakan dan ekskresi limbah produk, seperti kolesterol dan hasil sampingan degradasi hemoglobin (Suprijatna et al. 2005). Gizzard

gizzard merupakan organ pencernaan yang mengandung material bersifat menggiling seperti grit, karang, dan batu kerikil. Partikel pakan yang masuk kedalam pencernaan segera digiling menjadi partikel kecil yang mampu melalui usus halus. Material usus halus akan masuk rempela kemudian akan keluar lagi dalam beberapa menit, sedangkan material kasar akan tinggal di rempela untuk beberapa jam (Suprijatna et al. 2005).

Limpa dan Pankreas

Limpa dan pankreas memproduksi insulin dan limfosit (Sukanta 2001). Menurut Murtidjo (1992) limpa sebagai organ dalam tubuh ayam yang memiliki fungsi menghancurkan butir-butir darah merah yang pecah dan rusak. Berat pankreas ayam petelur umur 32 minggu adalah 0.200.31 g 100g-1 berat badan (Apata 2004). Pankreas adalah organ berwarna merah yang berada antara lipatan duodenum yang berfungsi mensekresikan amilase, lipase, protease, enzim proteolitik dan sodium bikarbonat untuk membantu pencernaan karbohidrat, protein dan lemak (Sturkie, 2000; Klasing, 1999). Pankreas adalah suatu glandula tubolu-alveolar yang memiliki bagian endokrin maupun eksokrin. Bagian eksokrin dari pankreas menghasilkan natrium bikarbonat (NaHCO3) serta enzim-enzim pencernaan yang melalui saluran pankreas menuangkan enzim-enzim tersebut ke duodenum dekat dengan muara saluran empedu (Frandson, 1992).

Pengaruh perlakuan terhadap income over feed cost (IOFC)

Nilai income over feed cost dihitung berdasarkan besarnya biaya konsumsi dan harga jual dari tiap butir telur. Besarnya nilai konversi pakan akan menambah biaya produksi, dengan demikian akan mempengaruhi nilai income over feed cost. Besar kecilnya nilai income over feed cost juga dipengaruhi oleh harga telur di pasaran pada waktu tertentu.

(41)

Tabel 10. Perhitungan Ekonomi Nilai Income Over Feed Cost Ayam Petelur Strain Lohmann Brown Selama 6 Minggu

Uraian Keterangan R0 R1 R2 R3

Konsumsi Pakan (kg

Ekor-1 ) a 4.387 4.312 4.298 4.249

Harga Pakan (Rp kg-1) b 6456 6756 7056 7356 Biaya Pakan (Rp Ekor

-1

) (axb)= A 28320.28 29129.72 30268.10 31253.52 Produksi Telur Massa

kg Ekor) -1 c 1.82772 1.82523 1.91737 1.90588 Harga Telur (Rp kg-1) d 20000 21000 21000 21000 Pendapatan (Rp Ekor-1) (cxd) = B 36554.40 38329.83 40264.77 40023.48 IOFC (Rp Ekor-1 6

Minggu-1) B─A 8234.12 9200.11 9940.23 8769.96

Keterangan: R0 = Suplementasi ketumbar 0% (Ransum Kontrol); R1 = ketumbar 1%; R2 = ketumbar 2%; R3 = ketumbar 3%.

(42)

28

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian yang dilakukan adalah kandungan minyak atsiri pada ketumbar berada dalam kisaran normal yaitu 0.63%. Suplementasi ketumbar 2-3% dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan konsumsi pakan, rasio konversi pakan dan meningkatkan warna kuning telur tanpa menurunkan kualitas telur. Suplementasi ketumbar sampai 3% dalam ransum dapat meningkatkan kinerja dan status kesehatan ayam serta berpotensi sebagai antioksidan.

Saran

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Elkhair R, Ahmed HA, Selim S. 2014. Effects of black pepper (piper nigrum), turmeric powder (curcuma longa) and coriander seeds (coriandrum sativum) and their combinations as feed additives on growth performance, carcass traits, some blood parameters and humoral immune response of broiler chickens.Asian-Aust J Anim Sci. 27(6):847854.

Ahammed M, Chae BJ, Lohakare B, Keohavong, Lee MH, Lee SJ, Kim DM, Lee1 JY, Ohh SJ. 2014. Comparison of Aviary, Barn and Conventional Cage Raising of Chickens on Laying Performance and Egg Quality.Asian-Aust J Anim Sci. 27:1196-1203.

Akbarillah TD, Kaharuddin, Kususiyah. 2002. Kajian daun tepung indigofera sebagai suplemen pakan produksi dan kualitas telur. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Akoso BT. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

Al-Mashadani FK, Al-Jaff, Hamodi SJ. 2011. Effect different level of coriander oil on broiler performance and some physiological traits under summer condition. Pakistan Journal of Nutrition 10(1):10-14.

Al-Jaff FK. 2011. Effect of coriander seeds as diet ingredient on blood parameters of broiler chicks raised under high ambient temperature. Int J Poult Sci.

10 (2):82-66.

Altan O, Altan A, Cabuk M, Bayraktar H. 2000. Effect of heat stress on some blood parameters in broiler. Faculty of Agricultur, Ege University, Turkey.

Anggorodi HR. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Gramedia, Jakarta.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. 18th ed. Association of Official Analythical Chemists. Washington DC.

Apata DF. 2004. Egg production and hematologi profil of laying hens fed dietary raw or processed prosopis africana seeds. J. Agric (3).99-104.

Aruna G, Baskaran V. 2010. Comparative study on the levels of carotenoids

lutein, zeaxanthin and -carotene in Indian spices of nutritional and medicinal importance. J Food Chemis. 123(2):404-409.

Begnami AF, Duarte MCT, Furletti V, RehderVLG. 2009. Antimicrobial potential of Coriandrum sativum L. against different Candida species in vitro. J Food Chemis. 118 (2010):74–77.

Bhat S, Kaushal1 P, Kaur M, Sharma HK. 2013. Coriander (Coriandrum sativum

L.): Processing, nutritional and functional aspects. Asian J Plant Sci. 8 (1):25-33.

Bidura I, Puspani E, Warmadewi DA, Susila TGO, Sudiastra IW. 2014. Pengaruh Penggunaan Pollard Terfermentasi Dengan Ragi Tape Dalam Ransum Terhadap Produksi Telur Ayam Lohmann Brown. Majalah Ilmiah Peternakan.17 (1):0853-899.

BPS. 2015. Produksi dan populasi ternak. http://www.bps.go.id/index.php. [29 April 2015].

Burdock GA, Loana G, Carabin. 2008. Safety assessment of Coriander (Coriandrum sativum L.) essensial oil ingredient. J Food Chemic Toxic

(44)

30

Burke RW, Diamondstone BI, Velapoldi RA, Menis O. 1974. Mechanisms of the Liebermann- Burchard and Zak Color Reactions for Cholesterol. Clin. Chem. 20: 794-801.

Campbell TW., Mary AT, Glade W. 2012. 19. Veterinary Hematology and clinical chemistry. 2nd ed. Fort Collins, Colorado, USA.

Cayan H, Erener G. 2015. Effect of Olive Leaf (Olea europaea) Powder on Laying Hens Performance, Egg Quality and Egg Yolk Cholesterol Levels. Asian-Aust J Anim Sci.28(4):538-543.

Challenger WO, Williams TD, Christians JK, Vezina F. 2001. Follicular development and plasma yolk precursor dynamics through the laying cycle in the European starling (Sturnus vulgaris). J Physiol Biochem Zool. 74:356-365.

Chen J, Balnave D, (2001). The influence of drinking water containing sodium chloride on performance and eggshell quality of a modern, colored layer strain. Int J Poult Sci. 80:91-94.

Chen YJ, Cho JH, Yoo JS, Wang Y, Huang Y and Kim IH. 2008. Evaluation of

δ-Aminolevulinic Acid on Serum Iron Status, Blood Characteristics, Egg Performance and Quality in Laying Hens. Asian-Aust J Anim Sci. Vol. 21, No. 9 : 1355 – 1360.

Clunies M, Parks D, Leeson S. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and eggshell thickness in laying hens producing thick or thin shells. J Poul sci. 71: 490 – 498.

Christaki E, Eleftherios Bonos, Ilias Giannenas & Panagiota Florou-Paneri. 2012. Aromatic Plants as a Source of Bioactive Compounds. J Agri 2, 228-243.

Christaki E, Bonos E, Florou-Paneri P. 2011a. Effect of dietary supplementation of olive leaves and/or tocopheryl acetate on performance and egg quality of laying Japanese quail (Coturnix japonica). Asian J Anim Vet Adv.

6:1241-1248.

Dellman HD, EM Brown. 1992. Histologi Veteriner: R Hartono penerjemah. Universitas Indonesia, Jakarta.

Doyon GM, Bernier C, Hamilton RMG, Eastaigns F, Ramdald CT. 1986. Egg quality 2: Albumen quality of egg from five commercial strains of White Leghorn hens during one year of lay. J Poult Sci. 65:63–66.

Fadilah R, Polana A. 2011. Mengatasi 71 Penyakit Pada Ayam. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi Ke-4 Terjemahan: B. Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Guler T, Ertas ON, Ciftci M, Dalkhe B. 2005. The effect of coriander seed (Coriandrum sativum L.) as diet ingredient on the performance of Japanese quail. South-African J Anim Sci. 35: 260-266.

Guyton AC. 1983. Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-5. CV. EGC. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Gambar

Tabel 2. Hasil analisis nutrien ransum kontrol.
Gambar 1 : Biji ketumbar (            Coriandrum sativum L
Gambar 3 : pemeliharaan ayam petelur
Tabel 4. Rataan berat telur, produksi henday, massa telur, konsumsi, konversi
+6

Referensi

Dokumen terkait