• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teritip yang menempel pada setiap media penempelan selama pengamatan berlangsung, secara keseluruhan merupakan teritip dari genera Amphibalanus spp. Identifikasi terhadap teritip Amphibalanus spp. dilakukan hingga tahap genera saja. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk melakukan identifikasi lanjut hingga tahap spesies bagi teritip dari genera Amphibalanus spp. yang masih dalam tahap

juvenile. Menurut Henry dan McLaughlin (1975), kekeliruan dalam mengidentifikasi teritip dari genus Amphibalanus yang masih dalam fase juvenile sangat sering terjadi. Hal ini dikarenakan masih banyak kesamaan morfologi teritip jenis ini ketika dalam tahap juvenile. Beberapa spesies yang sangat potensial mengalami kekeliruan dalam identifikasinya adalah Amphibalanus improvisius, Amphibalanus reticulatus, Amphibalanus subalbidus dan

Amphibalanus venustus.

Dominasi teritip jenis Amphibalanus spp. ini cukup beralasan. Menurut Boesono (2008), teritip dari genus Amphibalanus memiliki senyawa arthropodine

yang berguna untuk menarik atau mengundang teritip dari jenis yang sama untuk menempel bahkan menumpuk pada substrat yang sama. Selain itu, dari keseluruhan famili Balanidae, larva Amphibalanus spp. memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat, mudah untuk dibudidayakan serta dapat diduga penempelannya pada kondisi statis khususnya jenis A. amphitrite, sehingga

Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip yang paling sering dijumpai dan digunakan pada penelitian ekologi organisme intertidal dan studi antifouling (Anil

et al. 2012). Pada media penempelan ditemukan juga biota-biota lain yang menempel seperti alga cokelat (Phaeophyta), spons (Porifera) dan Ooyster (Moluska). Namun keberadaan biota-biota selain teritip tersebut tidak menjadi pokok pembahasan utama pada penelitian ini.

13

Gambar 3.1 Morfologi Cangkang Teritip Amphibalanus spp. a = Keseluruhan Cangkang, b = Scuta (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal), c = Terga (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal)

Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip baran (acorn barnacle) yang dicirikan dengan cangkang yang dibangun dan langsung menempel pada substrat. Secara garis besar, habitat Amphibalanus spp. adalah perairan intertidal di daerah beriklim tropis (Darwin 1854; Jones et al. 2000). Namun pada beberapa kasus, teritip ini ditemukan di perairan laut lepas. Teritip tersebut menempel pada benda-benda terapung seperti sampah-sampah plastik dan patahan batang (Hansen 1990). Adapun klasifikasi dari Amphibalanus spp. menurut Darwin (1854); Newman dan Abbot (1980) dan Pitombo (2004) adalah sebagai berikut:

Superordo : Thoracica Ordo : Sessilia Subordo : Balanomorpha Superfamili : Balainodea Famili : Balanidae Genera : Amphibalanus spp.

Cangkang teritip Amphibalanus spp. umumnya berbentuk kerucut atau cenderung silinder dan memiliki 6 bagian cangkang (plates) yang mengelilingi dan melindungi tubuhnya (Gambar 3.1). Pada bagian puncak terdapat lubang yang melingkar dan sedikit bergerigi. Umumnya perbandingan tinggi cangkang

Amphibalanus spp. dengan lebar keseluruhan cangkang adalah 1:2. Pada punggung cangkang terdapat garis lebar permanen yang membujur dan menyempit pada puncak cangkang yang disebut radii (Pitombo 2004). Beberapa jenis Amphibalanus spp. seperti A. reticulatus dan A. amphitrite terdapat perbedaan warna yang nyata antara cangkang yang memiliki warna lebih cerah dibandingkan radii. Berbeda halnya dengan A. improvisius, warna cangkang serupa dengan warna radii (Zullo 1979). Bagian operculum, pada bagian permukaan scutum terdapat adductor yang mencuat keluar dan sangat mencolok. Panjang diameter dasar keseluruhan cangkang (basal margin) pada genera Amphibalanus sangat beragam. Untuk diameter maksimal basal margin jenis A. reticulatus dan A. Improvisius adalah 18 mm, sedangkan jenis A. amphitrite

14

Kepadatan Teritip Amphibalanus spp.

Kepadatan Amphibalanus spp. pada setiap lokasi penelitian sangat beragam, baik pada media penempelan atau pun pada pemberian warna media penempelan yang berbeda. Selain itu, keragaman kepadatan Amphibalanus spp. juga terjadi pada pemasangan media penempelan secara vertikal (perbedaan tingkat pasang surut) dan horizontal (perbedaan stasiun penelitian). Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi terdapat pada media penempelan dengan jenis kayu yang tidak diberi pewarna atau warna asli. Secara horizontal, rata-rata kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I dan stasiun 1 PPI Purnama. Sedangkan secara vertikal, rata-rata kepadatan tertinggi terjadi pada tingkat kedalaman 3 (tinggi rata-rata surut harian) dan tingkat kedalaman 2 (tinggi rata-rata pasang harian). Hasil penghitungan rata-rata kepadatan Amphibalanus

spp. pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4. Sedangkan untuk mengetahui grafik hasil penghitungan kepadatan Amphibalanus

spp. pada media kayu, media fiber dan media besi dapat dilihat pada Gambar 3.2; 3.3 dan 3.4.

Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media kayu terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 506,25 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapat pada media kayu yang tidak diberi pewarna (Gambar 3.2a). Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 78,125 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media kayu dengan warna putih (Gambar 3.2a).

Gambar 3.2 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Kayu, (a.) di Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.

Kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada beberapa media kayu dipengaruhi oleh adanya kompetisi perebutan ruang dengan biota lain. Biota yang memiliki pengaruh besar terhadap kepadatan Amphibalanus spp. pada media kayu dalam penelitian ini adalah cacing laut (marine borer worm). Ini ditandai dengan tidak ditemukannya teritip yang menempel pada bagian media kayu yang terdapat

15

lobang gerek (bore holes). Selain itu, serangan cacing laut juga berpengaruh terhadap usia media kayu (Lampiran 5). Keberadaan serangan cacing laut ditandai oleh adanya penggerekan yang mula-mula tegak lurus terhadap serat kayu, kemudian membelok sejajar serat kayu. Secara terus menerus organisme ini memperpanjang lubang gereknya di dalam kayu dan dinding salurannya dilapisi zat kapur. Intensitas serangan yang tinggi pada kayu akan menunjukkan kepadatan populasi organisme tersebut di dalam kayu. Serangan ini disebut dengan serangan

Teredinidae (Muslich and Sumarni 2005).

Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media fiber terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I yaitu 218,75 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapat pada media fiber dengan warna merah (Gambar 3.3a). Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 25 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media fiber dengan warna putih (Gambar 3.3a).

Gambar 3.3 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Fiber, (a.) di Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.

Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan pada media fiber adalah yang terendah dibandingkan dua media penempelan lainnya yaitu media kayu dan besi. Berdasarkan grafik Gambar 3.3 terlihat bahwa beberapa media fiber tidak memiliki nilai kepadatan atau sama dengan nol. Hal ini disebabkan karena pada saat pengamatan akhir atau pengangkatan media terdapat beberapa media fiber yang hilang dari tiang pengamatan, sehingga tidak diketahui nilai kepadatan teritip yang telah menempel pada media tersebut. Selain itu, media fiber yang memiliki nilai kepadatan yang tinggi pada umumnya terdapat alga yang telah menempel dan menutupi sebagian permukaan media fiber (Lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwasannya terdapat hubungan antara kepadatan teritip dan alga pada suatu substrat.

Penelitian terkait hubungan kepadatan teritip dan alga sebagai substrat teritip telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Namun begitu, penempelan teritip pada permukaan dari berbagai jenis seaweed atau alga masih jarang terjadi (Nasrolahi

16

2012). Hal ini disebabkan oleh karena beberapa alga menghasilkan zat pencegah pertumbuhan (inhibitor) bagi larva teritip seperti alga cokelat Fucus vesiculosus

yang memiliki kandungan phlorotannin (Brock et al. 2007) dan alga merah

Sphaerococcus coronopifolius yang memiliki kandungan LC50 yang juga

merupakan antifouling bagi larva teritip Amphibalanus amphitrite (Piazza 2010).

Namun hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nylund (1999) yang menyebutkan bahwa senyawa yang dihasilkan oleh alga

merah seperti Dilsea carnosa dan Delesseria sanguine yaitu Dimethylsulphoxid

(DMSO) justru menjadi stimulant bagi penempelan larva teritip Amphibalanus improvisius.

Pada beberapa studi yang lain, bakteri biofilm yang bersimbiosis dengan

alga berpengaruh nyata terhadap penempelan larva biota invertebrata seperti

teritip bahkan melindungi alga dari serangan epibionts (Lau and Qian 1997;

Steinberg et al. 1998; Lachnit et al. 2010). Namun begitu, beberapa bakteri

biofilm juga memiliki pengaruh netral terhadap penempelan larva teritip

(Wieczorek et al. 1995). Hal ini juga diperkirakan berpengaruh terhadap

kepadatan penempelan teritip Amphibalanus spp.pada media penempelan fiber di

penelitian ini, dimana kandungan bakteri biofilm yang berkemungkinan masih

rendah, sehingga dapat ditemukan teritip yang menempel pada media fiber.

Gambar 3.4 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Besi, (a.) di Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.

Selanjutnya berdasarkan Gambar 3.4, rata-rata kepadatan Amphibalanus

spp. tertinggi pada media besi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I yaitu 334.375 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapat pada media besi yang tidak diberi pewarna atau warna asli (Gambar 3.4a). Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh yaitu 21,875 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media besi yang diberi pewarna putih (Gambar 3.4c).

17

Tabel 3.1 Ringkasan Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada 3 Jenis Media Jenis

Media Pelabuhan Pelindo I Purnama PPI

Pelabuhan Angkatan Laut

Bangsal Aceh Keterangan*

Kayu + + + + + + + + + Media yang tidak diberi warna pada tingkat kedalaman 2 - 3 Fiber + + + + Media berwarna merah pada tingkat kedalaman 3 - 4

Besi + + + + + Media berwarna merah dan tidak diberi warna pada Tingkat kedalaman 3

*Jenis dan warna media serta tingkat kedalaman yang memiliki kepadatan teritip tertinggi

Keterangan : + + + + = Rata-rata kepadatan teritip > 350 ind/m2

+ + + = Rata-rata kepadatan teritip 200 – 350 ind/m2

+ + = Rata-rata kepadatan teritip 100 – 250 ind/m2

+ = Rata-rata kepadatan teritip < 100 ind/m2

Secara keseluruhan media penempelan, nilai kepadatan teritip

Amphibalanus spp. sangat beragam secara vertikal. Kepadatan tertinggi terdapat pada tingkat kedalaman 2 (rata-rata tinggi permukaan laut saat pasang harian) dan 3 (rata-rata tinggi permukaan laut saat surut harian) yang termasuk ke dalam kategori pasang surut harian (mid intertidal zone) di perairan Kota Dumai. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Minchinton dan Scheibling (1993) yang menyatakan bahwa dari tiga tingkat pasang surut di Nova Scotia Kanada, kepadatan tertinggi teritip jenis Semibalanus balanoides terdapat pada zona mid intertidal atau tinggi pasang surut harian.

Keragaman kepadatan teritip secara vertikal dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik lingkungan (Scheletema 1974; Rittschof and Bonaventura 1986; Rittschof et al. 1998, Khandeparker and Anil 2007). Namun lebih khusus lagi, keragaman kepadatan secara vertikal ini diperkirakan berkaitan dengan sifat fototaksis negatif atau kecenderungan menjauhi keberadaan cahaya larva teritip yang juga termasuk dalam kategori plankton-hewani (zooplankton) (Rohmimohtarto dan Juwana 2009; Setyobudiandi et al. 2009). Dimana keberadaan cahaya merupakan ancaman bagi penglihatan larva teritip untuk melakukan penempelan pada substrat. Hasil penelitian Hung et al. (2005) menyatakan bahwa penempelan larva cyprid teritip memiliki tingkat kesuksesan tertinggi pada perairan dengan radiasi UV-B yang rendah, sehingga secara vertikal, populasi teritip di kolom perairan lebih tinggi dibandingkan populasi di permukaan perairan. Selain itu, peristiwa pasang surut juga turut mempengaruhi tingkat kesuksesan penempelan teritip pada substrat. Hal ini terkait dengan adanya perbedaan lama masa perendaman dan masa terpapar (terekspos) matahari. Secara umum, biota-biota aquatik penempel seperti teritip dan limpet cenderung menempel pada substrat yang memiliki masa perendaman yang lebih panjang dibandingkan masa terpapar matahari. Karena hanya pada masa perendaman, teritip dapat memperoleh makanan-makanannya yang terdapat di kolom perairan. Sedangkan pada saat terpapar matahari, seluruh aktivitas teritip dihentikan sebagai

18

bentuk adaptasi terhadap peristiwa pasang surut. Hal tersebut ditandai dengan tertutupnya cangkang teritip yang berguna untuk menyimpan volume air di dalam cangkang dan menurunnya metabolisme tubuh teritip hingga 70 %. Selanjutnya perbedaan kecepatan arus antara permukaan dan kolom perairan serta konsentrasi makanan secara vertikal juga mempengaruhi populasi teritip secara vertikal (Anil

et al. 2012).

Keterkaitan Kondisi Lingkungan dan Sebaran Spasial Teritip Amphibalanus spp.

Hasil analisis komponen utama terhadap parameter biofisika kimiawi lingkungan pesisir Kota Dumai pada matrik korelasi menunjukkan informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter terpusat pada dua sumbu utama yaitu F1 dan F2. Kualitas informasi yang disajikan oleh kedua sumbu masing-masing sebesar 44,67% dan 26,60% (Gambar 3.5). Sehingga ragam karakteristik habitat teritip Amphibalanus spp. menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisika kimiawi lingkungan dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 71,27% dari ragam total. Hasil analisis komponen utama juga disajikan ke dalam bentuk tabel yang dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 3.5 Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisika kimiawi lingkungan pada sumbu 1 dan sumbu 2 (kiri) dan diagram sebaran stasiun penelitian pada sumbu 1 dan 2 (kanan).

Analisis mengenai sebaran spasial kepadatan teritip Amphibalanus spp. Berdasarkan kepadatan pada perlakuan jenis dan warna media yang berbeda dilakukan dengan Analisis Koresponden (Correspondent Analysis, CA). Hasil analisis menunjukkan bahwa informasi distribusi spasial kepadatan teritip

Amphibalanus sp. terpusat pada dua sumbu utama, yaitu F1 dan F2. Masing-masing sumbu memberikan kontribusi sebesar 59,80% (F1) dan 27,45% (F2). Sehingga nilai ragam total dari data yang membentuk kedua sumbu tersebut adalah sebesar 87,25%. Diagram analisis koreponden antara stasiun penelitian dan kepadatan teritip amphibalanus sp. pada setiap media penempelan dapat dilihat pada Gambar 3.6. Selain itu, hasil analisis koresponden yang disajikan ke dalam bentuk tabel juga dapat dilihat pada Lampiran 7.

19

Gambar 3.6 Hasil analisis koresponden pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2) Berdasarkan Gambar 3.5 dan 3.6, dapat diketahui bahwasannya terdapat 3 kelompok stasiun penelitian yang terbentuk karena memiliki karakteristik lingkungan dan kepadatan teritip Amphibalanus spp. yang berbeda. Kelompok individu I (pertama) terdiri atas stasiun 1 (P1S1) dan stasiun 2 pelabuhan Pelindo I (P1S2) yang dicirikan oleh salinitas (28 ‰), pH (8) dan kekeruhan (2 NTU) yang tinggi. Rata-rata kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada kelompok ini memiliki kepadatan teritip tertinggi dibandingkan kelompok lainnya, yang terdapat pada media-media penempelan seperti media kayu yang tidak diberi warna (KWA = 506 ind/m2), media fiber yang tidak diberi warna (FWA = 165 ind/m2), media besi yang tidak diberi warna (BWA = 334 ind/m2) dan media besi bewarna merah (BWM = 206 ind/m2).

Tingginya salinitas, pH dan kekeruhan pada kelompok individu I tidak terlepas dari adanya rutinitas kegiatan bongkar muat bahan CPO kering di Pelabuhan Pelindo I. Namun begitu, kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung untuk kehidupan teritip. Kekeruhan perairan diketahui memiliki kaitan erat terhadap ketersediaan makanan bagi larva teritip dalam fase nauplii, yaitu fitoplankton dan tingginya kekeruhan perairan dapat melindungi larva nauplii yang belum mampu untuk berenang dengan baik dari kanibalisme yang dilakukan oleh teritip dewasa (Barnes 1962).

Konsentrasi salinitas perairan berpengaruh terhadap tekanan osmotik biota-biota yang hidup di dalamnya. Umumnya biota-biota-biota-biota tersebut memiliki kandungan garam pada sel-selnya yang nilainya mendekati nilai salinitas perairan, sehingga apabila sel-sel tersebut berada pada lingkungan perairan dengan nilai salinitas berbeda, maka akan berdampak langsung terhadap osmoregulasi dari sel-sel tersebut. Salinitas pada Pelabuhan Pelindo I masih merupakan kisaran optimum bagi kehidupan teritip. Kisaran salinitas yang dapat ditoleransi oleh teritip adalah 10 ‰ (Anil et al. 1995) hingga 52 ‰ (Cohen 2005). Dari hasil percobaan Anil et al. (1995), tingkat kematian larva teritip jenis Amphibalanus amphitrite pada salinitas 10 ‰ mencapai 99%. Hal ini memiliki kaitan erat dengan rendahnya ketersediaan makanan bagi larva teritip pada saat musim gugur hingga awal musim dingin, dimana salinitas perairan mencapai 10 ‰, sehingga diperkirakan terjadi perebutan makanan antara biota yang terdapat di perairan tersebut. Sedangkan salinitas tertinggi yang dapat ditolerir oleh teritip adalah 52

20

‰. Teritip yang hidup pada salinitas tersebut adalah jenis Amphibalanus amphitrite dan ditemukan pada saat pengamatan lapangan yang dilakukan oleh Cohen pada tahun 2005 di pesisir barat San Fransisco.

Konsentrasi pH pada Pelabuhan Pelindo I juga masih berada dalam kisaran optimum bagi kehidupan teritip Amphibalanus spp. Konsentrasi pH di perairan memiliki pengaruh terhadap kehidupan organisme bentik (Kurihara et al. 2007; Beesley et al. 2008; Wood et al. 2008; Dupont et al. 2008) khususnya teritip (McDonald et al. 2009). Konsentrasi pH memiliki hubungan erat dengan konsentrasi calcium carbonate (CaCO3) di perairan yang berguna sebagai bahan pembentuk cangkang bagi beberapa organisme moluska dan crustacea. Menurut McDonald et al. (2009), penurunan pH perairan laut dari 8.2 hingga 7.4 tidak memberikan pengaruh terhadap kondisi larva, ukuran cyprid, penempelan cyprid serta metarmofosis dari tahap juvenile hingga menjadi dewasa bagi teritip jenis

Amphibalanus amphitrite. Perubahan ditemukan pada saat pH berada di bawah nilai 7.4 yang ditandai dengan perusakan, penurunan laju pertumbuhan dan kalsifikasi pada cangkang teritip yang selanjutnya menyebabkan individu teritip rentan terhadap serangan predator.

Kelompok individu II (kedua) terdiri atas stasiun 1 PPI Purnama (P2S1), stasiun 1 (P3S1) dan stasiun 2 pelabuhan AL Bangsal Aceh (P3S2) yang dicirikan oleh kecepatan arus (0,7 m/dtk), nitrat (0,35 mg/l) dan posfat (0,0088 mg/l)yang tinggi. Namun berdasarkan sebaran kepadatan teritip Amphibalanus spp., kelompok ini memiliki perbedaan pengelompokan. Stasiun 1 PPI Purnama merupakan stasiun pengamatan yang memiliki rata-rata kepadatan teritip yang tinggi dan termasuk ke dalam kelompok yang sama dengan kedua stasiun Pelabuhan Pelindo I. Sementara kedua stasiun Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh merupakan stasiun pengamatan yang memiliki rata-rata kepadatan terendah dibanding stasiun pengamatan lainnya, yang terdapat pada media-media penempelan seperti media kayu berwarna merah (KWM = 112 ind/m2), media kayu berwarna putih (KWP = 100 ind/m2), media fiber berwarna merah (FWM = 65 ind/m2), media fiber berwarna putih (43 ind/m2) dan media besi berwarna putih (BWP = 21 ind/m2).

Perbedaan pengelompokan tersebut tidak terlepas dari adanya pengaruh letak geografis masing-masing stasiun pengamatan. Kedua stasiun Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh terletak pada muara Sungai Mesjid, sehingga menyebabkan tingginya kandungan nitrat posfat dan kecepatan arus (Hutagalung

et al. 1997). Sedangkan stasiun 1 PPI Purnama berada pada daerah yang tidak berdekatan dengan muara sungai. Namun begitu, kandungan nitrat dan posfat pada stasiun itu memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan kedua stasiun Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh yaitu 0,2938 mg/l dan 0,0066 mg/l. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan yang mempengaruhi pasokan nutrien di perairan.

Kecepatan arus memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan organisme sessilefilter feeder seperti halnya teritip. Hal ini terlihat dari rendahnya kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada kedua stasiun Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh yang memilki kecepatan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya yang memiliki kecepatan arus yang rendah dan kepadatan teritip yang tinggi. Kecepatan arus bagi teritip dewasa memiliki andil dalam lamanya waktu ketersediaan makanan di perairan (Eckman et al.

21

1989) dan pemberian makanan di perairan sekitar individu teritip (Cancino and Hughes 1987; Best 1988; Okamura 1992). Bagi larva cyprid, kecepatan arus berpengaruh pada tingkat keberhasilan penempelan larva terhadap substrat (Gambi et al. 1990; Irlandi and Peterson 1991).

Kisaran kecepatan arus di lokasi penelitian selama pengukuran masih berada dalam rentang toleransi bagi teritip. Menurut Anil et al. (2012), kisaran kecepatan arus 1-2 knots (0.5-1 m/detik) merupakan titik kritis bagi larva teritip jenis

Eliminius modestus untuk melakukan penempelan. Namun setelah kecepatan arus berada di atas 2 knots, tingkat keberhasilan penempelan tersebut perlahan mulai menurun. Hasil penelitian Qian et al. (2000) menambahkan bahwasannya persentase penempelan larva teritip jenis Amphibalanus spp. terjadi pada kisaran kecepatan arus 4.2 sampai 21.2 cm/detik, dimana penempelan tertinggi terjadi pada kecepatan arus sebesar 10.6 cm/s.

Penelitian terkait pengaruh kecepatan arus terhadap ketersediaan makanan bagi teritip di perairan pernah dilakukan oleh Sanford et al. (1994). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwasannya perairan yang tidak memiliki kecepatan arus atau relatif tenang dapat menyebabkan rendahnya persentase keberhasilan pemberian makan terhadap larva maupun teritip dewasa jenis Semibalanus balanoides. Sedangkan untuk persentase tertinggi dalam keberhasilan pemberian makan ketika kecepatan arus berada pada nilai 21 cm/detik dengan suhu 15 0C. Kecepatan arus 21 cm/detik tersebut umumnya terjadi pada kolom perairan di pesisir yang terjal berbatu.

Konsentrasi nutrien di perairan juga memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat keberhasilan larva teritip untuk melakukan penempelan kepada substrat (Anderson 1996; Faimali et al. 2004). Hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Minchinton and Mckenzie (2008) menyebutkan dalam 2 minggu, penempelan larva teritip meningkat secara nyata setelah diberi peningkatan konsentrasi nutrien di kolom perairan secara berkala.

Selanjutnya, kelompok individu III (ketiga) hanya terdiri dari satu stasiun pengamatan, yakni stasiun 2 PPI Purnama (P2S2) yang dicirikan kelimpahan plankton (4800 sel/L) yang rendah dan suhu permukaan laut (30 oC) yang tinggi dibandingkan stasiun pengamatan lainnya. Berdasarkan pengelompokan kepadatan teritip, stasiun 2 PPI Purnama termasuk ke dalam kelompok dengan kepadatan teritip yang rendah. Rendahnya kepadatan tersebut dipengaruhi oleh bentuk atau struktur bangunan dari dermaga PPI Purnama yang lebih terbuka dan mudah terpapar cahaya matahari, sehingga mempengaruhi aktivitas larva teritip yang bersifat fototaksis negatif dan suhu permukaan perairan.

Kelimpahan dan keragaman jenis fitoplankton sangat berpengaruh dengan kepadatan teritip di perairan. Hal ini dikarenakan fitoplankton merupakan sumber makanan bagi teritip. Setiap fase hidup teritip memiliki jenis dan ukuran fitoplankton yang beragam sebagai makanannya. Secara keseluruhan, teritip lebih banyak mencerna fitoplankton dari jenis diatom. Diatom jenis Skeletonema costatum dengan ukuran 2-16 µm merupakan makanan yang paling disukai oleh larva nauplii Balanus amphitrite dibandingkan Chaetoceros calcitrans dengan ukuran 4-6 µm (Desai and Anil 2004). Hasil studi lain yang dilakukan oleh Thiyagarajan et al. (1996) menyebutkan bahwasannya diatom Chaetoceros gracilis diindikasikan lebih banyak dicerna oleh larva teritip Balanus amphitrite

22

Namun hasil kedua penelitian di atas berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Moyse (1963) dan Moyse and Knight-Jones (1967) yang menyebutkan bahwa larva teritip Chtalamus stellatus, Lepas anatifera dan

Lepas pectinata lebih bersifat omnivora yang tidak hanya mencerna diatom (phytoplankton), tetapi juga mencerna flagellata (zooplankton). Hal ini cukup beralasan karena didukung oleh ukuran tubuh dan mekanisme pencernaan larva teritip yang mampu untuk mencerna picoplankton dengan ukuran < 5 µm dan bahan-bahan makanan lainnya selain diatom (Vargas et al. 2006).

Sebaran Teritip Amphibalanus spp. Secara Vertikal Pada 3 Jenis Media Penempelan

Rata-rata kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada setiap perlakuan selama penelitian sangat beragam baik secara vertikal maupun horizontal. Berdasarkan penempelan pada jenis media, rata-rata kepadatan pada media kayu merupakan

Dokumen terkait